• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 312008033 BAB III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 312008033 BAB III"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

Dalam bagian ini akan dikemukan tentang hasil penelitian yang penulis peroleh disertai dengan analisis guna menjawab rumusan masalah yagn telah dibuat. Hasil penelitan ini dan analisis tersebut disusun mengacu pada konsep-konsep yang telah dituangkan pada BAB II, dan data Bab III ini diperoleh wawancara dengan pemangku jabatan di Dewan Adat Biak, dan sumber-sumber lainnya yang kemudian dianalisis berdasarkan keilmuan hukum yang didapat dari hukum adat yang berlaku di daerah setempat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta artikel-artikel atau buku-buku yang menunjang penulisan skripsi ini,

A. Hasil Peneltian

1. Gambaran Umum Daerah Penelitian

Kabupaten Biak Numfor terdiri dari 2 (dua) pulau kecil, yaitu Pulau Biak dan Pulau Numfor serta lebih dari 42 pulau sangat kecil, termasuk Kepulauan Padaido yang menjadi primadona pengembangan kegiatan dari berbagai pihak. Luas keseluruhan Kabupaten Biak Numfor adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1

Kabupaten Biak Numfor terletak di Teluk Cenderawasih pada titik 0°21'-1°31' LS, 134°47'-136°48' BT dengan ketinggian 0 - 1.000 meter di atas permukaan laut.Kabupaten ini merupakan gugusan pulau yang berada di sebelah utara daratan Papua dan berseberangan langsung dengan

1

(2)

Samudera Pasifik. Posisi ini menjadikan Kabupaten Biak Numfor sebagai salah satu tempat yang strategis dan penting untuk berhubungan dengan dunia luar terutama negara-negara di kawasan Pasifik, Australia atau Filipina. Letak geografis ini memberikan kenyataan bahwa posisinya sangat strategis untuk membangun kawasan industri, termasuk industri pariwisata.

Berdasarkan hasil pencatatan Stasiun Meteorologi Kelas I Frans

Kaisiepo Biak pada tahun 2011 dilaporkan bahwa suhu udara rata‐rata di

wilayah Kabupaten Biak Numfor adalah 27,1 C dengan kelembaban udara rata‐rata 86,3%, sehingga dapat disimpulkan bahwa daerah Kabupaten

Biak Numfor termasuk kategori panas

2. Asal Usul Masyarakat Biak

Pada waktu pemerintah Belanda berkuasa di daerah Papua hingga awal tahun 1960-an nama yang dipakai untuk menamakan Kepulauan Biak-Numfor adalah Schouten Eilanden, menurut nama orang Eropa pertama berkebangsaan Belanda, yang mengunjungi daerah ini pada awal abad ke 17. Nama-nama lain yang sering dijumpai dalam laporan-laporan tua untuk penduduk dan daerah kepuluan ini adalah Numfor atau Wiak. Fonem “w” pada

kata wiak sebenarnya berasal dari fonem “v” yang kemudian berubah menjadi

(3)

terakhir itulah kemudian digabungkan menjadi satu nama yaitu Biak-Numfor, dengan tanda garis mendatar di antara dua kata itu sebagai tanda penghubung antara dua kata tersebut, yang dipakai secara resmi untuk menamakan daerah dan penduduk yang mendiami pulau-pulau yang terletak di sebelah utara Teluk Cenderawasih itu.2

Asal-usul nama serta arti kata tersebut ada beberapa pendapat. Pertama ialah bahwa nama Biak yang berasal dari kata “v” iak itu yang pada mulanya

merupakan suatu kata yang dipakai untuk menamakan penduduk yang bertempat tinggal di daerah pedalaman pulau-pulau tersebut. Kata tersebut mengandung “pengertian orang-orang yang tinggal di dalam hutan”, “orang -orang yang tidak pandai kelautan”, seperti misalnya tidak cakap menangkap

ikan di laut, tidak pandai berlayar di laut dan menyeberangi lautan yang luas dan lain-lain. Nama tersebut diberikan oleh penduduk pesisir pulau-pulau itu yang memang mempunyai kemahiran tinggi dalam hal-hal kelautan. Sungguhpun nama tersebut pada mulanya mengandung pengertian menghina golongan penduduk tertentu, nama itulah kemudian diterima dan dipakai sebagai nama resmi untuk penduduk dan daerah tersebut.3

2

http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Biak_Numfor download Kamis, 22 Mei 2014, Jam 20: 45

3

(4)

Pendapat lain, berasal dari keterangan cerita lisan rakyat berupa mite, yang menceritakan bahwa nama itu berasal dari warga klen Burdam yang meninggalkan Pulau Biak akibat pertengkaran mereka dengan warga klen Mandowen. Menurut mite itu, warga klen Burdam memutuskan berangkat meninggalkan Pulau Warmambo (nama asli Pulau Biak) untuk menetap di suatu tempat yang letaknya jauh sehingga Pulau Warmambo hilang dari pandangan mata. Demikianlah mereka berangkat, tetapi setiap kali mereka menoleh ke belakang mereka melihat Pulau Warmambo nampak di atas permukaan laut. Keadaan ini menyebabkan mereka berkata, v`iak wer`, atau `v`iak`, artinya ia muncul lagi. Kata v`iak inilah yang kemudian dipakai oleh mereka yang pergi untuk menamakan Pulau Warmambo dan hingga sekarang nama itulah yang tetap dipakai.4

Kata Biak secara resmi dipakai sebagai nama untuk menyebut daerah dan penduduknya yaitu pada saat dibentuknya lembaga Kainkain Karkara Biak

pada tahun 1947.5 Lembaga tersebut merupakan pengembangan dari lembaga adat kainkain karkara mnu yaitu suatu lembaga adat yang mempunyai fungsi mengatur kehidupan bersama dalam suatu komnunitas yang disebut mnu atau kampung. Penjelasan lebih luas tentang kedua lembaga itu diberikan pada pokok yang membicarakan organisasi kepemimpinan di bawah.

4 Kamma 1978:29-33

5

(5)

Nama Numfor berasal dari nama pulau dan golongan penduduk asli Pulau Numfor. Penggabungan nama Biak dan Numfor menjadi satu nama dan pemakaiannya secara resmi terjadi pada saat terbentuknya lembaga dewan daerah di Kepulauan Schouten yang diberi nama Dewan daerah Biak-Numfor pada tahun 1959.6

Biak-Numfor untuk menyebut daerah geografisnya dan daerah administrasi pemerintahannya. Nama Biak digunakan untuk menyebut bahasa dan orang yang memeluk kebudayaan Biak yang bertempat tinggal di daerah Kepulauan Biak-Numfor sendiri maupun yang bertempat tinggal di daerah-daerah perantauan yang terletak di luar kepulauan tersebut.

3. Bentuk Pemerintahan

6

(6)

Bentuk Pemerintahan Biak sebelum dan setelah bersama Indonesia antara lain sebagai berikut7 :

Sejarah Periode Tahun 1526 – 1616

Pada tahun 1526 Gubernur Portugis untuk Ternate Jorge de Menezes berangkat dari Malaka menuju Ternate. Disebabkan badai, kapalnya terdampar di Warsa Biak Utara. Selama 6 bulan ia tinggal di Warsa (Desember 1526 - Mei 1527) menunggu cuaca yang baik dan di bulan Mei 1527 ia berangkat meninggalkan Biak serta tiba di Ternate 31 Mei 1527.

a. Periode Tahun 1616 – 1919

Pada tahun 1616 Jacob Le Maire dan Willem Cornelizs Schoten yang berlayar melewati Kepualauan Biak Numfor sehingga untuk pertama kali disebut Schouten Eilanden.Pada periode ini juga tepatnya tanggal 26 April 1908 Pendeta F.J.F Fan Hasselt membuka Pos Zending pertama di Maudori dengan menempatkan Guru Petrus Kafiar putra asli Maudori (Biak) yang menjadi Guru Injil pertama di Irian Jaya, kemudian tempat ini diusahakan pedagang Belanda (VOC) kerja sama dengan pedagang Cina sebagai tempat pelabuhan Kapal Dagang VOC.

