• Tidak ada hasil yang ditemukan

REFORMASI KEBIJAKAN PENCIPTAAN NILAI TAMBAH PRODUK PERTANIAN INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "REFORMASI KEBIJAKAN PENCIPTAAN NILAI TAMBAH PRODUK PERTANIAN INDONESIA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

REFORMASI KEBIJAKAN PENCIPTAAN NILAI

TAMBAH PRODUK PERTANIAN INDONESIA

Prajogo U. Hadi

PENDAHULUAN

Nilai tambah (YDOXHDGGHG) menggambarkan kemampuan suatu industri untuk menciptakan pendapatan, baik bagi pelaku usaha, wilayah maupun negara. Nilai tambah juga dapat digunakan untuk mengukur tingkat kemakmuran masyarakat setempat, dimana Produk Domestik Bruto (PDB) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah indikator makro tingkat kemakmuran tersebut masing-masing untuk tingkat nasional dan tingkat regional. Disamping itu, nilai tambah yang makin tinggi juga dapat meningkatkan daya saing komoditas yang bersangkutan di pasar global dan lokal karena mutunya lebih tinggi yang sesuai dengan selera konsumen/pengguna, walaupun harganya lebih mahal. Karena itu, Pemerintah Indonesia terus berupaya meningkatkan nilai tambah komoditas pertanian melalui pengembangan agroindustri (industri pengolahan hasil pertanian).

Namun belum banyak analisis tentang kemampuan penciptaan nilai tambah yang mencakup berbagai jenis komoditas pertanian. Analisis yang ada hanya dilakukan pada komoditas tertentu, jumlah sampelnya terbatas, bersifat sporadis, dan pada umumnya hanya dilakukan pada agroindustri skala kecil/mikro, seperti antara lain Bappenas (2010), Kaniasari (2012), Kartika (2011), Makkiet al (2001), Ngamel (2012), Pardani (2010), PKEM (2012), Tazkiyah (2013), dan Valentina (2009). Padahal kegiatan penciptaan nilai tambah secara siginifikan terjadi pada agroindustri berskala lebih besar. Oleh karena itu, hasil-hasil analisis tersebut kurang menggambarkan kemampuan penciptaan nilai tambah pada masing-masing jenis atau kelompok komoditas pertanian yang sangat banyak ragamnya di Indonesia.

Ada beberapa pengertian tentang nilai tambah, namun esensinya sama. BPS mendefinisikan Nilai Tambah sebagai nilai yang ditambahkan pada input-antara

LQWHUPHGLDWHLQSXW) yang digunakan di dalam proses produksi barang/jasa. Sementara Suprapto (1999) memberikan pengertian nilai tambah adalah pertambahan nilai suatu komoditas karena mengalami proses pengolahan, pengangkutan, ataupun penyimpanan dalam suatu produksi. Penambahan nilai terjadi karena input-antara telah mengalami suatu proses produksi yang mentransformasikannya menjadi barang yang nilainya lebih tinggi, baik transformasi fisik, kimiawi maupun keduanya.

Input-antara terdiri dari seluruh komoditas yang habis atau dianggap habis di dalam suatu proses produksi, yaitu bahan baku, bahan penolong, bahan bakar, pemakaian listrik, dan lain-lain. Barang yang digunakan sebagai alat di dalam suatu proses produksi dan umurnya kurang dari setahun dan habis dipakai juga termasuk ke

(2)

dalam input-antara bukan barang modal. Marjin adalah selisih antara komponen faktor produksi yang digunakan, yaitu tenaga kerja, input lainnya, dan balas jasa pengusaha pengolahan atau prosesor (Hayami HWDO, 1987; Dwihandini, 2003; Mulyana, 1999; Septiyani, 2003; Slamet 2005; Kustiari, 2012).

Ada dua jenis Nilai Tambah menurut BPS (2011) yaitu Nilai Tambah Bruto (NTB) dan Nilai Tambah Neto (NTN). NTB dari suatu unit produksi dihitung dari Nilai Output Bruto atas harga jual produsen dikurangi nilai input-antara atas dasar harga pasar. Karena itu, NTB disebut juga sebagai Nilai Tambah Atas Harga Pasar. Sementara NTN adalah NTB dikurangi Pajak Tak Langsung dan Penyusutan. Namun, karena data pajak tak-langsung dan penyusutan pada umumnya terbatas, maka konsep nilai tambah yang digunakan pada umumnya adalah NTB. Di dalam penghitungan Produk Domestik Bruto (PDB), NTB juga digunakan sebagai dasar.

Berdasarkan pengertian nilai tambah di atas, maka dapat dipahami betapa pentingnya upaya penciptaan nilai tambah produk pertanian, yang selain untuk dapat mendorong peningkatan pendapatan petani (melalui perbaikan harga), juga mendorong perkembangan ekonomi domestik secara keseluruhan. Untuk itu, tulisan ini mencoba mengulas potensi peningkatan nilai tambah produk pertanian dengan menggunakan data hasil survei/sensus industri Badan Pusat Statistik (BPS) yang difokuskan pada kelompok industri menengah-besar.

KAPASITAS PENCIPTAAN NILAI TAMBAH

Klasifikasi dan Jumlah Perusahaan Industri Pengolahan

Di sektor pertanian, penciptaan nilai tambah lebih banyak terjadi di sektor tengah (bukan di tingkat hulu) dari sistem agribisnis, yaitu pengolahan hasil pertanian (agroindustri). Hal ini disebabkan usaha di tingkat sektor tengah lebih menguasai teknologi pencipta nilai-tambah dan akses pasar dibanding usaha di tingkat hulu (petani atau nelayan). Usaha di tingkat hulu memang mempunyai keahlian dan kemauan di dalam memproduksi produk primer, tetapi kurang menguasai teknologi pencipta nilai-tambah dan akses pasar. Oleh karena itu, analisis ini hanya dilakukan pada usaha pengolahan hasil pertanian (agroindustri).

