• Tidak ada hasil yang ditemukan

ABRI/TNI DALAM MENATA PERPOLITIKAN NASIONAL

C. Kegagalan Orde Lama dan Peran TNI

Kebijakan ABRI di bidang sosial politik telah dimulai sejak ABRI menetapkan konsep dwifungsinya. Dari konsep tersebut mengakibatkan ABRI mendominasi dan sebagai aktor utama dalam perjalanan sejarah perpolitikan rezim Orde Baru.

ABRI sebagai tulang punggung penopang kekuasaan rezim Orde Baru, telah dimulai sejak awal berdirinya rezim otoriter orde ini pada tahun 1967. Hal ini tampak dari elit-elit penguasa Orde Baru yang secara kuantitas mereka berasal dari kalangan militer, baik militer aktif maupun pasif (purnawirawan).

Orde Baru yang sejak kelahirannya mengorientasikan diri kepada negara yang kuat (strong state). Dalam rangka membangun negara yang kuat ini, Orde Baru membangun elit penguasa yang terdiri dari kelompok militer, birokrat, teknokrat, dan pemilik modal. Rezim Orde Baru untuk mewujudkan sebuah negara yang kuat telah merancang sebuah sistem pemerintahan yang terpusat, yaitu sistem pemerintahan yang terpusat ditangan sebuah lembaga negara yaitu lembaga eksekutif. Akibatnya lembaga-lembaga lainnya secara tidak langsung menjadi lemah atau telah diperlemah oleh sistem yang sengaja direkayasa.

Kenyataan empiris menunjukkan bahwa pada saat kelahirannya, Orde Baru disibukkan oleh “ pengelolaan krisis dan pengendalian kerusakan” dalam berbagai lapangan kehidupan.148 Dalam kerangka ini, menjadi wajar apabila sejak kelahirannya, Orde Baru memiliki obsesi yang khas: “melakukan pembangunan tanpa ada gangguan-gangguan berbentuk konflik politik “. Dari obsesi Orde Baru yang ingin membangun dalam keadaan dan suasana politik yang tertib dan terkendali, maka Orde Baru menerapkan strategi maksimalisasi produktivitas ekonomi dan minimalisasi konflik politik. Dalam kerangka maksimalisasi produktivitas ekonomi dan minimalisasi konflik ini, keamanan, harmoni, konsensus, dan kompromi dijadikan sebagai tujuan sekaligus batasan kegiatan politik masyarakat.149 Sementara konflik politik “diharamkan”.

Orde Baru yang ditulangpunggungi oleh militer sangat traumatis dengan disintergrasi nasional dan instabilitas politik yang terjadi sepanjang dua puluh tahun pertama masa pasca kemerdekaan. Dalam kerangka ini, stabilitas politik dan pembatasan partisipasi menjadi pilihan yang dianggap tak tertawarkan. Sebagaimana telah disinggung diawal, Orde Baru sejak awal kelahirannya telah berusaha untuk menghindarkan diri sejauh mungkin dari akibat-akibat buruk dan merugikan akibat polarisasi ideologi dan politik serta merebaknya konflik politik.150 Orde Baru merupakan pemerintahan yang berkesimpulan bahwa polarisasi dan konflik itulah yang telah membusukkan sistem politik Indonesia

148 Eef Saefulloh Fatah, Zaman Kesempatan; Agenda-agenda Besar Demokratisasi

Pasca- Orde Baru, (Jakarta: Mizan), hal.49 149

Ibid, hal.49 150

Eep Saefulloh Fatah, Zaman Kesempatan; Agenda-agenda Besar Demokratisasi Pasca- Orde Baru, hal.51

pada masa lalu. Sebagaimana dikataakan oleh William Liddle di dalam buku Eep Saefulloh, bahwa ada tiga bentuk konflik politik yang pernah terjadi masa pra-Orde Baru dan dihindari pengulangannya oleh pra-Orde Baru, yaitu konflik keagamaan (1950-1955), konflik kesukuan (1956-1961), dan konflik kelas (1961-1965).

