• Tidak ada hasil yang ditemukan

ARAH, STRATEGI DAN PROGRAM PEMBANGUNAN PERTANIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ARAH, STRATEGI DAN PROGRAM PEMBANGUNAN PERTANIAN"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

ARAH, STRATEGI DAN PROGRAM

PEMBANGUNAN PERTANIAN 2005 - 2009

RINGKASAN EKSEKUTIF

1.

Dokumen ini berisikan pemikiran awal mengenai visi, misi, strategi dan program pembangunan Pertanian yang dapat digunakan sebagai salah satu rujukan dalam penyusunan Rencana Pembangunan Pertanian 2005-2009. Program lima tahunan (2005-2009) disusun berdasarkan kinerja sektor Pertanian dalam lima tahun terakhir, serta analisis dinamika lingkungan strategis dalam perspektif visi pembangunan jangka panjang (2005-2025). Dokumen ini hendaklah dipandang sebagai draft awal yang masih harus dilengkapi dan disempurnakan lebih lanjut.

Kinerja Pembangunan Pertanian 2000-2003

2.

Selama periode 2000-2003, sektor pertanian (tidak termasuk kehutanan dan perikanan) diterpa dua gejolak eksternal beruntun dan luar biasa, yaitu : (a) anomali iklim El-Nino (1997-1998) dan yang berulang dalam tenggang waktu singkat (2001); dan (b) krisis multidimensi ekonomi-sosial dan politik yang berkepanjangan (1997-1999). Kedua kondisi abnormal tersebut tidak saja membuat kinerja sektor pertanian pada tahun 2000-2003 menjadi terpuruk, tetapi juga menciptakan pesimisme dan resiko ketidakpastian berusaha sehingga sektor pertanian berada dalam ancaman stagnasi berkelanjutan.

3.

Berdasarkan PDB riil, sektor pertanian telah pulih ke level sebelum krisis sejak

tahun 1999, empat tahun lebih cepat dari perekonomian agregat yang baru pulih pada tahun 2003. subsektor tanaman pangan pulih pada tahun 1999, subsektor perkebunan tidak pernah mengalami kontraksi, sementara subsektor peternakan pulih pada tahun 2002. Tidak saja pulih, rata-rata laju pertumbuhan subsektor tanaman pangan dan perkebunan juga telah jauh lebih tinggi daripada periode sebelum krisis. Laju pertumbuhan tahunan subsektor perkebunan meningkat dari 4,30 persen sebelum krisis, menjadi 5,02 persen pada periode tahun 2000-2003, sementara laju pertumbuhan subsektor peternakan masih belum pulih ke level sebelum krisis.

4.

Dibanding sebelum krisis, selama periode 2000-2003, hampir semua produksi komoditas pertanian mengalami peningkatan, insiden kemiskinan di wilayah pedesaan menurun konsisten, kesejahteraan petani meningkat, ketahanan pangan makin mantap, kesempatan kerja di sektor pertanian meningkat, dan

(2)

sumbangan sektor pertanian terhadap penerimaan devisa bertambah. Sektor pertanian telah berhasil berbalik dari ancaman kontraksi berkelanjutan (1997-1999), melepaskan diri dari perangkap “spiral pertumbuhan rendah” (1999-2002), dan sejak tahun 2003 telah berada pada fase percepatan pertumbuhan menuju pertumbuhan berkelanjutan.

Arah, Strategi dan Program Pembangunan Pertanian 2005-2009

5.

Relatif cepat pulihnya sektor pertanian semakin memberikan rasa optimisme bahwa sektor pertanian akan mampu menjalankan lima peran vitalnya, yaitu : (a) sumber pendapatan dan kesempatan kerja bagi penduduk pedesaan, (b) penghasil pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang jumlahnya terus bertambah, (c) pemacu proses industrialisasi, (d) penyumbang devisa negara, dan (e) pasar bagi produk dan jasa sektor non pertanian. Untuk mengoptimalkan peran vital tersebut, maka arah dan strategi pembangunan pertanian disusun dengan mempertimbangkan perubahan lingkungan strategis yang melingkupinya. Pengaruh lingkungan strategis internasional, antara lain : (a) liberalisasi pasar global dan ketidakadilan perdagangan internasional; (b) perubahan sistem dan manajemen produksi; (c) perhatian pada perwujudan ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan (Millenium Development Goals); dan (d) kemajuan pesat dalam penemuan dan pemanfaatan teknologi tinggi. Sementara itu, pengaruh lingkungan strategis nasional antara lain : (a) penduduk dan pola permintaan pangan dan bahan baku; (b) kelangkaan dan degradasi kualitas SDA (lahan, air); (c) karakteristik pertanian dan pedesaan Indonesia; (d) manajemen pembangunan : otonomi daerah dan partisipasi masyarakat; dan (e) perkembangan IPTEK Nasional.

6.

Pembangunan pertanian diartikan sebagai rangkaian berbagai upaya untuk meningkatkan pendapatan petani, menciptakan lapangan kerja, mengentaskan kemiskinan, memantapkan ketahanan pangan dan mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah. Pemerintah melaksanakan perannya sebagai stimulator dan fasilitator yang mendorong tumbuhnya kegiatan ekonomi dan sosial para petani agar memberikan manfaat bagi peningkatan pendapatan dan kesejahteraannya. Untuk dapat mewujudkan peran tersebut, maka visi pembangunan pertanian tahun 2005-2009 adalah “upaya mengangkat harkat derajat, kemampuan dan kesejahteraan petani dengan mewujudkan sektor pertanian yang memiliki nilai tambah tinggi, berdaya saing dan menjadi landasan kokoh pembangunan ekonomi nasional”. Sementara itu, misinya antara lain : (a) mengembangkan dan memfasilitasi organisasi petani

(3)

untuk meningkatkan posisi tawar petani, (b) meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, kesempatan kerja produktif dan memposisikan petani sebagai subyek pembangunan pertanian, (c) mengoptimalkan peran sektor pertanian sebagai penyedia bahan pangan dan bahan baku industri, (d) membangun sarana dan prasarana pertanian, termasuk lembaga pembiayaan pertanian, dan (e) melestarikan sumberdaya alam dan lingkungan hidup untuk mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan.

7.

Sasaran pembangunan pertanian selama kurun waktu lima tahun ke depan (2005-2009) dengan asumsi ekonomi nasional tumbuh 6 persen per tahun, antara lain : (a) Produk Domestik Bruto sektor pertanian berdasarkan harga berlaku ditargetkan akan tumbuh sekitar 4,37 persen per tahun, (b) investasi di bidang pertanian ditargetkan meningkat 5,20 persen per tahun, (c) penyerapan tenaga kerja sektor pertanian ditargetkan hanya sekitar 0,91 persen per tahun, (d) pendapatan petani per kapita per tahun ditargetkan akan meningkat 3,37 persen per tahun, sehingga pada tahun 2009 akan mencapai Rp. 7,7 juta, (e) jumlah penduduk miskin ditargetkan akan menurun sekitar 5,77 persen per tahun, sehingga pada tahun 2009 jumlah penduduk miskin di pedesaan diperkirakan hanya sebesar 6,52 persen, dan (f) produksi tanaman pangan ditargetkan meningkat sekitar 0,68-6,71 persen per tahun, tanaman hortikultura sayuran dan buah-buahan ditargetkan meningkat di atas 3 dan 2 persen per tahun, tanaman perkebunan ditargetkan meningkat sekitar 2,0-8,0 persen per tahun, dan komoditas peternakan ditargetkan meningkat sekitar 1,5-9,0 persen per tahun.

8.

Sesuai dengan Visi, Misi dan Sasaran, maka Program Pembangunan Pertanian lima tahun ke depan, dirumuskan dalam dua program utama, yaitu Program Pengembangan Agribisnis dan Program Peningkatan Ketahanan Pangan.

9.

Program pengembangan agribisnis dilaksanakan dengan memposisikan para

pelaku usaha di sektor pertanian sebagai aktor utama pembangunan pertanian, sedangkan pemerintah sebagai fasilitator untuk menciptakan kondisi kondusif bagi berkembangnya investasi dan bisnis di sektor pertanian. Tujuan program ini adalah mendorong berkembangnya usaha pertanian dari sub sistem hulu hingga hilir dengan wawasan bisnis yang mampu menghasilkan produk pertanian dan industri pertanian primer yang berdaya saing, sehingga menghasilkan nilai tambah bagi peningkatan pendapatan petani, penciptaan lapangan kerja, dan pertumbuhan ekonomi wilayah dan nasional.

(4)

10.

Sasaran Program Pengembangan Agribisnis adalah : (a) meningkatnya produktivitas, kualitas dan produksi komoditas pertanian yang dapat dipasarkan sebagai bahan baku industri pengolahan maupun ekspor; (b) meningkatnya volume dan penerimaan ekspor, serta meningkatnya produk-produk substitusi impor; (c) meningkatnya kesempatan kerja produktif di pedesaan pada on farm dan off farm yang memberikan imbalan (return to factor) yang layak; (d) berkembangnya berbagai kegiatan usaha berbasis pertanian dengan wawasan agribisnis yang mampu memberikan keuntungan yang wajar; (e) meningkatnya partisipasi masyarakat dan investasi swasta dalam pengembangan agribisnis dan memajukan perekonomian pedesaan; dan (f) terpeliharanya produktivitas sumberdaya alam, berkembangnya usaha pertanian konservasi, dan terjaganya kualitas lingkungan hidup.

11.

Berdasarkan tujuan dan sasaran tersebut di atas, pengembangan agribisnis komoditas akan difokuskan pada komoditas strategis, mempunyai prospek untuk dikembangkan berdasarkan basis sumberdaya yang dimiliki dan mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Untuk dapat mewujudkan program pengembangan komoditas pertanian tersebut, perlu adanya dukungan antara lain: (a) pengembangan sumberdaya manusia dan kelembagaan usaha agribisnis; (b) pengembangan kelembagaan pelayanan penunjang agribisnis; (c) penciptaan dan percepatan penerapan inovasi teknologi agribisnis spesifik lokasi; (d) Pendayagunaan secara optimal dan perlindungan sumberdaya hayati; dan (e) pengembangan sistem informasi dan jaringan kerja agribisnis.

12.

