• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kegiatan Rencana Aksi

E. Sasaran dan Strategi Dasar 1. Sasaran

E.2. Strategi Dasar

2. Kegiatan Rencana Aksi

a. Peningkatan Produksi dan Produktivitas a.1. Perbenihan

Pengembangan industri perbenihan/perbibitan sangat mendesak karena benih/bibut merupakan salah satu sumber penting pertumbuhan produktivitas usahatani. Saat ini industri perbenihan/perbibitan merupakan salah satu mata rantai sistem agribisnis (sub-sistem sarana produksi) yang lemah. Kekayaan keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia merupakan modal dasar yang dapat

didayagunakan untuk membangun suatu industri perbenihan/perbibitan yang mampu memenuhi kebutuhan petani. Program pembangunan sistem perbenihan/perbibitan yang menjadi fokus lima tahun ke depan antara lain adalah :

(i) Mendorong penelitian yang dapat menghasilkan benih/bibit unggul/bermutu tinggi dengan memanfaatkan secara optimal teknologi tinggi, termasuk bioteknologi.

(ii) Mendorong pengembangan industri benih/bibit melalui penumbuhan kemampuan para penangkar dan perusahaan benih.

a.2. Ketersediaan Pupuk

Guna mencapai sasaran produksi komoditas pertanian melalui peningkatan produktivitas diperlukan dukungan ketersediaan sarana produksi, khususnya pupuk, di tingkat petani yang memenuhi enam tepat, yaitu tepat jenis, tepat jumlah, tepat mutu, tepat harga, tepat waktu, dan tepat lokasi. Pupuk merupakan sarana produksi yang sangat dibutuhkan petani dalam mendukung kegiatan usahataninya. Oleh karena itu, kelangkaan/keterlambatan penyediaan pupuk akan dapat mengganggu stabilitas ketersediaan pangan yang disebabkan oleh menurunnya produktivitas akibat dari kurang atau tidak digunakannya pupuk. Agar ketersediaan pupuk di tingkat petani terjamin, di masa datang perlu dilakukan beberapa upaya sebagai berikut :

(i) Memperbaiki dan mengawasi secara ketat sistem distribusi pupuk mulai dari pabrik pupuk hingga ke tingkat petani.

(ii) Menerapkan kebijakan subsidi yang lebih efektif dapat dirasakan petani.

(iii) Mewajibkan pabrik pupuk untuk memprioritaskan alokasi produksinya untuk memenuhi kebutuhan pupuk dalam negeri.

a.3. Rehabilitasi Jaringan Irigasi

Fakta empiris membuktikan bahwa sumber utama pertumbuhan komoditi pertanian, khususnya padi, adalah perluasan lahan beririgasi. Aplikasi teknologi baru dengan pemanfaatan benih unggul, penggunaan pupuk buatan, mekanisasi pertanian dan lain sebagainya juga merupakan sumber-sumber pertumbuhan penting, namun dalam penerapannya tetap mensyaratkan ketersediaan air irigasi yang memadai. Pembangunan jaringan irigasi di Indonesia sudah dimulai sejak jaman kolonial Belanda dan terus berlanjut hingga pertengahan tahun 1980-an. Hasil yang dicapai dari pembangunan jaringan irigasi secara besar-besaran tersebut

adalah dicapainya swasembada beras pada tahun 1984. Namun dekade terakhir menunjukkan kondisi jaringan irigasi sudah mengalami banyak kerusakan (diperkirakan mencapai 40%), sebagai akibat dari makin terbatasnya anggaran untuk pemeliharaan. Untuk itu, upaya yang perlu dilakukan adalah :

(i) Memperbaiki jaringan irigasi yang telah rusak, utamanya di pantai utara Pulau Jawa.

(ii) Mengoptimalkan pemanfaatan dan pembangunan jaringan irigasi baru di luar Jawa.

(iii) Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS) yang saat ini telah banyak mengalami sedimentasi.

