• Tidak ada hasil yang ditemukan

ABRI/TNI DALAM MENATA PERPOLITIKAN NASIONAL

D. Strategi ABRI dalam Rangka Depolitisasi Politik Islam

D. Strategi ABRI dalam Rangka Depolitisasi Politik Islam

Dengan mulai berkuasanya pemerintahan Orde Baru menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965, banyak pemimpin politik Islam yang menaruh harapan besar. Harapan itu nampak jelas dikalangan bekas pemimpin Masyumi dan pengikut-pengikutnya yang selama periode demokrasi terpimpin merasa benar-benar disudutkan. Ini dikarenakan mereka merasa menjadi bagian terpenting dari kekuatan-kekuatan koalisi (seperti militer, kelompok fungsional, kesatuan mahasiswa dan pelajar, organisasi sosial-keagamaan dan sebagainya) yang telah berhasil menghancurkan PKI dan menjatuhkan pemerintahan Soekarno, mereka membayangkan kembalinya Islam dalam panggung diskursus politik nasional.153

Pada masa awal Orde Baru berkuasa, ABRI merupakan salah satu elemen utama yang turut berperan dalam membidangi kelahiran Orde Baru. Pada masa-masa awal Orde Baru inilah ABRI mulai banyak memainkan perannya di bidang politik, sehingga kemudian ABRI menjadi faktor utama yang menetukan hampir

153

Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Transformasi pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina), hal.111

seluruh bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Besarnya peran ABRI dalam pengaturan dan pengelolaan negara, disebabkan oleh Orde Baru yang konsepnya berorientasi pada pembangunan ekonomi dan mensejahterakan bangsa dan negara menghendaki suatu keadaan negara yang stabil dan terkendali. Dengan alasan, ketidak normalan kondisi dan situasi negara pada saat itu telah memaksa ABRI memainkan peran yang sangat dominan dalam politik negara.154 Dan peran dominan ABRI dalam politik sebagaimana dikatakan oleh jenderal Ali Murtopo, disebabkan pada saat itu juga belum adanya kelompok politik sipil yang mempunyai program pembangunan yang baik dan jelas.155

Dengan kekacauan dan ketidak jelasan kondisi dan situasi negara yang terjadi pada masa Orde Lama yang berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan kemajuan ekonomi bangsa dan negara, telah memaksa kelompok militer sebagai kekuatan politik yang sangat dominan dalam merumuskan dan menetapkan berbagai kebijakan.

Dominasi kelompok militer dalam panggung politik nasional berdampak pada peran dan ruang politik sipil. Oleh karena itu hampir semua kelompok pernah menjadi korban daripada hegemoni politik militer Orde Baru tersebut. Dari banyaknya korban hegemoni politik kelompok militer tersebut, maka kelompok politik Islam yang paling menyakitkan.156

154 Salim Said, Genesis of Power General Sudirman and The Indonesian Military In

Politics 1945-49, (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies and Heng Mui Keng Terrace), hal.146

155

Ibid, hal.146 156

Penjinakan aktivisme dan idealisme politik Islam oleh kalangan militer didasarkan pada pandangan kelompok militer terhadap aktivitas dan cita-cita umat Islam pada masa Orde Lama yang ingin mendirikan “negara Islam” dan menjadikan “Islam sebagai dasar negara”.157 Kecurigaan kelompok militer terhadap politik Islam ditandai dengan ketidaksediaan kelompok militer terhadap rehabilitasi partai Masyumi pada masa awal Orde Baru. Dalam hal ini, beberapa kali kontak senjata antara mereka dengan unsur-unsur politik Islam pada masa lalu sangat memainkan peran seperti dicatat oleh Harold Crouch, hal ini terutama sangat terasa dikalangan “perwira-perwira yang pernah terlibat dalam pertempuran bersenjata melawan Darul Islam dan pemberontakan-pemberontakan regional lainnya yang dilakukan oleh umat Islam.” Demikian pula, mereka yang “ikut serta dalam upaya pemerintah pusat untuk menumpas PRRI benar-benar merasa tidak senang dengan “pengkhianatan” Masyumi yang bersimpati, atau sedikitnya tidak menyalahkan pemberontakan yang mengorbankan 2.500 nyawa tentara itu.”158

