• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.4. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah:

1. Sebagai data dan informasi yang dapat digunakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam meninjau/revisi indikatif Peta Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam rangka Penataan Kawasan Hutan.

2. Sebagai data dan informasi yang dapat digunakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam pelaksanaan inventarisasi dan verifikasi penguasaan tanah dalam kawasan hutan.

5 II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kawasan Hutan

Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap (UU Nomor 41 Tahun 1999). Hutan Produksi Tetap adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan yang dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap (Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2021).

2.2. Penguasaan dan Pemanfaatan Lahan dalam Kawasan Hutan

Epi (2012) oleh Saputra et.al. (2021) mengatakan pertambahan penduduk menuntut masyarakat untuk mencukupi kebutuhan pangan, kebutuhan kayu pertukangan dan lahan sebagai tempat bermukim dengan alternatif lain melalui cara mengkonversi lahan hutan menjadi lahan pertanian.

Pemanfaatan lahan yang dilakukan masyarakat di dalam kawasan hutan mulai dari merambah kawasan hutan untuk dijadikan kebun dan juga mendirikan bangunan di dalam kawasan hutan sebagai tempat tinggal. Hal ini telah terjadi sejak dulu dan terus menerus dilakukan sampai saat ini. Jumlah perambah semakin meningkat mengakibatkan luas kawasan hutan yang dirambah semakin luas pula.

Kegiatan pemanfaatan lahan hutan oleh suatu masyarakat mengindikasikan adanya perambahan hutan. Dalam konteks hukum agraria dan kehutanan hal tersebut merupakan suatu masalah. Sampai saat ini jaminan atas penguasaan dan pemanfaatan tanah yang telah mereka lakukan belum ada

6 kejelasan dan kepastian. Padahal penguasaan dan pemanfaatan tanah sudah berlangsung dalam waktu yang lama (Harnadi, 2018).

Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2021, penguasaan bidang tanah dalam kawasan hutan negara terdiri dari sarana dan prasarana permanen milik pemerintah (Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah), fasilitas sosial dan fasilitas umum, permukiman, lahan garapan pertanian, perkebunan, tambak atau bangunan untuk kegiatan lainnya yang terpisah dari permukiman.

2.3. Tanah Obyek Reforma Agraria

Kebijakan program Reforma Agraria dijadikan sebagai salah satu agenda prioritas pembangunan yang dituangkan dalam Nawa Cita Pemerintah Presiden RI Joko Widodo yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019. Dalam RPJMN tersebut ditetapkan target pelaksanaan kebijakan reforma agraria yaitu tersedianya sumber Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) dan terlaksananya redistribusi tanah dan legalisasi aset dengan sumber yang berasal dari kawasan hutan seluasj 4,1 juta hektar (Nurlinda, 2018).

Penyediaan sumber TORA dari kawasan hutan melalui mekanisme Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH) atau berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan dan PermenLHK Nomor 7 Tahun 2021 telah diubah menjadi Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam rangka Penataan Kawasan Hutan

7 (PPTPKH) berasal dari: alokasi 20% untuk kebun masyarakat, HPK tidak produktif, program pemerintah untuk pencadangan pencetakan sawah baru, permukiman transmigrasi beserta fasilitas sosial dan fasilitas umum yang sudah memperoleh persetujuan prinsip, permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum serta lahan garapan pertanian, perkebunan dan tambak.

Penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan yang dikuasai dan dimanfaatkan oleh pihak dilakukan dengan penataan kawasan hutan dalam rangka pengukuhan kawasan hutan melalui kegiatan: pengadaan TORA, pengelolaan perhutanan sosial, perubahan peruntukan/fungsi kawasan hutan, dan penggunaan kawasan hutan. Pada kegiatan ini dilakukan inventarisasi dan verifikasi antara lain: data dan informasi penutupan lahan secara periodik dan terkini, hasil inventarisasi dan verifikasi lapangan, masukan dari para pihak dan atau penguasaan bidang tanah dalam Kawasan Hutan Negara oleh mayarakat dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (PermenLHK No. 7 Tahun 2021).

