• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Peradilan adat di Kabupaten Biak dalam sistem hukum Indonesia

Dalam dokumen T1 312008033 BAB III (Halaman 32-38)

4. Kedudukan Peradilan adat di Kabupaten Biak dalam sistem hukum Indonesia

Kedudukan Peradilan Adat di Papua khususnya dalam hal ini di Kabupaten Biak dapat dilihat dari budaya hukum yang bersumber dari aturan-aturan adat yang hidup dari sejak zaman dulu hingga sekarang dan menjadi bagian

UUD 1945 Pasal 18B Ayat (2) TAP MPR Romawi III Pasal 1 Ketetapan MPR Nomor UNDANG-UNDANG Undang-Undang No 21 Tahun 2001 PERATURAN DAERAH

hukum yang mengatur cara hidup masyarakat kabupaten biak diluar hukum positif yang sifatnya nasional dalam sistem hukum Indonesia.

Sebelum menganalisis kedudukan peradilan adat sebaiknya mengetahui dan memahami terlebih dahulu bahwa kedudukan peradilan adat di Papua khsususnya di Kabupaten Biak yang bersumber dari aturan-aturan adat tersebut, dan Hukum adat keberadaanya diakui didalam walaupun hukum adat merupakan sumber hukum yang tidak tertulis karena berasal dari adat kebiasaan masyarakat, akan tetapi kebaradaanya sebagai sumber hukum positif sudah diakui oleh Negara dalam 23Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 yang berbunyi : “pemerintah memajukan kebudayaan Nasional”, maksud dari memajukan kebudayaan nasional adalah bahwa simbol-simbol atau jaringan makna yang dipintalnya sendiri (termasuk didalamnya hukum adat) diakui eksistensinya sebagai budaya bangsa yang prospeknya menjamin dan meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Seperti diketahui bersama bahwa pada kenyataannya di Indonesia umumnya warga masyarakat didaerah pedesaan dalam hal ini di kabupaten Biak, masih tunduk dan taat pada aturan hukum adat sebagai pedoman dalam bersikap dan bertingkah laku serta berinteraksi dengan sesama. Pada dasarnya hukum adat di Kabupaten Biak merupakan hukum yang tumbuh dan berkembang dalam suatu komunitas masyarakat dimana masyarakat itu sendiri yang menganut serta menaatinya. Yang tidak kalah penting untuk mendapat perhatian adalah bahwa hukum adat bagi masyarakat Papua khsususnya di Kabupaten Biak hukum adat

23

merupakan faktor penentu dalam mempersatukan seluruh anggota masyarakat, baik dari segi lahiriah maupun non lahiriah dalam konteks hukum adat.

Hukum adat di Kabupaten Biak biasa disebut Kankai Karkara Byak ini menjadi acuan atau aturan bagi masyakarat kabupaten dalam menjalani kehidupan diluar hukum yang berlaku secara nasional. Kedudukan Peradilan Adat khsususnya di Kabupaten Biak mendapat pengakuan secara hukum dalam Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang memberikan kesempatan kepada lembaga hukum lain yang berkaitan dengan kekuasaaan hukum lain diluar lingkungan peradilan umum, peradilan militer, peradilan tata usaha negara dan mahkamah konstitusi dalam hal ini peradilan adat Kabupaten Biak, dan Pasal 50 dan 51 Undang- Undang No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua dan Pasal 4 Perdasus Papua No. 20 Tahun 2008 menjelaskan kekuasaan peradilan mengakui fungsi dan kedudukan peradilan adat diluar Badan Peradilan lain atau Peradilan Adat dalam menyelesaikan sengketa adat atau perkara-perkara pindana adat atau perdara adat.

Kedudukan Peradilan Adat berdasarkan Pasal 5 Perdasus No. 20 Tahun 2008 adalah di lingkungan masyarakat adat Papua berdasarkan sistem kepemimpinan ondoafi, system kepemimpinan raja atau sistem kepemimpinan pria berwibawa dan kepemimpinan campuran. Dalam hal ini peradilan adat Kabupaten Biak berkedudukan di lingkungan masyarakat adat Kabupaten Biak. Berdasarkan Perdasus tersebut memeberi kekhususan bagi lembaga peradilan adat untuk menjalankan wewenang atau kekuasaan kehakiman hanya dilingkungan

masyarakat adat papua atau masyarakat kabupaten biak tidak untuk daerah lain di Indonesia.