Program peningkatan ketahanan pangan dimaksudkan untuk

mengoperasionalkan pembangunan dalam rangka mengembangkan sistem ketahanan pangan, baik di tingkat nasional maupun di tingkat masyarakat. Tujuan dari program ini adalah: (i) menciptakan iklim yang kondusif bagi berfungsinya sub sistem ketersediaan, distribusi, dan konsumsi pangan, (ii) mendorong peningkatan ketersediaan pangan dalam jumlah, mutu dan keragaman, (iii) mendorong penganekaragaman produksi/ketersediaan pangan dan konsumsi pangan beragam, bergizi dan berimbang berbasis sumberdaya lokal, dan (iv) meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam menangani kerawanan dan permasalahan pangan guna mewujudkan ketahanan pangan.

13.

Sasaran yang ingin dicapai dari Program Peningkatan Ketahanan Pangan

adalah: (a) dicapainya ketersediaan pangan tingkat nasional dan rumah tangga yang cukup untuk hidup sehat dan produktif; (b) berkembangnya konsumsi

(5)

pangan beragam, bergizi, berimbang, seiring dengan menurunnya ketergantungan pada pangan pokok beras; dan (c) meningkatnya kemampuan masyarakat, aparat dan pemerintah dalam mengantisipasi masalah kerawanan pangan. Dari tujuan dan sasaran tersebut, program ketahanan pangan dijabarkan lebih lanjut dalam beberapa sub program utama, yaitu : (a) Sub program peningkatan ketersediaan pangan; (b) Sub program distribusi pangan; (c) Sub program pengembangan kelembagaan ketahanan pangan; dan (d) Sub program stabilisasi produksi dan penanggulangan rawan pangan dan gizi.

14.

Sejalan dengan Program Pembangunan Pertanian 2005-2009 yang terdiri dari

Program Pengembangan Agribisnis dan Program Peningkatan Ketahanan Pangan, Kegiatan Rencana Aksi yang perlu dilaksanakan antara lain : (a) Peningkatan Produksi dan Produktivitas, (b) Perlindungan kepada Petani dan Sektor Pertanian, dan (c) Pemantapan Ketahanan Pangan.

15.

Ketiga Kegiatan Rencana Aksi tersebut di atas, dijabarkan lebih lanjut ke dalam kegiatan-kegiatan antara lain : (a) Pengembangan sistem perbenihan, (b) Peningkatan ketersediaan pupuk, (c) Rehabilitasi Jaringan Irigasi, (d) Pengendalian konversi lahan dan perluasan lahan pertanian, (e) Kredit Usaha Agribisnis, (f) Akselerasi Penerapan Teknologi, (g) Kebijakan Subsidi, (h) Kebijakan Tarif Impor, dan (i) Swasembada dan Kemandirian Pangan.

I. PENDAHULUAN

Walaupun cenderung menurun, sebagai implikasi normal dari proses transformasi struktural seiring dengan kemajuan pembangunan, peranan sektor pertanian dalam indikator fundamental ekonomi makro, seperti pertumbuhan produk Domestik Bruto (PDB), penyerapan tenaga kerja atau tingkat pengangguran, inflasi dan neraca perdagangan masih, tetap amat besar. Peranan sektor pertanian tidak saja berupa kontribusi langsung, tetapi juga melalui kontribusi tidak langsung melalui dampak pengganda (multiplier) berspektrum luas; keterkaitan input-output antar industri, konsumsi dan investasi. Sektor pertanian memiliki dampak pengganda yang relatif lebih besar dari sektor-sektor lain dalam perekonomian, sehingga termasuk kategori sektor kunci (key sector), yang berarti memenuhi syarat sebagai mesin penggerak perekonomian nasional.

Tidak saja untuk kesehatan fundamental ekonomi makro, peranan sektor pertanian yang lebih strategis lagi ialah untuk pemantapan ketahanan pangan dan

(6)

pengentasan penduduk dari kemiskinan, dua sasaran akhir pembangunan nasional yang paling mendesak untuk segera diatasi saat ini maupun hingga lima tahun ke depan. Oleh karena itulah sektor pertanian masih akan tetap menjadi andalan perekonomian nasional.

Krisis multi-dimensi tahun 1998-1999 telah membuktikan betapa handalnya sektor pertanian. Sektor pertanian terbukti paling tangguh menghadapi tekanan depresi, sehingga dapat berfungsi sebagai jangkar penopang dari ambruknya perekonomian. Sektor pertanian juga terbukti paling cepat pulih dari terpaan krisis sehingga berfungsi sebagai pelopor pemulihan sektor-sektor lainnya. Setelah mengalami sedikit kontraksi pada tahun 1998, PDB telah pulih dan bahkan melampaui level sebelum krisis pada tahun 1999. Sektor pertanian telah terlepas dari perangkap spiral pertumbuhan rendah yang berlangsung pada periode tahun 1998-1999, dan sejak tahun 2003 telah berada pada fase percepatan pertumbuhan (accelerating growth) sebagai masa transisi menuju pertumbuhan berkelanjutan (sustaining growth).

Agenda ke depan, ialah bagaimana mempertahankan momentum ”accelerating growth” sektor pertanian tersebut. Hal ini amat penting karena sektor-sektor lain, khususnya sektor-sektor industri pengolahan, masih tetap berada pada fase pertumbuhan rendah sehingga belum dapat diandalkan sebagai kekuatan pendorong untuk mengatasi masalah kemiskinan, pengangguran dan ancaman ketahanan pangan, tiga masalah pokok pembangunan yang dihadapi Indonesia saat ini. Dengan demikian, memposisikan sektor pertanian dalam strategi pembangunan nasional 2005-2009 merupakan masalah amat mendesak dan harus segera kita sepakati bersama-sama secara politis.

Dokumen ini berisikan pemikiran awal mengenai visi, misi, strategi dan program pembangunan pertanian, yang dapat digunakan sebagai salah satu rujukan dalam penyusunan Rencana Pembangunan Pertanian 2005-2009. Program lima tahunan (2005-2009) disusun berdasarkan kinerja sektor pertanian dalam lima tahun terakhir serta analisis dinamika lingkungan strategis dalam perspektif visi pembangunan jangka panjang (2005-2025). Dokumen ini hendaklah dipandang sebagai draft awal yang masih harus dilengkapi dan disempurnakan lebih lanjut.

II. KINERJA PEMBANGUNAN PERTANIAN 2000-2003

Kinerja pembangunan pertanian periode 2000-2003 tidak terlepas dari kondisi pertanian pada masa krisis multidimensi yang terjadi pada periode 1998-1999.

(7)

Pada waktu itu telah terjadi perubahan besar, mendadak bahkan kacau balau dalam pertanian kita. Kredit program pertanian dicabut, suku bunga kredit membumbung tinggi sehingga terjadi kelangkaan kredit untuk sektor pertanian. Karena desakan IMF waktu itu, subsidi pertanian (pupuk, benih, dan lain-lain) juga dicabut dan tarif impor komoditi khususnya pertanian sebagian besar dikurangi bahkan dihapus. Infrastruktur pertanian pedesaan khususnya irigasi banyak yang rusak karena biaya pemeliharaan tidak ada. Penyuluh pertanian juga kacau balau, karena terlalu mendadak didaerahkan.

Dalam kondisi seperti itulah Kabinet Reformasi dan kemudian Kabinet Gorong Royong dibentuk. Tugas pertama Menteri Pertanian saat itu adalah bagaimana “memadamkan kebakaran”, yakni menyelamatkan, memulihkan dan menstabilkan kembali landasan pembangunan pertanian.

Dengan memperhatikan kondisi dan perubahan yang terjadi pada waktu itu, Departemen Pertanian bersama stake holder pembangunan lainnya merumuskan dan mengimplementasikan paradigma baru pembangunan pertanian yakni

“pembangunan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi”. Karena kondisi dan perubahan yang ada adalah persoalan sistem, maka strategi pemulihan maupun pembangunan kembali landasan pembangunan tidak boleh sepotong-sepotong, melainkan harus dilakukan secara sistem, yakni sistem agribisnis.

Paradigma baru pembangunan pertanian tersebut dalam 4 tahun terakhir ini dimplementasikan dengan strategi dasar yakni berupa perlindungan dan promosi agribisnis (protection and promotion agribusiness policy). Prinsip kebijakan ini adalah pemerintah memfasilitasi dan membantu tumbuh kembangnya usaha agribisnis khususnya petani di seluruh daerah dan sekaligus melindungi agribisnis domestik dari praktek unfair-trade dari negara lain. Indonesia pada prinsipnya setuju dengan semangat free trade yang diprakarsai WTO tapi harus fair trade (perdagangan yang adil). Kalau negara lain masih melakukan perlindungan pada agribisnisnya, Indonesia juga berhak melindungi agribisnisnya sesuai dengan prinsip-prinsip asas kesetaraan WTO. Alasan Indonesia menaikkan tarif impor beberapa komoditi agribisnis penting seperti gula dan beras selama tiga tahun terakhir adalah bagian dari kebijakan tersebut. Kebijakan tersebut telah berhasil di yakinkan kepada negara lain dalam forum-forum multilateral.

Instrumen kebijakan promosi pembangunan agribisnis tersebut ditempuh baik melalui instrumen budgeter maupun non-budgeter. Instrumen budgeter dilakukan antara lain melalui dekonsentrasi. APBN Deptan langsung di salurkan ke kabupaten/kota dan provinsi, bantuan langsung ke kelompok tani, rehabilitasi dan

(8)

pembangunan infrastruktur pertanian-pedesaan, bantuan barang-barang modal, subsidi pupuk dan benih, bantuan pembinaan SDM dan penyuluhan dan lain-lain. Sedangkan instrumen non-budgeter dilakukan antara lain melalui deregulasi pupuk, pestisida, bibit, alat mesin pertanian, penghapusan PPn pertanian, penyediaan skim perkreditan bersubsidi seperti Kredit Ketahanan Pangan (KKP), asistensi pemerintah daerah dan pelaku agribisnis, dan sebagainya.