BPS membuat klasifikasi industri pengolahan berdasarkan kode/nomor ISIC (,QWHUQDWLRQDO 6WDQGDUG ,QGXVWULDO &RGH) lima digit. Untuk komoditas pertanian, klasifikasi BPS dapat dikelompokkan lagi menjadi empat, yaitu: (1) Industri pengolahan hasil komoditas pangan, (2) Industri pengolahan hasil komoditas hortikultura, (3) Industri pengolahan hasil komoditas perkebunan, dan (4) Industri pengolahan hasil komoditas peternakan.

(3)

Jumlah perusahaan industri pengolahan hasil pertanian skala besar dan skala menengah tahun 20091 diperlihatkan pada Tabel 1, dimana sebagian besar

perusahaan industri pengolahan adalah perusahaan berskala menengah. Sementara jumlah perusahaan menurut jenis investasi ditunjukkan pada Tabel 2, dimana PMDN dan PMA hanya merupakan sebagian kecil, sementara jenis investasi lainnya merupakan mayorias.

Tabel 1. Jumlah Perusahaan Industri Pengolahan Hasil Pertanian menurut Subsektor Pertanian, 2009

Subsektor

Skala Menengah Skala Besar

Total Jumlah % Jumlah % 1. Pangan (10) 1.406 88,26 187 11,74 1.593 2. Hortikultura (5) 61 78,21 17 21,79 78 3. Perkebunan (17) 1.185 62,47 712 37,53 1.897 4. Peternakan (5) 108 57,14 81 42,86 189 Total (37) 2.760 73,46 997 26,54 3.757

Sumber: Statistik Industri Besar dan Menengah 2009 (BPS, 2011), diolah.

Keterangan: Angka di dalam kurung adalah jumlah jenis industri atau kelompok industri berdasarkan komoditas yang diolah di masing-masing subsektor.

Tabel 2. Jumlah Perusahaan Industri Pengolahan Hasil Pertanian manurut Jenis Investasi.

Subsektor PMDN PMA Lainnya Total Jumlah % Jumlah % Jumlah %

1. Pangan 136 8,54 17 1,07 1.440 90,40 1.593 2. Hortikultura 12 15,38 1 1,28 65 83,33 78 3. Perkebunan 463 24,41 83 4,38 1.351 71,22 1.897 4. Peternakan 57 30,16 28 14,81 104 55,03 189

Total 668 17,78 129 3,43 2.960 78,79 3.757

Sumber: Statistik Industri Besar dan Menengah 2009 (BPS, 2011), diolah.

Penciptaan Nilai Tambah

Rataan Nilai Tambah Bruto (NTB) yang diciptakan per perusahaan industri pengolahan hasil pertanian (pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan) tanpa membedakan skala usaha adalah sekitar Rp 39,7 miliar (Tabel 3). Nilai NTB ini merupakan 56,29% dari rataan nilai input-antara (bahan baku, dan lain-lain) yang digunakan di dalam proses pengolahan. Angka persentase ini menunjukkan bahwa dari setiap Rp 100 nilai input-antara yang diolah, menghasilkan NTB sebesar Rp 56,29 yang mencerminkan kapasitas industri pengolahan hasil pertanian di dalam menciptakan nilai tambah. Nilai tambah produk olahan pada masing-masing subsektor pertanian (pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan) dapat dijelaskan sebagai berikut.

(4)

Tabel 3. Rataan Nilai Tambah Bruto per Perusahaan Industri Pengolahan Hasil Pertanian, 2009 No Jenis Industri Nilai Output (Rp juta) Nilai Input (Rp juta) NTB (Rp juta) Kapasitas (%) Komoditas Pangan: 23.262 17.196 6.065 35,27

1 Penggilingan padi & penyosohan beras 12.490 10.950 1.540 14,06 2 Pengupasan &pembersihan kacang2an 3.520 2.887 633 21,92 3 Pengupasan & pembersihan umbi2an 160 78 82 105,65 4 Tepung terigu 1.858.395 1.622.285 236.110 14,55 5 Tepung dari biji2an &umbi2an lain 16.754 10.838 5.916 54,59 6 Pati, ubikayu 32.190 24.149 8.041 33,30 7 Roti & sejenisnya 10.763 5.247 5.516 105,13

8 Kecap 31.338 14.953 16.385 109,58

9 Tempe 2.922 1.927 995 51,62

10 Makanan dari kedele & kacang2an lainnya 18.054 11.807 6.247 52,91

Komoditas Hortikultura: 27.890 19.490 8.400 43,10

1 Pengalengan buah & sayur 218.852 153.365 65.487 42,70 2 Pengasinan/pemanisan buah & sayur 1.149 746 403 54,06 3 Pelumatan buah & sayur 7.910 4.711 3.199 67,90 4 Pengeringan buah & sayur 18.989 17.692 1.296 7,33 5 Pengolahan & pengawetan lainnya buah &

sayur 11.675 8.905 2.771 31,12

Komoditas Perkebunan: 165.485 98.446 67.039 68,10

1 Minyak goreng dari kelapa sawit 1.266.335 891.760 374.575 42,00 2 Pengupasan & pembersihan kopi 49.898 40.832 9.065 22,20 3 Pengupasan, pembersihan & pengeringan

