• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1.3. Rebranding

2.1.3.10. Kegagalan Rebranding

Penggantian nama suatu brand menjadi yang lain untuk produk atau perusahaan memiliki dampak negatif pada evaluasi konsumen (Aime-Garnier dan Roux, 2006; Muzellec dan Lambkin, 2006; Collange, 2008). Misalnya, Jaju dkk., (2006) menemukan bahwa ekuitas perusahaan, diukur dengan sikap, keyakinan kepemimpinan, dan niat untuk membeli, menurun kebanyakan dalam situasi uji coba brand. Kerugian ini dapat dijelaskan oleh fakta bahwa rebranding adalah peristiwa mendestabilisasi: konsumen bingung dan terpaksa melakukan upaya ekstra untuk beradaptasi (Collange, 2008). Pada contoh konsumen barusan, evaluasi layanan dapat diharapkan menurun setelah rebranding-nya.

Pertama, Collange (2008) meneliti efek bahwa kedekatan (yang dirasakan) antara brand pengganti dan produk membawa perubahan dalam evaluasi konsumen dan niat untuk membeli. Menunjukkan bahwa semakin dekat nama brand baru untuk sebuah produk, semakin kecil penurunan evaluasi produk dan niat untuk membeli, yaitu perubahan yang lebih positif. Namun, latihan rebranding perusahaan yang berisiko, karena sering memerlukan investasi yang cukup besar, dengan ada jaminan

untuk mencapai hasil yang berhasil (Amujo dan Otubanjo 2012; Shetty 2011). Demikian pula, Jaju dkk. (2006) menemukan bahwa perusahaan yang bergabung (merger) evaluasi konsumennya menurun daripada dua perusahaan yang dianggap sebagai sejenis. Akibatnya, kedekatan antara nama baru dan layanan memiliki efek positif pada perubahan dalam evaluasi layanan. Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Jaju dkk. (2006) menunjukkan bahwa perolehan strategi branding yang dominan dapat menyebabkan penurunan substansial dalam ekuitas brand berbasis konsumen di mana ada sikap negatif antara perusahaan dan ketidakcocokan dalam sikap pelanggan dari perusahaan yang melakukan merger.

Namun, meskipun terdapat peluang yang cukup luas dari rebranding, namun jangan lupa rebranding juga menawarkan risiko yang tinggi. Praktek ini membawa risiko reputasi tingkat tinggi serta menjadi uji coba yang sangat mahal (Clavin, 1999; Dunham, 2002). Seperti yang digambarkan oleh kegagalan rebranding dari Inggris "Royal Mail" menjadi "Consignia" (Muzellec dan Lambkin, 2006).Selain memprovokasi kemarahan publik, karena menelan biaya £ 2,5 juta untuk rebranding menjadi Consignia, diperlukan lagi dana tambahan £ 1 juta untuk mengubah kembali ke Royal Mail, brand yang dihargai oleh publik Inggris (Haig, 2003; Europe Intelligence Wire, 2004). Dari "Payless Drug Store" dalam "Rite Aid Corporation" di AS (Haig, 2011), atau "British Airways" menjadi "BA" (Cornelissen, 2011).

Memang, nama brand adalah "landasan" dari identitas brand (Aaker dan Joachimsthaler, 2000). Oleh karena itu, konsumen mungkin takut bahwa karakteristik layanan (tempat atmosfer, karyawan kontak, dll) brand sebelumnya yang dinikmati tidak akan lagi sama (Kapferer, 2008). Hal ini dapat menyebabkan

penurunan tajam dalam bisnis, yang belum tentu diimbangi dengan perekrutan konsumen baru. Selain itu, seperti perubahan nama brand juga dapat merusak reputasi perusahaan, tidak hanya di kalangan konsumen tetapi juga antara karyawan dan analis keuangan (Fombrun dan Van Riel, 2004; Cornelissen, 2011).

Manajer sering gagal untuk mewujudkan ruang lingkup disiplin yang diperlukan dan orientasi multi-stakeholder dari rebranding perusahaan (Balmer dan Greyser, 2003). Sebaliknya, kerangka kerja manajemen brand perusahaan kontemporer telah bergeser jauh dari fokus tradisional pada pemangku kepentingan eksternal, untuk pendekatan internal-driven yang juga menempatkan penekanan pada mendorong karyawan untuk menunjukkan perilaku yang konsisten dengan upaya branding eksternal (Hatch dan Schultz 2001 ; Ind 2001; LePla dan Parker, 1999; Mitchell, 2002).