Setelah tiga tahun implementasi paradigma baru dan strategi dasar tersebut, tanpa diperkirakan semula, ternyata pertanian Indonesia telah mengalami kemajuan yang signifikan. Semula targetnya adalah “memadamkan kebakaran”, memulihkan dan meletakkan pondasi pembangunan agribisnis, ternyata kemajuan yang dicapai pertanian Indonesia melampaui apa yang pernah dicapai sepanjang sejarah Republik Indonesia. Sektor pertanian telah lepas dari krisis dan saat ini sedang menuju pada stabilitas pertumbuhan tinggi. Ke depan pembangunan sektor pertanian juga diarahkan untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan peran sektor pertanian dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Berikut ini diuraikan secara lebih rinci indikator kinerja sektor pertanian sebagai berikut:

A. Produk Domestik Bruto

Keragaan sektor pertanian (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan) selama periode tahun 2000-2003 telah mengalami pemulihan menuju pertumbuhan berkelanjutan. Selama periode tersebut, rata-rata laju pertumbuhan tahunan Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian mencapai 1,83 persen, jauh lebih tinggi dibanding periode krisis (1998-1999) yang hanya mencapai 0,88 persen, bahkan dibanding periode tahun 1993-1997 (sebelum krisis ekonomi) yang mencapai 1,57 persen. Subsektor tanaman bahan makanan menunjukkan kinerja yang semakin membaik, terlihat dari laju pertumbuhannya sebesar 0,58 persen, lebih tinggi dibanding rata-rata pertumbuhan selama periode sebelum krisis ekonomi yang hanya mencapai 0,13 persen. Hal yang sama juga terjadi pada subsektor perkebunan yang tumbuh sebesar 5,02 persen, lebih tinggi dari periode sebelum krisis yang tumbuh sebesar 4,30 persen, sedangkan subsektor peternakan walaupun telah tumbuh positif sebesar 3,13 persen, namun masih lebih rendah dibandingkan dengan periode sebelum krisis yang mencapai 5,01 persen.

Setelah mengalami sedikit kontraksi (tumbuh negatif 0,74%) pada tahun 1998, PDB sektor pertanian telah pulih, melampaui level sebelum krisis, pada tahun 1999. Sebagai perbandingan, pada tahun 1998, total perekonomian mengalami

(9)

kontraksi luar biasa, yaitu negatif 13,13 persen dan baru pulih ke level di atas sebelum krisis pada tahun 2003. Selain jauh lebih mampu bertahan, sektor pertanian juga mampu pulih jauh lebih cepat dari perekonomian secara umum. Namun demikian, pertumbuhan sektor pertanian pasca krisis masih belum sepenuhnya stabil.

Dengan demikian secara umum disimpulkan bahwa sektor pertanian telah terlepas dari “perangkap spiral pertumbuhan rendah” yang berlangsung selama periode tahun 1998 – 1999. Sektor pertanian telah melewati fase pertumbuhan rendah (1998 – 1999), dan kini (2003) tengah berada pada fase percepatan pertumbuhan (accelerating growth) sebagai masa transisi menuju pertumbuhan berkelanjutan (sustaining growth). Berdasarkan perkembangan indeks PDB terbukti bahwa sektor pertanian mampu pulih lebih awal dibanding sektor ekonomi secara keseluruhan. Walaupun telah pulih ke level sebelum krisis, laju pertumbuhan subsektor perkebunan dan subsektor peternakan, yang merupakan sumber pertumbuhan tinggi dalam sektor pertanian, masih labil dan belum sepenuhnya pulih. Kedua subsektor ini amat tergantung pada kondisi perekonomian nasional maupun global.

B. Produksi Komoditas Pertanian

Selama periode 2000-2003 kinerja komoditas pangan secara umum mengalami perbaikan. Produksi komoditas padi, jagung, kacang tanah, ubi kayu, dan ubi jalar mengalami peningkatan masing-masing 0,53; 3,38; 3,22; 2,81 dan 2,35 persen per tahun, namun rata-rata laju pertumbuhan komoditas kedelai mengalami penurunan sebesar 18,48 persen per tahun. Sumber pertumbuhan produksi komoditas pangan praktis hanyalah peningkatan produktivitas, sementara luas panen cenderung menurun untuk semua komoditas. Produktivitas padi, jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu dan ubi jalar mengalami pertumbuhan positif masing-masing 1,59; 4,95; 1,16; 2,34; 4,72 dan 2,76 persen per tahun, sedangkan luas panen semua komoditas pangan tersebut mengalami penurunan masing-masing 1,06; 1,57; 19,36; 1,36 dan 0,38 persen per tahun, kecuali kacang tanah yang mengalami peningkatan sebesar 0,85 persen per tahun.

Sudah sejak lama kelompok komoditas sayuran sebagai salah satu sumber pertumbuhan tinggi sektor pertanian. Sebagai gambaran, pada tahun 1993-1997, produksi komoditas sayuran tersebut tumbuh amat pesat dengan laju 3,70–20,46 persen per tahun. Krisis ekonomi 1998 tidak membuat produksi sayuran mengalami

(10)

kontraksi, bahkan sebagian besar komoditas sayuran justru mengalami akselerasi pertumbuhan produksi. Hal ini terjadi karena harga jual produk sayuran justru membumbung pada masa krisis tersebut. Perpaduan antara penurunan harga dan insiden anomali iklim pasca krisis telah membuat pertumbuhan produksi sayuran anjlok dan bahkan beberapa mengalami kontraksi pada periode tahun 2000–2002. Namun demikian, pada tahun 2002–2003, komoditas sayuran telah kembali ke fase pertumbuhan tinggi. Pada tahun 2003, komoditas utama sayuran, bawang merah, kubis, kentang, cabai dan tomat, tumbuh amat pesat dengan laju 10-36 persen. Pada periode tahun 2000-2003, produksi buah-buahan tumbuh amat pesat, hampir seluruhnya jauh di atas pertumbuhan pada periode tahun 1993-1997, dengan laju pertumbuhan rata-rata 7,34-28,95 persen per tahun. Ini merupakan bukti tak terbantahkan, bahwa buah-buahan merupakan salah satu sumber utama pertumbuhan tinggi bagi sektor Pertanian.

Subsektor perkebunan juga merupakan salah satu andalan sumber pertumbuhan tinggi bagi sektor pertanian. Pertumbuhan amat tinggi terutama dialami oleh komoditas kelapa sawit dan kakao yang pada tahun 1993-1997 tumbuh dengan laju di atas 10 persen per tahun. Produksi komoditas perkebunan tradisional lainnya, yakni tebu/gula, teh, kopi, dan karet, sudah sejak lama tumbuh lambat, stagnan atau bahkan menurun (tebu/gula). Krisis ekonomi tahun 1998-1999 tidak berdampak negatif, tetapi ternyata justru berdampak positif terhadap komoditas perkebunan, kecuali tebu/gula. Alasan utamanya ialah depresiasi rupiah terhadap dollar Amerika menyebabkan harga komoditas perkebunan melonjak tajam yang selanjutnya mendorong peningkatan volume ekspor komoditas tersebut. Pada tahun 2000-2003, kinerja komoditas perkebunan seluruhnya membaik, jauh lebih baik dibanding pada periode 1993-1997, kecuali untuk kakao.

Subsektor peternakan, juga merupakan andalan utama sumber pertumbuhan tinggi sektor pertanian. Bahkan sudah menjadi fenomena global bahwa subsektor peternakan merupakan sektor penggerak pertumbuhan sektor pertanian melalui apa yang disebut dengan “Revolusi Peternakan“ (Livestock Revolution). Indonesia pun tidak ketinggalan, “Revolusi Peternakan” telah berlangsung sejak awal tahun 1980’an melalui perkembangan amat pesat industri peternakan ayam ras. Pada periode tahun 1992-1993, populasi ayam pedaging dan telur meningkat bertambah pesat dengan laju rata-rata 12,74 dan 6,76 persen per tahun. Kedua komoditas inilah yang menjadi sumber utama pertumbuhan tinggi subsektor peternakan.

(11)

Namun pada saat krisis tahun 1998-1999, industri ayam benar-benar terpuruk, produksi ayam pedaging anjlok dari tumbuh positif 12,74 persen per tahun pada periode tahun 1993-1997 menjadi tumbuh negatif 28,23 per per tahun pada periode tahun 1998-1999. Produksi telur anjlok dari tumbuh positif 6,76 persen per tahun pada periode tahun 1993-1997 menjadi tumbuh negatif 8,92 persen pada periode tahun 1998-1999. Kecuali kuda, seluruh produk peternakan mengalami anjlok produksi pada masa krisis 1997-1998. Penyebabnya ialah perpaduan antara “dorongan ke belakang penawaran“ (supply push back) dan tarikan ke bawah dari lonjakan ongkos produksi dan anjlok permintaan pasar. Seiring dengan pulihnya perekonomian nasional, subsektor peternakan mengalami pemulihan dengan cukup pesat. Dapat dikatakan, pada tahun 2003 subsektor peternakan sudah sepenuhnya pulih dari terpaan krisis tahun 1998-1999. Pada tahun 2003, level produksi seluruh komoditas peternakan sudah melampaui level tertinggi periode sebelum krisis, kecuali untuk daging kerbau dan kuda yang memang sudah sejak lama stagnan atau menurun berkelanjutan. Kontraksi produksi daging unggas diperkirakan terjadi pada tahun 2004 karena adanya wabah flu burung.

C. Kesejahteraan Petani dan Penduduk Pedesaan

Tujuan akhir utama pembangunan pertanian ialah meningkatkan kesejahteraan petani dan penduduk pedesaan secara khusus serta seluruh rakyat Indonesia secara umum. Salah satu indikator utama tingkat kesejahteraan umum ialah prevalensi jumlah penduduk miskin. Salah satu prestasi luar biasa pembangunan Indonesia ialah keberhasilannya dalam menurunkan jumlah penduduk miskin baik di pedesaan maupun di perkotaan. Pada masa pemerintahan Orde Baru, jumlah penduduk miskin di pedesaan menurun tajam dari 44,2 juta orang atau 40,4 persen pada tahun 1978 menjadi 13,3 persen atau 15,3 juta orang pada tahun 1996, sementara di perkotaan menurun dari 38,8 persen atau 10,0 juta orang pada tahun 1978 menjadi 9,7 persen atau 7,2 juta orang. Krisis multi dimensi telah menyebabkan jumlah penduduk miskin pada tahun 1998 melonjak menjadi 26 persen atau sekitar 32 juta orang di pedesaan dan 22 persen atau hampir 18 juta orang. Namun pada tahun 2002, jumlah penduduk miskin telah menurun drastis menjadi 21,1 persen atau 25 juta orang di pedesaan dan 14,5 persen atau 13 juta orang di perkotaan.

Berdasarkan data prevalensi kemiskinan, dapat disimpulkan bahwa pada periode tahun 2000-2002 kesejehtaraan penduduk pedesaan maupun perkotaan jauh lebih baik dari pada periode tahun 1998-1999 (masa krisis), dan sudah

(12)

mendekati keadaan tahun 1996. Berbagai penelitian, termasuk oleh lembaga penelitian independen, konsisten menyimpulkan bahwa yang paling berkontribusi dalam penurunan jumlah penduduk miskin, baik di desa maupun di kota ialah pertumbuhan sektor pertanian. Salah satu studi menunjukkan bahwa kontribusi pertumbuhan sektor pertanian dalam menurunkan total jumlah penduduk miskin mencapai 66 persen, dengan rincian 74 persen di pedesaan dan 55 persen di perkotaan. Dengan demikian, penurunan signifikan jumlah penduduk miskin atau peningkatan kesejahteraan umum selama periode tahun 1998-2002 terutama merupakan kontribusi dari hasil pembangunan sektor pertanian.