cokelat 448.321 386.492 61.829 16,00

4 Kopra 1.588 1.365 224 16,39

5 Gula pasir 448.520 171.398 277.122 161,68 6 Bubuk coklat 170.646 153.246 17.399 11,35 7 Makanan dari coklat & kembang gula 65.941 44.262 21.679 48,98 8 Pengolahan teh dan kopi 40.726 29.363 11.362 38,70 9 Pengeringan & pengol tembakau & bumbu

rokok 14.320 7.649 6.671 87,21

10 Rokok kretek 272.370 124.836 147.533 118,18 11 Rokok lainnya 415.572 268.411 147.161 54,83 12 Karet sintetis 124.032 28.590 95.441 333,83 13 Ban luar & ban dalam 453.132 272.715 180.418 66,16 14 Pengasapan karet 32.939 19.247 13.692 71,14 15 Remilling karet 55.020 38.251 16.769 43,84 16 Crumb rubber 319.244 239.854 79.390 33,10 17 Barang2 dari karet untuk keperluan industri 40.724 23.757 16.967 71.42

Komoditas Peternakan: 324.314 261.955 62.359 23,81

1 Pemotongan hewan 36.699 26.419 10.281 38,91 2 Pengolahan & pengawetan daging 45.440 29.634 15.806 53,34 3 Ransum pakan ternak/ikan 423.895 329.815 94.080 28,53 4 Konsentrat pakan ternak/ikan 201.746 155.459 46.287 29,77

5 Susu 777.032 675.926 101.106 14,96

Total Pertanian 110.315 70.582 39.733 56,29

(5)

Komoditas Pangan

Berdasarkan data BPS, penghitungan nilai tambah dilakukan untuk 10 jenis industri dan kelompok industri pengolahan komoditas pangan. Rataan NTB industri pengolahan komoditas pangan adalah sekitar Rp 6,1 miliar per perusahaan dengan kapasitas 35,27%, yang berarti masih rendah. Di antara 10 jenis industri tersebut, industri tepung terigu menciptakan NTB paling besar dan sangat ekskusif, yaitu sekitar Rp 236,1 miliar, sementara yang paling kecil adalah industri pengupasan dan pembersihan umbi-umbian yang hanya mencapai sekitar Rp 633 juta per perusahaan. Industri kecap dapat menciptakan nilai tambah yang cukup besar (di atas Rp 1 miliar per perusahaan).

Jika dilihat dari kapasitas penciptaan nilai tambah, industri kecap adalah yang tertinggi (109,59%), disusul industri pengupasan dan pembersihan umbi-umbian (105,65%) serta industri roti dan sejenisnya (105,13%). Sementara 7 jenis industri lainnya mempunyai kapasitas yang jauh lebih rendah, utamanya industri penggilingan padi dan penyosohan beras dan industri tepung terigu yang masing-masing hanya mencapai 14,06% dan 14,55%. Dapat disimpulkan bahwa rendahnya kapasitas penciptaan nilai tambah pada industri pengolahan komoditas pangan (hanya 35,27%) disebabkan oleh rendahnya tingkat transformasi bahan baku pada sebagian besar (70%) industri pengolahan kelompok komoditas pangan.

Komoditas Hortikultura

Ada 5 kelompok industri pengolahan hortikultura. Rataan NTB yang diciptakan pada industri pengolahan hasil komoditas hortikultura hanya mencapai sekitar Rp 8,4 miliar per perusahaan. Namun jumlah ini lebih tinggi dibanding rata-rata NTB pada industri pengolahan hasil komoditas pangan. Di antara 5 kelompok industri pengolahan hasil komoditas hortikultura, yang paling menonjol adalah industri pengalengan buah-buahan dan sayuran, yaitu Rp 65,5 miliar, sementara yang paling kecil adalah industri pengasinan dan pemanisan buah-buahan dan sayuran, yaitu hanya Rp 403 juta per perusahaan.

Kapasitas penciptaan nilai tambah pada industri pengolahan hasil komoditas buah-buahan dan sayuran mencapai 43,10%. Angka ini lebih besar dibanding industri pengolahan hasil komoditas pangan yang hanya mencapai 35,27%. Di antara 5 kelompok industri pengolahan hasil komoditas buah-buahan dan sayuran, kelompok industri pelumatan buah-buahan dan sayuran mempunyai kapasitas yang paling besar yaitu 67,9%. Sementara 4 kelompok industri lainnya mempunyai kapasitas yang jauh lebih rendah, bahkan kelompok industri pengeringan buah-buahan dan sayuran hanya mencapai 7,33%. Rendahnya kapasitas penciptaan nilai tambah disebabkan oleh rendahnya tingkat transformasi bahan baku semua jenis industri buah-buahan dan sayuran.

(6)

Komoditas Perkebunan

Jumlah jenis dan kelompok industri pengolahan hasil komoditas perkebunan adalah yang paling banyak, yaitu 17. Rataan NTB yang diciptakan pada industri pengolahan hasil komoditas perkebunan mencapai sekitar Rp 67 miliar per perusahaan. Jumlah ini jauh lebih besar dibanding NTB pada industri pengolahan hasil komoditas pangan dan hortikultura. Di antara 17 industri pengolahan hasil komoditas perkebunan tersebut, ada lima jenis industri yang paling menonjol nilai tambahnya, yaitu industri minyak goreng dari kelapa sawit (Rp 374,6 miliar), industri gula pasir (Rp 277,1 miliar), industri ban luar dan ban dalam (Rp 180,4 miliar), industri rokok kretek (Rp 147,5 miliar) dan industri rokok lainnya (Rp 147,2 miliar), sementara yang paling kecil adalah industri pembuatan kopra yang hanya mencapai Rp 224 juta per perusahaan.