7 http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/kabupaten/id/91/name/papua/detail/9106/biak-numfor

(7)

b. Periode Tahun 1919 – 1945

Periode ini kedudukan Anggraidi (Paray) sebagai pusat perdagangan dan pemerintahan dipindahkan ke Bosnik sebagai pusat perdagangan dan pemerintahan yang baru. Selanjutnya Bosnik merupakan ibukota pertama daerah Biak Numfor hingga tahun 1945. Pada Bulan April 1942 pecah Perang Dunia II.

Sebagai puncaknya tanggal 22 April 1944 tentara Sekutu merebut kembali Hollandia (Jayapura) di bawah pimpinan Jenderal Douglas Mc Arthur dan mendarat di Biak pada tanggal 27 Mei 1944.

c. Periode 1945 – 1962

Dengan kemenangan Sekutu (1944 - 1945) kekuatan pada waktu itu berada di tangan NICA (Netherlandsch Indies Civil Administration). Setelah kekuasaan Sekutu berakhir daerah ini diserahkan kembali pada Pemerintahan Hindia Belanda.

(8)

Nicakamp (Yendidori)8, maka pada tahun 1946 ibukota dipindahkan ke Nicakamp. Tahun 1953 ibukota dipindahkan ke Biak sebagai ibukota Order Afdeling Schouten Eilanden.

d. Periode 1963 – Sekarang

Berdasarkan resolusi yang diterima oleh PBB pihak Belanda menyerahkan Irian Barat (Nederland New Guinea) pada UNTEA

(United Nation Temporary Executive Authority) pada tanggal 1 Oktober 1962. Selanjutnya UNTEA menyerahkannya kepada Indonesia. Pada tanggal 1 Mei 1963 jam 12.30 WIT, diadakan upacara penyerahan Irian Barat dari UNTEA epada Pemerintah RI di depan Kantor Order Afdeling Schouten Eilanden yang ditandai dengan penurunan bendara UNTEA digantikan dengan pengibaran Bendera Merah Putih. Pada saat yang sama penggantian peredaran uang Golden dengan Rupiah Irian Barat (IBRP) dengan dibukanya peti uang IBRP oleh Lukas Rumkorem. Tonggak sejarah lain dalam peristiwa penyerahan kedaulatan ini adalah penanaman Pohon Beringin di depan Kantor Order Afdeling Schouten Eilanden tepatnya di Lapangan Mandala Biak oleh HPB (Hoofd Plaatselijk Bestuur) atau Kepala Pemerintahan Setempat Arnold Mampioperr. Arnold Mampioperr putera Indonesia kelahiran Biak

8

Nama “Nicakamp” diperkirakan berasal dari penyebutan local atas “NICA Camp” yang adalah kamp pasukan

(9)

adalah HPB pertama di saat kedaulatan UNTEA ke Republik Indonesia yang pada waktu itu juga menjabat sebagai Ketua Dewan Daerah Biak. Dalam perkembangan selanjutnya berdasarkan UU No.12 Tahun 1969 maka sampai dengan tahun 1984 kabupaten Biak Numfor sekarang bernama Kabupaten Teluk Cenderawasih sebagai salah satu kabupaten yang masih itu masih membawahi daerah Yapen waropen dan sebagaian daeran Paniai.

Nama Kabupaten Teluk Cenderawasih pada tahun 184 diubah dengan sebutan Kabupaten Biak Numfor berdasarkan SK Bupati Biak Numfor Nomor 61 SK/VII/1984 tanggal 26 Juli1984.

4. Kedudukan Hukum Adat

Konstitusi sebelum amandemen tidak secara tegas menunjukkan kepada kita pengakuan dan pemakaian istilah hukum adat. Setelah amandemen konstitusi, hukum adat diakui sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan :

Negara mengakui hukum adat dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Berdasarkan pada apa yang telah dikemukakan diatas maka penulis ingin melakukan penulisan skripsi ini dengan memberikan judul, ”Eksistensi Hukum

Adat melalui Peran Peradilan Adat di Kabupaten Biak Numfor”, dengan

(10)

mengadakan penelitian-penelitian untuk mengukap beberapa hal yang dipandang penting untuk menjadikannya sebagai hukum tertulis.

Memahami rumusan Pasal 18B UUD 1945 tersebut maka antara lain :

a. Konstitusi menjamin kesatuan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya ;

b. Jaminan konstitusi sepanjang hukum adat itu masih hidup; c. Sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan

d. Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. e. Diatur dalam undang-undang

Dengan demikian konsistusi ini, memberikan jaminan pengakuan dan penghormatan hukum adat bila memenuhi syarat:

a. Syarat Realitas, yaitu hukum adat masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat

b. Syarat Idealitas, yaitu sesuai dengan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, dan keberlakuan diatur dalam undang-undang. Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “Identitas budaya dan

hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Antara Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) pada prinsipnya

(11)

penghormatan terhadap identitas budaya dan hak masyarakat tradisional

(indigeneous people).

Dikuatkan dalam ketentuan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 6 ayat 1 dan ayat 2 yang berbunyi :

(1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum dapat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan pemerintah.

(2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.

Sebagaimana Penjelasan UU No. 39 Tahun 1999 (TLN No. 3886) Pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa hak adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia dalam masyarakat bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan peraturan perundang-undangan.

(12)

Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011, maka tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai berikut :

1. Undang-undang Dasar 1945

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan 3. Undang-undang/ Perpu

4. Peraturan Pemerintah; 5. Peraturan Presiden 6. Peraturan Daerah Propinsi

7. Peraturan Daerah Kota/ Kabupaten

Hal ini tidak memberikan tempat secara formil hukum adat sebagai sumber hukum perundang-undangan, kecuali hukum adat dalam wujud sebagai hukum adat yang secara formal diakui dalam perundang-undangan, kebiasaan, putusan hakim atau atau pendapat para sarjana.

5. Pengaruh Otonomi Khusus di Papua Terhadap Pengakuan Hukum Adat Otonomi daerah dalam rangka percepatan pelayanan pemerintah guna pencapaian kesejahteraan masyarakat belum bisa berjalan dengan baik karena tidak dibarengi dengan pembangunan sumber daya manusia (SDM) dan pembenahan sistem birokrasi yang efisien. Pemerintah didesak untuk mengeluarkan peraturan pemerintah yang berisi mekanisme inplementasi UU No 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus Papua.

(13)

memperebutkan wilayah kekuasaan. Konflik tradisi berkembang menjadi lebih kompleks sejalan dengan proses depolitisasi elite masyarakat Papua dalam memperebutkan posisi sosial politik. Keterbelakangan pendidikan, kemiskinan, dan kesenjangan antara masyarakat lokal dan pendatang menjadi pemicu konflik baru di Papua. Isu-isu itu menjadi komoditas yang sangat mudah dikelola oleh berbagai pihak, terutama yang berkaitan dalam penguasaan sumber daya alam.

