BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA
B. Kegemukan (Obesitas)
1. Definisi
Kegemukan (obesitas) pada manusia merupakan masalah kesehatan yang mengganggu, karena obesitas dapat disertai dengan peningkatan terjadinya berbagai penyakit, yang mencakup penyakit kardiovaskular dan vesica biliaris serta diabetes. Disamping itu individu yang kegemukan mempunyai peningkatan angka mortilitas. Obesitas adalah peningkatan berat badan 20% atau lebih diatas rata-rata orang sehat dengan tinggi badan, rangka, usia, dan jenis kelamin yang sama(Linder, 1985).
Obesitas pada dasarnya merupakan penimbunan lemak yang berlebihan dalam tubuh yang timbul akibat pemasukan kalori lebih banyak dari yang dibutuhkan tubuh. Kelebihan kalori ini disebabkan oleh gangguan psikis, metabolik dan gangguan pada pusat saraf yang berhubungan dengan pengaturan pemasukan makanan ataupun karena kurangnya aktivitas seseorang (Anonim,1991).
Obesitas dapat digolongkan menjadi obesitas hiperplastik dan obesitas hipertropik. Obesitas hiperplastik adalah obesitas yang terjadi sejak kecil, sedangkan obesitas hipertropik adalah obesitas yang terjadi pada masa dewasa. Jumlah kadar lemak meningkat pada kedua macam obesitas ini. Namun pada obesitas hiperplastik peningkatan ini lebih nyata. Oleh karena itu, diduga bahwa orang yang obesitas sejak kecil ditemukan jaringan adiposa dengan sel adiposit yang jumlah dan ukurannya lebih besar daripada normal. Sebagai akibatnya, penurunan berat orang dewasa yang sejak kecil gemuk lebih sulit daripada orang dewasa yang gemuk sesudah dewasa (Linder, 1985). Obesitas digolongkan menjadi 3 kelompok (Anonim, 2007b).
a. Obesitas ringan : kelebihan berat badan 20-40% . b. Obesitas sedang : kelebihan berat badan 41-100% . c. Obesitas berat : kelebihan berat badan >100%. 2. Penentuan Kegemukan
Pengukuran lemak dalam tubuh seseorang bukan hal yang mudah. Ada berbagai teknik pengukuran yang biasa digunakan:
a. Hydrostatic weighing
Teknik pengukuran ini sering juga disebut sebagai underwater weight. Jaringan non lemak lebih tebal atau padat daripada jaringan lemak. Oleh karena itu, semakin tebal atau padat tubuh seseorang, semakin banyak jaringan non lemaknya. Berat badan diukur dengan skala volume. Caranya adalah dengan mencelupkan seluruh badan di dalam tangki berisi air dan jumlah air yang dipindahkan diukur volumenya. Dari nilai densitas tubuh tersebut dapat diperkirakan persentase lemak tubuh (Anonim, 2001).
b. Pengukuran lipatan kulit
Ketebalan lipatan kulit di beberapa bagian tubuh diukur dengan jangka (suatu alat terbuat dari logam yang menyerupai forseps). Alat ini akan meninggalkan suatu lipatan pada kulit di sejumlah area tubuh. Lemak di bawah area tersebut memberikan informasi mengenai lemak total dalam jaringan tubuh (Schmidt, 2002).
c. Bioelectrical impedance
Penderita berdiri diatas skala khusus dan sejumlah arus listrik yang tidak berbahaya dialirkan ke seluruh tubuh lalu dianalisa. Alat ini dapat mendeteksi jumlah air pada tubuh orang tersebut. Semakin banyak jumlah air, maka semakin banyak jumlah jaringan non lemak di dalam tubuh (Schimdt, 2002).