Dari segi kapasitas penciptaan NTB, industri pengolahan hasil komoditas perkebunan mencapai 68,10%. Angka ini jauh lebih besar dibanding industri pengolahan hasil komoditas pangan dan hortikultura yang masing-masing hanya mencapai 35,27% dan 43,10%. Di antara 17 jenis industri pengolahan hasil komoditas perkebunan, ada tiga industri yang paling menonjol di dalam kapasitas penciptaan NTB, yaitu industri karet sintetis yang mencapai 333,8%, industri gula pasir 161,7%, dan industri rokok kretek 118,2%. Sementara jenis industri yang paling kecil di dalam kapasitas penciptaan nilai tambah adalah industri bubuk coklat (11,35%), industri pengupasan, pembersihan dan pengeringan cokelat (16,0%) dan industri pembuatan kopra (16,39%). Namun sebagian besar industri pengolahan hasil komoditas perkebunan mempunyai kapasitas yang cukup tinggi di dalam penciptaan nilai tambah, dan hampir seluruh produk olahan hasil komoditas perkebunan, kecuali gula pasir, merupakan produk ekspor. Tingginya kapasitas penciptaan nilai tambah disebabkan oleh tingginya tingkat transformasi bahan baku beberapa komoditas perkebunan, namun sebagian besar (60%) komoditas perkebunan sebenarnya masih belum mengalami proses transformasi yang berarti.

Komoditas Peternakan

Ada 5 jenis industri pengolahan hasil komoditas peternakan. Rataan nilai tambah yang diciptakan pada lima industri tersebut adalah sekitar Rp 62,4 miliar per perusahaan. Jumlah ini jauh lebih besar dibanding rataan nilai tambah pada industri pengolahan hasil komoditas pangan dan hortikultura, tetapi lebih kecil dibanding rataan industri pengolahan hasil komoditas perkebunan. Di antara lima jenis industri pengolahan hasil komoditas peternakan, ada dua jenis industri yang menonjol di dalam penciptaan nilai tambah, yaitu industri susu dan industri ransum pakan ternak/ikan yang masing-masing mencapai sekitar Rp 101,1 miliar dan Rp 90,1 miliar per perusahaan, sementara yang paling kecil adalah industri pemotongan hewan yang hanya mencapai Rp 10,3 miliar per perusahaan.

Jika dilihat dari kapasitas penciptaan NTB, industri pengolahan hasil komoditas peternakan hanya mencapai 23,81%, yang berarti paling kecil dibanding industri

(7)

pengolahan hasil komoditas pangan, hortikulrura dan perkebunan, yang masing-masing mencapai 35,27%, 43,10% dan 68,10%. Di antara lima jenis industri pengolahan hasil komoditas peternakan, yang paling menonjol adalah industri pengolahan dan pengawetan daging (53,34%), sementara 4 jenis industri lainnya mempunyai kapasitas yang jauh lebih rendah, bahkan kelompok industri susu hanya mencapai 14,96%. Kapasitas yang rendah tersebut disebabkan oleh dua faktor, yaitu tingkat transformasi bahan baku yang rendah dan sebagian merupakan bahan baku yang diimpor (susu, sapi potong, daging sapi, jagung, bungkil kedelai, tepung ikan, dan lain-lain).

EFISIENSI SKALA USAHA PENCIPTAAN NILAI TAMBAH

Data hasil survey industri oleh BPS hanya mencakup perusahaan berskala menengah dan perusahaan berskala besar. Yang dimaksudkan dengan perusahaan berskala menengah adalah perusahaan dengan tenaga maksimal 100 orang, sementara perusahaan berskala besar adalah perusahaan dengan tenaga kerja lebih dari 100 orang.

Efek skala usaha terhadap penciptaan nilai tambah per tenaga kerja diperlihatkan pada Tabel 4 untuk melihat apakah industri skala besar secara konsisten mempunyai efisiensi lebih tinggi dibanding industri skala menengah di dalam penciptaan nilai tambah. Untuk analisis ini, jenis industri yang hanya termasuk ke dalam salah satu kategori skala usaha dikeluarkan karena tidak bisa dilakukan komparasi antar skala usaha. Jenis industri yang hanya termasuk skala menengah adalah: (1) Industri pengupasan dan pembersihan kacang-kacangan, (2) Industri pengolahan dan pembersihan umbi-umbian, (3) Industri pembuatan tempe, (4) Industri pengasinan/pemanisan buah dan sayur, (5) Industri pengeringan buah-buahan dan sayuran, (6) Industri pengolahan dan pengawetan lain buah-buah-buahan dan sayuran, dan (7) Industri pembuatan kopra. Sementara industri yang hanya tergolong skala besar adalah industri gula pasir.

Dari Tabel 4 tersebut dapat diperoleh gambaran bahwa secara umum industri pengolahan komoditas pertanian skala besar mampu menciptakan nilai tambah per tenaga kerja jauh lebih besar dibanding industri skala menengah, yaitu masing-masing Rp 1,2 miliar dan Rp 84,9 juta. Hal ini mengindikasikan bahwa secara umum industri skala besar lebih efisien dibanding industri skala menengah. Faktor-faktor penyebabnya antara lain adalah superioritas industri skala besar di dalam banyak hal, antara lain: penguasaan teknologi, kualitas sumber daya manusia para operator alat/mesin pengolahan, akses pasar, akes informasi dan kompetensi bisnis dari manajemen di dalam mengelola/ mengoperasikan perusahaan. Kondisi pada industri pengolahan pada masing-masing komoditas pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan diuraikan dibawah ini.

(8)

Tabel 4. Rataan Nilai Tambah per Tenaga Kerja Industri Pengolahan Komoditas Pertanian Skala Menengah dan Skala Besar, 2009.