Dari pengalaman kelompok militer dalam memadamkan pemberontakan umat Islam yang terjadi pada tahun 1950 dan 1960-an, mengakibatkan militer berpandangan bahwa politik Islam sebagai ancaman terhadap stabilitas dan keamanan negara.159 Dengan kekhawatiran Orde Baru terhadap stabilitas dan

157

Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam Di Indonesia, hal.112

158

Harold Crouch, Indonesia: Democratization and The Threat of Disintegration,

hal.201 159

Angel Rabasa dan John Haseman, The military And Democracy In Indonesia; Challenges, Politics, and Power, (Santa Monica: RAND; National Security Research Division), hal.61

keamanan negara yang dapat menghambat dan menghalangi cita-cita yang telah dikonsepkannya, maka Orde Baru yang ditopang oleh institusi militer telah melakukan depolitisasi terhadap kelompok politik Islam yang bersifat ideologis dan fundamentalis.160 Depolitisasi politik Islam merupakan sebuah usaha dan strategi politik yang dijalankan oleh ABRI khususnya Angkatan Darat sebagai unsur utama kekuatan Orde Baru untuk menyingkirkan aktivis politik Islam yang berusaha untuk menghidupkan dan memformulasikan kembali ideologi Islam sebagai sebuah ideologi politik mereka. Sebagaimana dikatakan oleh Don Emerson, mereka berusaha melakukan domestikasi atas politik Islam; menempatkannya pada posisi “minoritas” dan “out sider” dimana situasi ini pernah dikeluhkan oleh Natsir dengan pernyataan,” mereka telah memperlakukan kami sebagai kucing kurap”.161

Dalam rangka kelompok militer untuk melenyapkan dan menyingkirkan peran dan aktivitas kelompok politik Islam yang ideologis dan formalistik, maka kelompok militer yang disebut dengan TNI/ABRI telah merumuskan beberapa strategi politik. Strategi politik TNI/ABRI dilakukan melalui beberapa kebijakan yang ditetapkan oleh institusinya maupun perwira tinggi militer.162 Diantara kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh militer, yaitu; pertama, pada Desember 1966, kelompok militer menyatakan bahwa mereka akan mengambil tindakan-tindakan tegas terhadap siapa saja, dari kelompok mana saja, dan dari aliran apa

160 Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam; Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara

yang Tidak Mudah, (Jakarta: Ushul Press), hal.36 161

Ibid, hal.36 162

Angel Rabasa dan John Haseman, The Military and Democracy In Indonesia; Challenges, Politics, and Power, hal.62

aja, yang ingin menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 seperti yang pernah dilakukan melalui pemberontakan Partai Komunis Indonesia di Madiun, Gestapu, Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (sebuah gerakan Islam fanatik yang paling kuat pada 1950-an dan memperoleh dukungannya di Jawa Barat yang berupaya mendirikan negara Islam dengan kekuatan senjata) dan Masyumi”. Kedua, ABRI/TNI menggunakan langkah-langkah Koersif dan kooptatif untuk mempengaruhi hasil pemilu pertama tahun 1971, dimana ABRI/TNI menjadi tulang punggung Golkar. Ketiga, Amir Machmud yang kala itu sebagai menteri dalam negeri mengeluarkan peraturan menteri (Permen 12/1969)” yang dimasudkan untuk memurnikan wakil-wakil Golkar di badan-badan legislatif tingkat provinsi dan lokal”, peraturan ini menyebutkan bahwa “ seluruh anggota kelompok-kelompok fungsional yang ditugaskan di badan-badan pemerintahan di tingkat provinsi dan lokal harus diganti jika mereka bergabung ke dalam partai-partai politik (PNI, NU, Parmusi, PSII, Perti, dan lain sebaginya). Selain itu juga, ia juga mengeluarkan sebuah peraturan pemerintah (PP 6/1970) yang mempunyai konsekuensi luas dalam pemilihan umum, yang menegaskan bahwa “kelompok-kelompok tertentu dikalangan pegawai negeri sipil tidak diperbolehkan menjadi anggota partai-partai politik: anggota ABRI, semua pegawai negeri sipil yang bekerja pada Departeman pertahanan, hakim dan penuntut umum, pejabat-pejabat khusus seperti Gubernur BI, dan para pemegang jabatan penting lain yang ditetapkan oleh presiden.” Keempat, pemerintah melakukan restrukturisasi sistem kepartaian pada januari 1973, yaitu pemerintah mengharuskan kesembilan partai yang ada bergabung kedalam dua partai politik baru. Kelima, penerapan konsep