2.4. Penutupan Lahan

Penutupan lahan merupakan garis yang menggambarkan batas penampakan area tutupan di atas permukaan bumi yang terdiri dari bentang alam dan/atau bentang buatan (UU No. 4 Tahun 2011). Penutupan lahan dapat pula berarti tutupan biofisik pada permukaan bumi yang dapat diamati dan merupakan hasil pengaturan, aktivitas, dan perlakuan manusia yang dilakukan pada jenis penutup lahan tertentu untuk melakukan kegiatan produksi, perubahan, ataupun perawatan pada areal tersebut (SNI 7645, 2010).

8 Perubahan penutupan lahan merupakan data yang sangat diperlukan dalam pengelolaan kawasan hutan dimana perubahan yang terjadi dalam beberapa kurun waktu tertentu perlu diketahui agar membantu memberikan tambahan informasi dalam menentukan pengelolaan ke arah yang lebih baik (Maullana dan Darmawan, 2014).

Menurut Direktorat IPSDH, (2015) informasi penutupan lahan skala nasional dihasilkan dari hasil interpretasi citra resolusi sedang (resolusi spasial antara 15 m sampai dengan 30 m). Hampir seluruh informasi diperoleh dari penafsiran data landsat. Penutupan lahan skala nasional memiliki 22 kelas penutupan lahan dengan 7 kelas penutupan hutan (hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder, hutan rawa primer, hutan rawa sekunder, dan hutan tanaman) dan 15 kelas penutupan bukan hutan (perkebunan, semak belukar, semak belukar rawa, savanna/padang rumput, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur, sawah, tambak, permukiman, permukiman transmigrasi, lahan terbuka, pertambangan, tubuh air, rawa, bandara/pelabuhan, dan awan.

Penetapan standar kelas ini didasarkan pada pemenuhan kepentingan di lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan secara khusus dan institusi-institusi terkait tingkat nasional secara umum.

2.5. Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu sistem pengolahan berbasis komputer yang dapat digunakan untuk pengolahan, penyimpanan, analisis, mengaktifkan atau memanggil kembali data yang memiliki referensi

9 keruangan untuk berbagai tujuan yang berkaitan dengan pemetaan. ArcGIS merupakan salah satu perangkat lunak yang digunakan dalam Sistem Informasi Geografis yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam pembuatan peta digital hingga analisis spasial (Anonim, 2014).

2.6. Penginderaan Jauh

Analisis citra satelit untuk identifikasi penutupan lahan dilakukan dengan integrasi beberapa metode pendekatan antara lain: klasifikasi berdasarkan perbedaan nilai spektral (unsupervised classification) dan klasifikasi terbimbing (supervised classification) dengan menggunakan input data atau informasi acuan yang dianggap benar (hasil pengamatan lapangan dan referensi peta). Dalam analisis dan klasifikasi citra, hasil kedua klasifikasi tersebut digabungkan (hibrid classification) (Martono, 2008).

Pentingnya data dan informasi penginderaan jauh yang rinci, cepat, dan akurat dengan biaya operasional yang murah untuk mengetahui kondisi jenis tutupan lahan tentunya menjadi salah satu pendorong berkembangnya teknologi penginderaan jauh. Teknologi penginderaan jauh menggunakan pesawat tanpa awak atau Unmanned Aerial Vehicle (UAV) merupakan salah satu teknologi alternatif yang tidak memerlukan banyak tenaga kerja, memiliki data yang lebih rinci, cepat, dan akurat (Ikhwan et.al., 2021).