d. Tabel tinggi dan berat badan
Tabel ini telah digunakan sejak lama untuk menentukan apakah seseorang mengalami kelebihan berat badan. Tabel biasanya memiliki suatu kisaran berat badan untuk tinggi badan tertentu. Permasalahan yang timbul adalah tabel mana
yang terbaik yang harus digunakan tidak diketahui secara pasti. Banyak tabel yang bisa digunakan, dengan berbagai kisaran berat badan yang berbeda. Beberapa tabel ada yang menyertakan ukuran kerangka, umur dan jenis kelamin, sedangkan tabel yang lainnya tidak. Kekurangan dari tabel ini adalah tabel tidak membedakan antara kelebihan lemak dan kelebihan otot. Dilihat dari tabel, seseorang yang sangat berotot bisa tampak gemuk, padahal sesungguhnya tidak (Schmidt, 2002).
e. Body Mass Index (BMI)
BMI merupakan suatu pengukuran yang menghubungkan (membandingkan) berat badan dengan tinggi badan. BMI merupakan rumus matematika dimana berat badan (dalam kilogram) dibagi dengan tinggi badan (dalam meter) pangkat dua (BMI = kg/m2). Seseorang dikatakan mengalami obesitas jika memiliki nilai BMI sebesar 30 kg/m2 atau lebih besar dari 30 kg/m2.
Tabel I. Klasifikasi BMI menurut WHO tahun 1998 (Suharmiati dan Maryani, 2003) BMI (kg/m2) Klasifikasi <18,5 Underweight 18,5-24,9 Normal ≥ 25 Overweight 25-29,9 Pre-obese 30-34,9 Obese I 35-39,9 Obese II ≥ 40 Obese III
Untuk penduduk Asia, para ahli membuat klasifikasi BMI tersendiri seperti tabel di bawah ini.
Tabel II. Klasifikasi BMI menurut WHO tahun 2000 untuk penduduk dewasa Asia (Suharmiati dan Maryani, 2003)
BMI (kg/m2) Klasifikasi <18,5 Underweight 18,5-22,9 Normal ≥ 23 Overweight 23-24,9 Pre-obese 25-29,9 Obese I ≥ 30 Obese II 3. Penyebab Kegemukan
Kelebihan berat badan merupakan hasil interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Penelitian terhadap anak-anak yang diadopsi menunjukkan adanya korelasi antara berat badan mereka dengan orangtua biologis, bukan dengan orang tua yang mengadopsinya (Priyani, 1998).
Secara ilmiah, obesitas terjadi akibat mengkonsumsi kalori lebih banyak dari yang diperlukan oleh tubuh. Penyebab terjadinya ketidakseimbangan antara asupan dan pembakaran kalori ini masih belum jelas. Terjadinya obesitas melibatkan beberapa faktor:
a. Faktor genetik.
Obesitas cenderung diturunkan, sehingga diduga memiliki penyebab genetik. Tetapi anggota keluarga tidak hanya berbagi gen, tetapi juga makanan dan kebiasaan gaya hidup, yang bisa mendorong terjadinya obesitas. Seringkali sulit untuk memisahkan faktor gaya hidup dengan faktor genetik. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa rata-rata faktor genetik memberikan pengaruh sebesar 33% terhadap berat badan seseorang (Anonim, 2007b).
b. Faktor lingkungan.
Gen merupakan faktor yang penting dalam berbagai kasus obesitas, tetapi lingkungan seseorang juga memegang peranan yang cukup berarti. Lingkungan ini termasuk perilaku atau pola gaya hidup (misalnya apa yang dimakan dan berapa kali seseorang makan serta bagaimana aktivitasnya). Seseorang tentu saja tidak dapat mengubah pola genetiknya, tetapi dia dapat mengubah pola makan dan aktivitasnya.
Lingkungan berperan dalam membentuk pola makan seseorang. Orang gemuk memiliki gaya makan yang ditandai dengan makan banyak, makan terlalu sering dan makan terlalu cepat, sehingga terapi untuk menurunkan berat badan diarahkan untuk mengubah gaya makan tersebut (Linder, 1985).
c. Faktor psikis.