Walaupun sesungguhnya kurang valid, variabel lain yang kerap digunakan pengamat di Indonesia sebagai indikator kesejahteraan petani ialah indeks nilai tukar petani (NTP), yakni indeks rasio harga yang diterima dengan harga yang dibayar rumah tangga tani. Setelah anjlok sejak tahun 1998 hingga tahun 2000, nilai tukar petani secara nasional menunjukkan perbaikan signifikan pada tahun 2001 dan terus meningkat hingga tahun 2003. Nilai tukar petani pada tahun 2003 telah jauh melampaui titik tertinggi pada masa Orde Baru (tahun 1995).

Namun patut dicatat bahwa perbaikan NTP tersebut tidak merata antar wilayah. Perbaikan NTP di Jawa lebih awal dan lebih cepat dibandingkan dengan di luar Jawa. Di pulau Jawa, perbaikan NTP terjadi sejak tahun 2001 dengan laju rata-rata 5,07 persen per tahun selama periode tahun 2001-2003. Sedangkan di luar Jawa perbaikan NTP baru terjadi pada tahun 2002 dengan laju rata-rata 2,90 persen per tahun pada periode tahun 2001-2003. Perbaikan kesejahteraan petani di Jawa lebih awal dan lebih besar daripada di luar Jawa.

D. Ketahanan Pangan Nasional

Selama periode tahun 2000-2003, Indonesia tidak pernah mengalami masalah kekurangan ketersediaan pangan. Berdasarkan perhitungan rasio impor beberapa bahan pangan penting terhadap total penyediaan pangan menunjukkan bahwa ketergantungan impor dalam bentuk kalori per jenis bahan pangan terhadap total penyediaan kalori, secara umum relatif kecil. Pada tahun 2003, ketergantungan terhadap impor (kalori) yang berasal dari bahan pangan, berkisar antara 0 persen pada daging ayam, telur, ubi jalar, dan ubikayu hingga 2,2 persen pada beras. Angka ketergantungan yang relatif tinggi adalah gula 1,69 persen, kedelai 1,51 persen, dan jagung 1,25 persen. Perkembangan ketergantungan tersebut berfluktuasi, namun

(13)

cenderung menurun. Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa ketahanan pangan nasional semakin mantap. Kekhawatiran sebagian pihak bahwa Indonesia semakin terancam terperosok ke dalam perangkap ketergantungan impor pangan tidak didukung oleh data yang ada.

Selama periode 2000-2003, aksesibilitas masyarakat terhadap pangan juga semakin baik sebagai hasil perpaduan dari peningkatan pendapatan dan penurunan harga riil bahan pangan. Dibandingkan dengan periode krisis tahun 1998-1999 harga harga riil beras telah menurun tajam dan semakin stabil. Secara umum, harga riil bahan makanan cenderung menurun dan semakin stabil sehingga ketahanan pangan nasional semakin mantap. Membaiknya indikator ketahanan pangan makro (nasional) juga diikuti oleh perbaikan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Setelah menurun cukup signifikan dari 2002 kalori/kapita/hari pada tahun 1996 menjadi 1852 kalori/kapita/hari pada tahun 1999, asupan energi pada tahun 2002 meningkat cukup signifikan menjadi 1986 kalori/kapita/hari. Fenomena yang sama berlaku untuk asupan protein. Setelah menurun dari 54,41 gram/kapita/hari pada tahun 1996 menjadi 48,67 gram/kapita/hari pada tahun 1999, asupan protein meningkat menjadi 54,42 gram/kapita/hari pada tahun 2002. Asupan protein pada tahun 2002 sudah di atas norma kebutuhan dan praktis sama seperti pada tahun 1996 (sebelum krisis).

E. Kesempatan Kerja

Salah satu persoalan besar yang dihadapi bangsa Indonesia adalah defisit neraca pembayaran (balance of payment) dan pengangguran kronis. Kebijakan yang paling superior untuk mengatasi masalah tersebut adalah meningkatkan penerimaan devisa melalui ekspor karena kebijakan tersebut mampu mengatasi defisit neraca pembayaran sekaligus mampu pula menurunkan pengangguran. Kebijakan ekspansif melalui peningkatan output justru akan menambah defisit neraca pembayaran dan sebaliknya kebijakan kontraktif akan gagal mengatasi pengangguran.

Seiring dengan perbaikan ekonomi nasional, kemampuan penyerapan tenaga kerja sektor Pertanian mengalami peningkatan yang cukup mengesankan dari 37,35 juta orang per tahun sebelum masa krisis (1992-1997) menjadi 40,35 juta orang per tahun pada masa pemulihan (2000-2002). Peningkatan kemampuan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian terutama terjadi pada tenaga kerja yang bekerja

(14)

penuh. Ini merupakan bukti tak terbantahkan bahwa sektor Pertanian sudah lepas dari cengkraman krisis ekonomi sejak tahun 2000 dan sektor Pertanian masih menjadi andalan penyerapan kesempatan kerja nasional.

Kemampuan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian tersebut adalah sekitar 40 persen angkatan kerja nasional hanya berasal dari kegiatan sektor pertanian primer, belum termasuk sektor sekunder dan tersier sepanjang vertikal sistem dan usaha agribisnis. Apabila tenaga kerja yang terserap pada sektor sekunder dan tersiernya, maka kemampuan sektor pertanian tentu akan lebih besar lagi. Walaupun kemampuan sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja nasional sangat besar, namun di sisi lain justru menjadi beban bagi sektor Pertanian dalam meningkatkan produktivitas tenaga kerjanya. Oleh karena itu, Departemen Pertanian perlu mengupayakan semaksimal mungkin menciptakan nilai tambah di luar kegiatan pertanian primer yang mampu dinikmati oleh rumah tangga tani.

F. Neraca Perdagangan

Peningkatan penerimaan devisa negara melalui ekspor merupakan suatu yang amat penting untuk mengatasi masalah defisit neraca pembayaran. Kinerja neraca perdagangan (balance of trade) komoditas pertanian mengalami peningkatan secara konsisten selama periode 1993 - 2002. Nilai ekspor komoditas pertanian selama periode sebelum krisis ekonomi (1993-1997) sebesar US$ 5.166 juta meningkat menjadi US$ 5.596 juta pada periode 1998-1999 dan meningkat lagi mejadi US$ 5.676 juta. Sedangkan nilai impor komoditas pertanian sebelum krisis ekonomi tidak banyak mengalami perubahan berarti dibanding masa pemulihan ekonomi. Hal tersebut menyebabkan neraca perdagangan komoditas pertanian mengalami surplus dan cenderung meningkat. Kalau pada periode sebelum krisis ekonomi (1993-1997) neraca perdagangan sebesar US$ 2.243 juta, maka pada periode 1998-1999 meningkat menjadi US$ 2.509 juta dan pada periode 2000 - 2002 meningkat lagi menjadi US$ 2.710.

Surplus neraca perdagangan di atas bukan semata-mata disebabkan oleh penekanan impor tetapi lebih disebabkan oleh peningkatan ekspor. Surplus tersebut merupakan kontribusi sektor pertanian dalam perbaikan neraca pembayaran. Fakta-fakta tersebut merupakan bukti tak terbantahkan, bahwa selain sektor pertanian mampu mengatasi masalah pengangguran nasional, sektor pertanian juga mampu memberikan kontribusi pada perbaikan neraca pembayaran. Fakta tersebut juga

(15)

merupakan bukti bahwa daya saing komoditas pertanian di pasar internasional sudah mulai mengalami perbaikan secara konsisten sejak periode 2000 - 2002.

III. SASARAN PEMBANGUNAN PERTANIAN

JANGKA PANJANG 2025

Walaupun selama periode 2000-2003 pembangunan pertanian telah berhasil meletakkan kembali landasan pembangunannnya, namun dalam lima tahun ke depan masih banyak masalah yang dihadapi pembangunan pertanian terutama berkaitan dengan ketahanan pangan dan kemiskinan. Diperkirakan masalah-masalah tersebut dapat dipecahkan secara tuntas dalam 10 tahun ke depan dan dalam 10 tahun setelah itu pembangunan pertanian diarahkan untuk memantapkan kemandirian ketahanan pangan dan penyelesaian konstruksi pembangunan wilayah miskin, sehingga diharapkan dalam 20 tahun ke depan sektor pertanian menjadi basis perekonomian nasional.

A.

Visi Pertanian 2025

Visi Pertanian tahun 2025 adalah tercapainya pertanian tangguh yang dicirikan oleh kemandirian ekonomi nasional yang berbasis pada sektor pertanian, kemandirian pangan dan hapusnya kemiskinan di wilayah pedesaaan.

1. Kemandirian Ekonomi

Tercapainya kemandirian ekonomi nasional berarti bahwa basis produksi akan makin bertumpu pada kekuatan atau sumberdaya domestik (sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya modal). Oleh karena sektor pertanian berbasis pada sumberdaya domestik, maka kemandirian ekonomi nasional dapat diartikan bahwa struktur ekonomi nasional lebih berbasis pada sektor pertanian.

2. Kemandirian Pangan

Tercapainya kemandirian pangan berarti terpenuhinya kebutuhan kalori dan protein berdasarkan Pola Pangan Harapan (PPH) untuk seluruh penduduk Indonesia yang berasal dari produksi sendiri tanpa bergantung pada sumber-sumber pangan dari luar negeri, utamanya beras, gula, jagung, kedelai, daging ayam dan daging sapi.

(16)

3. Hapusnya Kemiskinan di Wilayah Pedesaan

Hapusnya kemiskinan di wilayah pedesaan berarti bahwa selama periode 2005-2025 ke depan terjadi penurunan secara signifikan jumlah penduduk di wilayah pedesaan yang hidup di bawah garis kemiskinan (menurut kriteria Bank Dunia adalah penduduk yang pendapatan lebih kecil 1 dolar AS per kapita per hari).

B.

