• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengolahan data dilakukan dengan tahapan yaitu :

3.6 Analisis Data

4.3.3 Teluk Popoh

4.3.3.2 Kegiatan perikanan tangkap

Kabupaten Tulungagung mempunyai potensi sumberdaya ikan laut + 9.000 ton/tahun (Dihitung 1% dari potensi ikan di Samudera Indonesia). Melihat realisasi produksi hasil yang telah dimanfaatkan sebesar 15% - 20%. Potensi sumberdaya laut yang masih dapat dieksploitasi lagi sebesar ada + 7.500 ton/tahun..

Kegiatan perikanan tangkap terdapat di Teluk Popoh. Di lokasi ini terdapat Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) tempat menampung hasil tangkapan nelayan dan aktivitas nelayan. Disamping sebagai Pangkalan Pendaratan Ikan Teluk Prigi digunakan juga sebagai sarana rekreasi

Kegiatan perikanan tangkap di wilayah Teluk Popoh termasuk aktivitas ekonomi yang menjadi mata pencaharian utama bagi masyarakat pesisir di wilayah tersebut. Daerah tangkapan ikan (fishing ground) perikanan tangkap nelayan meliputi kawasan Teluk Popoh dan disekitar perairan Teluk Prigi dan Blitar. Kegiatan perikanan tangkap di wilayah ini didukung oleh adanya Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI), yaitu PPI Popoh.

Mayoritas penduduk di sekitar Pantai Popoh bermatapencaharian sebagai nelayan. Jenis usaha yang dilakukan oleh penduduk setempat adalah usaha penangkapan ikan dan pengolahan ikan. Pekerjaan melaut ini dilakukan oleh para penduduk laki-laki. Sedangkan penduduk wanita membantu dalam usaha pengolahan dan pemasaran. Pengolahan ikan ini meliputi pengeringan, pemindangan dan pengasinan. Selain agar mutu ikan dapat terjaga dan bertahan lebih lama, pengolahan ikan ini juga bertujuan untuk meningkatkan nilai jual dari ikan tersebut.

Perkembangan perikanan tangkap di Teluk Popoh dapat dikelompokkan ke dalam tiga periode, yaitu 1982 – 1990; 1990 – 2000 dan 2000 sampai sekarang. Dibandingkan dengan Teluk Prigi dan Sendang Biru, perkembangan perikanan tangkap di Teluk Popoh menunjukkan perkembangan yang lambat. Pada periode 1982 – 1990 perkembangan perikanan di Teluk Popoh ditandai

Penggunaan potas oleh nelayan andon dari Blitar dalam operasi penangkapan ikan pada periode 1990 – 2000 telah menyebabkan konflik dengan nelayan lokal. Konflik penggunaan potas juga melibatkan pengelola tambak udang dengan nelayan Popoh. Perkembangan perikanan tangkap di Teluk Popoh periode 1982 – 2004 dapat dilihat pada Gambar 22.

secara modern oleh investor besar. Sebagian besar nelayan kecil adalah merupakan penduduk lokal etnik Jawa. Secara umum alat tangkap perikanan di Teluk Popoh cenderung mengalami penurunan. Pada Gambar 23 terlihat bahwa penurunan yang tajam terjadi pada 1996 dan 1999. Jumlah alat tangkap cenderung tetap mulai 2001 sampai 2004, yaitu sebanyak 315 unit. Komposisi alat tangkap terdiri dari purse seine, payang, jaring insang hanyut (gillnet), pancing, jaring dan pukat pantai. Alat tangkap yang dominan di Teluk Popoh adalah jaring (123 unit) dan jaring insang (85 unit).

Gambar 23. Perkembangan jumlah alat tangkap di Kabupaten Tulungagung periode 1990 – 2004

Produksi perikanan tangkap di Kabupaten Tulungagung dari tahun ke tahun selalu memiliki kecenderungan meningkat. Peningkatan yang tajam terjadi pada periode 2001 – 2003, yaitu sebanyak 1,499,940.00 Kg (2001) menjadi 2,491,000.00 Kg (2002) dan 5,156,840.00 Kg (2003). Pada Gambar 24 disajikan perkembangannya jumlah produksi penangkapan ikan di laut (tahun 1990-2003).