Kompleksitas penanganan konflik yang lamban dan tidak mengena pada akar masalah didalam penyelesaian sengketa didalah hukum adat menurut masyarakat adat di Kabupaten Biak Numfor sendiri adalah undang-undang Tuhan, yang menurut mereka diwariskan Tuhan kepada mereka dan dipercayai turun-temurun hingga saat ini adalah salah satu kepercayaan masyarakat adat asli Kabupaten Biak Numfor. Ketika kita berbicara tentang adat maka kita berbicara tentang Undang-Undang Tuhan, tampaknya hal ini turut dipengaruhi oleh percampuran antara adat dengan kepercayaan agama Kristen yang masuk di Biak sejak tahun 1908.9

Menurut narasumber, dalam kitab umat kristiani (Perjanjian Lama) semua tertulis bahwa apa yang ditulis menjadi bagian yang sakral dimana perjanjian lama memuat tentang aturan-aturan adat yang harus dan patut ditaati karena itu adalah Undang-Undang Tuhan contoh dari Kitab Kejadian-Wahyu banyak sekali yang menulis tentang adat itu sendiri, narasumber juga mengungkapkan bahwa kalau yang menjadi bagian dari aturan sanksi hukum adat disampaikan dari awal mulanya manusia orang Papua atau orang Biak itu berada, maka itu di pakai

9

(14)

sebagai aturan hukum, bagi siapa pelanggar hukum maka akan di berikan sanksi adat.10 (dalam hal ini dikatakan bahwa Hukum Tuhan didalam perjanjian lama dan perjanjian baru adalah bagian yang memuat segala aturan yang menjadi kontrol agar manusia tidak melakukan pelanggaran yang dapat merugikan orang lain, dan ini menjadi bagian aturan-aturan adat yang apabila ada masyarakat adat dalam hal ini masyarakat Kabupaten Biak yang melangggar maka dia akan dikenakan sanksi adat.

Selama ini sanksi adat di Kabupaten Biak Numfor sudah berjalan hal ini terlihat dengan sanksi adat yang diberikan dalam beberapa kasus yang menyangkut pembunuhan, perzinahan dan pelanggaran norma-norma adat. Itu semua merujuk pada sanksi hukum adat. Hasil wawancara dengan narasumber juga terungkap bahwa masyarakat memilih menyelesaikan masalah dengan hukum adat dikarenakan ada beberapa alasan yakni faktor keterbukaan dalam penyelesaian sengketa, faktor kendala bahasa, faktor waktu dan tempat, faktor kepastian dalam ganti rugi, dan faktor sosial budaya.11

a. Dasar-dasar terbentuknya Dewan Adat atau Peradilan Adat

Hukum adat telah lama berlaku sebagai satu-satunya sumber hukum bagi masyarakat adat di Biak. Pada saat itu belum ada lembaga pemerintah

10

Wawancara : Bpk.Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak

11

(15)

yang mewadahi atau mengakomodir permasalahan-permasalahan adat serta tugas dan wewenang hakim adat yang telah dilantik sejak tahun 1950.

Kemudian pada tahun 2000 Dewan Adat Papua di Jayapura membentuk dewan adat Biak Numfor dengan tujuan untuk mewadahi dan mengakomodir permasalahan-permasalahan adat.

UU No. 21 Tahun 2001 BAB 14 pasal 50 ayat 1 dan 2 telah mengatur dan mengakomodir fungsi tugas peradilan adat yang dipakai sebagai acuan dasar untuk bekerja sesuai dengan peraturan, kewenangan sepenuhnya kepada peradilan adat untuk mengadili seseorang baik itu dari suku-suku asli maupun suku lain atau suku pendatang di Kabupaten Biak Numfor, jadi apabila ada masalah adat yang terjadi pada suku asli di Biak dan datang kepada dewan adat maka dewan adat akan menyelesaikan masalah berdasarkan aturan adat yang berlaku.

Sejak tahun 1950 telah disahkan peraturan adat KKB (Kankain Karkara Byak). Penelitian dokumentasi oleh Rapat Kerja Dewan Adat Biak pada tahun 12-14 November 2002 menemukan adanya pengangkatan hakim-hakim adat dan para kepala kampung pada tahun 1950 di wilayah Biak untuk wilayah Biak Selatan. Dokumen-dokumen putusan pengadilan adat juga telah tercatat sejak tahun 1953. Dalam dokumen KKB juga sudah tertera secara eksplisit hakim-hakim/anggota-anggota Kankain Kakara District pada tahun 1950. Adapun nama hakim-hakim tersebut sebagai berikut:

(16)

2. Willem Masosendifu (Kepala Seksi Yadibur)

3. Utrek Wompere (Kepala Sekolah Opyaref)

4. Paulus Morin (Kepala Kampung Mamoribo)

5. Yakob Ap (Kepala Kampung Swaipak)

6. Alexander Mansoben (Kepala Kampung Mansoben di Asbik)

7. Charles Morin (Kepala Kampung Wundi)

8. Yakob Mandibondibo (Kepala Kampung Sorido IV)

9. Hendrik Yarangga (Kepada Kampung Samber)

10.Hendrik Rumaropen (Kepala Kampung Ambroben)

11.Yakob Kafiar (Kepala Seksi Mokmer)

12.Hendrik Siambiak (Kepala Kampung Mokmer).12

b. Sanksi Hukum Adat

Sebagai ketentuan hukum dalam memvonis segala pelanggaran hukum yang ada, dewan adat juga merujuk pada keputusan KKB ada orang-orang tua dulu pada tahun 1950an sudah membuat keputusan KKB tersebut.

Menurut narasumber, “Dalam KKB telah dijabarkan secara rinci

sanksi hukum adat bagi pelanggar-pelanggar hukum adat di Kabupaten

12

(17)

Biak Numfor yang dapat dipegang sebagai dasar untuk mengambil keputusan dalam menyelesaikan sengketa adat seperti pembunuhan, perzinahan, sengketa tanah, pelanggaran norma adat, lakalantas, dll”13

Daftar sanksi tersebut dari Kankain Karkara Byak sebagai berikut:

Pasal 1

Bilamana ada seorang menjuruh seorang lain untuk memanjat kelapa dan lain-lain akhirya jatuh dan itu mati, maka menurut hukum adat orang biak maka yang menyuruh orang itu naik kelapa hingga jatuh mati, wajib membayar denda babiak 200 barang.

Pasal 2

Bila mana orang itu jatuh hingga luka parah atau tulang kakinya patah pendek kata salah sebuah anggota tubuhnya luka parah dan akhirnya sembuh, akan tetapi ia sendiri tak mampu mencari penghidupannya untuk rumah tangganya, maka ia dikenakan babiak setinggi-tingginya 100 barang campur (papus barbaren).

Pasal 3

Bilamana orang itu jatuh hingga luka parah atau tulangnya patah, akan tetapi kemudian sembuh dan ia dapat melakukan pekerjaannya lagi maka ia harus membayar dan setinggi-tingginya 50 barang campur ( papus barbaren).