Sasaran Jangka Panjang

1. Indikator Makro

PDB pertanian pada tahun 2025 ditargetkan akan mencapai Rp 649,2 triliun, yang terdiri dari subsektor pangan Rp 179,3 triliun, subsektor hortikultura Rp 157,6 triliun, subsektor perkebunan Rp 168,9 triliun dan subsektor peternakan Rp 143,4 triliun (Tabel 1). Investasi di bidang pertanian akan naik menjadi Rp 33,8 triliun, yang terdiri dari subsektor pangan Rp 3,5 triliun, subsektor hortikultura Rp 6,1 triliun, subsektor perkebunan Rp 18,1 triliun dan subsektor peternakan Rp 6,1 triliun. Jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor pertanian akan meningkat menjadi 61,4 juta orang, yang terdiri dari subsektor tanaman 10,7 juta orang (turun dibanding 2009), subsektor hortikultura 13,1 juta orang, subsektor perkebunan 27,9 juta orang dan subsektor peternakan 9,8 juta orang. Pendapatan petani per kapita per tahun untuk subsektor pangan akan meningkat menjadi Rp 13,1 juta, subsektor hortikultura Rp 12 juta, subsektor perkebunan Rp 10,5 juta dan subsektor peternakan Rp 14,7 juta. Jumlah penduduk miskin di wilayah pedesaan ditargetkan akan turun dari 16,87% pada tahun 2009 menjadi 6,52% pada tahun 2025.

2. Indikator Produksi

Produksi komoditas pertanian utama pada tahun 2025 ditargetkan akan meningkat (Tabel 2). Untuk komoditas pangan adalah : beras 38,3 juta ton, jagung 16,1 juta ton, kedelai 2,8 juta ton, kacang tanah 2,1 juta ton, ubi kayu 39,1 juta ton dan ubi jalar 4,2 juta ton. Untuk komoditas sayuran adalah : bawang merah 1,8 juta ton, kentang 2,0 juta ton, kubis 2,8 juta ton, tomat 2,2 juta ton dan cabe 0,5 juta ton. Untuk komoditas buah-buahan adalah : alpukat 0,5 juta ton, pisang 10,9 juta ton, mangga 1,6 juta ton, jeruk 1,6 juta ton dan pepaya 1 juta ton. Untuk komoditas perkebunan adalah : kelapa sawit 68 juta ton, karet 5,3 juta ton, kopi 1 juta ton, kakao 2,2 juta ton, teh 0,3 juta ton dan gula tebu 3,3 juta ton. Untuk komoditas peternakan adalah : daging sapi 0,6 juta ton, daging ayam 2,2 juta ton, telur 4,2 juta ton dan susu 3,5 juta ton.

(17)

C. Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Nasional

Sektor pertanian, terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia, sangat penting dalam pembentukan struktur perekonomian nasional yang kokoh berbasis pada sumberdaya domestik dan lentur terhadap gangguan eksternal. Sektor pertanian tidak hanya berperan dalam akselerasi perekonomian pedesaan yang berbasis pada pertanian tetapi juga berperan dalam akselerasi perekonomian perkotaan yang berbasis pada sektor industri (non pertanian). Dengan demikian tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sektor pertanian sangat berperan dalam akselerasi perekonomian nasional. Secara rinci ada enam peran vital sektor pertanian dalam perekonomian nasional yaitu sebagai berikut.

1. Sebagai Sumber Pendapatan dan Kesempatan Kerja bagi Penduduk Pedesaan

Sektor pertanian merupakan tumpuan hidup bagi sebagian besar penduduk Indonesia, dimana hampir setengah dari angkatan kerja di Indonesia bekerja di sektor ini. Oleh karena itu, upaya menghapus kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi seluruh rakyat Indonesia akan lebih efektif jika dilakukan melalui pembangunan pertanian.

2. Sebagai Penghasil Pangan bagi Penduduk yang Jumlahnya Terus Bertambah

Sektor pertanian merupakan penghasil bahan makanan pokok, dimana ketahanan pangan merupakan prakondisi utama bagi tercapainya ketahanan ekonomi dan politik. Dalam kondisi perekonomian global dan domestik yang belum stabil, ketahanan pangan yang paling mantap adalah melalui pencapaian swasembada pangan. Oleh karena itu, peningkatan produksi pangan untuk mewujudkan, memulihkan dan mempertahankan swasembada merupakan upaya strategis untuk memantapkan ketahanan pangan yang merupakan pilar utama ketahanan nasional.

3. Sebagai Pemacu Proses Industrialisasi

Kegiatan agroindustri, yang merupakan bagian integral dari sektor pertanian, mempunyai kontribusi penting dalam proses industrialisasi, terutama di wilayah pedesaan. Efek agroindustri tidak hanya mentransformasikan produk primer menjadi produk olahan, tetapi juga mentransformasikan budaya kerja dari agraris-tradisional

(18)

yang menciptakan nilai tambah rendah menjadi budaya kerja industrial-modern yang menciptakan nilai tambah tinggi. Dengan demikian, perekonomian menjadi makin efisien dengan produktifitas makin tinggi.

4. Sebagai Penyumbang Devisa Negara

Sektor pertanian merupakan penyumbang devisa relatif besar. Oleh karena produksinya berbasis pada sumberdaya domestik, maka ekspor produk pertanian relatif lebih tangguh dalam menghadapi gejolak ekonomi dunia. Devisa asal pertanian disamping dapat digunakan untuk mengimpor barang-barang modal (peralatan, mesin-mesin, dan lain-lain) yang diperlukan untuk kegiatan produktif, juga dapat mendukung perbaikan neraca pembayaran (balance of payment).

5. Sebagai Pasar bagi Produk dan Jasa Sektor Non-Pertanian

Sektor pertanian berikut masyarakat pedesaan merupakan pasar yang sangat besar bagi produk dan jasa sektor non-pertanian melalui kaitan ke belakang dan kedepan. Produksi pupuk, pestisida, alsintan dan jasa-jasa akan makin berkembang dengan berkembangnya kegiatan pertanian. Demikian pula produksi barang dan jasa untuk konsumsi seperti pakaian, perumahan, perabotan rumah tangga, barang-barang elektronik, listrik, pendidikan, kesehatan, perhubungan dan perdagangan akan meningkat jika pendapatan petani yang sebagian berasal dari pertaian meningkat. Dengan demikian, ekonomi nasional secara keseluruhan akan tertarik dan terdorong untuk tumbuh lebih cepat.

IV. STRATEGI PEMBANGUNAN PERTANIAN 2005 – 2009

A. Perubahan Lingkungan Strategis Sektor Pertanian

Lingkungan strategis pada tingkat internasional yang paling dominan dalam mendorong perubahan struktur perekonomian dan tatanan masyarakat dunia di masa mendatang yang mempengaruhi arah dan sasaran penelitian dan pengembangan di bidang pertanian ialah: (a) liberalisasi pasar global dan ketidakadilan perdagangan internacional; (b) perubahan sistem dan manajemen produksi; (c) perhatian pada perwujudan ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan (Millenium Development Goals); dan (d) kemajuan pesat dalam penemuan dan pemanfaatan teknologi tinggi. Dilain pihak, lingkungan strategis tingkat nasional yang dominan mempengaruhi perubahan struktur perekonomian dan tatanan masyarakat Indonesia

(19)

serta diperkirakan sangat berpengaruh terhadap arah dan sasaran penelitian dan pengembangan pertanian di masa mendatang adalah: (a) penduduk dan pola permintaan pangan dan bahan baku; (b) kelangkaan dan degradasi kualitas SDA (lahan, air); (c) karakteristik Pertanian dan pedesaan Indonesia; (d) manajemen pembangunan : otonomi daerah dan partisipasi masyarakat; dan (e) perkembangan IPTEK Nasional. Berbagai faktor tersebut perlu dicermati dalam menyusun kebijakan pembangunan pertanian di masa mendatang .

A.1. Internasional

a. Liberalisasi Pasar Global dan Ketidakadilan Perdagangan Internacional a.1. Ketimpangan Antar Kawasan Ekonomi

Kesadaran akan manfaat peranan perdagangan internasional bagi kesejahteraan penduduknya mendorong sejumlah negara bertetangga membentuk organisasi kerja sama ekonomi regional yang memiliki kepentingan untuk membangun kekuatan ekonomi bersama. Beberapa kerjasama ekonomi negara yang menonjol yaitu North American Free Trade Area (NAFTA), European Union (EU), ASEAN Free Trade Area (AFTA) dan yang lebih luas lagi Asia Pasific Economic Cooperation (APEC). Melalui integrasi ekonomi, diharapkan hambatan-hambatan perdagangan (trade barriers), baik yang bersifat tariff barrier maupun non tariff barrier, yang mungkin ada di antara sesama negara anggota dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan, sehingga lalu lintas atau mobilitas perdagangan barang dan jasa serta investasi antar negara di dalam suatu kawasan menjadi semakin lancar (borderless).

Pembentukan ekonomi kawasan ini patut mendapat perhatian karena akan dapat menimbulkan ketimpangan ekonomi baru yang bukan lagi dalam hubungan antar negara namun dalam cakupan yang lebih luas lagi yaitu antar kawasan/regional. Ketimpangan antar kawasan ini dapat terjadi karena adanya proses pematangan kawasan ekonomi yang berbeda satu dengan lainnya. Salah satu kawasan ekonomi yang diperkirakan akan sangat kuat adalah Uni Eropa (European Union). Kawasan ini sudah mencapai suatu tahapan penyatuan mata uang (mata uang tunggal Euro), yaitu suatu tahapan yang paling maju dalam implementasi integrasi ekonomi. Kondisi ini akan semakin menyulitkan ekspor produk pertanian Indonesia dan negara-negara lain di luar Eropa, karena sudah pasti akan mendapat perlakukan yang berbeda (peraturan ekspor-impor yang sangat ketat) dengan negara-negara yang berada di kawasan yang sama. Untuk menghadapi masalah ini, Indonesia harus mulai mengembangkan produk pertanian

(20)

olahan dan mengutamakan pangsa pasar dalam negeri yang potensinya juga sangat besar.

a.2. Ketidakadilan Pasar (Unfair Trade)

Sebagai konsekuensi dari negara yang turut meratifikasi perjanjian General on Tariff and Trade dan World Trade Organization (GATT/WTO), Indonesia sejak krisis ekonomi tahun 1998 telah mengurangi seluruh tarif bea masuk komoditi pertanian dan menghapus semua subsidi kepada petani, kecuali Harga Dasar Pembelian Pemerintah untuk gabah/beras. Komitmen menghilangkan kebijakan ekonomi dan perdagangan yang dapat menimbulkan distortif pasar ternyata tidak dilaksanakan oleh semua negara, sehingga petani Indonesia dihadapkan pada persaingan yang tidak adil dengan petani dari negara lain yang dengan mudah mendapat perlindungan tarif dan non tarif serta subsidi langsung dan tidak langsung. Oleh karena itu, ke depan pemerintah masih harus menerapkan kebijakan proteksi sekaligus promosi terhadap produk-produk pertanian strategis, seperti beras dan gula. Kebijakan proteksi yang dapat dilakukan antara lain penetapan tarif impor dan pengaturan impor, sedangkan untuk kebijakan promosi pemerintah dapat memberikan subsidi sarana produksi, subsidi harga output maupun subsidi bunga kredit untuk modal usahatani.

b. Perubahan Sistem dan Manajemen Produksi

Pada awal abad XXI diperkirakan akan terjadi perubahan radikal dalam struktur pasar dan kesempatan kerja yang berimplikasi pada pembentukan pasar baru, yaitu : (1) pada saat itu, kebutuhan dasar manusia telah tercukupi dan selera manusia bergeser pada kebutuhan sekunder dan tersier, sehingga kecenderungan ke depan, pasar jasa akan berkembang lebih cepat dibanding pasar barang; (2) pendapatan masyarakat makin tinggi dan lebih mengutamakan aktualisasi kepuasannya, sehingga segmentasi pasar makin mengarah pada kelompok individu yang makin kecil; dan (3) terjadi pergeseran permintaan antar individu dalam pasar barang dan jasa yang sama.