0 200 400 600 800 1000 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 20 1 2 3 4 Tahun Ju m la h ( U ni t) Alat tangkap

Gambar 24. Perkembangan produksi perikanan tangkap di Kabupaten Tulungagung periode 1990 - 2003

Dari sekitar 40 jenis ikan dan udang yang ditangkap dan didaratkan di Kabupaten Tulungagung, terdapat empat jenis ikan yang menunjukkan jumlah produksi yang konsisten mulai 1990 sampai 2003, yaitu jenis tongkol, kembung, layang dan peperek (salem).

4.3.3.3 Jenis konflik

Hasil pengamatan dan wawancara dengan stakeholder di lokasi penelitian berhasil diidentifikasi tujuh kasus konflik yang tercakup dalam enam jenis konflik perikanan tangkap yaitu :

1) konflik retribusi 2) konflik daerah tangkap 3) konflik alat tangkap

4) konflik penggunaan potas/obat-obatan 5) konflik bagi hasil

6) konflik nelayan lokal vs andon

Gambaran lengkap mengenai konflik perikanan tangkap di Teluk Popoh dapat dilihat pada Tabel 4.

0.00 1,000.00 2,000.00 3,000.00 4,000.00 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 20 1 2 3 Tahun Jum lah ( To n)

konflik 2004 Alat tangkap Perbedaan persepsi (pemahaman)

terhadap alat tangkap. Nelayan pancing menuduh bahwa jaring gillnet dasar menutupi karang hingga mati

Nelayan Gillnet dasar vs pancing

Alokasi internal Kesepakatan desa Negosiasi

2004 Bagi hasil Sistem bagi hasil yang dinilai tidak adil oleh juragan. Keluarga ABK mengambil ikan sebelum dibawa ke TPI.

ABK dengan juragan

purse seine

Alokasi internal Proses Negosiasi

2004 Retribusi Bakul keberatan membayar retribusi yang besarnya Rp 500,-/basket setiap membawa ikan keluar areal PPI/wisata. Pengelola wisata mengeluhkan bau dari usaha perikanan

Bakul vs Pengelola daerah wisata

Alokasi eksternal Belum ada penyelesaian Fasilitasi

2004 Daerah tangkap Kecemburuan nelayan lokal terhadap nelayan andon atas hasil tangkapan

Nelayan pancing lokal vs nelayan payang andon

Alokasi internal Kesepakatan desa, yang ditengahi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan dan aparat. ABK andon dibatasi 5 orang sisanya nelayan lokal

Mediasi

2000 Penggunaan potas/obat-obatan

Nelayan menuduh penggunaan obat-obatan pengusaha tambak udang yang membunuh ikan di sekitar pantai

Pengusaha tambak vs nelayan

Alokasi eksternal Kesepakatan desa Mediasi

1995-1997 Nelayan Blitar menggunakan kompresor dan potas untuk menangkap ikan karang.

Nelayan Blitar vs nelayan lokal

Alokasi internal Kesepakatan desa Mediasi

dasar dengan nelayan pancing. Gill net atau jaring insang merupakan salah satu alat tangkap dominan yang diintroduksi di kawasan teluk Popoh. Pada mulanya nelayan menggunakan drift gill net (jaring insang hanyut) dengan hasil tangkapan yang cukup banyak, sehingga alat tangkap ini dapat digolongkan sebagai alat tangkap efektif untuk digunakan di perairan Teluk Popoh. Namun demikian, keberadaan alat tangkap ini mulai menimbulkan kecemburuan dari nelayan lain yang menggunakan alat tangkap berbeda, seperti nelayan pancing. Konflik dipicu oleh adanya penggunaan bottom gill net (jaring insang dasar) oleh nelayan. Nelayan pancing menuduh bahwa gill net dasar menutupi biota karang hingga mati, sehingga membuat ikan-ikan karang yang biasanya banyak terdapat di terumbu karang menjadi sulit didapatkan. Konflik ini sempat menimbulkan ketegangan diantara kelompok nelayan gill net dan kelompok nelayan pancing, tetapi tidak sampai ke tahap krisis karena dapat diredam oleh ke dua belah pihak dengan melakukan negosiasi guna mencari solusi yang dapat diterima oleh ke dua belah pihak.