Pasal 6 Bagian:

1. “Sasmerbin atau Samarmerbin”. Bila mana seorang perempuan kawin dengan keridla hatinya dilarikan oleh aki-laki lain maka segala mas kawinnya dikembalikan. (Bim befarbuk kwar boi snon bese duni ma byuki: Irya ararem ro snon byuk beponya, kyabri kayem)

2. Bila mana perempuan tersebut karena perbuatan lakinya tidak baik, dilarikan laki-laki lain maka maskawinnya tidak dikembalikan. (Bim befarbuk kwar ine, bur ra fyarbuk

13

(18)

bese/byuk snon babo, snar snon byuk beponya kenenm byedi bye Irya araren snon byuk beponya kyaber ba)

3. Bila mana anak perempuan bujang dilarikan oleh seorang laki-laki maka dendanya dijatuhkan kepada laki-laki-laki-laki setinggi-tingginya 50(lima puluh) robena atau papus. (Imboi inai ingbor ro snon I duni, Irya babyak parkara ya dado fa snon beyuni ya isoine babyak babaya 50 robena ma papus)

4. Bila mana anak seorang anak perempuan balu dilarikan oleh seorang laki-laki, maka dendanja dijatuhkan kepada laki-laki tersebut per setinggi 30 robena atau papus. (Bim kabong snon ya

duni’fa byuki;Irya babyak ya baba byedya bye 30 robena ma

papus)

Pasal 7 Bagian:

1. Bilamana seorang perempuan kawin, lari dari lakinya maka segala maskawin dikembalikan. (Bin befarbuk ibur swari:Irya ararem snoni byuk darmu. Bin ine kyab’ri kayem be snon iburya)

2. Bila mana seorang perempuan tersebut lari dari lakinya karena perbuatan lakinya tidak baik, maka maskawin tidak dikembalikan. (Bin ibur snon byuk ya snar kenem snon byuk ya. Ibyeba:Irya ararem snoni byuk darmi ya kyaberba)

3. Bila mana seorang perempuan bujang atau perempuan balu lari dari kaum keluarganya akan membuktikan keridlaan hatinya maka dalam hal ini “Babiak Mamia” tidak berlaku. (Inai igbor syae ma ibur simam byesya fa dun snon kabor imarisem ya ma subuk su : Irya babyak mamiyai oba)

(19)

variasi nilai sangsi adat berdasarkan masing-masing wilayah adat. Lembaga ini tetap hidup bahkan sampai saat ini. 14

c. Penyelesaian Sengketa Adat

Sengketa adat dibedakan menjadi dua yakni antar lain :  Sengketa adat pidana : pembunuhan, pencurian,

 Sengketa adat perdata : pelanggran hak-hak dasar, norma adat, dan

lain-lain.

Proses penyelesain sengketa juga perlu melihat KKB yang mengatur penyelesain sengketa dimana nantinya ada pelaku dan korban atau orang – orang yang bersengketa didalam persidangan yang akan dipimpin oleh hakim yakni kepala suku untuk menyelesaikan perkara dan hakim akan mengambil keputusan dan harus dipatuhi oleh kedua belah pihak.15

d. Hakim Adat

Sanksi hukum adat yang dimaksud di atas keputusannya ditetapkan oleh hakim adat. Hakim adat adalah seseorang yang dipercaya dan ditunjuk langsung oleh masyarakat wilayah hukum adat tetentu menjadi mananwir atau kepala suku. Hakim dalam peradilan adat sebagai pengambil keputusan tidak

14

Wawancara : Bpk.Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak.

15

(20)

dibedakan atau tidak ada perbedaan antara hakim untuk keputusan sengketa pidana maupun sengketa perdata.16

Dalam proses peyelesaian sengketa adat hakim dituntut bijaksana untuk menyelesaikan sengketa adat yang sedang diproses, ada 2 bagian penting yang menjadi inti bagi seorang hakim adat yaitu :

(1) harus menegakkan hukum siapa pun pelanggar hukum maka wajib dihukum.

(2) mengangkat harkat dan martabat serta hak asasi seseorang.

Hakim dalam membuat keputusan harus melihat status ekonomi apakah orang yang dihukum statusnya mampu atau tidak, kalau tidak mampu maka masih bisa diberikan kelonggaran mengingat hakim harus menghargai hak asasi seseorang.17

Aturan-aturan yang mempertegas kedudukan peradilan adat selain Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang No 21 Tahun 2001 kemudian bisa dilihat pada Perdasus No.20 Tahun 2008 baik asas, tujuan, kedudukan, tugas, fungsi, dan wewenang dari peradilan adat di Papua pada khsususnya di Kabupaten Biak Numfor yakni :

ASAS DAN TUJUAN Pasal 2

Peradilan adat di Papua berasaskan : a. kekeluargaan;

16

Wawancara : Bpk.Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak.

17

(21)

b. musyawarah dan mufakat; dan

c. peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Pasal 3

Peradilan adat di Papua bertujuan :

a. sebagai wujud pengakuan pemerintah terhadap keberadaan,

perlindungan,penghormatan dan pemberdayaan terhadap masyarakat adat Papua dan bukan Papua

b. memperkokoh kedudukan peradilan adat;

c. menjamin kepastian hukum, kemanfaatan, keadilan; d. menjaga harmonisasi dan keseimbangan kosmos; dan e. membantu pemerintah dalam penegakan hukum.

Kedudukan Peradilan Adat

Pasal 4

Peradilan adat bukan bagian dari peradilan negara, melainkan lembaga peradilan masyarakat adat Papua.

Tempat Kedudukan Pengadilan Adat

Pasal 5

(1) Pengadilan adat berkedudukan di lingkungan masyarakat adat di Papua. (2) Lingkungan masyarakat adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu masyarakatadat berdasarkan sistem kepemimpinan keondoafian, sistem kepemimpinan raja, sistem kepemimpinan pria berwibawa, dan sistem kepemimpinan campuran.

Tugas Pasal 6

Pengadilan adat bertugas menerima dan mengurus perkara perdata adat dan perkara pidana adat.

Fungsi Pasal 7 Pengadilan adat berfungsi untuk :

a. penyelesaian perkara perdata adat dan perkara pidana adat; dan b. melindungi hak-hak orang asli Papua dan bukan Papua.

Kewenangan Pasal 8

(1) Pengadilan adat berwenang menerima dan mengurus perkara perdata adat dan perkara

pidana adat di antara warga masyarakat adat di Papua.

(22)

perkara yang terjadi antara orang asli Papua dan bukan asli Papua jika ada kesepakatan

di antara para pihak.

(3) Perkara adat yang tidak bisa diselesaikan melalui kewenangan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diselesaikan melalui mekanisme peradilan negara.

(4) Dalam hal salah satu pihak yang bersengketa atau yang berperkara berkeberatan atas

putusan yang telah diambil oleh pengadilan adat yang memeriksanya, pihak yang berkeberatan tersebut dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri. (5) Untuk membebaskan pelaku pidana dari tuntutan pidana menurut ketentuan

hukum

pidana yang berlaku, diperlukan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan dari Ketua

Pengadilan Negeri yang mewilayahinya yang diperoleh melalui Kepala Kejaksaan Negeri

yang bersangkutan dengan tempat terjadi peristiwa pidana.

(6) Dalam hal permintaan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan bagi keputusan pengadilan adat ditolak oleh Pengadilan Negeri, maka kepolisian dan kejaksaan dapat

melakukan penyidikan dan penuntutan, dalam hal ini keputusan pengadilan adat yang

bersangkutan akan dijadikan bahan pertimbangan dalam memutuskan perkara yang

diajukan.

B. Analisis

Berdasarkan hasil penelitian melalui wawancara dengan narasumber, penulis akan menganalisis eksistensi peradilan adat Papua khususnya di Kabupaten Biak. Analisis ini didasarkan pada rumusan masalah yaitu Bagaimana eksistensi peradilan adat di Kabupaten Biak Numfor dalam sistem hukum di Indonesia yakni :

(23)

Ungkapan yang sangat terkenal dalam kajian hukum yang diperkenalkan oleh Tullius Cicero (106-43 SM) Ubi Societas Ibi ius (dimana ada masyarakat disitu ada hukum). Ungkapan itu kemudian dikembangkan dan berlaku juga kepada masyarkat adat “Dimana ada masyarakat adat disitu ada peradilan adat”, karena setiap hukum membutuhkan peradilan. Teori ini juga berlaku di

Kabupaten Biak Numfor berkaitan dengan “dimana ada masyarakat adat disitu

ada peradilan adat “, di Kabupaten Biak Numfor dilingkungan masyarakat

adat ada peradilan adat yang berfungsi untuk menyelesaikan segala bentuk perkara adat baik itu bentuk pidana adat atau perdata adat.