massa mengambang di mana aktivitas-aktivitas partai di tingkat desa dan kecamatan hampir sepenuhnya dihapuskan. Keenam, yaitu dalam pidato tahunanya di depan DPR, 16 Agustus 1982, presiden Soeharto menegaskan bahwa dasar ideologi mereka satu-satunya adalah Pancasila.163 Ketujuh, yaitu pemberlakuan UU keormasan yang dikeluarkan pada tahun 1985, yang mewajibkan semua organisasi sosial-keagamaan dan mahasiswa untuk menerima pancasila sebagai asas tunggal.

Dalam kondisi negara yang tidak menentu pada masa Orde Lama, di mana kekacauan yang terjadi berimplikasi pada pertumbuhan ekonomi dan pembangunan bangsa dan negara seutuhnya. Oleh kaena itu, Soeharto sebagai presiden yang berlatar belakang militer (Angkatan Darat) dan berpangkat terakhir jenderal, ia melihat bahwa penyebab dari stagnasinya pembangunan dan pertumbuhan negara adalah:

1. Tidak adanya pemimpin yang kuat dan bisa mengintegrasikan seluruh elemen kekuatan negara.

2. Konflik ideologi politik (khususnya Islam Politik) dengan kelompok kepentingan yang lainnya yang tidak ada kesudahannya.

3. Lemahnya elit-elit politik sipil yng mengendalikan dan menjalankan roda pemerintahan negara.

4. Tidak adanya kekuatan yang dominan dalam mengendalikan perpolitikan negara.

163

Presiden Soeharto, Amanat Kenegaraan IV 1982-1985, (Jakarta: Inti Idayu Press), hal.11

Oleh karena itu, berangkat dari keempat faktor tersebut diatas, Soeharto yang telah resmi menjadi presiden RI kedua pada 1967, mulai mengatur dan menetapkan strategi dan taktik untuk menata faktor-faktor yang dipandang sebagai penghambat kemajuan dan pertumbuhan negara. Dalam rangka penataan tersebut Soeharto telah menjadikan tiga poros utama sebagai penyangga kelangsungan kekuasaan rezim Orde Baru. Ketiga poros itu adalah; TNI AD sebagai kekuatan utama, Golkar (sebagai golongan yang dikaryakan, yang juga diisi oleh sebagian orang-orang dari petinggi Angkatan Darat, maupun pegawai negeri sipil pemerintahan), dan ketiga birokrasi (semua pegawai pada lembaga pemerintah yang juga sebagian diisi oleh kalangan dari militer dan wajib mendukung dan bergabung di Golkar). Sehingga pada masa Orde Baru dikenal dengan istilah “tiga jalur kekuasaan, yaitu jalur A (ABRI), jalur B (birokrasi) dan jalur G (Golkar) sebagai mesin politik utama untuk melegitimasikan dan melanggengkan kekuasaan Soeharto yang dikenal dengan rezim Orde Baru.

BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN

Keterlibatan tentara Indonesia (khususnya Angkatan Darat) dalam politik berbeda dengan tentara di negara lain pada umumnya yang telah melakukan kudeta dalam perebutan kekuasaan politik. Militer Indonesia sudah memainkan peranan politiknya dari sejak revolusi kemerdekaan dan mencapai puncaknya pada masa Orde Baru memegang tampuk kekuasaan dibawah komando Mayor Jenderal Soeharto. Tumbangnya Orde Lama merupakan suatu berkah bagi tentara, khususnya Angkatan Darat (TNI-AD) yang mengasumsikan korps mereka sebagai pahlawan yang telah menyelamatkan keutuhan negara dan Pancasila sebagai asas negara dari ancaman negara komunis.

Keberhasilan Angkatan Darat mendominasi kekuasaan setelah menyingkirkan lawan-lawan politiknya yang kurang terorganisasi. Angkatan Darat mengembangkan organisasi politiknya untuk memenuhi tanggung jawab di bawah undang-undang darurat perang serta membangun dirinya sendiri menjadi kekuatan politik penting yang mandiri. Setelah Angkatan Darat berhasil mendominasi kekuasaan, maka satu persatu Angkatan Darat mulai menyingkirkan orang-orang yang dipandang sebagai lawan politiknya. Dalam hal ini pada puncaknya tahun 1990 Orde Baru berhasil menghapus pusat-pusat kekuatan sipil

yang mandiri itu disertai dengan konsolidasi kekuasaan dalam angkatan bersenjata.

Orde Baru setelah melakukan konsolidasi kekuasaan mulai menjalankan program-program pembangunan ekonomi yang telah terpuruk akibat krisis ekonomi. Seiring dengan langkah Orde Baru melakukan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, Orde Baru disatu sisi berusaha melakukan pembungkaman dalam rangka pembangunan politik dan rasionalisasi politik rakyat. Hal ini dilakukan oleh Orde Baru karena Orde Baru telah mengharamkan rakyat untuk bebas membicaakan urusan politik, sehingga Orde Baru sangat terkenal dengan jargonnya “ekonomi yes, politik no”.

Dalam pembungkaman urusan politik inilah, umat Islam sebagai umat mayoritas penduduk negeri ini merasakan bahwa ketidakbebasan tersebut telah merugikan mereka dalam mengekpresikan kebebasan politik dan obsesi politik mereka. Hal ini dikarenakan Orde Baru yang ditopang oleh militer masih trauma dengan politik Islam yang terjadi pada masa Orde Lama. Dan khususnya Angkatan Darat tidak menginginkan kembalinya gerakan politik Islam yaitu suatu gerakan yang sangat gigih untuk memformalisasikan Islam sebagai sebuah ideologi negara Indonesia dan gerakan Islam yang lebih mengutamakan simbolisasi Islam sebagai alat perjuangan kepentingan politik mereka. Hal yang pada hakikatnya menurut Abdurrahman Wahid gerakan yang lebih mengarah pada sektarianisme dan menghambat proses demokratisasi di negara kita, sebagaimana kritikan Abdurrahman Wahid pada saat pendirian ICMI. Kritikan Abdurrahman Wahid ketika itu ternyata sangat tepat jika kita melihat realitas politik yang terjadi

pasca Orde Barut. Karena gerakan politik sektarianisme seperti yang dikatakan Abdurrahman Wahid itulah yang pada hakikatnya sangat berpotensi mengundang militer untuk mengalahkan dan menyingkirkan mereka dari panggung kekuasaan politik. Jadi penyingkiran Islam politik pada masa Orde Baru tidak lebih merupakan sebagai reaksi dari ketakutan dan kekhawatiran dari pihak TNI (TNI-AD) akan kehilangan pengaruh dan kekuasaan dalam mengendalikan urusan politik negara ini.