(iv) Merevitalisasi kelembagaan pengelolaan air di tingkat petani.

a.4. Konversi dan Perluasan Lahan

Ada dua permasalahan mendasar yang dihadapi pemerintah berkaitan dengan masalah konversi lahan, yaitu sangat timpangnya land rent antar wilayah (Jawa versus Luar Jawa; kota versus desa; sawah versus lahan kering), yang menyebabkan konversi lahan pertanian terkonsentrasi di Jawa, di lahan sawah dan di perkotaan, dan tingginya laju urbanisasi. Untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukan upaya antara lain :

(i) Mengkaji kembali seluruh produk hukum dan membuat peraturan pengendalian baru yang konsisten dan operasional.

(ii) Mengembangkan infrastruktur berupa jaringan jalan, jaringan komunikasi dan lain-lain agar pusat-pusat pengembangan industri dan kota baru makin tersebar ke wilayah di luar Jawa, pedesaan dan lahan kering.

(iii) Membuat kebijakan pengembangan bangunan yang hemat lahan dengan memberikan kemudahan ijin bagi pembangunan bangunan bertingkat seperti rumah, kantor, toko, pasar dan lain-lain.

(iv) Membuat kebijakan kompensasi melalui sistem saham bagi pemilik lahan pertanian yang terkonversi untuk penggunaan non pertanian.

(v) Pembukaan lahan pertanian baru di luar Jawa serta memberikan insentif bagi usaha swasta untuk melakukan hal yang sama.

a.5. Kredit Usaha Agribisnis

Salah satu permasalahan utama yang dihadapi petani adalah keterbatasan modal. Kebijakan penyediaan modal yang sifatnya langsung berupa bantuan modal saja dapat menyebabkan ketergantungan para pelaku agribisnis pada uluran tangan pemerintah. Oleh karena itu, fokus kebijakan mendatang perlu lebih ditujukan untuk pengembangan lembaga keuangan untuk menjadi sumber permodalan bagi usaha-usaha agribisnis. Khusus bagi petani sebagai pelaku agribisnis perlu diupayakan kredit dengan prosedur sederhana, suku bunga yang dapat memberikan insentif serta sistem agunan yang secara mudah dapat dipenuhi oleh petani. Untuk itu, skim permodalan yang akan dikembangkan ke depan harus memiliki karakteristik sebagai berikut :

(i) Dapat mengakomodasi besaran kredit yang diperlukan bagi pengembangan usahatani yang beraneka ragam.

(ii) Mampu melayani tidak hanya pada subsistem produksi saja, tetapi juga pada subsistem lainnya (pengolahan dan pemasaran).

(iii) Fleksibel dalam hal waktu pelayanan dan penyaluran sesuai dengan musim tanam.

(iv) Prosedur pengajuan, penyaluran dan pengembalian sederhana.

(v) Mampu memberikan pelayanan, monitoring penggunaan pinjaman dan kontrol dalam penyaluran kredit, yang menjamin kredit disalurkan kepada sasaran dalam jumlah dan waktu yang tepat;

(vi) Mampu menumbuhkan pembentukan modal (capital formation) melalui tabungan petani atau kelompok tani yang pada gilirannya dapat mengurangi ketergantungan petani pada sumber pembiayaan dari luar.

a.6. Akselerasi Penerapan Teknologi

Banyak pihak menilai bahwa salah satu penyebab utama melambatnya peningkatan produksi komoditas pertanian adalah terjadinya stagnasi inovasi teknologi pertanian. Namun apabila dikaji lebih lanjut, inovasi teknologi pertanian sebenarnya telah banyak dihasilkan oleh lembaga-lembaga penelitian di Indonesia. Permasalahan yang mungkin terjadi adalah kurang progesifnya petani dalam mengadopsi teknologi yang telah dihasilkan tersebut. Ada tiga faktor yang menyebabkan petani kurang progesif dalam mengadopsi teknologi, yaitu : (a) Faktor internal, seperti sikap petani yang cenderung kurang berani menanggung resiko

akibat perubahan teknologi; (b) Faktor eksternal, seperti kurangnya dukungan infrastruktur (receiving and delivery system) untuk adopsi teknologi baru; dan (c) Teknologi yang telah dihasilkan tidak tersedia di pasar karena agen multiplikasi teknologi belum/tidak ada. Oleh karena itu, di masa datang akselerasi penerapan teknologi akan menjadi prioritas utama untuk dilakukan, melalui :

(i) Pemberdayaan lembaga penelitian yang ada di daerah untuk merakit teknologi spesifik lokasi.