Hukum adat yang merupakan hukum kebiasaan yang mengandung unsur regionalitas menurut Van Vollenhoven berdasarkan konsep atau teori ini juga penulis mengasumsikan bahwa hukum adat di Kabupaten Biak Numfor yang dipakai untuk mengatur masyarakat adat dan merupakan sumber hukum yang kemudian tertulis didalam Kankain Karkara Byak adalah undang-undang Tuhan karna bersumber dari kitab umat kristiani yang berkaitan dengan aturan-aturan adat di Kabupaten Biak Numfor.

a. Alat Perlengkapannya dan Tugasnya Dalam Persekutuan Hukum Adat

(24)

 Pemerintah adat dalam lingkungan masyarakat adat dalam hal ini

di Kabupaten Biak Numfor, dipimpin oleh Dewan adat atau pemangku adat dalam hal ini ada yang lebih tinggi untuk memimpin masyarakat setempat yakni oleh Kepala suku atau

ondoafi.

 Putusan adat berkaitan dengan pembicaraan masalah perkawinan,

dan dalam rapat atau negosiasi tersebut biasanya pemangku adat atau dewan adat mengatasnamakan keluarga.

 Putusan Peradilan adat Kabupaten Biak Numfor bersifat mengikat

masyarakat lingkungan adat baik untuk masyarakat asli Biak maupun pendatang. Putusan ini berkaitan dengan perkara pidana adat dan perkara perdata adat dilingkungan masyarakat adat di Kabupaten Biak Numfor.

 Pengangkatan Kepala adat di Kabupaten Biak Numfor didasarkan

pada syarat-syarat yang ketat. Para ahli waris mendapatkan prioritas menjadi kepala adat.

b. Delik Adat

(25)

baik berupa barang atau uang untuk memperbaiki pelanggaran tersebut sehingga ada keseimbangan.

Setiap orang yang berada dilingkungan masyarakat adat ada aturan-aturan ada yang mengatur kehidupan kalau di Kabupaten Biak Numfor masyarakat adat sangat mengetahui aturan-aturan adat yang ada pada Kankain Karkara Byak.

Peradilan adat menjadi lembaga yang sangat penting dilingkungan adat dalam menyelesaikan segala perkara adat atau pelanggaran adat dilingkungan masyarakat adat.

2. Analisis Berdasarkan Tata Aturan Perundang-Undangan

Dalam rangka mengatasi keingainan masyarakat Papua yang ingin memisahkan diri dari NKRI, maka Pemerintah memberikan Otsus bagi Provinsi Papua yang dimakasudkan untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahtraan, dan kemajuan masyarakat Papua dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan Propinsi lain.

(26)

Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial dan budaya dan perekonomian masyarakat Papua termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakiladat, agama, dan kaum perempuan. Peran yang diberikan adalah ikut serta dalam merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai keetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat Papua dan pegakuan terhadap eksistensi hak ulayat, masyakarakat adat, dan hukum adat.

Konsep peradilan adat seperti yang dimaksudkan dalam Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 berbeda dengan konsep peradilan adat yang termuat dalam Undang-undang Nomor Nomor 21 Tahun 2001.

3. Perbandingan Undang Darurat No 1 Tahun 1951 dengan Undang-Undang No. 21 Tahun 2001

No Aspek UU Darurat No 1 Tahun 1951 UU No 21 Tahun 2001 1 Keberadaan

Peradilan Adat

Dalam pasal 1 ayat 2 Undang-undang Darurat No. 1 tahun 1951 disebutkan bahwa, pada saat yang berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri Kehakiman, dihapuskan :

a.

b. Segala Pengadilan Adat (Inhemse

Rechtspraak in Rechtstreeks Bestuurd

Kekuasaan Peradilan Adat berdasarkan Pasal 50 ayat (2) yakni :

(1)Kekuasaan kehakiman di

Provinsi Papua

dilaksanakan oleh Badan Peradilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(27)

Gebied) kecuali peradilan Agama, jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian tersendiri dari peradilan Adat. Tetapi menurut pasal 1 ayat 3 UU Darurat ini, Dorpsrechter (Hakim Desa) tetap diperthankan. Peradilan yang dilakukan oleh Hakim Swapraja dan Hakim Adat yang telah dihapuskan itu diteruskan oleh Pengadilan Negeri.

adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu.

.

2 Eksistensi Peradilan Adat

Berdasarkan undang-undang ini, peradilan adat (inheemsche rechtspraak) dihapuskan secara berangsur-angsur oleh pemerintah, namun tetap mengakui eksistensi peradilan desa (dorpjustitie).

Eksestensi Peradilan Adat diakui dalam pasal 50 Undang-Undang Otonomi Khusus hasil

rekomendasi Majelis

(28)

3 Fungsi Peradilan adat dalam Undang-Undang Darurat No 1 Tahun 1951 dihapus tetap diakui fungsi dan wewenangnya didalam kehidupan masyarakat adat.

Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Selanjutnya, dalam ayat-ayat berikutnya ditegaskan bahwa “Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan; .memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana...berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan”.

Dengan demikian, konsep peradilan adat yang dimaksudkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 lebih mendekati konsep peradilan desa, yaitu sistem peradilan yang diselenggarakan oleh hakim-hakim dalam masyarakat kecil-kecil (hakim desa) yang pada jaman Hindia Belanda diakui berdasarkan Pasal 3ª RO dan hingga kini secara yuridis belum pernah dihapuskan.18

18

(29)

Berdasarkan penjelasan di atas, penggunaan istilah “peradilan adat” dalam

makna sebagai peradilan pribumi yang merupakan terjemahan inheemsche rechtspraak, sungguh tidak tepat dan tidak relevan lagi, sebab peradilan khusus bagi penduduk asli Indonesia tidak diperlukan lagi karena tidak ada lagi perbedaan penggolongan penduduk berdasarkan keturunan. Di samping itu, peradilan adat sebagai terjemahan inheemsche rechtspraak secara yuridis sudah dihapus melalui Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Agar istilah “peradilan adat” tetap dapat digunakan tanpa menimbulkan kerancuan dengan

istilah “peradilan adat” yang disebutkan dalam Undang-undang Darurat Nomor 1

Tahun 1951, maka harus ada persamaan persepsi mengenai konsep peradilan adat dengan mengacu kepada konsep peradilan adat yang dianut dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001. Konsep ini dapat dijadikan acuan karena dapat mewakili konsep peradilan adat yang masih hidup dan dipraktekkan dalam masyarakat Indonesia saat ini. Dengan kata lain Undang-Undang No 21 Tahun 2001 memberikan makna baru terhadap lembaga peradilan di Papua saat ini.

Konsep ini sesuai pula dengan definisi peradilan adat yang dikembangkan oleh Hedar Laujeng yang menyatakan bahwa peradilan adat adalah “sistem peradilan yang lahir, berkembang dan dipraktikkan oleh komunitas-komunitas masyarakat hukum adat di Indonesia, dengan berdasarkan hukum adat, di mana peradilan itu bukan merupakan bagian dari sistem peradilan negara”19

.

Dengan menekankan pada batasan bahwa peradilan adat adalah sistem peradilan dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, maka peradilan adat

19

(30)

mempunyai landasan konstitusional, yaitu diakui berdasarkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Seperti dikatakan oleh Mahfud MD, pengakuan terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 juga mengandung makna sebagai pengakuan terhadap struktur dan tata pemerintahan yang dibentuk berdasarkan norma hukum tata negara adat setempat20.

