• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

C. BELAJAR PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK OLEH SISWA-SISWI KELAS IV SD KANISIUS WIROBRAJAN

2) Kegembiraan, Keriangan dan Kesenangan

2) Kegembiraan, Keriangan dan Kesenangan

Rasa emosi ini adalah emosi yang menyenangkan. Pada umur yang lebih muda, emosi itu disebabkan oleh fisik yang sehat, tutur kata yang bisa membantu memperkokoh moral anak dan sebagainya. Sedangkan pada umur yang lebih tua, penyebabnya bertambah yakni keberhasilan mencapai tujuan yang telah mereka tetapkan untuk diri mereka sendiri dan keluarga serta keberhasilan anak-anaknya.

c. Perkembangan Moral

Piaget dalam Hurlock (2011:163), antara usia lima tahun sampai dua belas tahun konsep anak mengenai keadilan berubah. Pengertian yang kaku dan keras tentang benar dan salah, yang dipelajari dari orang tua, menjadi berubah dan anak mulai memperhitungkan keadaan-keadaan khusus di sekitar pelanggaran moral yang kaku. Misalnya, bagi anak lima tahun, berbohong selalu buruk, sedangkan anak yang lebih besar sadar bahwa dalam beberapa situasi, berbohong tidak selalu buruk.

Lawrence Kohlberg dalam Hurlock (1990: 80), menguraikan tahapan moral anak, yaitu: tahap pra-konvensional (1-8 tahun), tahap konvensional (9-13 tahun) dan tahap pascakonvensional (14 tahun ke atas). Pada usia SD kelas IV, siswa masuk dalam tahap pra-konvensional. Pada tingkat ini anak peka terhadap

peraturan-peraturan yang berlatar belakang budaya dan terhadap penilaian baik-buruk, benar-salah, tetapi mengartikannya dari sudut pandang akibat-akibat fisik suatu tindakan atau dari enak-tidaknya akibat-akibat itu. Tindakan ini dibagi menjadi dua tahap:

Tahap 1 : Orentasi hukuman dan kepatuhan. Akibat-akibat fisik dari tindakan menentukan baik-buruknya tindakan itu, entah apapun arti atau nilai akibat-akibat itu bagi manusia. Anak berbuat baik dengan motivasi menghindari hukuman. Tahap 2 : Orentasi relativis instrumenal. Tindakan benar adalah tindakan yang ibarat alat dapat memenuhi kebutuhan sendiri atau kadang-kadang juga memenuhi kebutuhan orang lain. Anak berbuat baik agar mendapat hadiah/pujian dari pihak lain.

d. Perkembangan Sosial

Menurut Hurlock (1989: 250) perkembangan sosial berarti perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. Setelah anak memasuki sekolah dan melakukan hubungan yang lebih banyak dengan anak lain dibandingkan dengan ketika masa pra sekolah, minat pada kegiatan keluarga berkurang. Pada saat yang sama permainan yang bersifat individual menggantikan permainan kelompok membutuhkan sejumlah permainan, lingkungan pergaulan anak yang lebih tua secara bertahap bertambah luas. Dengan berubahnya minat bermain keinginan untuk bergaul dengan teman dan diterima oleh anak di luar rumah bertambah.

Pada waktu mulai sekolah, anak memasuki usia “gang” yaitu usia pada saat kesadaran sosial berkembang pesat. Ada empat hal yang perlu diperhatiakan

anak dalam belajar penyesuaian diri. Pertama, kesempatan yang penuh sosialisasi adalah penting karena anak dapat belajar hidup bermasyarakat dengan orang lain jika sebagaian waktunya digunakan seorang diri. Kedua, dalam keadaan bersama-sama anak tidak hanya mampu berkomunikasi dengan kata-kata yang hanya dapat dipahami oleh orang lain, tetapi juga harus mampu berbicara tentang topik yang dapat dimengerti dan menarik bagi orang lain. Ketiga, anak akan belajar bersosialisasi jika memiliki motivasi. Motivasi tergantung pada tingkat kepuasaan yang diberikan aktivitas sosial pada anak. Jika mereka memperoleh kesenangan melalui hubungan dengan orang lain maka ia akan mengulanginya, demikian juga sebaliknya. Keempat, metode efektif dengan bimbingan adalah penting. Anak anak mempraktekkan apa yang dilihat dan dirasa menarik baginya. Artinya anak akan meniru orang lain yang dijadikan tujuan indentifikasi dirinya.

Melihat keempat hal yang perlu diperhatikan anak belajar penyesuaian diri tersebut, tampak bahwa menjadi pribadi sosial merupakan hal utama yang perlu dikembangkan. Anak menjadi anggota suatu kelompok teman sebaya yang secara bertahap menggantikan keluarga dalam mempengaruhi tingkah laku.

e. Perkembangan Iman

Allen Shelly (1982: 41-49) mengemukakan bahwa anak sudah dapat membedakan antara Allah dan orang tua. Mereka juga mungkin membedakan antara Allah Bapa dan Tuhan Yesus. Pola pikir masih konkret, namun anak usia sekolah mulai menggunakan konsep abstrak untuk menggambarkan Allah. Anak pada usia ini mempunyai keinginan yang besar untuk belajar tentang Allah, mereka suka memanjatkan doa-doa umum pada waktu menjelang tidur dan

makan. Doa-doa mereka biasanya bersifat egosentrik, berupa permohonan kepada Allah untuk menolong dirinya, atau berterima kasih atas orang-orang dalam hal mereka sukai. Anak-anak usia sekolah mempunyai kemampuan mengemukakan untuk menyerap informasi, yang mungkin menjadi berarti pada saat mereka telah dewasa dan telah mengembangkan penuh kemampuan mereka untuk mengerti konsep-konsep abstrak.

Perkembangan anak sekolah begitu cepat, dunia mereka semakin meluas dari lingkungan keluarga ke lingkup sekolah, Gereja dan masyarakat, bahkan orang-orang di negara lain. Pengertian tentang Allah sebagai pencipta, pemberi hukum, dan sahabat melalui pengajaran, teladan orang tua, dan orang lain mulai bertumbuh.

Fowler dalam Cremers (1995: 127-130), membagi teori perkembangan kepercayaan/iman ke dalam tujuh kategori sebagai berikut: tahap kepercayaan awal dan elementer (0-2 tahun), tahap kepercayaan intuitifproyektif (2-6 tahun), tahap kepercayaan mistis-harfiah (6-11 tahun), tahap kepercayaan sintetis-konvensional (12 sampai masa dewasa), tahap kepercayaan individuxatif-reflektif (18 tahun dan seterusnya), tahap kepercayaan yang konjungtif (usia setengah baya 30-40 tahun), dan tahap kepercayaan yang mengacu pada universalitas.

Pada usia SD kelas IV, siswa masuk dalam tahap kepercayaan mistis harfiah. Pada usia ini pikiran anak sekolah amat mengagumkan. Anak mulai dapat mengungkapkan cerita-cerita dan pernyataan langsung dari arus pengalaman itu sendiri yang mencerminkan aliran hidup spontan secara detail. Cerita sebagai sarana perpanjangan dan penemuan diri, diartikan secara harafiah dan dirinya belum dapat ditarik kesimpulan Allah dapat digambarkan secara antropomorpies,

di mana Allah dibayangkan sebagai orang tua bijaksana, penuh perhatian, sabar, seperti tokoh dalam cerita atau dongeng. Oleh karena itu anak belum mempunyai kesadaran diri untuk berrefleksi atas cerita mengenai pengalaman hidupnya.