(ii) Revitalisasi sistem dan kelembagaan penyuluhan/transfer teknologi.

(iii) Meningkatkan peran swasta dalam memperbanyak (multiplikasi) teknologi pertanian yang telah dihasilkan oleh lembaga-lembaga penelitian.

b. Perlindungan kepada Petani dan Sektor Pertanian

Seperti yang telah diuraikan di muka, salah satu permasalahan utama yang dihadapi oleh petani dan sektor pertanian Indonesia saat ini adalah perdagangan dunia yang bebas dan tidak adil. Produk pertanian Indonesia dihadapkan dengan produk pertanian dari negara-negara lain yang masih memberikan perlindungan kepada petaninya melalui hambatan tarif dan non tariff, subsidi domestik dan subsidi ekspor. Di masa datang, petani dan sektor pertanian Indonesia harus mendapatkan perlindungan yang setara melalui kebijakan subsidi dan kebijakan tarif impor.

b.1. Kebijakan Subsidi

Sejak tahun 1998 praktis petani Indonesia sudah tidak lagi mendapat subsidi untuk mendukung kegiatan usahataninya. Satu-satunya kebijakan subsidi yang tersisa adalah penetapan Harga Dasar Pembelian Pemerintah untuk gabah/beras, dan itupun tidak dapat dimplementasikan secara efektif karena pilar-pilar yang mendukung kebijakan tersebut sudah tidak ada lagi. Dalam dua tahun terakhir, baru diterapkan kembali subsidi pupuk, namun pelaksanaannya juga tidak berjalan baik. Terbatasnya bantuan subsidi ternyata membuat sektor pertanian Indonesia makin tidak berdaya, karena adanya tekanan produk pertanian impor yang sarat dengan subsidi dari pemerintahnya. Untuk mendukung peningkatan produktivitas dan produksi pertanian, ada tiga komponen penting yang perlu mendapat subsidi pemerintah, yaitu benih, pupuk dan modal usahatani.

(i) Subsidi Benih :

Subsidi benih yang diberikan pemerintah kepada BUMN selama ini ternyata masih belum sepenuhnya dapat dinikmati oleh petani. Hal ini diindikasikan oleh masih rendahnya penggunaan benih berlabel oleh petani dengan alasan harga yang masih terlalu tinggi dan tidak selalu tersedia di pasar. Oleh karena itu, di masa depan subsidi benih harus dialokasikan tidak hanya ke BUMN saja, tetapi juga kepada petani penangkar benih. Pemberian subsidi benih ke petani penangkar dilakukan melalui pemberian bantuan modal kerja dan subsidi harga output. Apabila hal ini dapat terlaksana secara baik maka ketersediaan benih unggul akan meningkat sehingga mudah diakses oleh petani dengan harga terjangkau.

(ii) Subsidi Pupuk :

Subsidi pupuk yang diberikan oleh pemerintah hingga mencapai Rp 1,3 trilyun saat ini ternyata masih belum mampu mengatasi gejolak harga di tingkat petani. Sebagian besar petani yang seharusnya mendapatkan harga pupuk bersubsidi masih harus membayar jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh pemerintah. Penyaluran dana subsidi kepada pabrik pupuk dalam bentuk subsidi harga gas hanya karena alasan untuk kemudahan operasional harus ditinjau lagi. D masa datang, subsidi pupuk harus benar-benar dapat dinikmati oleh petani. Mekanisme penyaluran pupuk yang telah berjalan sangat baik pada era 1980-an kiranya dapat dikaji ulang dan dipertimbangkan untuk dilaksanakan selama kurun waktu lima tahun ke depan.