Konflik bagi hasil

Konflik bagi hasil terjadi pada nelayan purse seine yang melibatkan juragan pemilik dengan ABK. Konflik ini disebabkan adanya anggapan juragan darat bahwa bagi hasil dinilai tidak adil dan lebih menguntungkan ABK. Kesepakatan tidak tertulis mengenai bagian untuk masing-masing pihak ditentukan berdasarkan hasil penjualan ikan di TPI, yang kemudian dibagi antara juragan darat dengan ABK. Dalam prakteknya, kesepakatan ini dilanggar oleh ABK karena mereka telah menyisihkan ikan hasil tangkapan sebelum dibawa ke TPI. Kebiasaan para nelayan ABK menyisihkan ikan hasil tangkapan dikenal dengan esekan. Karena jumlah ABK-nya yang cukup banyak maka esekannyapun akan semakin besar dan akhirnya mengurangi jumlah ikan yang akan dibawa ke TPI. Dengan demikian ABK memperoleh bagian yang lebih besar karena mereka memperoleh bagian dari bagi hasil serta esekan.

Daerah (Pemprov. Jatim, Pemkab Malang) dan Koperasi Unit Desa (KUD). Konflik terjadi disebabkan penetapan tarif retribusi melalui Peraturan daerah (Perda) sebesar 5% yang mendapatkan penolakan dari para nelayan. Menurut nelayan Pemerintah tidak selayaknya menetapkan kenaikan tarif retribusi karena Pemerintah belum memberikan jaminan yang memadai terhadap kelancaran operasional PPI. Kondisi ini menunjukkan bahwa konflik retribusi mempunyai kaitan yang erat dengan konflik tambat labuh. Proses resolusi konflik retribusi sejauh ini dilakukan dengan adanya negosiasi antara Pemerintah Daerah (Pemprov. Jatim, Pemkab Malang) dan Koperasi Unit Desa (KUD); Pada dasarnya semua pihak memahami akan perlunya dikenakannya pungutan retribusi ntuk keperluan operasional PPI, sehingga dicapai kesepakatan berupa penetapan tarif retribusi sebesar 3 % dari jumlah penjualan hasil tangkapan mereka. Pada 2004 besarnya retribusi yang berhasil dikumpulkan adalah 955 juta. Retribusi tersebut ditarik dari penjualan kotor sebesar 32 milyar dengan hasil produksi lebih kurang 7.000 ton

Konflik retribusi muncul pertama kali pada 1982 dan kemudian muncul kembali pada 2004, melibatkan bakul ikan dengan pengelola pariwisata. Konflik ini disebabkan karena bakul dikenakan biaya retribusi oleh pengelola daerah wisata . Besar tarif retribusi adalah Rp 500,-/basket pada setiap kali membawa ikan keluar kawasan PPI. Para bakul berpendapat mereka telah membayar retribusi sebesar 3 persen kapada pemerintah sehingga seharusnya mereka tidak dibebani lagi dengan pungutan yang lain. Dilain pihak, pengelola daerah wisata berpendapat retribusi diperlukan karena para bakul telah memanfaatkan jalan akses yang dipelihara oleh pengelola pariwisata. Terkait dengan lokasi PPI yang berada di dalam kawasan wisata, pengelola wisata juga mengeluhkan adanya bau amis yang dirasakan mengganggu kenyamanan bagi pengunjung daerah wisata. Hingga saat ini status penyelesaian konflik ini belum jelas dan belum ada penyelesaian yang dapat diterima oleh ke dua belah pihak. Dalam proses resolusi konflik ini, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tulungagung berperan sebagai fasilitator.

dasar. Konflik terjadi karena adanya perbedaan persepsi yaitu nelayan pancing menuduh jaring insang monofilament dasar yang digunakan oleh nelayan jaring insang tertinggal dan menutupi karang sehingga karang tersebut mati dan ikan tidak berkumpul ditempat tersebut.

Konflik alokasi sumberdaya eksternal melibatkan masyarakat nelayan dengan PT Perhutani. Dampak dari resesi ekonomi juga melanda masyarakat di Teluk Popoh. Hasil tangkapan ikan yang tidak mencukupi, mengakibatkan nelayan harus mencari sumber lain untuk memenuhi kebutuhannya. Sumber lain yang dimaksudkan adalah perambahan hutan jati milik PT Perhutani yang berada di wilayah Teluk Popoh oleh masyarakat nelayan.