Sejalan dengan semakin ketatnya persaingan untuk memperoleh pangsa pasar, para pelaku usaha mengembangkan strategi pengelolaan rantai pasokan (Supply Chain Management, SCM) yang mengintegrasikan para pelaku dari semua segmen rantai pasokan secara vertikal ke dalam usaha bersama berlandaskan kesepakatan dan standarisasi proses dan produk yang bersifat spesifik untuk setiap rantai pasokan. Kunci daya saing produk antar rantai pasokan itu adalah efisiensi

(21)

pada setiap segmen rantai pasokan dan keterkaitan fungsional antar segmen dalam memelihara konsistensi setiap pelaku dalam memenuhi kesepakatan dan standar yang digunakan. Untuk menciptakan hal tersebut diperlukan selain integrasi vertikal antar segmen rantai pasokan juga integrasi horizontal antar pelaku dalam satu segmen, misalnya integrasi diantara para produsen, diantara para distributor, dan diantara para pengumpul di dalam satu rantai pasokan yang sama.

Kesepakatan internasional tentang perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual (HaKI) melarang perusahaan domestik untuk meniru teknologi dan merek dagang yang telah dipasarkan oleh perusahaan asing. Hal ini akan mendorong komersialisasi HaKI secara global. Perusahaan domestik yang menggunakan HaKI dan merek dagang asing harus membayar royalti berdasarkan kesepakatan bersama. Sebagai implikasinya, perusahaan-perusahaan multinasional akan merambah ke pasar domestik baik melalui investasi langsung maupun melalui kemitraan rantai-usaha (franchising), maupun dalam bentuk sewa-menyewa merek dagang. Usaha franchising dan sewa merek dagang dalam bidang produksi barang-barang konsumsi domestik, seperti ayam goreng dan hamburger, akan meningkatkan perubahan pola konsumsi dan menimbulkan persaingan ketat dengan produk asli nasional. Mekanisme ini juga merupakan salah satu wahana baru bagi perusahaan multinasional untuk menguasai atau mengendalikan sektor agribisnis Indonesia. Disamping mengandung aspek negatif, franchising dan sewa merek dagang dapat bermanfaat dalam meningkatkan daya saing dan perluasan pangsa pasar produk-produk pertanian, yang berarti berdampak positif bagi perkembangan agribisnis di dalam negeri.

c. Perhatian pada Perwujudan Ketahanan Pangan dan Pengentasan Kemiskinan (Millenium Development Goals)

Pada tahun 1996, melalui pertemuan World Food Summit (WFS), dunia telah bersepakat untuk mewujudkan ketahanan pangan bagi setiap orang dan menghapuskan penduduk yang kelaparan di seluruh negara. Sasaran kuantitatifnya adalah mengurangi jumlah penduduk rawan pangan menjadi setengahnya paling lambat tahun 2015. karena jumlah rawan pangan di dunia tahun 1996 diperkirakan sekitar 800 juta jiwa, maka sasaran pengurangannya sebesar 400 juta jiwa selama 20 tahun, atau rata-rata 20 juta jiwa per tahun. Pada tahun 2002, melalui pertemuan yang sama di Roma, dunia kembali mempertegas dan memperbarui tekad komitmen global yang dibuat dalam Deklarasi Roma 1996. Karena kinerja pencapaian sasaran dalam lima tahun pertama tidak memuaskan, maka pertemuan WFS 2002 memutuskan untuk meningkatkan sasaran pengurangan penduduk rawan pangan sejak tahun 2002 menjadi rata-rata sekitar 22 juta jiwa per tahun.

(22)

Salah satu komitmen penting dalam Deklarasi Roma 2002 adalah penegasan pentingnya pembangunan pertanian dan pedesaan dalam mengikis kelaparan dan kemiskinan. Dunia menyadari bahwa pembangunan pertanian dan pedesaan mempunyai peran kunci dalam pemantapan ketahanan pangan, karena 70 persen penduduk miskin dunia hidup di pedesaan dan mengandalkan sumber penghidupannya dari sektor pertanian. Gambaran kondisi ini ternyata sangat relevan dengan Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada puncak krisis ekonomi tahun 1998, jumlah penduduk miskin hampir mencapai 50 juta jiwa dan sekitar 64,4 persen tinggal di pedesaan. Pada tahun 1999, saat ekonomi menuju pemulihan, jumlah penduduk miskin turun menjadi sekitar 37 juta jiwa dan sekitar 66,8 persen tinggal di pedesaan. Oleh karena itu, tepat sekali argumen yang menyatakan bahwa pengentasan kemiskinan dan pengikisan kelaparan hanya dapat dilakukan melalui pembangunan pertanian dan pedesaan yang berkelanjutan, yang dapat meningkatkan produktivitas pertanian, produksi pangan dan daya beli masyarakat.

d. Kemajuan Pesat dalam Penemuan dan Pemanfaatan Teknologi Tinggi

Kemajuan pesat terjadi di bidang bioteknologi tanaman dan hewan yang didukung dengan kemajuan ilmu biologi molekuler dan berbagai ilmu pendukungnya. Pemetaan genom berbagai organisme, keberhasilan transformasi dan regenerasi organisme hasil rekayasa genetik (genetically modified organism/GMO) membuka peluang bagi pengembangan industri berbasis sumberdaya hayati. Penggunaan GMO dalam kaitan dengan keamanan pangan dan keamanan hayati masih kontroversial. Tiadanya pengetahuan konseptual dan empiris yang kuat dan meyakinkan menghasilkan sikap ragu-ragu dari penentu kebijakan terhadap GMO. Maka negara-negara di dunia menempuh kebijakan permissive policy atau precautionary policy terhadap penggunaan GMO. Situasi yang kontroversial tersebut menyulitkan posisi negara-negara berkembang, berupa tekanan dari negara-negara donor, organisasi dan perusahaan swasta multinasional.

Di bidang alat dan mesin pertanian, dalam menghadapi persaingan telah dikembangkan alat dan mesin untuk budidaya yang telah mencapai tingkat penggunaan robot. Di bidang pasca panen telah dikembangkan teknologi tinggi seperti penginderaan mutu produk tanpa merusak produk tersebut dengan menggunakan image analyzer untuk produk pertanian bernilai komersial tinggi. Ekspansi cepat dari penggunaan satelit dalam pengumpulan data, termasuk Geographical Information System (GIS), dapat digunakan dalam penelitian tata

(23)

ruang kaitannya dengan produksi dan distribusi komoditas pertanian, pengelolaan sumberdaya alam (SDA) dan pengentasan kemiskinan.

Secara umum posisi status teknologi Indonesia pada beberapa komoditas pertanian masih relatif tertinggal dibandingkan dengan negara di kawasan ASEAN. Untuk padi dan unggas Indonesia lebih unggul dibanding dengan negara-negara di Asia Tenggara maupun Asia Tengah. Namun demikian untuk komoditas perkebunan relatif tertinggal dari Malaysia dan hortikultura tertinggal dari Thailand. Untuk produk olahan pangan, produk Indonesia relatif tertinggal dibanding dengan Thailand dan Vietnam. Hal tersebut karena adanya perhatian pemerintah yang bersangkutan yang lebih konsisten dalam membangun rantai agribisnis komoditas dari hulu ke hilir sampai dengan kemudahan dalam pemasaran produk segar maupun olahannya.

A.2. Nasional

a. Penduduk dan Pola Permintaan Pangan dan Bahan Baku

Dinamika penduduk Indonesia ditinjau dari kualitas, pasar tenga kerja, tingkat pendidikan, mobilitas, dan aspek gender tentu akan sangat berpengaruh terhadap keragaan pembangunan pertanian di masa mendatang. Dalam kaitan ini paling tidak ada 3 (tiga) aspek yang perlu mendapat perhatian lebih yaitu: (a) meningkatnya permintaan terhadap produk-produk pertanian, baik dalam jumlah kualitas, dan keragamannya, (b) meningkatnya ketersediaan tenaga kerja, dan (c) meningkatnya tekanan permintaan terhadap lahan untuk penggunaan non-pertanian (pemukiman, tapak industri, infrastruktur ekonomi). Meningkatnya permintaan terhadap produk-produk pertanian dapat dipandang sebagai suatu peluang sekaligus sebagai tantangan pembangunan pertanian. Peningkatan permintaan mengandung arti tersedianya pasar bagi produk-produk pertanian. Di sisi lain, peningkatan permintaan produk permintaan akan menimbulkan tekanan yang lebih besar untuk memacu peningkatan produksi.