(iii) Subsidi Bunga Pinjaman :

Pemerintah saat ini memang telah mengalokasikan dana pinjaman untuk modal kerja usahatani dengan bunga di bawah bunga pasar sekitar Rp 2,7 trilyun. Namun karena pola pinjamannya disamakan dengan kredit komersial (bank sebagai executing bukan chanelling), maka hanya sebagian kecil petani saja yang mampu mengakses modal kerja tersebut dengan total pinjaman sekitar Rp 400 milyar. Untuk meningkatkan akses petani terhadap pinjaman modal kerja maka peran pihak perbankan yang saat ini sebagai executing perlu diubah kembali menjadi chanelling. Dan untuk menghindari permasalahan tunggakan kredit seperti yang terjadi dalam pola Kredit Usahatani (KUT), maka pola bantuan pengelolaan pinjaman model LUEP (Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan) dapat diadopsi. Dalam model LUEP, penyaluran, penggunaan dan pengembalian pinjaman diawasi secara ketat sehingga tingkat pengembaliannya hingga saat ini dapat mencapai di atas 90%.

b.2. Kebijakan Tarif Impor

Selain subsidi, kebijakan proteksi lain yang diperlukan agar harga yang diterima petani dapat memberikan keuntungan dan insentif usaha yang wajar adalah pengenaan tarif impor yang didukung oleh penerapan yang efektif di lapangan. Fenomena membanjirnya produk pertanian impor yang terjadi saat ini lebih disebabkan oleh kebijakan perdagangan dengan proteksi minimal bagi produsen domestik. Subsidi sarana produksi sudah lama dihilangkan dan tarif yang dikenakan berada pada tingkat minimum. Sementara itu, di berbagai negara eksportir pangan, subsidi bagi para petaninya cukup besar dengan tingkat proteksi yang cukup tinggi, termasuk pengenaan tarif dan hambatan teknis bagi impor produk-produk pangan dari negara berkembang. Di masa datang, kebijakan proteksi perlu ditingkatkan pada level optimal, sehingga diharapkan besarnya surplus perdagangan internasional pangan akan meningkat pula.

Ada empat kelompok komoditas utama yang perlu mendapat proteksi dari pemerintah melalui kebijakan tarif impor optimal, yaitu : (i) beras; (ii) jagung, kedelai, gula; (iii) tanaman hortikultura tropis terpilih (berdasarkan kriteria kepentingan strategis); dan (iv) produk peternakan (daging ayam, daging sapi dan telur). Besaran tarif impor yang dikenakan untuk masing-masing kelompok komoditas berbeda-beda, tergantung pada perannya dalam perekonomian nasional dan upaya pemantapan ketahanan pangan. Secara operasional besaran tarif yang akan dikenakan untuk masing-masing kelompok komoditas adala sebagai berikut.

(i) Untuk beras sebagai komoditas strategis, tarif impornya perlu ditetapkan minimal 30%. Tingkat tarif impor sebesar itu diperlukan untuk melindungi petani padi yang hingga kini masih diusahakan oleh sekitar lebih dari 21 juta rumah tangga petani.

(ii) Tariff impor jagung dan kedelai ditetapkan sekitar 15-20%, sedangkan untuk gula minimal sebesar 30%. Penetapan tarif impor jagung dan kedelai yang cukup moderat dimaksudkan selain untuk melindungi petani agar tetap mendapat insentif untuk melaksanakan usahatani jagung dan kedelai, juga tetap memberikan peluang kepada para pengusaha pakan ternak dan pangan olahan untuk mendapatkan bahan baku jagung dan kedelai impor dengan harga terjangkau. Penetapan tarif impor gula yang cukup tinggi dimaksudkan untuk melindungi industri gula dan petani tebu yang melibatkan ratusan ribu rumah tangga, baik petani maupun pegawai pabrik gula.

(iii) Indonesia memiliki beberapa produk hortikultura tropis, seperti kentang, kubis, bawang merah, bawang putih, pisang, nenas dan jamur yang selama ini merupakan sumber utama penghasil devisa dari sektor pertanian. Namun akhir-akhir ini beberapa produk hortikultura utama tersebut mendapat tekanan dari produk impor sejenis yang harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan harga domestik. Untuk melindungi petani dalam negeri agar tetap memperoleh pendapatan yang memadai dari kegiatan usahataninya, impor beberapa produk hortikultura tropis terpilih tersebut perlu dikenakan tarif impor sekitar 15-20%. Sementara itu, untuk komoditas hortikultura sub tropis walaupun tidak dapat dihasilkan oleh Indonesia, tetap perlu juga dikenakan tarif impor yang berkisar 5-10%. Hal ini perlu dilakukan untuk menciptakan segmentasi pasar sekaligus mengurangi tekanan konsumsi buah-buahan impor yang saat ini makin merambah ke pasar-pasar tradisional.