Sesuai dengan jargon Orde Baru ketika itu, pembangunan ekonomi, yes dan konflik politik, no. Maka Orde Baru untuk mencapai stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi, Orde Baru menerjemahkan lebih lanjut lagi pendekatan keamanan dengan memberikan tanggung jawab tersebut kepada ABRI sebagai institusi yang memiliki otoritas untuk menggunakan kekerasan (manajemen kekerasan). Dari tanggung jawab itu telah menjadikan asas legalitas bagi ABRI untuk bertindak “super agresif ” terhadap semua yang dianggapnya membahayakan stabilitas, dan stabilitas sendiri dipandang oleh ABRI sebagai sesuatu yang statis, pada hal dinamika masyarakat menghendaki stabilitas yang dinamis.151

Tindakan ABRI dengan pendekatan keamanan yang berlebihan ini menimbulkan suasana yang menakutkan bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Keterlibatan ABRI lebih jauh untuk mengkaji dan membahas berbagai kebijakan mengenai persoalan negara telah dimulai sejak embrio awal kelahiran Orde Baru pada 1966. Hal tersebut tercermin dari berbagai seminar yang diadakan ABRI, khususnya Angkatan Darat (AD).

151

Abdoel Fattah, Demiliterisasi Tentara, Pasang Surut Politik Militer 1945-2004,

Didorong oleh rasa tanggung jawab ABRI atas nasib bangsa dan negara, maka diadakanlah seminar Angkatan Darat II di SESKOAD Bandung pada tanggal 25-31 Agustus 1966.152 Seminar ini membahas tiga permasalahan pokok bangsa dan negara, pertama; stabilitas sosial dan politik, yang meliputi: (1) masalah persatuan dan kesatuan yang kokoh dan dinamis sebagai prasyarat untuk mensukseskan program-program nasioanal kita, serta peranan Angkatan Bersenjata/TNI-AD khususnya; (2) masalah memelihara situasi yang stabil dan dinamis, walaupun diselenggarakan pemilu tepat pada waktunya; (3) masalah penyelenggaraan pemilu yang aman agar terjamin representasi yang demokratis dan kuat bagi kekuatan-kekuatan Pancasilais, sehingga konsensus nasional berdasarkan Pancasila tetap terjamin utuh dalam MPR pilihan rakyat; dan (4) masalah landasan dan norma-norma kepemimpinan nasional pada umumnya sebagai prasyarat untuk membina negara dan bangsa kearah terciptanya Orde Baru berdasarkan Pancasila. Kedua, stabilitas sosial ekonomi, yang melikputi: (1) masalah pengendalian dan pengusahaan, dan penekanan inflasi serta cara-cara meningkatkan daya beli rakyat; (2) pengembangan produktivitas dan efisiensi kerja dari semua kekuatan sosial ekonomi kita; dan (3) peranan angkatan bersenjata, TNI-AD khususnya dalam sektor produksi dan distribusi. Ketiga, kedudukan dan peranan ABRI khusus TNI-D dalam revolusi Indonesia sebagai alat revolusi, alat penegak demokrasi dan sebagai alat pertahanan dan keamanan negara (alat revolusi = alat perjuangan). Masalah ketiga merupakan penyempurnaan dari Doktrin perjuangan TNI-AD “Tri Ubaya Cakti “ hasil dari

152

Hidayat Mukmin (et. All), Dwifungsi ABRI, Perkembangan dan Perannya dalam Kehidupan Politik Di Indonesia, hal.34

seminar Angkatan Darat I yang diselenggarkan pada tanggal 2-9 April 1965. Sebagaimana diketahui, dalam doktrin perjuangan TNI-AD “ Tri Ubaya Cakti “ inilah untuk pertama kalinya dirumuskan doktrin dwifungsi ABRI. Dalam doktrin tersebut ditegaskan bahwa kedudukan TNI-AD sebagai golongan karya ABRI merupakan suatu kekuatan sosial politik dan kekuatan militer; adalah bagian daripada kekuatan progresif-revolusioner yang menetapkan sekaligus peranannya sebagai alat revolusi, alat demokrasi, dan alat kekuasaan negara.