Walau melimpahnya ketersediaan tenaga kerja di pedesaan kondusif bagi pertumbuhan sektor pertanian, namun di sisi lain merupakan beban bagi sektor pertanian karena pendapatan buruh tani dan produktivitas tenaga kerja sektor pertanian semakin sulit ditingkatkan. Selain itu, melimpahnya tenaga kerja di sektor pertanian justru menciptakan persoalan baru yaitu terjadinya fragmentasi lahan dan menurunnya luas penguasaan lahan per rumah tangga yang akan melahirkan lebih banyak kemiskinan di sektor pertanian untuk masa yang akan datang. Sebagai akibatnya ialah penduduk miskin di sekor pertanian akan melimpah pula. Diperkirakan dalam jangka waktu 10 tahun ke depan penduduk pedesaan mencapai 131 juta sedikit lebih rendah dibanding penduduk perkotaan yang mencapai 133 juta. Kesenjangan perekonomian pedesaan dan perkotaan masih tetap tinggi, sehingga

(24)

penduduk miskin di pedesaan tetap lebih banyak dibanding perkotaan. Perkiraan ini menunjukkan perlunya pergeseran nyata dalam hal penanganan masalah kemiskinan, ketidaktahanan pangan dan malnutrisi dari pedesaan. Kondisi ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa penanganan masalah kemiskinan dan ketahanan pangan dalam lima tahun ke depan tetap menjadi prioritas utama.

b. Kelangkaan dan Degradasi Kualitas SDA (Lahan, Air)

Ada dua permasalahan mendasar yang dihadapi pemerintah berkaitan dengan masalah konversi lahan. Pertama, sangat timpangnya land rent antar wilayah (Jawa vs Luar Jawa; kota vs desa; sawah vs lahan kering), yang menyebabkan konversi lahan pertanian menjadi terkonsentrasi di Jawa, di lahan sawah dan di perkotaan. Kedua, tingginya laju urbanisasi. Meningkatnya permintaan lahan akibat pertumbuhan penduduk selain menyebabkan penurunan luas baku lahan pertanian juga meningkatnya intensisitas usahatani di daerah airan sungai (DAS) hulu. Penurunan luas baku lahan pertanian, khususnya lahan sawah, yang telah berlangsung sejak paruh kedua dekade 1980-an, saat ini cenderung semakin besar seiring dengan peningkatan konversi ke non pertanian, khususnya di pulau Jawa. Pada beberapa tahun terakhir, luas baku lahan sawah di luar Jawa juga telah mengalami penurunan pula.

Dengan bertambahnya penduduk, kebutuhan pangan juga meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan pangan telah dilakukan intensifikasi dan ekstensifikasi lahan pertanian pangan. Salah satu dampak dari ekstensifikasi antara lain adalah penggundulan hutan. Luas hutan Indonesia menurun dari 65 persen dari total dataran pada tahun 1985 menjadi hanya 47 persen pada tahun 2000. Namun di Pulau Jawa, konversi lahan sawah irigasi menjadi pemukiman dan tapak industri terus berlangsung dengan akselerasi yang makin meningkat. Dampak dari penggundulan hutan dan konversi lahan tersebut antara lain berubahnya iklim secara global, erosi, banjir dan kekeringan.

Penurunan luas baku sawah di daerah hilir pada kondisi jumlah petani tetap bahkan bertambah mendorong peningkatan intensitas usahatani di daerah hulu yang berakibat pada penurunan kualitas DAS. Penurunan kualitas DAS menyebabkan efisiensi saluran irigasi menurun dan saat ini penurunan efisiensi saluran irigasi tersebut makin bertambah karena kurangnya pemeliharaan dan rehabilitasi yang disebabkan terbatasnya dana pemerintah. Penurunan efisiensi saluran irigasi menyebabkan melambatnya perkembangan produktivitas pangan di lahan sawah. Perpaduan antara penurunan luas baku lahan dan efisiensi saluran irigasi menyebabkan kapasitas produksi pangan nasional mengalami penurunan.

(25)

c. Karakteristik Pertanian dan Pedesaan Indonesia

Sensus Pertanian 2003 menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga petani gurem (kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar) meningkat dari 10,9 juta RT pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta RT pada tahun 2003. Dengan pemilikan lahan rata-rata kurang dari 0,5 hektar dan tanpa adanya manajemen pengelolaan lahan yang memungkinkan tercapainya skala usaha, akan mengakibatkan usahatani menjadi kurang menarik secara ekonomis, karena tidak dapat memberikan jaminan sebagai sumber pendapatan yang mampu memberikan penghidupan yang layak.

Fragmentasi lahan telah mengakibatkan inefisiensi yang tinggi dalam usahatani dan kegiatan ekonomi terkait di sektor hilirnya. Dalam hal ini, tantangan yang dihadapi adalah menciptakan sistem kelembagaan pengelolaan lahan yang mampu menjamin petani memenuhi skala usaha yang efisien dalam menghasilkan produk-produk unggulan guna meningkatkan pendapatan dan taraf hidup mereka. Dalam jangka panjang tantangannya adalah bagaimana menciptakan situasi kondusif agar terjadi konsolidasi penguasaan dan pengusahaan lahan oleh petani atau kelompok tani.

Prakiraan profil pedesaan Indonesia menjelang 2020 adalah adanya pertumbuhan pendapatan dengan laju 6 persen per tahun di tingkat nasional dan regional, peningkatan dua kali lipat PDB pertanian (4,5% per tahun), penurunan separuhnya tingkat kemiskinan, penurunan separuhnya anak balita kekurangan gizi, 90 persen masyarakat pedesaan mendapat pelayanan air bersih, 80 persen masyarakat mendapat penyempurnaan sanitasi lingkungan, semua anak-anak desa memperoleh pendidikan dasar, 75 persen anak-anak desa memperoleh pendidikan menengah termasuk anak perempuan, dan 90 persen angkatan kerja memperoleh kesempatan kerja produktif. Pada tingkat masyarakat pedesaan, sebagian besar masyarakat aktif dan berpartisipasi aktif pada kegiatan produktif pertanian dan non-pertanian, masyarakat pedesaan menyadari dan diberdayakan mengenai hak dan kewajiban secara bertanggung jawab, dan memiliki kesadaran sosial yang diwujudkan dalam partisipasinya pada kelembagaan sosial pedesaan dan pada kelembagaan pemerintahan pedesaan.

Realisasi dari prakiraan profil pedesaan di atas memerlukan kemajuan yang nyata dari enam bidang prioritas strategi, yang harus diimplementasikan oleh Departemen Pertanian, bersama dengan Departemen lainnya, pemerintahan dan aparat daerah, dunia usaha, dan organisasi masyarakat. Keenam prioritas strategi tersebut terdiri dari : (1) percepatan pemberdayaan sumberdaya manusia dan kewirausahaan; (2) pemberdayaan kelembagaan modal sosial melalui pemantapan

(26)

desentralisasi, kegotong-royongan, dan pemberdayaan kelembagaan masyarakat; (3) revitalisasi peningkatan produktivitas pertanian berspektrum luas melalui penelitian dan pengembangan pertanian serta diversifikasi; (4) mendukung agribisnis dan sistem usahatani yang kompetitif dan efisien serta pengembangan kawasan industri terkait yang menguntungkan; (5) pemberdayaan dan penguatan pertumbuhan dan produktivitas sektor non-pertanian pedesaan; dan (6) memperkuat pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan. Strategi prioritas tersebut harus didasari oleh kebijakan ekonomi makro yang kokoh.

d. Manajemen Pembangunan : Otonomi Daerah dan Partisipasi Masyarakat d.1. Otonomi Daerah

Seiring dengan pelaksanaan era otonomi daerah yang telah dimulai sejak tahun 2001, telah terjadi beberapa perubahan penting yang berkaitan dengan peran pemerintah pusat dan daerah. Peran pemerintah yang sebelumnya sangat dominan, saat ini berubah menjadi fasilitator, stimulator atau promotor pembangunan pertanian. Pembangunan pertanian pada era otonomi daerah akan lebih mengandalkan kreativitas rakyat di setiap daerah. Selain itu, proses perumusan kebijakan juga akan berubah dari pola top down dan sentralistik menjadi pola bottom up dan desentralistik. Perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan akan lebih banyak dilakukan oleh pemerintah daerah. Pemerintah pusat hanya akan menangani aspek-aspek pembangunan pertanian yang tidak efektif dan efisien ditangani oleh pemerintah daerah atau menangani aspek-aspek pembangunan pertanian yang kepentingan beberapa daerah dan nasional. Dengan format lembaga pemerintah yang demikian maka pengelolaan ketahanan pangan (food security) akan semakin kompleks. Oleh karena berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, masalah ketahanan pangan nasional mestinya tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Pemantapan sistem ketahanan pangan merupakan salah satu tantangan serius di masa mendatang.

d.2. Partisipasi Masyarakat

Tuntutan jaman menghendaki pergeseran peranan masyarakat yang lebih dominan daripada masyarakat. Dengan demikian, reformasi total menuntut perlunya segera melaksanakan rekonstruksi kelembagaan pemerintahan publik berdasarkan prinsip good governance dengan tiga karakteristik utama, yaitu credibility, accountability, dan transparency. Kebijakan pembangunan dirancang secara

(27)

transparan dan melalui debat publik, dilaksanakan secara transparan pula dan diawasi oleh publik, sedangkan pejabat pelaksana bertanggung jawab penuh atas keberhasilan dari kebijakan tersebut. Dengan begitu, kebijakan pembangunan akan lebih berorientasi pada kepentingan masyarakat banyak (demokratis) dan praktek kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) menjadi semakin sulit dilakukan. Demokratisasi kebijakan pembangunan dan pencegahan KKN melalui good governance sangat bermanfaat untuk meminimalkan biaya ekonomi tinggi (high-cost economy) dan distorsi pasar (monopoli dan monopsoni) akibat kesalahan kebijakan. Dengan demikian, perekonomian akan lebih efisien dan pertumbuhan kegiatan bisnis berdasarkan pada keunggulan kompetitif riilnya, bukan karena proteksi atau dukungan pemerintah.

e. Perkembangan IPTEK Nasional

Sistem nasional penelitian, pengembangan dan penerapan IPTEK yang dituangkan dalam UU No. 18/2002, menimbulkan paradigma baru bagi penelitian pengkajian dan pengembangan serta diseminasi hasil-hasil penelitian, karena: (a) memberikan landasan hukum bagi pertumbuhan kemampuan semua unsur kelembagaan dalam penguasaan, pemajuan dan pemanfaatan IPTEK, (b) mendorong pertumbuhan dan pendayagunaan IPTEK secara lebih efektif, (c) menggalakkan pembentukan jaringan kerjasama antar semua unsur kelembagaan IPTEK secara sinergis sehingga kapasitas dan kemampuannya lebih optimal, (d) mengikat semua pihak pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat untuk berperan serta secara aktif dalam pengembangan dan pendayagunaan IPTEK. Paradigma baru yang timbul akibat dari UU No. 18/2002, adalah: a) kerjasama penelitian dan pengembangan antara lembaga tingkat pusat dan lembaga tingkat daerah digalakkan, b) kerjasama penelitian dan pengembangan antara lembaga publik dan lembaga swasta dirangsang, c) kerjasama penelitian dan pengembangan antara lembaga nasional dan internasional diberi peluang lebih besar.