Penggunaan citra drone yang beresolusi sangat tinggi tidak berarti akan memfasilitasi proses yang lebih partisipatif atau meningkatkan kualitas data dan penggunaan informasi. Telah lama diketahui bahwa resolusi spasial yang sangat tinggi dapat menyebabkan kesalahan dalam penafsiran. Setidaknya ada

10 enam sinyal potensi kesalahan interpretasi saat menggunakan citra resolusi tinggi dari drone pada satu tahap proses pemetaan partisipatif. Hal ini meliputi disorientasi, mispersepsi periode akuisisi, kondisi tutupan lahan yang homogen, jenis tanaman yang sama, banyak kesamaan tanda-tanda alam, dan tantangan pembubuhan label pada peta citra drone (Naufal et.al.,2022).

2.7. Kerangka Pikir

Penelitian ini didasari oleh penguasaan lahan dalam kawasan hutan yang menjadi konflik antara masyarakat dengan pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dengan adanya kebijakan program Reforma Agraria yang merupakan upaya pemerintah untuk melegalisasi lahan di dalam kawasan hutan diharapkan dapat menjadi titik terang terhadap berbagai keterlanjuran penguasaan tanah dalam kawasan hutan. Kabupaten Takalar merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan yang kegiatan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutannya belum dilaksanakan. Penutupan lahan selalu mengalami perubahan cepat dan dinamis sehingga dibutuhkan suatu analisis perubahan penutupan lahan dengan rentang waktu yang disesuaikan dengan data yang menjadi kebutuhan. Adapun kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 1 sebagai berikut:

11 Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

12 III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan selama kurang lebih tiga bulan yaitu dari bulan Mei sampai Agustus 2022.

Penelitian dilakukan di Laboratorium GIS Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah VII Makassar dan di Desa Kale Ko’mara Kecamatan Polombangkeng Utara Kabupaten Takalar pada areal Kawasan Hutan Produksi Tetap Kelompok Hutan Ko’mara dengan luas 382,44 hektar yang secara geografis terletak pada 119° 34' 6,2" BT s/d 119° 35' 3,51" BT dan 5° 22' 41,65" LS s/d 5° 25' 19,38" LS.

3.2. Alat, Bahan, dan Data 1. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah laptop, Drone DJI Phantom 4, smartphone yang dilengkapi dengan aplikasi DJI Go dan Pix4DCapture, GPS, kamera, software ArcGIS, software Agisoft Photoscan dan software Microsoft Office .

2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis menulis.

3. Data

Adapun data yang digunakan antara lain data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari: citra landsat 7 tahun 2002 dan foto udara yang diambil langsung di lapangan menggunakan wahana UAV.

13 Data sekunder terdiri dari: shapefile Kawasan Hutan Produksi Tetap Kelompok Hutan Komara, Peta Indikatif PPTPKH tahun 2021, dan Peta Rupa Bumi Indonesia.

3.3. Pengumpulan Data

1. Permintaan data kawasan hutan, Peta Indikatif PPTPKH dan Peta RBI Permintaan data kawasan hutan terbaru berdasarkan SK.362/MENLHK/SETJEN/PLA.0/5/2019 tanggal 28 Mei 2019, Peta Indikatif PPTPKH tahun 2021, dan Peta Rupa Bumi Indonesia dilakukan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan cq. Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah VII Makassar.

2. Pengunduhan citra

Pengunduhan citra dilakukan dengan mengunduh citra landsat 7 tahun 2002 dari situs earthexplorer.usgs.gov atau landsat-catalog.lapan.go.id.

3. Pengambilan foto udara menggunakan UAV

Pengambilan foto udara kondisi terkini dilakukan pada areal lokus penelitian dengan terlebih dahulu membuat flight plan/jalur terbang.

3.4. Analisis Data

1. Pengolahan citra landsat 7

Citra yang diunduh dari situs earthexplorer.usgs.gov atau landsat-catalog.lapan.go.id mempunyai beberapa band yang terpisah setiap bandnya sehingga perlu dilakukan proses komposit citra. Penyusunan komposit warna RGB yang dilakukan adalah komposit band 543 yang

14 dapat dengan mudah dibedakan objek vegetasi dan non vegetasi. Setelah itu dilakukan pemotongan citra sesuai dengan lokus penelitian. Proses pengolahan citra landsat 7 ini dilakukan pada software ArcGIS.