(iv) Impor produk peternakan, seperti daging ayam, daging sapi dan telur perlu dikenai tarif impor yang berkisar 10-15%. Hal ini perlu dilakukan untuk melindungi industri peternakan dalam negeri, khususnya peternak rakyat, yang jumlahnya cukup besar dan selama ini telah memberikan kontribusi sangat signifikan terhadap konsumsi protein hewani.

c. Pemantapan Ketahanan Pangan

Untuk membangun sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas perlu upaya untuk mendorong perilaku dan kebiasaan masyarakat agar memiliki budaya makan dan hidup sehat. Penganekaragaman konsumsi pangan dapat diartikan sebagai mengkonsumsi anekaragam pangan dari berbagai kelompok pangan, baik pangan pokok, lauk pauk, sayuran maupun buah-buahan dalam jumlah yang cukup, beragam dan berimbang. Makin beragam komposisi pangan yang dikonsumsi, akan makin baik kualitas gizinya, karena pada hakekatnya tidak ada satu jenis pangan yang mempunyai kandungan gizi lengkap dan cukup dalam jumlah dan jenisnya. Apabila upaya ini dapat diwujudkan maka tujuan utama penganekaragaman konsumsi pangan, yaitu meningkatkan mutu gizi konsumsi pangan dan mengurangi ketergantungan konsumsi pangan pada salah satu jenis atau kelompok pangan, khususnya beras, dapat tercapai. Hasil akhir yang ingin dicapai dari upaya penganekaragaman pangan ini adalah terwujudnya ketahanan pangan yang mantap melalui pencapaian swasembada dan kemandirian pangan dan diversifikasi pangan ke arah beragam, bergizi dan berimbang.

Untuk itu dipandang perlu menggalakkan penganekaragaman pangan melalui upaya penyediaan pangan yang beragam, bergizi dan berimbang, mengembangkan perilaku dan sikap keluarga dan masyarakat agar tetap menyukai pangan lokal, serta upaya lainnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Disamping itu, juga perlu upaya meningkatkan daya beli masyarakat dan merubah pola kebiasaan konsumsi masyarakat. Cara yang dapat ditempuh untuk mendukung terlaksananya upaya penganekargaman pangan adalah melalui diversifikasi produksi/ketersediaan dan diversifikasi konsumsi. Diversifikasi produksi dilakukan melalui : (i) Pengembangan pangan karbohidrat khas Nusantara spesifik lokasi, seperti sukun, talas, sagu, jagung, garut, dan lain-lain; (ii) Pengembangan produk (product development) melalui peran industri pengolahan (khususnya usaha kecil menengah) untuk meningkatkan cita ras dan citra produk pangan khas Nusantara (product image); dan (iii) Peningkatan produksi dan ketersediaan sumber pangan protein (ikan, ternak) dan zat gizi mikro (hortikultura).

Diversifikasi konsumsi pangan terkait dengan upaya merubah selera dan kebiasaan makan. Karena itu, pokok kegiatan ini berupa peningkatan pengetahuan, sosialisasi, dan promosi mengenai pola pangan beragam, bergizi dan berimbang. Pendekatan pengembangan diversifikasi konsumsi pangan jangan diidentikan dengan kegiatan pengentasan kemiskinan, tapi merupakan upaya perbaikan konsumsi gizi dan kesehatan.

c.1. Swasembada dan Kemandirian Pangan :

Akhir-akhir ini istilah kemandirian pangan menjadi populer karena istilah tersebut dirasakan lebih dapat membangkitkan rasa nasionalisme, sehingga dapat dijadikan alternatif yang lebih sesuai bagi konsep ketahanan pangan yang ada. Kemandirian pangan mengandung arti kebutuhan pangan nasional harus dipenuhi secara mandiri dengan memberdayakan modal manusia, modal sosial dan ekonomi yang dimiliki petani Indonesia, yang pada gilirannya harus berdampak pada peningkatan kehidupan sosial dan ekonomi petani dan masyarakat lainnya. Dalam operasionalisasinya, konsep mandiri diskenariokan sebagai kondisi dimana kebutuhan pangan nasional minimal 90% dipenuhi dari produksi dalam negeri. Dengan pengertian tersebut, konsep kemandirian pangan sebenarnya merupakan salah satu varian dari konsep swasembada pangan, yang utamanya adalah swasembada absolut dan swasembada on trend. Swasembada absolut adalah kebutuhan pangan seluruhnya (100%) dipenuhi dari produksi dalam negeri, sementara swasembada on trend adalah bahwa dalam beberapa tahun tertentu ada

kalanya mengimpor pangan, tetapi pada tahun lainnya mengekspor, sehingga rata-ratanya dalam jangka menengah tetap memenuhi swasembada.