No Jenis Industri Output (Rp juta) Input Antara (Rp juta) NTB (Rp juta) Skala Mene-ngah Skala Besar Skala Mene-ngah Skala Besar Skala Mene-ngah Skala Besar Komoditas Pangan: 193,2 1.823,5 137,0 1.365,8 56,2 457,7

1 Penggilingan padi & penyosohan beras 384,6 886,5 340,2 712,2 44,4 174,3 2 Tepung terigu 1.060,7 9.685,7 604,1 8.474,3 456,7 1.211,4 3 Tepung dari biji2an dan umbi2an lain 192,1 428,6 144,2 255,5 47,9 173,2 4 Pati, ubikayu 171,5 2.213,2 129,5 1.658,3 42,0 554,9 5 Roti dan sejenisnya 65,0 760,3 37,3 355,6 27,7 404,7 6 Kecap 378,6 701,5 58,0 481,0 320,6 220,5 7 Makanan dari kedele & kacang2an lain 65,5 2.278,1 41,1 1.496,7 24,4 781,5

Komoditas Hortikultura: 73,6 1.382,8 47,2 945,1 26,4 437,7

1 Pengalengan buah & sayur 41,8 1.637,6 25,8 1.148,1 15,9 489,5 2 Pelumatan buah & sayur 76,7 706,3 49,3 406,3 27,4 300,0

Komoditas Perkebunan: 320,8 3.551,3 229,3 2.170,7 91,5 1.380,7

1 Minyak goreng dari kelapa sawit 1.584,3 12.369,9 1.208,2 8.691,9 376,0 3.678,1 2 Pengupasan dan pembersihan kopi 593,4 373,3 482,2 306,4 111,2 66,9 3 Pengupasan, pembersihan &

pengeringan cokelat 5.606,4 11.330,3 4.939,0 9.497,2 667,4 1.833,1 4 Bubuk coklat 405,3 4.335,5 344,9 3.899,4 60,5 436,1 5 Makanan dari coklat dan kembang gula 193,2 1.880,0 138,9 1.254,6 54,4 625,5 6 Pengolahan teh dan kopi 131,5 562,0 92,9 405,9 38,7 156,1 7 Pengeringan & pengol tembakau &

bumbu rokok 63,1 6.190,8 21,5 3.484,6 41,7 2.706,2 8 Rokok kretek 224,9 4.619,4 112,4 2.114,3 112,4 2.505,1 9 Rokok lainnya 1.249,4 5.510,8 987,4 3.500,7 262,0 2.010,2 10 Karet sintetis 404,4 1.226,3 217,5 161,8 186,8 1.064,5 11 Ban luar dan ban dalam 119,1 4.333,7 78,2 2.606,9 40,9 1.726,8 12 Pengasapan karet 245,5 240,7 147,5 139,8 97,9 100,9 13 Remilling karet 453,6 1.228,0 374,2 787,8 79,4 440,2 14 Crumb rubber 689,4 5.120,6 500,7 3.851,2 188,7 1.269,4 15 Barang2 dari karet untuk keperluan

industri 163,4 1.746,0 98,1 1.014,9 65,3 731,1

Komoditas Peternakan: 1.191,3 5.844,9 894,0 4.755,9 297,3 1.089,0

1 Pemotongan hewan 838,7 766,2 591,2 627,4 247,5 138,8 2 Pengolahan dan pengawetan daging 361,9 1.146,7 254,8 731,9 107,1 414,8 3 Ransum pakan ternak/ikan 1.489,5 6.866,5 1.088,2 5.374,9 401,3 1.491,6 4 Konsentrat pakan ternak/ikan 2.721,0 5.157,4 2.087,3 3.981,2 633,7 1.176,2 5 Susu 880,1 6.813,3 787,5 5.922,7 92,6 890,5

Total Pertanian 303,5 3.475,0 218,6 2.272,7 84,9 1.202,4

Sumber: BPS (2011), diolah

Komoditas Pangan

Ada 7 dari 10 jenis industri pengolahan komoditas pangan yang dapat dianalisis efek skala usahanya. Rata-rata nilai tambah per tenaga kerja pada industri skala besar jauh lebih besar dibanding pada skala menengah, yaitu masing-masing Rp

(9)

457,7 juta dan Rp 56,2 juta. Perbedaan yang sangat mencolok terjadi pada industri tepung terigu (Rp 1,21 miliar versus Rp 0,46 miliar). Hanya pada industri kecap, nilai tambah per tenaga kerja pada skala besar lebih kecil dibanding pada skala menengah, yaitu masing-masing Rp 220,5 juta dan Rp 320,6 juta. Hal ini menunjukkan bahwa pada komoditas pangan, industri skala besar pada umumnya jauh lebih efisien dibanding industri skala menengah.

Komoditas Hortikultura

Pada industri pengolahan hasil komoditas hortikultura, hanya dua dari lima jenis industri yang dapat dianalisis efek skala usahanya, yaitu industri pengalengan buah-buahan dan sayuran, dan industri pelumatan buah-buahan dan sayuran. Pada kedua jenis industri tersebut, secara konsisten nilai tambah per tenaga kerja pada industri skala besar lebih besar dibanding industri skala menengah, dengan rata-rata Rp 437,7 juta dan Rp 26,4 juta. Hal ini menunjukkan bahwa pada komoditas hortikultura, industri skala besar jauh lebih efisien dibanding industri skala menengah. Komoditas Perkebunan