Konflik daerah tangkap

Konflik perebutan fishing ground melibatkan nelayan lokal dengan nelayan andon dari Pasuruan. Konflik ini disebabkan oleh adanya kecemburuan nelayan lokal terhadap nelayan andon yang produktivitas hasil tangkapannya lebih tinggi. Konflik mencapai puncaknya ketika terjadi pembakaran kapal nelayan andon oleh nelayan lokal. Diberlakukannya kebijakan otonomi daerah juga diartikan oleh masyarakat nelayan secara sempit. Masyarakat lokal melarang nelayan andon beroperasi di perairan Teluk Popoh karena mereka merasa memiliki hak atas sumberdaya yang ada di lingkungan Teluk Popoh. Dari segi perkembangan sosial-ekonomi masyarakat nelayan setempat, peranan andon sebenarnya cukup signifikan karena nelayan andon memberikan kontribusi yang lebih besar dibandingkan dengan nelayan lokal pada penerimaan daerah berupa retribusi, disamping peranan dalam mengintroduksi teknologi penangkapan ikan dan etos kerja. Oleh karena itu kehadiran nelayan andon sangat penting baik bagi Pemerintah Daerah maupun bagi masyarakat lokal.

Konflik penggunaan potas/obat-obatan

Konflik penggunaan potas/obat-obatan melibatkan masyarakat nelayan dengan pengelola tambak. Masyarakat nelayan menuduh pengelola tambak telah menggunakan obat-obatan di tambaknya dan dibuang ke laut sehingga

Popoh. Konflik penggunaan potas/obat-obatan juga terjadi di Teluk Popoh, melibatkan nelayan lokal dengan nelayan Blitar. Nelayan lokal menuduh nelayan Blitar menggunakan potas dalam operasi penangkapan ikan karang sehingga membahayakan kelestarian sumberdaya ikan di perairan Teluk Popoh.

4.3.3.4 Pengelolaan konflik

Berbeda dengan wilayah Teluk Prigi dan Sendang Biru, pengelolaan konflik di Teluk Popoh seperti daerah tangkap, perbedaan alat tangkap, bagi hasil, konflik antara nelayan lokal dengan andon, retribusi hasil ikan dan penggunaan potas dalam penangkapan ikan karang, selalu melibatkan pihak ke tiga, baik di tingkat Kecamatan (Muspika) maupun Kabupaten (Muspida), karena tanpa bantuan pihak ketiga maka konflik yang ada tidak dapat dituntaskan dengan baik. Kepolisian Resort (Polres) Tulungagung dan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tulungagung sangat berperan dalam proses resolusi konflik. Konflik yang skalanya kecil biasanya diselesaikan dengan melibatkan perangkat desa dan kesepakatan yang dicapai kemudian dituangkan dalam bentuk peraturan desa.

Pengelolaan konflik perebutan fishing ground diselesaikan dengan melibatkan Muspida dan Muspika sebagai mediator. Hal ini disebabkan karena masyarakat lokal belum memiliki kemampuan untuk menyelesaikan konfliknya sendiri. Kesepakatan yang dicapai dalam penyelesaian konflik adalah nelayan andon diwajibkan memperkerjakan nelayan lokal dalam armada penangkapannya, dengan ketentuan dalam satu kapal jumlah nelayan andon dibatasi maksimum hanya lima orang sedangkan sisanya nelayan lokal. Pada awalnya kesepakatan ini berjalan dengan baik, tetapi pada akhirnya terjadi pelanggaran dengan tidak direkrutnya nelayan lokal dalam armada penangkapan nelayan andon, dengan alasan nelayan lokal tidak memiliki etos kerja yang kuat dan cenderung bermalas-malasan.

Pengelolaan konflik bagi hasil dilakukan dengan menegosiasikan kembali sistem bagi hasil antara juragan darat dan ABK. Hal ini dilakukan karena jika tidak dibuat kesepakatan baru maka operasi armada purse seine akan tidak

melalui proses negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang berperan sebagai mediator. Secara umum keterkaitan antar stakeholder dalam proses resolusi konflik di Teluk Sendang Biru dapat dilihat pada Gambar 25.

: fasilitasi/mediasi : konflik

Gambar 25. Keterkaitan antar stakeholder dalam proses resolusi konflik di Teluk Popoh

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, diperoleh kesimpulan bahwa resolusi konflik perikanan tangkap yang ada di Teluk Popoh pada dasarnya baru mampu merubah wujud konflik yang awalnya mencuat menjadi bentuk konflik laten yang sewaktu-waktu dapat muncul kembali.