Dalam rangka ketahanan pangan, Indonesia telah menerapkan kebijakan pangan absolut, khususnya untuk beras sampai awal dekade 1990, dan menganut swasembada on trend sesudahnya. Untuk memantapkan ketahanan pangan ke depan, konsep kemandirian pangan dapat dipakai sebagai acuan dengan definisi : “pemenuhan kebutuhan pangan nasional yang bertumpu seoptimal mungkin pada kemampuan sumberdaya domestik, yang dapat meningkatkan kesejahteraan konsumen dan/atau melindungi produsen, khususnya usaha skala kecil”. Dengan demikian, perdagangan internasional pangan harus dikelola bagi sebesar-besarnya untuk kepentingan mewujudkan ketahanan pangan nasional.

Sebagai contoh, tarif bea masuk rendah dapat dikenakan bagi komoditas pangan yang tidak mempunyai keunggulan kompetitif, sehingga dapat memperbaiki kualitas dan keragaman pola konsumsi masyarakat. Namun, untuk komoditas pangan yang mempunyai keunggulan kompetitif dan basis bagi sumber pendapatan masyarakat banyak, proteksi melalui tingkat tarif yang signifikan diperlukan. Angka kemandirian 90% dapat dipakai acuan bagi pemenuhan pangan secara agregat atau dalam arti luas. Pencapaian angka kemandirian tersebut dapat dipenuhi melalui agregasi kinerja masing-masing kelompok komoditas yang dibedakan berdasarkan kriteria kepentingan strategis, yaitu sebagai berikut :

(a) Secara ekonomis, beras masih tetap merupakan komoditas strategis dalam perekonomian nasional, karena : (i) Usahatani padi menyediakan kesempatan kerja dan sumber pendapatan bagi lebih dari 21 juta rumah tangga tani; (ii) Merupakan bahan pangan pokok bagi 95% penduduk Indonesia yang jumlahnya saat ini sekitar 212 juta jiwa, dengan pangsa konsumsi energi dan protein yang berasal dari beras lebih dari 55%; dan (iii) Sekitar 30% dari total pengeluaran rumah tangga miskin dialokasikan untuk beras. Dengan demikian, kemandirian pangan beras yang akan diwujudkan di masa datang adalah 100% harus dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri (swasembada).

(b) Jagung, kedelai dan gula, yang merupakan salah satu kelompok pangan sumber protein dan energi utama serta bahan baku industri, di masa datang harus diupayakan peningkatan produksinya, minimal mencapai 90%, sehingga impor ketiga jenis pangan tersebut dapat dikurangi.

(c) Indonesia mempunyai potensi sumberdaya alam yang cukup besar (bahkan yang terbesar di Asia Tenggara) untuk menghasilkan produk pangan hortikultura tropis, sehingga di masa datang pemerintah perlu mengupayakan pencapaian kemandirian pangan hortikultura tropis sebesar 100% (swasembada) atau bahkan lebih untuk keperluan ekspor.

(d) Data neraca bahan makanan pangan dari Food Agriculture Organization (FAO) menunjukkan bahwa ketergantungan pangan produk peternakan Indonesia terhadap impor adalah sekitar 13%. Untuk memenuhi kebutuhan pangan produk peternakan dalam negeri yang terus meningkat, di masa datang perlu diupayakan peningkatan produksi peternakan, khususnya daging ayam, daging sapi, telur, dan susu. Upaya peningkatan produksi peternakan ini diharapkan dapat mengurangi laju pertumbuhan impor yang akhir-akhir ini cenderung terus meningkat.