Pikiran seseorang bisa mempengaruhi kebiasaan makannya. Banyak orang yang memberikan reaksi terhadap emosinya dengan makan. Salah satu bentuk gangguan emosi adalah persepsi diri yang negatif. Gangguan ini merupakan masalah yang serius pada banyak wanita muda yang menderita obesitas, dan bisa menimbulkan rasa tidak nyaman dalam pergaulan sosial.
Ada dua pola makan abnormal yang bisa menjadi penyebab obesitas yaitu makan dalam jumlah sangat banyak (binge) dan makan di malam hari (sindroma makan pada malam hari). Kedua pola makan ini biasanya dipicu oleh stres dan kekecewaan. Binge mirip dengan bulimia nervosa, dimana seseorang makan dalam jumlah sangat banyak, bedanya pada binge hal ini tidak diikuti dengan memuntahkan kembali apa yang telah dimakan. Sebagai akibatnya kalori yang
dikonsumsi sangat banyak. Pada sindroma makan pada malam hari, adalah berkurangnya nafsu makan di pagi hari dan diikuti dengan makan yang berlebihan, agitasi dan insomnia pada malam hari (Anonim, 2007b).
d. Faktor kesehatan.
Beberapa penyakit bisa menyebabkan obesitas, diantaranya adalah Hipotiroidisme, Sindroma Cushing, beberapa kelainan saraf yang bisa menyebabkan seseorang banyak makan (Anonim, 2007b).
e. Faktor perkembangan.
Penambahan ukuran atau jumlah sel-sel lemak (atau keduanya) menyebabkan bertambahnya jumlah lemak yang disimpan dalam tubuh. Penderita obesitas, terutama yang menjadi gemuk pada masa kanak-kanak, bisa memiliki sel lemak sampai 5 kali lebih banyak dibandingkan dengan orang yang berat badannya normal. Jumlah sel-sel lemak tidak dapat dikurangi, karena itu penurunan berat badan hanya dapat dilakukan dengan cara mengurangi jumlah lemak di dalam setiap sel (Anonim, 2007b).
f. Aktivitas fisik.
Kurangnya aktivitas fisik kemungkinan merupakan salah satu penyebab utama dari meningkatnya angka kejadian obesitas di tengah masyarakat yang makmur. Orang-orang yang tidak aktif memerlukan lebih sedikit kalori. Seseorang yang cenderung mengkonsumsi makanan kaya lemak dan tidak melakukan aktivitas fisik yang seimbang, akan mengalami obesitas (Anonim, 2007b).
4. Resiko Kegemukan
Resiko kegemukan dapat digolongkan menjadi dua yaitu psikososial dan medis. Resiko psikososial meliputi hambatan fisik, sosial dan psikologis. Orang gemuk mempunyai banyak kesulitan dalam melakukan aktivitas fisik sehingga mengurangi kesempatan untuk melakukan berbagai kegiatan sosial. Pada orang gemuk dapat timbul rasa rendah diri, tertekan, serta keputusasaan (Noer, 1996).
Orang gemuk cenderung sering sakit. Untuk lebih mengerti secara keseluruhan adanya hubungan antara resiko dan kegemukan, perlu diketahui kelainan metabolik yang mungkin timbul pada orang gemuk. Kelainan metabolik yang terjadi pada orang gemuk berhubungan dengan besarnya lapisan lemak, dan akan normal kembali dengan pengurangan berat badan (Noer, 1996).
Obesitas bukan hanya tidak enak dipandang mata tetapi merupakan dilema kesehatan yang mengerikan. Obesitas secara langsung berbahaya bagi kesehatan seseorang. Obesitas meningkatkan resiko terjadinya sejumlah penyakit menahun seperti: diabetes tipe 2 (timbul pada masa dewasa), hipertensi, stroke, infark miokardium, gagal jantung, batu kandung empedu dan batu kandung kemih, gout dan artritis gout, osteoartritis, sleep apneu (kegagalan untuk bernafas secara normal ketika sedang tidur, menyebabkan berkurangnya kadar oksigen dalam darah), sindroma Pickwickian, yaitu obesitas disertai wajah kemerahan, underventilasi dan ngantuk (Anonim, 2007b).