2. Pengolahan data hasil penerbangan UAV (foto)

Data hasil penerbangan UAV berupa foto diunduh ke ke laptop kemudian diolah menggunakan software Agisoft Photoscan. Agisoft Photoscan digunakan untuk mengolah foto udara yang direkam, sehingga hasil perekamannya dapat dihasilkan mosaic orthofoto, titik tinggi, dan DEM resolusi tinggi serta dapat ditampilkan secara tiga dimensi. Setelah selesai melakukan pengolahan data, tahapan selanjutnya adalah mengexport data tersebut sehingga bisa diolah di software data analysis seperti ArcGIS (Purnomo, 2018).

3. Interpretasi Citra

Interpretasi citra dilakukan dengan metode metode visual interpretasi (digitizing on screen). Interpretasi dilakukan dengan menggunakan sistem klasifikasi dan monogram data penutupan lahan berdasarkan Petunjuk Teknis Penafsiran Citra Resolusi Sedang Untuk Update Data Penutupan Lahan Nasional nomor:

Juknis1/PSDH/PLA.1/7/2020 tanggal 6 Juli 2020.

4. Overlay dan Tabulasi Data

Selanjutnya adalah melakukan analisis spasial dengan mengoverlay dan menabulasi data hasil interpretasi citra landsat 7 tahun 2002 dengan

15 mosaic orthofoto hasil penerbangan UAV tahun 2022 serta data indikatif PPTPKH tahun 2021. Hasil overlay dan tabulasi data antara lain:

- Data hasil interpretasi citra landsat 7 tahun 2002;

- Data hasil interpretasi mosaic orthofoto tahun 2022;

- Matriks perubahan penutupan lahan di tahun 2002 dan 2022;

- Data indikasi penguasaan lahan;

- Data indikasi penguasaan lahan terhadap Peta Indikatif PPTPKH tahun 2021.

3.5. Definisi Operasional

Menurut Sultan, (2017) dalam memperkuat dan mempermudah pengambilan data yang sesuai dengan variabel penelitian, hal yang perlu dilakukan adalah mendefinisikan variabel tersebut sebelum melakukan operasional di lapangan, yaitu:

1. Lahan: bagian daratan dari permukaan bumi sebagai suatu lingkungan baik yang meliputi tanah beserta segenap faktor yang mempengaruhi penggunaannya seperti iklim, relief, aspek geologi, dan hidrologi yang terbentuk secara alami maupun akibat pengaruh manusia.

2. Tanah Objek Reforma Agraria yang selanjutnya disingkat TORA: tanah yang dikuasai oleh negara dan/atau tanah yang telah dimiliki oleh masyarakat untuk diredistribusi atau dilegalisasi.

3. Citra penginderaan jauh: hasil penginderaan kenampakan permukaan bumi yang didapatkan dengan wahana, teknik, dan spesifikasi tertentu dan disimpan dalam format digital maupun cetak.

16 4. Landsat 7: satelit observasi bumi dengan resolusi temporal 16 hari dan memiliki Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM +). Data Landsat 7 dapat digunakan untuk keperluan aplikasi studi perubahan global, pemantauan tutupan lahan, dan pemetaan area.

5. UAV atau Pesawat Udara Tanpa Awak: jenis pesawat udara yang dikategorikan sebagai mesin terbang yang berfungsi dengan kendali jarak jauh oleh penerbang (pilot) atau mampu mengendalikan dirinya sendiri dengan menggunakan hukum aerodinamika.

6. Flight plan: rencana terbang drone.

7. Komposit citra: proses menggabungkan band pada citra Landsat untuk membentuk suatu tampilan yang diinginkan.

8. Orthofoto: satu kesatuan foto udara yang dibuat dari mosaik foto-foto udara yang telah terkoreksi geometrinya.

9. Interpretasi citra: kegiatan menafsir, mengkaji, mengidentifikasi, dan mengenali obyek pada citra.

10. Shapefile: format data geospasial yang umum untuk perangkat lunak sistem informasi geografis.

11. Software: data yang diprogram, disimpan, dan diformat secara digital dengan fungsi tertentu.

12. Peta Rupa Bumi Indonesia: peta topografi yang menampilkan sebagian unsur-unsur alam dan buatan manusia di wilayah NKRI.