Terkait dengan proses resolusi konflik, Pemda Tulungagung juga telah melakukan upaya-upaya diversifikasi usaha untuk mengatasi kesenjangan sosial yang ada dikalangan masyarakat di Teluk Popoh. Sebagai contoh telah dilakukan upaya pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan kegiatan pengolahan ikan dan pembuatan cinderamata. Namun sampai sejauh ini belum menunjukkan hasil yang memadai, misalnya khusus untuk cinderamata masih dipasok dari Situbondo dan tidak ada yang dihasilkan oleh masyarakat lokal.

Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa masyarakat nelayan di Teluk Popoh mudah terprovokasi dan dimanfaatkan oleh pihak lain yang mempunyai keinginan tertentu. Sebagai contoh, pernah terjadi konflik antar nelayan yang dimotori oleh tokoh-tokoh setempat. Setelah ditelusuri ternyata

FACILITATOR/MEDIATOR : APARAT DESA APARAT KAB. PPI POPOH Pihak berkonflik I Pihak berkonflik II

4.3.4 Pembahasan

Dalam penelitian ini telah berhasil ditemukan 27 kasus konflik di Teluk Prigi, Teluk Sendang Biru dan Teluk Popoh, yang dapat dikelompokkan menjadi konflik retribusi, konflik tambat labuh, konflik daerah tangkap, konflik perbedaan alat tangkap, konflik penggunaan potas/obat-obatan, konflik bagi hasil, konflik nelayan lokal dengan andon, konflik pengolahan limbah dan konflik perusakan terumbu karang, seperti pada Tabel 5.

Tabel 5. Jenis konflik perikanan tangkap di lokasi penelitian

Jenis konflik Lokasi Penelitian Jumlah Sendang Biru Popoh Prigi Retribusi 1 1 - 2 Tambat labuh 1 - - 1 Daerah tangkap 3 1 2 6 Alat tangkap 1 1 3 5 Penggunaan potas/obat-obatan 1 2 2 5 Bagi hasil - 1 1 2

Nelayan lokal vs andon 1 1 1 3

Pengolahan limbah - - 2 2

Perusakan terumbu karang - - 1 1

Jumlah 8 7 12 27

Pada Tabel 5 terlihat jumlah jenis konflik tertinggi terjadi di Teluk Prigi sementara terendah di Teluk Popoh. Konflik daerah tangkap, merupakan konflik yang sering terjadi. Konflik ini melibatkan antara sesama nelayan lokal, sesama nelayan andon atau antara nelayan lokal dengan nelayan andon. Konflik daerah tangkap disebabkan terlalu banyaknya jumlah nelayan yang menangkap ikan di

fishing ground yang sama.

Charles (2001) membagi konflik perikanan ke dalam empat tipologi, yaitu: 1) konflik jurisdiksi, 2) konflik alokasi internal, 3) konflik alokasi eksternal dan 4) konflik mekanisme pengelolaan. Konflik jurisdiksi terjadi pada tataran kebijakan dan perencanaan, konflik ini terkait dengan tujuan pengelolaan, pihak yang berhak dan memiliki kontrol atas sumberdaya dan peran yang harus dilakukan oleh

tangkap, konflik daerah tangkap (fishing ground), nelayan dan pengolah. Konflik alokasi eksternal terkait dengan nelayan dan pihak lain yang tidak terkait langsung dengan penangkapan, misalnya budidaya, pariwisata dan masyarakat umum. Konflik mekanisme pengelolaan terkait dengan implementasi rencana pengelolaan, penegakan hukum dan lain-lain.

Berdasarkan tipologi Charles (2001) maka ke 27 kasus konflik perikanan tangkap di lokasi penelitian dapat dikelompokkan seperti pada Tabel 6.

Tabel 6. Tipologi konflik perikanan tangkap di lokasi penelitian berdasarkan kriteria Charles (2001)

Tipologi konflik Lokasi Penelitian Jumlah

Sendang Biru Popoh Prigi

Jurisdiksi - - - -

Alokasi Internal 6 5 9 20

Alokasi Eksternal - 2 2 4

Mekanisme pengelolaan 2 - 1 3

Jumlah 8 7 12 27

Pada tabel di atas dapat diketahui tipologi konflik di lokasi penelitian sebagian besar adalah alokasi internal (20), diikuti oleh alokasi eksternal (4) dan mekanisme pengelolaan (3), sementara konflik yang terkait dengan masalah jurisdiksi tidak dijumpai di lokasi penelitian. Konflik alokasi internal terjadi di semua lokasi penelitian, konflik alokasi eksternal terjadi di Teluk Popoh dan Teluk Prigi, sementara konflik mekanisme pengelolaan hanya terjadi di Teluk Sendang Biru.