(e) Indonesia merupakan salah satu penghasil minyak sawit terbesar di dunia, bahkan banyak pihak meramalkan 3-5 tahun ke depan akan menjadi yang terbesar di dunia, menggeser Malaysia. Untuk itu, di masa datang Indonesia harus diupayakan untuk menjadi eksportir minyak goreng utama dunia tanpa mengganggu pemenuhan kebutuhan dalam negeri.

Apabila upaya-upaya tersebut di atas dapat diwujudkan, maka secara nasional Indonesia akan mempunyai kemandirian pangan yang cukup tinggi, yang berarti juga ketahanan pangan secara agregat dapat terpelihara. Dengan demikian, sinyalemen yang menyatakan bahwa Indonesia saat ini telah berada dalam perangkap pangan impor, di masa datang dapat dihilangkan.

Tabel 1. Sasaran Produk Domestik Bruto, Investasi, Penyerapan Tenaga Kerja, Pendapatan Petani dan Jumlah Penduduk Miskin Tahun 2005, 2009 dan 2025.

Uraian 2005 2009 2025 Laju(%/th)

PRODUK DOMESTIK BRUTO (Rp milyar) Sektor Pertanian 266.198 316.064 628.141 4.39 - Subsektor Pangan 109.398 120.755 179.263 2.50 - Subsektor Hortikultura 59.408 72.211 157.633 5.00 - Subsektor Perkebunan 52.664 66.487 168.898 6.00 - Subsektor Peternakan 44.727 56.467 143.447 6.00 INVESTASI (Rp milyar) Sektor Pertanian 11.975 14.673 33.078 5.21 - Subsektor Pangan 2.153 2.376 3.523 2.49 - Subsektor Hortikultura 2.282 2.774 6.059 5.00 - Subsektor Perkebunan 5.643 7.124 18.092 6.00 - Subsektor Peternakan 1.897 2.395 6.088 6.00

TENAGA KERJA (000 hok)

Sektor Pertanian 39.545 41.128 48.122 0.99 - Subsektor Pangan 18.271 16.402 10.654 -2.66 - Subsektor Hortikultura 11.217 11.580 13.155 0.80 - Subsektor Perkebunan 6.239 8.415 27.854 7.77 - Subsektor Peternakan 3.818 4.606 9.754 4.80 PENDAPATAN (Rp'000/kap/th) Sektor Pertanian 6.731 7.685 13.059 3.37 - Subsektor Pangan 5.987 7.362 16.828 5.30 - Subsektor Hortikultura 5.296 6.236 11.988 4.17 - Subsektor Perkebunan 8.441 8.810 10.456 1.08 - Subsektor Peternakan 11.715 12.261 14.710 1.14

Tabel 2. Sasaran Produksi Komoditas Pertanian Utama Tahun 2005, 2009 dan 2025. Produksi (000 ton) Komoditas 2005 2009 2025 Laju (%/th) A. Pangan Utama - Beras 33.432 34.355 38.309 0,68 - Jagung 11.277 12.102 16.051 1,78 - Kedelai 765 992 2.805 6,71 - Kacang tanah 857 1.022 2.067 4,50 - Ubi kayu 20.229 23.084 39.143 3,36 - Ubi jalar 2.174 2.481 4.208 3,36 B. Hortikultura a. Sayuran - Bawang merah 852 994 1.842 3,93 - Kentang 895 1.052 2.008 4,12 - Kubis 1.297 1.515 2.820 3,96 - Tomat 689 862 2.112 5,76 - Cabe 209 247 482 4,26 b. Buah-buahan - Alpukat 174 211 456 4,94 - Pisang 4.245 5.129 10.931 4,84 - Mangga 959 1.058 1.567 2,49 - Jeruk 726 845 1.551 3,87 - Pepaya 537 605 975 3,03 C. Perkebunan - Kelapa sawit 12.596 17.650 68.044 8,80 - Karet 2.919 3.286 5.277 3,01 - Kopi 618 677 975 2,31 - Kakao 520 692 2.170 7,41 - Teh 181 199 291 2,40 - Gula tebu 2.138 2.332 3.301 2,20 D. Peternakan - Daging sapi 448 479 626 1,69 - Daging ayam 984 1.159 2.231 4,18 - Telur 1.042 1.378 4.215 7,24 - Susu 693 960 3.535 8,49

Dokumen terkait