13. Kelompok hutan: pembagian kawasan hutan berdasarkan kode nama tertentu yang khas pada suatu daerah.

17 14. Hutan lahan kering sekunder: hutan lahan kering primer yang mengalami gangguan manusia (bekas penebangan, bekas kebakaran, jaringan jalan, dll.), termasuk yang tumbuh kembali dari bekas tanah terdegradasi.

15. Semak belukar: seluruh kenampakan areal/kawasan yang didominasi oleh vegetasi rendah yang berada pada lahan kering.

16. Lahan terbuka: seluruh kenampakan lahan terbuka tanpa vegetasi, baik yang terjadi secara alami maupun akibat aktivitas manusia (singkapan batuan puncak gunung, puncak bersalju, kawah vulkan, gosong pasir, pasir pantai, endapan sungai, pembukaan lahan serta areal bekas kebakaran).

17. Pertanian lahan kering: seluruh kenampakan hasil budidaya tanaman semusim di lahan kering seperti tegalan dan ladang.

18. Pertanian lahan kering campur: seluruh kenampakan yang merupakan campuran areal pertanian, perkebunan, semak dan belukar.

19. Analisis spasial: teknik ataupun proses yang melibatkan beberapa atau sejumlah fungsi perhitungan serta evaluasi logika matematis yang dapat dilakukan pada data spasial, dalam rangka untuk memperoleh nilai tambah, ekstraksi serta informasi baru yang beraspek spasial.

18 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Interpretasi Citra Landsat 7 Tahun 2002

Citra landsat 7 yang digunakan merupakan hasil unduh dari situs United States Geological Survey (earthexplorer.usgs.gov) dengan landsat product identifier L2: LE07_L2SP_114064_20020624_20200916_02_T1 dan landsat scene identifier LE71140632002175DKI01. Interpretasi citra dilaksanakan pada skala 1 : 50.000. Adapun hasil interpretasi pada Tabel 1 dan Gambar 2 sebagai berikut:

Tabel 1. Hasil Interpretasi Citra Landsat 7 Tahun 2002

Pada Areal Kawasan Hutan Produksi Tetap Kelompok Hutan Ko’mara di Desa Kale Ko’mara

No. Penutupan Lahan Luas (Ha)

1 Hutan Lahan Kering Sekunder 12,36

2 Semak Belukar 187,21

3 Pertanian Lahan Kering Campur 175,14

4 Lahan Terbuka 7,73

Total 382,44

Sumber : Data Primer Setelah Diolah 2022

Gambar 2. Persentase Penutupan Lahan Tahun 2002

Pada Areal Kawasan Hutan Produksi Tetap Kelompok Hutan Ko’mara di Desa Kale Ko’mara

19 Berdasarkan analisis yang telah dilaksanakan terhadap citra Landsat 7 tahun 2002 pada areal Kawasan Hutan Produksi Tetap Kelompok Hutan Ko’mara di Desa Kale Ko’mara, terdapat 4 kelas penutupan lahan. Kelas penutupan lahan dari yang terluas antara lain semak belukar seluas 187,21 hektar (48,95 %), pertanian lahan kering campur seluas 175,14 hektar (45,80%), hutan lahan kering sekunder seluas 12,36 hektar (3,23%), dan lahan terbuka seluas 7,73 hektar (2,02%).