B. Masalah dan Tantangan

Paling sedikit ada enam tantangan (challenges) yang akan dihadapi dalam pembangunan pertanian periode 2005 – 2009 mendatang. Tiga tantangan di antaranya telah menjadi perhatian masyarakat dunia yang dituangkan dalam Millenium Development Goals yaitu : (1) penurunan proporsi jumlah penduduk miskin dengan pendapatan kurang dari 1 dolar AS per kapita per hari sebesar 50 persen selama periode 1990-2015; dan (2) penurunan proporsi jumlah penduduk yang

(28)

kelaparan sebesar 50 persen selama periode 1990-2015 dan (3) pengelolaan lingkungan hidup yang lebih baik.

1. Membangun Pemerintahan yang Baik dan Memposisikan Pertanian sebagai Sektor Andalan Perekonomian Nasional

Cara penyelengaraan pemerintahan yang baik (good governance) sangat diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan pertanian, yaitu : bersih (clean), berkemampuan (competent), memberikan hasil positif (credible) dan secara publik dapat dipertanggungjawabkan (accountable). Pembangunan pertanian akan berhasil jika diawali dengan cara penyelenggaraan pemerintahan yang baik, dimana pemerintah merupakan agen pembangunan yang sangat menentukan keberhasilan pencapaian sasaran pembangunan. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana membangunan pemerintahan yang bersih, berkemampuan, berhasil dan dapat dipertanggungjawabkan.

Disamping itu, politik pertanian kita masih lemah. Walaupun semua komponen bangsa menyadari akan pentingnnya sektor pertanian dalam memperkuat struktur perekonomian nasional, perhatian pemerintah dan elit politik belum sebesar peran sektor pertanian itu sendiri.

2. Mewujudkan Kemandirian Pangan dalam Tatanan Perdagangan Dunia yang Bebas dan Tidak Adil

Kecukupan pangan merupakan masalah hidup dan matinya suatu bangsa, sehingga kemandirian pangan merupakan prioritas tujuan pembangunan pertanian. Tantangan ke depan yang dihadapi dalam rangka mewujudkan kemandirian pangan adalah meningkatnya derajat globalisasi pergangan dunia yang tidak adil. Sebagai anggota WTO, Indonesia merupakan salah satu negara yang paling patuh menjalankan komitmen untuk mewujudkan perdagangan bebas. Indonesia sejak krisis ekonomi tahun 1998 telah mengurangi seluruh tarif bea masuk komoditi pertanian dan menghapus semua subsidi kepada petani, kecuali kebijakan Harga Dasar Pembelian Pemerintah untuk gabah/beras. Namun banyak negara, khususnya negara maju, ternyata belum/tidak melaksanakan komitmen tersebut dengan baik, sehingga petani Indonesia dihadapkan pada persaingan tidak adil dengan petani dari negara-negara lain yang dengan mudah mendapat perlindungan tarif dan non tarif serta subsidi langsung dan tidak langsung dari pemerintahnya. Serbuan impor beberapa komoditas pangan utama meningkat, seperti beras, gula, kedelai, jagung dan daging sapi.

(29)

Akibatnya komoditas pangan Indonesia kalah bersaing dengan komoditas pangan negara lain. Kalau ini dibiarkan terus, maka keberlanjutan pertanian pangan akan tidak terjamin yang berarti jutaan petani pangan akan kehilangan mata pencaharian.

Indonesia juga menghadapi permasalahan dalam negeri yang berkaitan dengan produksi pangan yaitu : (1) upaya meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi jumlah petani gurem, sementara pada saat bersamaan muncul gejala pelambatan produktivitas dan penurunan nilai tukar petani; (2) upaya mempertahankan momentum pertumbuhan tinggi produksi pangan dan membalikkan kecenderungan deselerasi pertumbuhan produksi menjadi akselerasi; (3) upaya mengatasi fenomena ketidakstabilan produksi; dan (4) upaya meningkatkan daya saing produk pangan.

3. Mengurangi Jumlah Petani Miskin, Membangun Basis bagi Partisipasi Petani, dan Pemerataan Hasil Pembangunan

Krisis multi dimensi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 telah menyebabkan jumlah penduduk miskin pada tahun 1998 melonjak menjadi sekitar 32 juta orang (26%) di pedesaan dan sekitar 18 juta orang (22%) di perkotaan. Namun pada tahun 2002, jumlah tersebut telah menurun drastis menjadi sekitar 25 juta orang (21,1%) di pedesaan dan sekitar 13 juta orang (14,5%) di perkotaan. Dengan mengacu pada target tujuan pembangunan era milenium, maka pada tahun 2015 proporsi penduduk miskin akan menjadi 8,54 juta orang (7,15%) di pedesaan dan 4,52 juta orang (8,40%) di perkotaan. Oleh karena itu, selama periode 2002 – 2015, Indonesia harus mampu mengurangi jumlah penduduk miskin sebesar 16,46 juta orang (13,94%) di pedesaan dan 8,48 juta orang (6,10%) di perkotaan. Apabila hal ini dikaitkan dengan fakta bahwa sebagian besar mata pencaharian penduduk di wilayah pedesaan bergantung pada sektor pertanian, maka hal ini berarti bahwa permasalahan kemiskinan sangat terkait dengan sektor pertanian.

Dalam kaitan itu, sektor pertanian berperan sangat strategis dalam pengentasan penduduk miskin di wilayah pedesaan karena sebagian besar penduduk miskin di wilayah pedesaan bergantung pada sektor tersebut. Dengan kata lain, sektor pertanian merupakan sektor yang sangat strategis untuk dijadikan sebagai instrumen dalam pengentasan penduduk miskin. Kemajuan sektor pertanian akan memberikan kontribusi besar dalam penurunan jumlah penduduk miskin di wilayah pedesaan. Demikian pula, basis bagi partisipasi petani untuk melakukan perencanaan dan pengawasan pembangunan pertanian harus dibangun sehingga petani mampu mengaktualisasikan kegiatan usahataninya secara optimal untuk

(30)

menunjang pertumbuhan pendapatannya. Hasil-hasil pembangunan harus terdistribusi makin merata antar sektor, antar subsektor dalam sektor pertanian dan antar lapisan masyarakat agar tidak ada lagi lapisan masyarakat yang tertinggal dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan meningkat.

4. Meningkatkan Pertumbuhan Sektor Pertanian

Pertumbuhan sektor pertanian sangat dibutuhkan untuk mengakselerasi perekonomian pedesaan. Sektor pertanian Indonesia, hingga saat ini masih sangat tergantung pada hasil primer, sehingga nilai tambah yang diperoleh masih rendah dan kurang kompetitif di pasar dalam negeri maupun luar negeri. Ke depan, pemerintah harus dapat mendorong perkembangan produk pertanian olahan primer, selain untuk meningkatkan nilai tambah juga meningkatkan dan memperluas pangsa pasar di dalam dan luar negeri. Negara berkembang penghasil produk pertanian, saat ini banyak yang melakukan pengembangan produk pertanian untuk mensiasati perdagangan dunia yang tidak adil. Apabila hal dapat dilakukan maka sektor pertanian akan tumbuh lebih cepat dan tinggi lagi dibandingkan dengan yang telah dicapai selama ini. Pertumbuhan sektor pertanian yang makin cepat akan memacu pertumbuhan sektor-sektor lain secara lebih cepat melalui kaitan ke belakang dan ke depan dalam kegiatan produksi dan konsumsi. Dengan demikian, sektor pertanian akan lebih dikenal sebagai pengganda tenaga kerja, dan bukan sekedar pencipta kesempatan kerja.

5. Melestarikan Sumberdaya Alam dan Fungsi Lingkungan Hidup

Permasalahan lingkungan hidup yang dihadapi banyak berkaitan dengan penurunan kualitas lingkungan di wilayah hulu yang berakibat langsung pada kualitas lingkungan di wilayah hilir. Meningkatnya permintaan lahan akibat pertumbuhan penduduk selain menyebabkan penurunan luas baku lahan pertanian juga meningkatnya intensisitas usahatani di daerah aliran sungai (DAS) hulu. Penurunan luas baku lahan pertanian, khususnya lahan sawah, yang telah berlangsung sejak paruh kedua dekade 1980-an, saat ini cenderung makin besar seiring dengan peningkatan konversi ke non pertanian, khususnya di pulau Jawa. Pada beberapa tahun terakhir, luas baku lahan sawah di luar Jawa juga telah mengalami penurunan.

Dengan bertambahnya jumlah penduduk, kebutuhan pangan juga meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan pangan telah dilakukan intensifikasi dan ekstensifikasi lahan pertanian pangan. Salah satu dampak dari ekstensifikasi antara lain adalah penggundulan hutan. Luas hutan Indonesia menurun dari 65% dari total daratan

Gambar

Tabel 1.  Sasaran Produk Domestik Bruto, Investasi, Penyerapan Tenaga Kerja,  Pendapatan Petani dan Jumlah Penduduk Miskin  Tahun 2005, 2009 dan  2025
Tabel 2.  Sasaran Produksi Komoditas Pertanian Utama Tahun 2005, 2009 dan  2025.  Produksi (000 ton)  Komoditas  2005  2009  2025  Laju (%/th)  A

Referensi

Dokumen terkait

Beranjak dari kondisi tersebut, perlu dilakukan analisis mengenai konversi lahan pertanian ke non pertanian, analisis komoditas-komoditas unggulan yang dapat

Pengembangan  industri  pertanian  diupayakan  dengan  jalan  memanfaatkan  dan  mendayagunakan  potensi sumber daya yang  dimiliki oleh 

fokus komoditas, tetapi tidak memiliki fokus lokasi, sehingga pembangunan pertanian tidak memiliki fokus lokasi dan daya ungkit yang ingin dilakukan untuk mencapai sasaran yang

program pembangunan yang mendukung Misi III yaitu “ Meningkatkan produksi, produktivitas serta mutu hasil pertanian melalui pengembangan agribisnis dan. agroindustri

sektor industri pengolahan sebagai motor penggerak yang didukung oleh kegiatan pertanian dalam arti luas, kelautan dan pertambangan yang

Karena itu, Pemerintah Indonesia terus berupaya meningkatkan nilai tambah komoditas pertanian melalui pengembangan agroindustri (industri pengolahan hasil pertanian). Namun

Revolusi Hijau telah mewariskan masalah pada hampir seluruh lahan pertanian di dunia sehingga perlu dilakukan beberapa langkah terobosan baru agar produksi pangan

Sasaran yang akan dicapai adalah menguatnya posisi strategis mekanisasi pertanian, dengan meningkatnya laju adopsi dan penggunaan alat dan mesin pertanian untuk mendukung