Peradilan adat merupakan pranata atau perangkat hukum adat yang keberadaannya merupakan prasyarat bagi eksistensi kesatuan masyarakat hukum adat setempat21, sehingga termasuk sebagai entitas yang mendapat pengakuan dan penghormatan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.

Dengan demikian dapat ditegaskan konsep peradilan adat yang dianut dalam kajian ini, yaitu suatu sistem peradilan berdasarkan hukum adat, yang hidup dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, berwenang mengadili perkara-perkara adat antara warga yang terjadi di lingkungan kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Perkara-perkara adat yang diselesaikan peradilan adat meliputi sengketa maupun pelanggaran hukum adat. Struktur, mekanisme, dan hukum yang digunakan oleh peradilan adat dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara adalah berdasarkan pada hukum adat setempat, sehingga mustahil dirumuskan secara seragam mengenai struktur dan mekanisme peradilan adat yang hidup

20 Moh. Mahfud MD., “Revitalisasi Masyarakat Hukum Adat dalam Kerangka UUD 1945 Menyongsong

Globalisasi”, Makalah pada acara Seminar Awig-awig II dengan tema: „Pemberdayaan Awig-awig Desa

Pakraman di Bali dalam Mewujudkan Masyarakat Adat Yang Sejahtera”, Bali: 30 September 2010, hlm 4-6.

21

(31)

dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang jumlahnya ribuan di seluruh wilayah Indonesia.

Penting ditegaskan, peradilan adat yang dimaksudkan di sini bukanlah bagian dari sistem peradilan Negara dan bukan pula kelanjutan atau bentuk baru dari peradilan adat sebagai terjemahan dari inheemsche rechtspraak yang dikenal pada jaman Pemerintahan Hindia Belanda dan telah dihapuskan melalui Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Dengan begitu, keberadaan peradilan adat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dewasa ini adalah suatu fakta pluralisme hukum22, ini merupakan kondisi dimana sebelum lahirnya Undang-Undang No 21 Tahun 2001 namun dengan demikian dapat dilihat bahwa meskipun bukan bagian dari sistem peradilan negara tetapi hidup dan diakui oleh masyarakat ini disebabkan dalam wilayah kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat itu, di samping berlaku peradilan formal berdasarkan hukum negara, juga berlaku sistem peradilan berdasarkan hukum adat yang majemuk.

Untuk selanjutnya peradilan adat yang jika menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1951 bukan bagian dari peradilan negara atau memperoleh pengakuan dari negara dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2008 dan peradilan ini berarti Undang-Undang No 21 dan Perdasus telah mengakui fakta pluralisme hukum tersebut dan diterima sebagai bagian dari sistem peradilan negara. Dengan demikian dapat digambarkan dalam bentuk hirarki peraturan perundang-undangan

22 Menurut John Griffiths, pluralisme hukum adalah kondisi di mana ada lebih dari satu tertib hukum yang berlaku

(32)

berkaitan dengan kedudukan peradilan adat dalam sistem peradilan di Indonesia yakni :

a. Gambar Piramida : kedudukan peradilan adat dalam sistem peradilan di Indonesia berdasar hirarki peraturan perundang-undangan

4. Kedudukan Peradilan adat di Kabupaten Biak dalam sistem hukum Indonesia

Kedudukan Peradilan Adat di Papua khususnya dalam hal ini di Kabupaten Biak dapat dilihat dari budaya hukum yang bersumber dari aturan-aturan adat yang hidup dari sejak zaman dulu hingga sekarang dan menjadi bagian

UUD 1945

Pasal 18B Ayat (2)

TAP MPR

Romawi III Pasal 1 Ketetapan MPR

Nomor

UNDANG-UNDANG

Undang-Undang No 21 Tahun 2001

PERATURAN DAERAH

(33)

hukum yang mengatur cara hidup masyarakat kabupaten biak diluar hukum positif yang sifatnya nasional dalam sistem hukum Indonesia.

Sebelum menganalisis kedudukan peradilan adat sebaiknya mengetahui dan memahami terlebih dahulu bahwa kedudukan peradilan adat di Papua khsususnya di Kabupaten Biak yang bersumber dari aturan-aturan adat tersebut, dan Hukum adat keberadaanya diakui didalam walaupun hukum adat merupakan sumber hukum yang tidak tertulis karena berasal dari adat kebiasaan masyarakat, akan tetapi kebaradaanya sebagai sumber hukum positif sudah diakui oleh Negara dalam 23Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 yang berbunyi : “pemerintah memajukan kebudayaan Nasional”, maksud dari memajukan kebudayaan nasional

adalah bahwa simbol-simbol atau jaringan makna yang dipintalnya sendiri (termasuk didalamnya hukum adat) diakui eksistensinya sebagai budaya bangsa yang prospeknya menjamin dan meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Seperti diketahui bersama bahwa pada kenyataannya di Indonesia umumnya warga masyarakat didaerah pedesaan dalam hal ini di kabupaten Biak, masih tunduk dan taat pada aturan hukum adat sebagai pedoman dalam bersikap dan bertingkah laku serta berinteraksi dengan sesama. Pada dasarnya hukum adat di Kabupaten Biak merupakan hukum yang tumbuh dan berkembang dalam suatu komunitas masyarakat dimana masyarakat itu sendiri yang menganut serta menaatinya. Yang tidak kalah penting untuk mendapat perhatian adalah bahwa hukum adat bagi masyarakat Papua khsususnya di Kabupaten Biak hukum adat

23

(34)

merupakan faktor penentu dalam mempersatukan seluruh anggota masyarakat, baik dari segi lahiriah maupun non lahiriah dalam konteks hukum adat.

Hukum adat di Kabupaten Biak biasa disebut Kankai Karkara Byak ini menjadi acuan atau aturan bagi masyakarat kabupaten dalam menjalani kehidupan diluar hukum yang berlaku secara nasional. Kedudukan Peradilan Adat khsususnya di Kabupaten Biak mendapat pengakuan secara hukum dalam Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang memberikan kesempatan kepada lembaga hukum lain yang berkaitan dengan kekuasaaan hukum lain diluar lingkungan peradilan umum, peradilan militer, peradilan tata usaha negara dan mahkamah konstitusi dalam hal ini peradilan adat Kabupaten Biak, dan Pasal 50 dan 51 Undang- Undang No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua dan Pasal 4 Perdasus Papua No. 20 Tahun 2008 menjelaskan kekuasaan peradilan mengakui fungsi dan kedudukan peradilan adat diluar Badan Peradilan lain atau Peradilan Adat dalam menyelesaikan sengketa adat atau perkara-perkara pindana adat atau perdara adat.

(35)

masyarakat adat papua atau masyarakat kabupaten biak tidak untuk daerah lain di Indonesia.

Peradilan Adat Kabupaten Biak berdasarkan hasil wawancara Bapak Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak24 mengatakan bahwa “peradilan adat di Kabupaten Biak memiliki wewenang dalam

penyelesaian sengketa pidana adat dan perdata adat” berdasarkan Pasal 8

Perdasus No 20 Tahun 2008, dalam hal ini berkaitan dengan hasil wawancara penulis menganalisis yang mana berkaitan wewenang kekuasaan kehakiman, peradilan adat secara tidak langsung telah mengambil wewenang peradilan negara ditingkat pertama yakni peradilan umum dalam menyelesaikan perkara pidana dan perdata, atau dapat juga dikatakan bahwa ada lembaga lain yang memiliki wewenang dan kedudukan dalam menyelesaikan perkara pidana dan perdata diluar peradilan negara sebelum peradilan umum ditingkat pertama yakni peradilan adat. Jadi apabila perkara pidana atau perdata yang berkaitan dengan masyarakat adat atau dengan masyararakat diluar adat maka diselesaikan dulu di peradilan adat, dan apabila tidak dapat diselesaikan oleh peradilan adat atau masyarakat yang bersengkata tidak puas dengan hasil dari putusan dari peradilan adat dapat diselesaikan peradilan negara atau peradilan umum.