4.2. Interpretasi Mosaic Orthofoto Tahun 2022

Hasil interpretasi mosaic orthofoto pada Tabel 2 dan Gambar 3 sebagai berikut:

Tabel 2. Hasil Interpretasi Mosaic Orthofoto Tahun 2022 Pada Areal Kawasan Hutan Produksi Tetap Kelompok Hutan Ko’mara

di Desa Kale Ko’mara

No. Penutupan Lahan Luas (Ha)

1 Hutan Lahan Kering Sekunder 125,17

2 Semak Belukar 11,51

3 Pertanian Lahan Kering 195,87

4 Pertanian Lahan Kering Campur 35,83

5 Lahan Terbuka 10,61

6 Tubuh Air 3,45

Total 382,44

Sumber : Data Primer Setelah Diolah 2022

20 Gambar 3. Persentase Penutupan Lahan Tahun 2022

Pada Areal Kawasan Hutan Produksi Tetap Kelompok Hutan Ko’mara di Desa Kale Ko’mara

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilaksanakan terhadap mosaic orthofoto tahun 2022 pada areal Kawasan Hutan Produksi Tetap Kelompok Hutan Ko’mara di Desa Kale Ko’mara terdapat terdapat 6 kelas penutupan lahan.

Kelas penutupan lahan dari yang terluas antara lain pertanian lahan kering seluas 195,87 hektar (51,22%), hutan lahan kering sekunder seluas 125,17 hektar (32,73%), pertanian lahan kering campur seluas 35,83 hektar (9,37%), semak belukar seluas 11,51 hektar (3,01%), lahan terbuka seluas 10,61 hektar (2,77%), dan tubuh air seluas 3,45 hektar (0,90%).

4.3. Analisis Perubahan Penutupan Lahan di Tahun 2002 dan 2022

Matriks perubahan penutupan lahan dapat menunjukkan luasan perubahan pada setiap kelas penutupan lahan pada waktu yang berbeda (Sultan,

32,73%

21 2017). Hasil analisis perubahan penutupan lahan di tahun 2002 dan 2022 disajikan pada Tabel 3 sebagai berikut:

Tabel 3. Matriks Perubahan Penutupan Lahan di Tahun 2002 dan 2022 Pada Areal Kawasan Hutan Produksi Tetap Kelompok Hutan Ko’mara

di Desa Kale Ko’mara

Kelas Penutupan Lahan Tahun 2022 (Ha)

Perubahan

Sumber : Data Primer Setelah Diolah 2022 Keterangan:

Kolom Perubahan dengan nilai – artinya mengalami penurunan luas Kolom Perubahan dengan nilai + artinya mengalami peningkatan luas

Tabel 3 menunjukkan bahwa hasil analisis perubahan penutupan lahan di tahun 2002 dan 2022 pada areal Kawasan Hutan Produksi Tetap Kelompok Hutan Ko’mara di Desa Kale Ko’mara bervariasi yaitu terjadi peningkatan luasan areal antara lain pada kelas hutan lahan kering sekunder, pertanian lahan kering, lahan terbuka, dan tubuh air, sedangkan pada kelas semak belukar dan pertanian lahan

22 kering campur mengalami penurunan luasan areal. Kelas pertanian lahan kering dan tubuh air merupakan kelas yang belum ada pada hasil interpretasi tahun 2002.

Penutupan lahan tahun 2022 pada kelas hutan lahan kering sekunder seluas 125,17 hektar merupakan areal seluas 4,05 hektar yang tidak mengalami perubahan dan perubahan dari semak belukar seluas 95,73 hektar, pertanian lahan kering campur seluas 25,37 hektar, dan lahan terbuka seluas 0,02 hektar.