Ada 15 dari 17 jenis industri yang dapat dianalisis efek skala usahanya. Rata-rata nilai tambah yang diciptakan per tenaga kerja pada industri skala besar jauh diatas industri skala menengah masing-masing yaitu Rp 1,38 miliar dan Rp 91,5 juta. Hanya industri pengupasan dan pembersihan kopi yang nilai tambah pada industri skala besar lebih kecil dibanding industri skala menengah masing-masing yaitu, Rp 66,9 juta dan Rp 111,2 juta. Sementara 14 komoditas lainnya secara konsisten nilai tambah per tenaga kerja pada industri skala besar lebih besar dibanding pada industri skala menengah. Hal ini membuktikan bahwa pada komoditas perkebunan, industri skala besar pada umumnya jauh lebih efisien dibanding industri skala menengah. Komoditas Peternakan

Kelima jenis industri pengolahan komoditas peternakan dapat dianalisis efek skala usahanya. Rata-rata nilai tambah yang diciptakan per tenaga kerja pada industri skala besar jauh diatas industri skala menengah masing-masing yaitu, Rp 1,1 miliar dan Rp 297,3 juta. Hanya industri pemotongan hewan yang nilai tambah pada industri skala besar lebih kecil dibanding industri skala menengah masing-masing yaitu, Rp 138,8 juta dan Rp 247,5 juta. Sementara 4 komoditas lainnya secara konsisten nilai tambah per tenaga kerja pada industri skala besar lebih besar dibanding pada industri skala menengah. Perbedaan yang mencolok terjadi pada industri ransum pakan ternak/ikan, dimana nilai tambah per tenaga kerja pada industri skala besar mencapai Rp 1,5 miliar, sementara pada industri skala menengah hanya Rp 401,3 juta. Semua ini mengindikasikan bahwa pada komoditas peternakan, industri skala besar pada umumnya jauh lebih efisien dibanding industri skala menengah.

(10)

PERMASALAHAN DAN TANTANGAN

Pengembangan industri pengolahan hasil pertanian di Indonesia masih menghadapi beberapa kendala, antara lain kemampuan yang rendah di dalam melakukan transformasi produk. Hal ini terbukti dari mayoritas komoditas pertanian yang diekspor masih berupa bahan mentah (Hadi, 2014). Kondisi ini menjadi faktor penyebab rendahnya nilai-tambah produk ekspor pertanian. oleh karena itu, pengolahan lanjutan menjadi tuntutan bagi perkembangan industri pengolahan hasil pertanian. Teknologi yang digolongkan sebagai teknologi industri pengolahan hasil pertanian juga sangat beragam dan sangat luas yang mencakup teknologi perlakuan pascapanen (SRVW KDUYHVW KDQGOLQJ) dan teknologi pengolahan (SURFHVVLQJ

PDQXIDFWXULQJ). Perlakuan pascapanen meliputi: pembersihan, pengeringan, sortasi dan pengeringan berdasarkan mutu, pengemasan, penyimpanan, pemotongan/ pengirisan, penghilangan biji, pengupasan dan lain-lain. Pengolahan menengah mencakup transformasi fisik antara lain: fermentasi, oksidasi, ekstraksi buah, ekstraksi rempah, distilasi dan lain-lain. Pengolahan lanjutan meliputi transformasi fisik dan kimiawi bentuk aseli dan sifat kimiawi telah mengalami perubahan secara signifikan.

Perkembangan nilai ekspor hasil olahan pertanian (agroindustri) masih relatif lambat dibandingkan dengan industri lainnya, yang disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: (1) sebagian besar industri pengolahan hasil pertanian bukan skala besar tetapi skala menengah dan bahkan skala kecil/mikro yang masih lemah di dalam banyak aspek, seperti penguasaan teknologi manufaktur, akses pasar, akses modal, dan kompetensi manajemen, (2) kurang cepatnya pertumbuhan sektor pertanian sebagai unsur utama di dalam menunjang agroindustri (penyedia bahan baku), (3) kurangnya pertumbuhan sektor industri yang mendorong sektor pertanian (industri maju), (4) pemasaran produk agroindustri lebih dititik-beratkan pada pemenuhan pasar dalam negeri, sementara produk-produk agroindustri yang diekspor umumnya berupa bahan mentah atau semi olah, (5) kurangnya penelitian mendalam dan holistik tentang berbagai aspek yang terkait dengan agroindustri secara terpadu dari hulu sampai hilir, dan (6) kurangnya minat para investor untuk menanamkan modal di bidang agroindustri di Indonesia karena beberapa kebijakan yang kurang kondusif (perizinan, insentif fiskal, dan lain-lain).

Tantangan dan harapan bagi pengembangan agroindustri di Indonesia adalah bagaimana meningkatkan keunggulan komparatif produk pertanian yang secara kompetitif menjadi produk unggulan yang mampu bersaing di pasar dunia. Di dalam lingkup perdagangan, pengolahan hasil pertanian menjadi produk agroindustri bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah komoditas yang bersangkutan. Makin tinggi nilai produk olahan, diharapkan devisa yang diterima oleh negara juga meningkat serta keuntungan yang diperoleh oleh para pelaku agoindustri juga relatif tinggi. Secara garis besar, tantangan yang dihadapi dalam membangun industri pengolahan pertanian (Tim INDEF, 2011) antara lain:

(11)

1. Indonesia harus mampu memanfaatkan dan mengoptimalkan produktivitas sektor yang berbasis sumber daya alam, mengingat Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah, seperti ketersediaan lahan yang luas dan subur. 2. Meningkatkan tingkat pendidikan dan keterampilan sumber daya manusia yang

tersedia cukup banyak di Indonesia agar dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja.

3. Kondisi iklim usaha yang belum mendukung, seperti penyelundupan, kepastian hukum, ekonomi biaya tinggi, sistem perpajakan, sistem kepabeanan, dan perburuhan.