Pada 1990-an, Gap memutuskan untuk berbuat lebih banyak untuk menjangkau remaja dan dewasa muda karena brand merepresentasikan segmen pertumbuhan dengan menawarkan hadiah yang lebih baik (The Gap). Perusahaan mulai memposisikan diri untuk menarik segmen ini, tetapi dalam proses pelanggan lama/intinya malah terasing, yang merasa diabaikan karena produk yang menjadi trendi yang lebih sesuai untuk kalangan muda (Palmiere, 2004).

Contoh kegagalan rebranding pada level produk juga dapat kita lihat dalam kasus Tropicana. Perusahaan meremehkan keterikatan konsumen mereka dengan desain klasik, perusahaan tidak memperkirakan bahwa perubahan logo beserta kemasan minuman yang mereka tawarkan akan ditolak oleh konsumen, dan pada akhirnya mengembalikan kemasan beserta logo klasiknya pada produk minuman

mereka (New York Times, 2010). Dalam bidang profesional dan kategori jasa konsultan yang terdiri dari empat dari "Big Five" harus memisahkan bisnis konsultan mereka dari perusahaan induk pemeriksa keuangan/pajak. Setelah Andersen Consulting menjadi Accenture dan PricewaterhouseCoopers yang menjual salah satu anak usahanya pada IBM Services yang kemudian dikenal sebagai Monday, Deloitte Consulting menjadi Braxton dan KPMG menjadi BearingPoint. (Muzzelec dan Lambkin, 2006).

Tahapan rebranding yang gagal juga dapat kita lihat dalam kasus Xe Services, yang merupakan perubahan dari Blackwater, perusahaan privat militer. Perubahan nama dan logo dari Blackwater menjadi Xe Services sayangnya hanya merupakan intermediate change yakni menunjukkan kepada publik tentang gambaran baru perusahaan namun tidak mengubah perusahaan itu sendiri. Publik masih mengosisiasikan Xe Services sebagai Blackwater (Citrayogi, 2014). Presiden dan Ketua Operasi Xe Services Ted Wright menyadari bahwa rebranding Xe tidak berhasil disebabkan manajemen hanya merubah nama tidak mereposisi competitiveness perusahaan (Wall Street Journal,2011).

Ketidakberhasilan rebrandingXe Services membuat Wright, presidennya untuk menyewa perusahan hubungan publik dari New York untuk mengubah perusahaan ini menjadi ACADEMI. Pada tahun 2003, setahun setelah menerapkan revisi strategi merek, Burberry melaporkan kenaikan penjualan retail dari 46% (Burberry, 2003). Tujuan revisi itu untuk memposisikan Burberry sebagai merek mewah yang akan menarik pelanggan fashion muda dan baru tanpa mengasingkan pelanggan yang sudah ada (Moore dan Birtwistle 2004). Untuk menampilkan baris baru yang

menarik target pasar yang lebih luas, manajer berhasil menggunakan iklan, fashion show dan penempatan editorial.

Shell me-rebranding namanya pada 300 jaringan ritel di Inggris yang menghadapi tekanan ke bawah pada pendapatannya di awal 1990-an (Boyle 2002). Tidak lama setelah rebranding, 51% dari waralaba jaringan ritel yang baru melaporkan kerugian operasi. Pada tahun 1994, Shell telah menutup 200 jaringan ritel, mengonversi banyak waralaba sebagai perampingan operasi perusahaan, dan menawarkan kompensasi kepada peritel (Miller, Merrilees dan Yakimova, 2014). Dalam kasus Burberry, faktor-faktor tertentu, seperti program pemasaran terpadu yang mencerminkan merek telah direvisi, memungkinkan proses rebranding dan mendukung kesuksesan. Dalam kasus Shell, penghalang utama bagi keberhasilan proses rebranding adalah ruang lingkup penelitian perusahaan yang sempit. Meskipun pentingnya pemahaman tentang pemicu dan penghambat, namun sumber literatur gagal untuk memberikan penjelasan secara komprehensif bagaimana pemicu dan penghambat dapat mempengaruhi rebranding perusahaan.

Dokumen terkait