Pada kelas semak belukar seluas 11,51 hektar merupakan areal seluas 8,20 hektar yang tidak mengalami perubahan dan perubahan dari pertanian lahan kering campur seluas 3,00 hektar dan lahan terbuka seluas 0,31 hektar. Pada kelas pertanian lahan kering seluas 195,87 hektar merupakan perubahan dari hutan lahan kering sekunder seluas 7,84 hektar, semak belukar seluas 61,27 hektar, pertanian lahan kering campur seluas 119,68 hektar, dan lahan terbuka seluas 7,08 hektar. Pada kelas pertanian lahan kering campur seluas 35,83 hektar merupakan areal seluas 21,07 hektar yang tidak mengalami perubahan dan perubahan dari hutan lahan kering sekunder seluas 0,48 hektar dan semak belukar seluas 14,28 hektar. Pada kelas lahan terbuka seluas 10,61 hektar merupakan areal seluas 0,32 hektar yang tidak mengalami perubahan dan perubahan dari semak belukar seluas 7,69 hektar dan pertanian lahan kering campur seluas 2,60 ha. Pada kelas tubuh air merupakan perubahan dari semak belukar seluas 0,03 hektar dan pertanian lahan kering campur seluas 3,42 ha.

Persentase areal yang mengalami perubahan penutupan lahan disajikan pada Gambar 4 sebagai berikut:

23 Gambar 4. Persentase Areal Yang Mengalami Perubahan Penutupan Lahan

Pada Areal Kawasan Hutan Produksi Tetap Kelompok Hutan Ko’mara di Desa Kale Ko’mara

Gambar 4 menunjukkan bahwa areal yang sama sekali tidak mengalami perubahan penutupan lahan pada Kawasan Hutan Produksi Tetap Kelompok Hutan Ko’mara di Desa Kale Ko’mara adalah seluas 33,64 hektar atau sebesar 8,80% dan areal yang mengalami perubahan penutupan lahan adalah seluas 348,80 hektar atau sebesar 91,20%.

4.4. Indikasi Penguasaan Lahan

Indikasi penguasaan lahan diidentifikasi secara visual yang merupakan variasi penutupan lahan tahun 2002 dengan tahun 2022. Indikasi penguasaan lahan dibagi menjadi 3 kategori antara lain: terindikasi tidak dikuasai, terindikasi dikuasai dan belum teridentifikasi ada atau tidaknya indikasi penguasaan.

Terindikasi tidak dikuasai yaitu variasi semua kelas penutupan lahan tahun 2002 dengan kelas penutupan lahan berupa hutan lahan kering sekunder dan tubuh air pada tahun 2022. Terindikasi dikuasai yaitu variasi semua kelas penutupan lahan tahun 2002 dengan kelas penutupan lahan berupa pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering campur pada tahun 2022. Belum teridentifikasi ada

8,80%

91,20%

Tidak Mengalami Perubahan Mengalami Perubahan

24 atau tidaknya indikasi penguasaan yaitu variasi semua kelas penutupan lahan tahun 2002 dengan kelas penutupan lahan berupa semak belukar dan lahan terbuka pada tahun 2022. Indikasi penguasaan lahan disajikan pada Tabel 4 dan Gambar 5 sebagai berikut:

Tabel 4. Indikasi Penguasaan Lahan

Pada Areal Kawasan Hutan Produksi Tetap Kelompok Hutan Ko’mara di Desa Kale Ko’mara

Kering Sekunder HS - HS 4,05 Terindikasi tidak dikuasai Pertanian Lahan

Kering HS - PT 7,84 Terindikasi dikuasai

Pertanian Lahan

Kering Campur HS - PC 0,48 Terindikasi dikuasai Semak Belukar Hutan Lahan

Kering Sekunder B - HS 95,73 Terindikasi tidak dikuasai Semak Belukar

Kering Campur B - PC 14,28 Terindikasi dikuasai Lahan Terbuka

B - T 7,69

Belum teridentifikasi ada atau tidaknya indikasi penguasaan Tubuh Air B - A 0,03 Terindikasi tidak dikuasai

25

1 2 3 4 5

Pertanian Lahan Kering Campur

Hutan Lahan

Kering Sekunder PC - HS 25,37 Terindikasi tidak dikuasai Semak Belukar

PC - B 3,00

Belum teridentifikasi ada atau tidaknya indikasi penguasaan Pertanian Lahan

Kering PC - PT 119,68 Terindikasi dikuasai

Kering PC - PT 119,68 Terindikasi dikuasai

Dokumen terkait