4. Kondisi keamanan yang relatif belum stabil, belum dapat menjamin kepastian berusaha merupakan tantangan yang cukup besar bagi investasi di sektor industri.

5. Persaingan di antara bangsa-bangsa di dunia semakin ketat.

6. Integrasi dan regionalisasi ekonomi global yang melanda dunia saat ini sangat memengaruhi tatanan perekonomian dunia.

7. Adanya organisasi perdagangan dunia (WTO), liberalisasi perdagangan dan investasi dalam APEC, serta skema CEPT dalam AFTA-ASEAN, maka gerak perdagangan dunia semakin dinamis dan cepat.

8. Kesepakatan Pemimpin APEC di Bogor dan perdagangan bebas di Kawasan Ekonomi APEC akan dilaksanakan secara penuh pada 2020.

STRATEGI PENINGKATAN NILAI TAMBAH PRODUK PERTANIAN

Perkembangan industri pengolahan hasil pertanian (agroindustri) perlu terus didorong untuk menciptakan nilai tambah yang lebih besar. Dengan meningkatnya perusahaan agroindustri dan nilai tambah yang diciptakan, maka pendapatan pelaku usaha dapat diperbaiki, laju pertumbuhan PDB sektor pertanian dapat dipercepat, dan penyediaan lapangan kerja dapat diperbanyak. Untuk itu, strategi pengembangan yang diperlukan antara lain adalah sebagai berikut:

1. Di sektor hulu (RQIDUP) perlu langkah-langkah yang praktis dan nyata di dalam pemberdayaan para petani berupa: (a) Perbaikan teknologi budidaya sesuai dengan kondisi lapangan (pesifik lokasi), (b) Pemberian subsidi harga input dan bunga kredi program, (c) Pemberian bantuan alat pasca panen yang sesuai, (d) Peningkatan akses permodalan bagi petani, (e) Peningkatan kemampuan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi melalui penyuluhan dan pelatihan yang efektif, dan (f) Perbaikan infrastruktur pertanian (irigasi, jalan pertanian). Dengan langkah ini, maka pasokan bahan baku bagi sektor tengah (agroindustri) dapat meningkat secara kuantitas dan kualitas, dan pendapatan petani juga makin tinggi.

(12)

2. Di sektor tengah (agroindustri) perlu peningkatan skala usaha dan inovasi teknologi pengolahan, utamanya bagi industri skala menengah dan kecil, serta diferensiasi produk utamanya industri skala besar. Dukungan kebijakan dan insentif untuk pengembangan agroindustri sangat diperlukan, antara lain pemberian WD[KROLGD\, penghapusan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk bahan baku yang akan diolah, dan prosedur perijinan usaha yang praktis. Sebagai contoh, penghapusan PPN biji kakao yang diproses oleh industri pengolahan kakao di dalam negeri dapat mendorong pertumbuhan industri kakao di dalam negeri. Proses hilirisasi, seperti minyak sawit (CPO), perlu didukung klaster industri yang terintegrasi antara industri CPO dan industri pengolahnya untuk memproduksi produk-produk yang bernilai tambah lebih tinggi.

3. Di sektor hilir perlu pengembangan pasar produk olahan, baik pasar domestik maupun ekspor melalui promosi, keikutsertaan di dalam pameran domestik dan internasional. Dengan cara ini, pelaku bisnis bisa mengetahui keinginan pasar, dan pembeli juga mengenal produk-produk yang dihasilkan Indonesia.

4. Kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi pascapanen dan manufaktur yang tepat dan diseminasi teknologi tersebut kepada para pengguna secara efektif melalui berbagai media. Jenis teknologi yang dihasilkan oleh lembaga penelitian, baik oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Perguruan Tinggi, Kementerian Negara Riset dan Teknologi, LIPI, dan lain-lain, seyogyanya disesuaikan dengan kebutuhan setempat (ERWWRPXS SDUWLFLSDWRU\) dan bukan hanya datang dari atas (WRSGRZQ) yang lebih bernuansa memaksa.

5. Sistem informasi yang terbuka dan memadai, misalnya melalui media cetak dan elektronik, sehingga dapat diakses oleh semua tingkatan pelaku bisnis di sektor pertanian. Dengan adanya informasi yang akurat, maka setiap pelaku bisnis dan pembuat kebijakan akan dapat mengambil keputusan yang lebih tepat.

6. Kerjasama yang erat dan sinergi antara perguruan tinggi dan lembaga penelitian sebagai sumber teknologi dan inovasi, pelaku agroindustri sebagai pencipta nilai tambah, petani sebagai pemasok bahan baku pertanian, dan pemerintah sebagai pengambil kebijakan yang benar dan konsisten.

PENUTUP

Tantangan terberat Indonesia memasuki tahun 2015 adalah mulai diimplementasikannya Masyarakat Ekonomi ASEAN. Pada saat itu, barang dan jasa dari negara di kawasan ASEAN bebas masuk ke Indonesia, tidak terkecuali produk pertanian. Walaupun masing-masing negara masih diperbolehkan memasukkan list komoditi yang mendapat pengecualian, namun secara umum Indonesia akan menjadi pasar potensial bagi negara di kawasan ASEAN karena jumlah penduduk yang besar, khususnya kelompok masyarakat berpendapatan menengah-atas. Untuk itu, menjadi sangat penting mendorong pengembangan industri pengolahan hasil pertanian agar

(13)

nilai tambah yang tercipta dapat dinikmati oleh pelaku agribisnis di Indonesia. Selain itu, melalui industri pengolahan pertanian ini Indonesia juga harus dapat menunjukkan “kebesaran” potensi sumber daya yang dimiliki melalui daya saing produk yang dihasilkan.