Dengan demikian melihat hasil penelitian terkait peradilan adat di Kabupaten Biak dapat analsis dimulai berlakunya Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Tahun 2004, prinsip peradilan negara sebagai satu-satunya lembaga

24

(36)

peradilan di wilayah Republik Indonesia masih dianut, seperti dituangkan melalui Pasal 3 ayat (1) yang menyatakan bahwa :

“Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan denagn undang-undang”.

Peluang bagi diakuinya peradilan adat kembali tertutup setelah Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 diberlakukan. Walaupun Undang-undang-Undang-undang baru ini secara khusus mengakomodasi penyelesaian perkara di luar pengadilan dalam satu pasal tersendiri, tetapi penyelesaian perkara yang diakui hanyalah alternatif penyelesaian sengketa dan arbitrase. Istilah yang digunakan adalah “sengketa”

bukan lagi “perkara” sebagaimana yang digunakan dalam Undang-undang

Kekuasaan Kehakiman Tahun 2004, sehingga tidak sesuai dengan konsep peradilan adat secara utuh, yang berwenang menyelesaikan perkara adat, baik yang bersifat perdata maupun pidana. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam undang-undang yang mengatur kekuasan kehakiman yang berlaku saat ini, tidak ada pengakuan terhadap peradilan adat.

(37)

Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya, sesuai amanat Ketetapan Majeli Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, agar dikeluarkan selambat-lambatnya 1 Mei 2001 dengan memperhatikan aspirasi masyarakat daerah yang bersangkutan.

Pengakuan terhadap peradilan adat ditegaskan secara ekplisit dalam Pasal 50 undang-undang tersebut, yang menyatakan:

(1) Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Badan Peradilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(38)

a. Perbandingan Peradilan Umum dan Peradilan Adat dalam Sistem Hukum di Indonesia

No Keterangan Peradilan Adat Peradilan Umum

1

Peraturan Perudang-Undangan

Pasal 18B Ayat (2) UUD1945, Pasal 50 dan 51 Undang- Undang No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi, Peraturan Khusus Propinsi Papua Nomor 20 Tahun 2008

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009

2 Pemangku Jabatan

Hakim adalah Manawir atau Kepala Suku di Kabupaten Biak

Hakim

3 Proses Penyelesaian

Proses penyelesaian sengketa adat berdasarkan nilai-nilai adat atau kekelurgaan yang berlaku untuk menyelesaikan perkara pidana

atau perdata didalam proses siding yang di pimpin oleh hakim

adat yakni kepala suku.

Proses Penyelesaian pada ada pada proses persidangan dan berdasarkan putusan dengan

melihat tata aturan yang berlaku di tingkat I dan

ditingkat banding di Pengadilan Tinggi dan

Peninjaun Kembali di Mahkamah Agung

4 Sanksi

Sanksi Pidana atau Perdata yang bersifat ganti rugi

Pidana : Kurungan atau penjara dan hukuman mati; Perdata

(39)

5. Faktor- faktor yang membuat masyarkat memilih penyelesaian masalah dengan hukum adat

Berdasarkan hasil penelitian dengan pemangku adat di Kabupaten Biak Numfor berkaitan dengan kencendrungan masyakrat adat di Biak lebih cendrung memilih atau menggunakan hukum adat dalam menyelesaikan berbagai macam kasus pidana dan perdata, ini dikarekan antara lain :

a. Faktor Keterbukaan dalam proses penyelesaian

Berdasarkan hasil penelitian dikatehui bahwa, masyarakat memandang dalam proses penyelesai dengan menggunakan peradilan adat, sanksi dan denda adat tidak hanya dijatuhkan seenaknya saja tetapi berdasarkan fakta. Penerapan hukum adat dalam peradilan dat juga disesuaikan dengan hakikat dan tujuan hukum itu sendiri, dimana hukum itu diterapkan untuk menciptakan ketertiban, keadilan serta adanya suasana damai dalam masyarakat.

(40)

b. Faktor kendala bahasa

Masyakarat lebih memahami bahasa hukum adat dibanding dengan bahsa hukum formal ini dikarenakan bahasa hukum adat lebih mudah untuk dimengerti serta sesuai dengan budaya masyarakat di kabupaten Biak Numfor

c. Faktor waktu dan tempat

Masyarakat lebih memilih penyelesaian dengan menggunakan peradilan adat, karena dianggap lebih cepat, dan tidak memakan waktu yang lama, dan untuk Peradilan Adat tempatnya mudah dijangkau oleh mereka yang bersengketa sehingga mereka lebih memilih peradilan adat untuk menyelesaikan sengketa.

d. Faktor kepastian dalam ganti rugi

Adanya kepastian dalam ganti rugi ini yang membuat masyarakat adat di kabupaten biak lebih memilih menyelesaikan masalah dengan menggunakan peradilan adat. Ini berkaitan dengan sanksi adat berupa denda atau ganti rugi. Sanksi berupa denda adat atau ganti rugi itu wajib dipenuhi oleh pelaku kepada pihak korban.

(41)

Masyarakat Adat di Kabupaten Biak lebih memilih penyelesaian sengkata dengan menggunakan peradilan adat dikarenakan di peradilan adat sesuai dengan nilai-nilai budaya yang ada hidup didalam masyarakat, dan sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat kabupaten biak ini dikarenakan adanya budaya hukum yang akan menentukan seseorang itu patuh atau tidak patuh terhadap peraturan adat yang ada.

6. Problematika Peradilan Adat

Persoalan utama yang menghambat peradilan adat menjadi sebuah alternatif sistem penyelesaian sengketa adalah posisinya yang tidak jelas dalam sistem peradilan nasional. Di banyak daerah masyarakat mulai enggan untuk menyelesaikan sengketa diperadilan adat. Biasanya ini disebabkan oleh keraguan atas kekuatan daya berlaku keputusan peradilan adat, karena ketiadaan aparat yang bisa memaksakan penegakannya.

Sejumlah kelemahan yang saat ini ditemukan pada peradilan adat, lebih disebabkan karena tidak adanya pengakuan negara terhadap eksistensinya. Persoalan yang penting untuk dijawab negara dalam hubungannya dengan masyarakat adat adalah apakah negara mau berbagi ruang dengan masyarakat dalam hal-hal tertentu Misalnya di bidang hukum dan peradilan, dengan penekanan utama pada tujuan dan proses menciptakan tertib sosial dan tercapainya kesejahteraan.

(42)

beragam seperti Indonesia memang bukanlah persoalan mudah. Tidak perlu diragukan lagi bahwa peradilan adat dapat memberikan sesuatu yang seringkali lebih baik dari pada ketika orang datang kepada peradilan formal.

Sudah menjadi pemahaman masyarakat peradilan adat bahwa beracara di peradilan adat lebih mudah diakses oleh masyarakat, cepat dan biayanya murah, sedangkan peradilan formal yang harus mengikuti tahapan-tahapan pelaksanaan hukum yang lebih panjang, hal ini membuat peradilan adat cenderung dapat lebih cepat untuk menyelesaikan perkara-perkara yang ditanganinya.

Hal yang lain adalah peradilan adat dijalankan bukan oleh tenaga-tenaga professional yang menggantungkan hidupnya pada pekerjaan sebagai hakim. Melainkan dijalankan oleh pimpinan-pimpinan atau orang-orang tertentu yang dipandang memahami adat didalam masyarakat yang juga memiliki profesi atau pekerjaannya sendiri-sendiri. Jadi hakim atau pelaksana peradilan adat bukan orang yang menggantungkan hidupnya pada bekerjanya peradilan adat, melainkan karena tanggungjawabnya di dalam masyarakat. Hal ini dapat menghindari terjadinya suap dalam menyelesaikan kasus di peradilan adat.