Pengelolaan konflik pada dasarnya dapat diselesaikan dengan teknik litigasi (pengadilan) maupun alternatif penyelesaian sengketa (alternative dispute

resolution/ADR). Hasil wawancara mendalam dengan responden di tiga lokasi

penelitian diketahui sebagian besar konflik yang terjadi diselesaikan menggunakan ADR, yaitu melalui negosiasi, mediasi, fasilitasi. Sedangkan sebagian kecil konflik dibiarkan selesai dengan sendirinya. Teknik resolusi konflik yang digunakan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 7.

Sendang Biru Popoh Prigi Negosiasi 5 2 5 12 Fasilitasi 1 1 3 5 Mediasi - 4 4 8 Dibiarkan 2 - - 2 Jumlah 8 7 12 27

Metoda pengelolaan konflik yang paling banyak digunakan di lokasi penelitian adalah negosiasi, diikuti dengan mediasi dan fasilitasi. Terdapat dua jenis konflik yang dibiarkan selesai dengan sendirinya yaitu konflik tambat labuh dan konflik penangkapan ikan dengan menggunakan potas di Teluk Sendang Biru. Penyelesaian konflik tambat labuh yang dibiarkan begitu saja disebabkan karena konflik ini terkait dengan terbatasnya sarana pelabuhan dan perilaku nelayan yang tidak mau segera berpindah ke tempat lain setelah menurunkan muatan. Peningkatan sarana pelabuhan merupakan kewenangan Pemerintah yang relatif sulit untuk direalisasikan disebabkan keterbatasan sumber dana, sedangkan konflik penggunaan potas dibiarkan dengan sendirinya disebabkan karena jumlahnya yang kecil serta sulit membuktikan pelakunya.

Berdasarkan jenis dan teknik resolusi konflik yang digunakan di lokasi penelitian dapat digambarkan peta resolusi konflik seperti pada Tabel 8. Pada tabel terlihat 5 (lima) jenis konflik (12 kasus) diselesaikan dengan teknik negosiasi yaitu konflik retribusi (1 kasus), daerah tangkap (3 kasus), perbedaan alat tangkap (4 kasus), penggunaan potas/obat-obatan (2 kasus) dan bagi hasil (2 kasus). Teknik fasilitasi digunakan untuk menyelesaikan 4 (empat) jenis konflik (5 kasus) yaitu konflik retribusi (1 kasus), daerah tangkap (1 kasus), pengolahan limbah (2 kasus) dan perusakan terumbu karang (1 kasus); Teknik mediasi digunakan untuk menyelesaikan 4 (empat) jenis konflik (8 kasus) yaitu konflik daerah tangkap (2 kasus), perbedaan alat tangkap (2 kasus), penggunaan potas/obat-obatan (2 kasus) dan konflik antara nelayan lokal dengan nelayan andon (2 kasus), sedangkan teknik avoidance digunakan untuk menyelesaikan 2 (dua) jenis konflik yaitu konflik tambat labuh (1 kasus) dan penggunaan potas/obat-obatan (1 kasus).

Jenis konflik Jumlah Negosiasi Fasilitasi Mediasi Dibiarkan

Retribusi 1 1 - - 2

Tambat labuh - - - 1 1

Daerah tangkap 3 1 2 - 6

Perbedaan alat tangkap 4 - 2 - 6

Penggunaan potas/obat-obatan 2 - 2 1 5

Bagi hasil 2 - - - 2

Nelayan lokal vs andon - - 2 - 2

Pengolahan limbah - 2 - - 2

Perusakan terumbu karang - 1 - - 1

Jumlah 12 5 8 2 27

Bila tipologi konflik dihubungkan dengan teknik resolusi konflik maka hasilnya dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Tipologi konflik dan teknik resolusi yang digunakan

Tipologi konflik

Metode resolusi konflik

Jumlah Negosiasi Fasilitasi Mediasi Dibiarkan

Alokasi internal 10 2 7 1 20

Alokasi eksternal - 3 1 - 4

Mekanisme Pengelolaan 2 - - 1 3

Jumlah 12 5 8 2 27

Konflik alokasi internal paling banyak diselesaikan dengan teknik negosiasi dan mediasi. Hal ini disebabkan permasalahan konflik alokasi internal sangat dipahami oleh masing-masing pihak yang berkonflik sehingga mereka bersedia dipertemukan untuk menyelesaikan konflik. Sedangkan konflik alokasi eksternal diselesaikan dengan teknik fasilitasi dan mediasi. Sementara konflik mekanisme pengelolaan diselesaikan dengan teknik negosiasi dan dibiarkan selesai dengan sendirinya.