DAFTAR PUSTAKA

Austin, J.E. 1981. Agroindustrial Project Analysis. The John Hopkins university Prss. London.

Bappenas. 2010. Naskah Kebijakan (Policy Paper) - Kebijakan dan Strategi dalam Meningkatkan Nilai Tambah dan Daya Saing Kelapa Sawit Indonesia Secara Berkelanjutan dan Berkeadilan. Direktorat Pangan dan Pertanian, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

Dwihandini, D. 2003. Nilai Tambah Pengolahan Keripik Pisang (Studi Kasus). Skripsi. FP-UMB. Jakarta. Tidak dipublikasikan

Gittinger, J. P. 1986. Analisis Ekonomi Proyek-proyek Pertanian. UI Press. Jakarta. Hayami, Y., M. Thosinori, dan M. Siregar. 1987. Agricultural Marketing and Processing

in Upland Java: A Prospectif from A Sunda Village, Bogor. CGPRT. Kaniasari, N. 2012. Meningkatkan Nilai Tambah dan Daya Saing Produk Pertanian. Kustiari, R. 2012. Analisis Nilai Tambah dan Imbalan Jasa Faktor Produsi Pengolahan

Hasil Pertanian. Prosiding Seminar Nasional “Petani dan Pembangunan Pertanian”. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Kartika, A. 2011. Menciptakan Nilai Tambah Komoditi Unggulan Minyak Sawit Sektor Agribisnis Perusahaan Perkebunan sebagai Kekuatan untuk Membangun Daya Saing Dalam Menghadapi Persaingan Global. Jurnal Keuangan & Bisnis 3(2):84-92.

Makki, M.F., S. Hartono, dan Masyhuri. 2000. Nilai Tambah Agroindustri Pada Sistem Agribisnis Kedelai di Kalimantan Selatan. Jurnal Agro Ekonomi 7 (2): 1-10. Mulyana. 1999. Analisis Nilai Tambah Pengolahan dan Pemasaran Keripik Ubi Kayu.

(Studi Kasus). Skripsi FP-UMB. Jakarta.

Ngamel, A.K. 2012. Analisis Finansial Usaha Budidaya Rumput Laut dan Nilai Tambah Tepung Karaginan di Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara. Jurnal Sains Terapan 2(1):68-83.

Pardani, C. 2010. Kajian Nilai Tambah Agroindustri Nata De Coco. http://alfarhanic. blogspot.com/2012/02/blog-post_12.html

(14)

PKEM. 2012. Laporan Kajian Nilai Tambah Produk Pertanian. Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan RI. Jakarta. Septiyani. 2003. Nilai Tambah Pengolahan dan Pemasaran Produk Olahannya. (Studi

Kasus). Skripsi. FP-UMB. Jakarta.

Slamet. U.U. 2005. Nilai Tambah dan Balas Jasa Faktor Produksi Pengolahan Hasil-Hasil Pertanian. Buletin Penelitian No. 08: 1-8.

Suprapto, A. 1999. Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan dalam Memasuki Pasar Global. Makalah disampaikan dalam Lokakarya Nasional dan Musyawarah Nasional V POPMASEPI di Medan. 16 Maret 1999. Medan. Tarigan, R. 2004. Ekonomi Regional. Bumi Aksara. Jakarta.

Tazkiyah. R. 2013. Mengukur Nilai Tambah Tepung-tepungan.

Tim INDEF. 2011. Outlook Industri 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri. Kementerian Perindustrian. Jakarta.

Valentina, O. 2009. Analisis Nilai Tambah Ubi Kayu Sebagai Bahan Baku Keripik Singkong di Kabupaten Karanganyar (Kasus pada KUB Wanita Tani Makmur). Skripsi S1. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Gambar

Tabel 2. Jumlah Perusahaan Industri Pengolahan Hasil Pertanian manurut Jenis Investasi
Tabel 3.  Rataan Nilai Tambah Bruto per Perusahaan Industri Pengolahan Hasil Pertanian, 2009 No  Jenis Industri  Nilai  Output  (Rp juta)  Nilai  Input  (Rp juta)  NTB  (Rp juta)  Kapasitas (%)  Komoditas Pangan:  23.262  17.196  6.065  35,27
Tabel 4.  Rataan Nilai Tambah per Tenaga Kerja Industri Pengolahan Komoditas Pertanian Skala Menengah  dan Skala Besar, 2009

Referensi

Dokumen terkait

Mengetahui cara menghitung nilai per unit jika diketahui nilai keseluruhan dan banyak unit Kompetensi Dasar 4.10 Menyelesaikan masalah berkaitan dengan aritmetika sosial

motor listrik yang lain adalah arus lain adalah arus sekun sekunder yang der yang dicipt diciptakan akan semata-mata oleh induksi, seperti pada transformator alih-alih

Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa rata- rata skala nyeri persalinan pada kelompok perlakuan lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol dengan nilai p-value

Tabel 4 menunjukkan pertambahan bobot badan harian pada kambing dengan pemberian ransum yang mengandung level protein yang berbeda yang disuplementasi dengan urea,

Pihak ketiga (pihak yang tidak memiliki hubungan hukum dalam pemberian hak tanggungan) dapat mengajukan permohonan sita jaminan ke Pengadilan atas objek tanah terperkara dengan

Pada Pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT, dinyatakan bahwa apabila dibitor cidera janji, maka pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak

Pemberian perlakuan ekstrak daun andaliman selama 9 hari terhadap data histologis berupa jumlah folikel primer, sekunder, De Graff, dan atretik mengalami perubahan yang

[r]