Orde Baru yang ditopang oleh militer (Angkatan Darat) dari sejak berdirinya tahun 1966 telah berhasil mendominasi seluruh lapangan kehidupan dan menghegemoni politik sipil yang mayoritas umat Islam. Kekuasaan Orde Baru yang ditopang oleh militer, memasuki tahun 1991 sudah menandakan kelemahan dan longgarnya kontrol kekusaan yang dilakukan oleh kelompok militer sebagaimana sebelum tahun 1990-an, dimana segala sesuatu harus mendapat izin dari pihak militer.

Kelemahan politik tentara atau Orde Baru setelah mengalami masa penurunan, dan mencapai puncaknya pada tahun 1998, di mana Presiden Soeharto pada waktu itu sebagai komandan Orde Baru tidak dapat mempertahankan tampuk kekuasaannya dari desakan gelombang reformasi.

Lenyapnya legitimasi Orde Baru tidak terlepas dari bencana krisis politik yang terjadi di Indonesia pada 1998 yang disebabkan oleh krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan kawasan regional Asia Tenggara sejak juli 1997. Dampak dari krisis tersebut yaitu terjadinya pelarian modal besar-besaran ke luar negeri, terjadinya tekanan terhadap mata uang rupiah. Akibat ini semua yaitu;

pengangguran dan kemiskinan meningkat drastis, harga kebutuhan hidup pokok sehari-hari melambung dan bahkan sangat susah untuk didapatkan, bahakan inflasi mencapai 100%. Krisis politik ini melemahkan legitimasi rezim Soeharto yang memang sudah semakin lemah dari sejak 1991.

Kejatuhan Orde Baru disebabkan juga karena menjelang kejatuhannya, para pejabat Orde Baru banyak yang melakukan perjanjian simbolik dan beberapa langkah kebijakan ekonomi yang tujuannya untuk memperpanjang kekuasaan. Langkah-langkah tersebut di antaranya adalah dua kali pertemuan dengan IMF pada Oktober 1997 dan Januari 1998, yang membiarkan dolar bergerak bebas pada Agustus 1997, likuidasi 16 belas bank pada November 1997, dan menyususn RAPBN pada Januari 1998. Pada saat jatuhnya nilai tukar rupiah, kegagalan mekanisme pembayaran perdagangan luar negeri, penyelesaian kredit atau pinjaman dari perusahaan besar, dan sistem perbankan yang buruk, serta besarnya pinjaman swasta nasional diluar negeri telah meruntuhkan fundamental ekonomi Indonesia yang rapuh.

Ini semua pada realitanya disebabkan oleh kelambatan pemerintah mengantisipasi krisis ekonomi dan langkah-langkah kebijakan pemerintah yang tidak berarti banyak untuk perbaikan ekonomi yang pada akhirnya membuat kepercayaan masyarakat hilang terhadap upaya kesungguhan pemerintah dalam mengatasi krisis.

Kejatuhan rezim Orde Baru pada 21 Mei 1998 yang ditandai dengan pengunduran diri sang jenderal besar Soeharto sebagai presiden, jika kita bandingkan dengan kejatuhan presiden Soekarno pada rezim Orde Lama, maka

sangat serupa. Pola dan cara kejatuhan Orde Baru hampir tidak berbeda dengan apa yang dialami oleh Orde Lama menjelang kejatuhannya. Kejatuhan dari dua rezim ini khususnya disebabkan oleh krisis ekonomi yang melanda negara ini. Akan tetapi pada masa Orde Lama krisis ekonomi bukan disebakan oleh ketidak mampuan kerja para elit pemerintah dalam menangani dan mengatur perekonomian negara, akan tetapi lebih disebabkan oleh suasana dan kondisi politik yang terus menenrus dalam suasana konflik dan pertentangan antara elit-elit politik. Sedangkan pada masa Orde Baru sebelum terjadinya krisis ekonomi, kondisi politik di Indonesia masih dalam keadaan aman dan tenang. Maka kejatuhan rezim Orde Baru lebih disebabkan ketidak mampuan elit-elit Orde Baru, khususnya tim ekonomi yang menangani krisis pada tahun 1997.