Identifikasi faktor penyebab konflik di lokasi penelitian telah berhasil didapatkan 11 sub variabel penyebab konflik yang diturunkan dari tiga variabel penyebab konflik yang dikemukakan oleh Bennet dan Neilland (2000) yaitu aktor, kondisi sumberdaya dan kondisi lingkungan.

Sub variabel yang berkaitan dengan aktor ada tujuh macam yaitu: banyak sedikitnya pihak yang terlibat dalam konflik (PART), keberadaan tokoh dalam

budaya dan adat istiadat (CULT), dan adanya keinginan tertentu dalam masyarakat (INTE). Sub variabel yang berkaitan dengan kondisi sumberdaya adalah kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP) dan persepsi masyarakat terhadap stok sumberdaya (STOK). Sementara sub-variabel yang berkaitan dengan kondisi lingkungan adalah kondisi perekonomian masyarakat (EKON) dan keberadaan peraturan dan penegakan hukum (LAWS). Secara ringkas sub variabel penyebab konflik tersebut jika dikelompokkan kedalam variabel menurut Bennet dan Neiland (2000) terlihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Sub variabel penyebab konflik perikanan tangkap menurut Bennet dan Neiland (2000)

No Variabel Sub Variabel

1 Aktor a. PART : banyak sedikitnya pihak yang terlibat dalam

konflik

b. LEAD : keberadaan tokoh dalam konflik

c. OPOS : keberadaan pihak yang bertolak belakang d. ISSU : isu yang berkembang dalam masyarakat e. POPU : jumlah nelayan

f. CULT : latar belakang budaya dan adat istiadat g. INTE : adanya keinginan tertentu dalammasyarakat

2. Kondisi sumberdaya a. COMP : kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya

b. STOK : persepsi masyarakat terhadap stok sumberdaya

3. Kondisi Lingkungan a. EKON : kondisi perekonomian masyarakat

b. LAWS : keberadaan peraturan dan penegakan hukum

4.3.5 Kesimpulan

Jenis konflik di lokasi penelitian berjumlah 27 kasus, yang dikelompokkan ke dalam sembilan jenis konflik yaitu : 1) konflik retribusi, 2) konflik tambat labuh, 3) konflik daerah tangkap, 4) konflik perbedaan alat tangkap, 5) konflik penggunaan potas/obat-obatan, 6) konflik bagi hasil, 7) konflik nelayan lokal vs andon, 8) konflik pengolahan limbah dan 9) konflik perusakan terumbu karang.

Tipologi konflik di lokasi penelitian adalah konflik alokasi internal (20), alokasi eksternal (4) dan mekanisme pengelolaan (3). Konflik jurisdiksi tidak dijumpai di lokasi penelitian. Konflik alokasi internal terjadi di Teluk Prigi, Teluk

Sebagian besar konflik perikanan tangkap diselesaikan dengan teknik negosiasi, mediasi, fasilitasi dan dibiarkan selesai dengan sendirinya. Konflik alokasi internal diselesaikan dengan teknik negosiasi (10) dan mediasi (7). Konflik alokasi eksternal diselesaikan dengan teknik fasilitasi (3) dan mediasi (1). Sementara konflik mekanisme pengelolaan diselesaikan dengan teknik negosiasi (2).

Faktor penyebab konflik perikanan tangkap terdiri dari 11 sub variabel yaitu, banyak sedikitnya pihak yang terlibat dalam konflik, keberadaan tokoh dalam konflik, keberadaan pihak yang bertolak belakang, isu yang berkembang dalam masyarakat, kondisi perekonomian masyarakat, jumlah nelayan, latar belakang budaya dan adat istiadat, keberadaan peraturan dan penegakan hukum,

Dokumen terkait