Peradilan Adat Kabupaten Biak berdasarkan hasil wawancara Bapak Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak24 mengatakan bahwa “peradilan adat di Kabupaten Biak memiliki wewenang dalam penyelesaian sengketa pidana adat dan perdata adat” berdasarkan Pasal 8 Perdasus No 20 Tahun 2008, dalam hal ini berkaitan dengan hasil wawancara penulis menganalisis yang mana berkaitan wewenang kekuasaan kehakiman, peradilan adat secara tidak langsung telah mengambil wewenang peradilan negara ditingkat pertama yakni peradilan umum dalam menyelesaikan perkara pidana dan perdata, atau dapat juga dikatakan bahwa ada lembaga lain yang memiliki wewenang dan kedudukan dalam menyelesaikan perkara pidana dan perdata diluar peradilan negara sebelum peradilan umum ditingkat pertama yakni peradilan adat. Jadi apabila perkara pidana atau perdata yang berkaitan dengan masyarakat adat atau dengan masyararakat diluar adat maka diselesaikan dulu di peradilan adat, dan apabila tidak dapat diselesaikan oleh peradilan adat atau masyarakat yang bersengkata tidak puas dengan hasil dari putusan dari peradilan adat dapat diselesaikan peradilan negara atau peradilan umum.

Dengan demikian melihat hasil penelitian terkait peradilan adat di Kabupaten Biak dapat analsis dimulai berlakunya Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Tahun 2004, prinsip peradilan negara sebagai satu-satunya lembaga

24

peradilan di wilayah Republik Indonesia masih dianut, seperti dituangkan melalui Pasal 3 ayat (1) yang menyatakan bahwa :

“Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan denagn undang-undang”.

Peluang bagi diakuinya peradilan adat kembali tertutup setelah Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 diberlakukan. Walaupun Undang-undang-Undang-undang baru ini secara khusus mengakomodasi penyelesaian perkara di luar pengadilan dalam satu pasal tersendiri, tetapi penyelesaian perkara yang diakui hanyalah alternatif penyelesaian sengketa dan arbitrase. Istilah yang digunakan adalah “sengketa” bukan lagi “perkara” sebagaimana yang digunakan dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Tahun 2004, sehingga tidak sesuai dengan konsep peradilan adat secara utuh, yang berwenang menyelesaikan perkara adat, baik yang bersifat perdata maupun pidana. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam undang-undang yang mengatur kekuasan kehakiman yang berlaku saat ini, tidak ada pengakuan terhadap peradilan adat.

Pengakuan terhadap keberadaan peradilan adat datang dari Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, suatu undang-undang yang hanya berlaku lokal di wilayah Papua. Undang-undang itu sendiri merupakan turunan dari Pasal 18 UUD 1945 yang mengatur pemerintahan daerah, dan Romawi III pasal 1 Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000 berkaitan dengan rekomendasi Majelis Permusyawaratan Rakyat ditujukan kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat agar ditindaklanjuti agar secepatnya merampungkan Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi

Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya, sesuai amanat Ketetapan Majeli Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, agar dikeluarkan selambat-lambatnya 1 Mei 2001 dengan memperhatikan aspirasi masyarakat daerah yang bersangkutan.

Pengakuan terhadap peradilan adat ditegaskan secara ekplisit dalam Pasal 50 undang-undang tersebut, yang menyatakan:

(1) Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Badan Peradilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Di samping kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan tiga hal. Pertama, bahwa dalam undang-undang yang mengatur kekuasaan kehakiman yang kini berlaku eksistensi peradilan adat tidak diakui; Kedua, saat ini terjadi inkonsistensi dalam peraturan perundang-undangan RI pada level undang-undang terkait dengan pengakuan terhadap peradilan adat. Di satu sisi, peradilan adat diakui dalam undang-undang yang berlaku lokal, sedangkan dalam undang-undang kekuasaan kehakiman yang berlaku secara nasional, peradilan adat tidak mendapatkan pengakuan. Yang ketiga, dengan begitu, arahan politik hukum pengakuan peradilan adat yang diamanatkan dalam konstitusi (UUD 1945) belum dijabarkan secara konsisten dalam realita peraturan perundang-undangan Republik Indonesia pada level undang-undang.

a. Perbandingan Peradilan Umum dan Peradilan Adat dalam Sistem Hukum di Indonesia

No Keterangan Peradilan Adat Peradilan Umum

1

Peraturan Perudang-Undangan

Pasal 18B Ayat (2) UUD1945, Pasal 50 dan 51 Undang- Undang No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi, Peraturan Khusus Propinsi Papua Nomor 20 Tahun 2008

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009

Dalam dokumen T1 312008033 BAB III (Halaman 32-38)

Dokumen terkait