(43)

Namun bukan berarti peradilan adat tidak punya masalah atau tantangan dalam pelaksanaannya. Tantangan pertama, masalah utama adalah persoalan pengawasan terhadap pelaksanaan peradilan adat. Isu soal pengawasan itu penting supaya tidak ada orang diadili secara sewenang-wenang atau karena ketidaksukaan yang tidak beralasan darisuatu kelompok dominan terhadap kelompok minoritas di dalam masyarakat. Memang salah satu basis utama peradilan adat adalah tanggungjawab dari pimpinan dan pemangku adat. Namun tidak berarti bahwa pimpinan dan pemangku adat selalu benar. Kalau mau jujur, di beberapa tempat terdapat pimpinan adat yang memanfaatkan otoritasnya untuk memperkaya diri sendiri dan terkadang dapat menghilangkan tanggungjawabnya sebagai Kepala Adat memilih untuk kepentingan diri sendiri.

Tantangan kedua dalam menjalankan peradilan adat adalah persoalan yurisdiksi peradilan adat. Yurisdiksi atau lingkup kewenangan hukum dari peradilan adat mencakup pertanyaan (1) perkara apa saja yang dapat diadili di peradilan adat dan (2) peradilan adat dapat diterapkan terhadap orang dari luar masyarakat adat itu sendiri atau tidak. Secara sekilas tentu dua pertanyaan itu mudah dijawab.

(44)

pelanggaran di wilayah mereka. Dan, seberapa efektifkah peradilan adat diterapkan terhadap orang dari luar masyarakat adat.

Tantangan ketiga adalah mengatasi masalah ketidakadilan dari struktur adat yang telah melembaga. Pada beberapa komunitas masyarakat adat terlalu bias laki-laki dan membungkam suara perempuan dalam pengambilan keputusan. Dominasi elit dalam kelembagaan adat juga mempengaruhi bagaimana peradilan adat dapat bekerja untuk mendatangkan keadilan bagi pihak yang lemah di dalam komunitas.

Tantangan keempat adalah birokratisasi peradilan adat. Penerimaan pemerintah terhadap keberadaan peradilan adat sebagai salah satu mekanisme penyelesaian perkara yang dihadapi oleh masyarakat biasanya diikuti dengan mengadopsi nilai dan standar-standar yang perlu diikuti oleh para pemangku adat yang menyelenggarakan peradilan adat. Ketergantungan para pemangku peradilan adat terhadap pemerintah mengurangi kemandirian dari institusi peradilan adat dalam menyelesaikan perkara yang mempertemukan masyarakat adat dengan pemerintah. Oleh karena itu, perlu meletakan kedudukan peradilan adat bukan sebagai kepanjangantangan dari pemerintah, melainkan sebagai kenyataan yang menunjukan bahwa terdapat hukum yang hidup di dalam masyarakat

(45)

berbasis adat. Dengan cara ini, peradilan adat diposisikan sebagai perpanjangan tangan negara sekaligus sebagai institusi terdepan dalam menangani perkara yang dihadapi oleh masyarakat. Karena itu, biasanya ia membutuhkan legalisasi apakah itu melalui peraturan daerah, keputusan ketua pengadilan atau dengan kesepakatan antara lembaga adat dengan aparat penegak hukum.

Formalisasi lembaga adat ini akan mempengaruhi perubahan nilai dan tata cara dalam melaksanakan peradilan adat sebab telah mulai mengadopsi nilai-nilai dan tata cara peradilan formal. Hal ini dilakukan untuk menjamin peradilan adat mengikuti standar-standar yang umum dipakai oleh peradilan formal, misalkan berkaitan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence ) maupun persamaan dihadapanhukum (equality before the law ) yang umum dikenal dalam praktik peradilan.

(46)

keadilan. Cara formalisasi lain yang dapat dilakukan bukan dengan melegalisasi struktur kelembagaan peradilan adat, tetapi melegalisasi putusan-putusan yang dikeluarkanoleh peradilan adat.

Dengan pendekatan ini maka negara tidak perlu ambil pusing dengan struktur peradilan adat, termasuk tidak perlu pusing dengan berapa jumlah orang yang terlibat dalam peradilan, apakah pimpinan acara sidang dipimpin oleh orang yang disebut hakim atau dengan nama lokal. Inti dari pendekatan formal yang kedua ini lebih berorientasi pada hasil yang dibuat dari peradilan adat. Putusan peradilan adat tersebut kemudian dicatatatkan oleh hakim yakni kepala adat atau orang-orang yang berada di struktur pimpinana adat. Cara ini juga memiliki kontribusi agar ikut „mendidik‟ hakim muda ikut terlibat dengan hukum yang

berlaku di dalam masyarakat.

Pengadilan negeri yang mengadili perkara yang telah ditangani oleh peradilan adat dapat mengundang hakim-hakim peradilan adat untuk menjadi ahli di persidangan. Putusan-putusan peradilan adat dikumpulkan dalamsebuah dokumen yang menjadi bahan kajian kalangan akademisi. Dengan menjadikanbahan kajian oleh akademisi, maka diharapkan hukum adat akan lebih jauh berkembangkarena menjadi persoalan yang diteliti dan didiskusikan.

(47)

peradilan adat akan sangat ditentukan dari putusan-putusan yang dihasilkannya. Semakin adil, dapat diterima dan semakin mudah, maka peradilan adat akan semakin kuat. Tantangan dalam melakukan pendekatan ini adalah konsistensi masyarakat adat dan keberlanjutan lembaga peradilan adat. Penguatan kapasitas dan keberlanjutan peradilan adat pada generasi berikutnya merupakan faktor kunci untuk cara ini.

Diakuinya peradilan adat dalam Undang-undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua merupakan suatu dinamika tersendiri dalam peraturan perundang-undangan Republik Indonesia yang memberi harapan bahwa di masa depan eksistensi peradilan adat akan diakui secara nasional. Bandul politik hukum nasional tampaknya mengarah kepada pengakuan eksplisit terhadap peradilan adat yang ada dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

(48)

Referensi

Dokumen terkait

Perbedaan penelitian Sartika dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada objek yang akan diteliti dimana penelitian Sartika mengambil objek Strategi viral marketing

Sistem pengoperasian angkutan umum harus memperhatikan jam puncak dan jam tidak puncak sehingga untuk jam puncak dapat dioperasikan dengan waktu antara yang rendah

gunakan statement ini untuk mengeksekusi beberapa kode jika sebuah kondisi bernilai benar dan mengeksekusi kode lain yang mempunyai kondisi bernilai salah..

pembelajaran benda-benda bersejarah berbasis multimedia untuk anak sekolah dasar, dimana siswa bisa lebih mengenal dan memahami tentang benda bersejarah di Museum

Daerah distribusi tumbuhan Myristica di Indonesia antara lain di Irian Jaya (Myristica argentea Warb.) dan jenis ini endemik di Irian Jaya. Di Maluku ditemukan antara lain:

Dengan banyak pelayan tersebut waktu yang dibutuhkan untuk melayani nasabah menggunakan sistem fuzzy logic Sugeno lebih cepat dari pada menggunakan sistem bank konvesional sehingga

Teori belajar humanistik bertujuan bahwa belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika telah memhami lingkungan dan

However, unlike Blalock and Gertler (2005) who focus on firms in the aggregated manufacturing industry, Jacob examines firms in the disaggregated five-digit