• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III LATAR BELAKANG DAN PRODUKSI PERTANIAN

4.1 Kehidupan Ekonomi

4.1 Kehidupan Ekonomi

Pada suatu periodesasi tertentu dalam perkembangan masyarakat, perkembangan sosial ekonominya dapat dilihat dari sejauh mana penghasilannya lebih besar jika dibandingkan dengan pengeluarannya berda

terlebih lagi didalam struktur organisasi masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam ekonominya. Ketimpangan yang terjadi antara besarnya pengeluaran jika dibandingkan dengan pendapatan akan menimbulkan kegelisahan bagi setiap anggota masyarakat yang sedang melaksanakan bidang kegiatannya, sehingga lingkungan dan situasi yang demikian tetap akan menimbulkan permasalahan.

Apabila penghasilan anggota masyarakay lebih kecil dibandingkan dengan jumlah pengeluarannya akan dapat menimbulkan bencana yang menjurus pada kritisnya kehidupan. Hal seperti ini mungkin dan sudah biasa terjadi, karena kebutuhan

da mbawa dampak, maka untuk menanggulanginyatergantung bagaimana cara kerja masyarakat itu sendiri. Apabila penghasilannya lebih rendah, biasanya tindakan mereka akan menjurus kepada arah yang tidak ada kaitannya dengan bidang ekonomi, seperti keresahan sosial, maupun tindakan-tindakan yang menjurus pada tindak kejahatan.

Secara umum sumber pendapatan masyarakat sangat bergantung terhadap keadaan lingkungannya, apabila lingkungan ini tidak jelas maka dapat menimbulkan suatu keresahan. Oleh karena itu factor lingkungan ini akan dijadikan

n me

sebagai titik

ektif guna mengembangkan taraf hidupnya.

gi faktor turut menentukan sumber penghasilan penduduk diluar faktor tolak sejauh mana masyarakat dapat mempertahankan lingkungannya. Belum tentu kesuburan tanah misalnya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sebab factor pengolahan tanah juga sangat penting untuk menentukan hal yang sama. Dengan demikian yang terpenting sebenarnya adalah sejauh mana kesadaran masyarakat tersebut bertindak secara ef

Pola saling ketergantungan ini jadi suatu tantangan yang menghendaki suatu jawaban yang datangnya dari masyarakat itu sendiri, yaitu manusia tidak akan mampu hidup sendiri jika tidak saling tolong-menolong sesame manusia lainnya, terutama dengan manusia yang selingkungan dengan dirinya, antara masyarakat dengan kelompok lainnya.

Berba

ketergantungan masyarakat. Terhadap kondisi lingkungan itu sendiri telah menyebabkan timbulnya variasi yang meliputi pengaruh barang dan jasa terhadap ekonomi masyarakat, yang kemudian menaikkan tingkat kebutuhan yang bersifat

sekunder, terlebih-lebih setelah lancarnya transportasi dan komunikasi setiap masyarakat.

Sebagaimana halnya dengan yang telah diuraikan diatas, maka masyarakat di desa Tongkoh mempunyai beraneka ragam jenis mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Mata pencaharian utama sebagian besar masyarakatnya adalah bertani bunga, selain itu ada juga petani sayur-sayuran, sebagi pedagang,

a buruh perusahaan, karyawan dan buruh tani. Variasi mata pencaharian ini pada umumnya dilaksanakan sekaligus dan bersifat tumpang tindih, misalnya seorang petani juga menjadi buruh sekaligus juga mengontrakkan rumah, sehingga sulit untuk menjelaskan yang mana merupakan mata pencaharian yang pokok serta yang mana merupakan pekerjaan sampingan.

Yang dikategorikan sebagai mata pencaharian sebagai pedagang disini adalah pedagang kelontong, warung nasi dan kopi, da pedagang perantara, baik itu pedagang perantara tanaman bunga, maupun pedagang perantara sayur-sayuran atau perengge-rengge. Pedagang perantara membeli hasil pertanian penduduk kemudian menjualnya kembali kepada para pedagang lainnya yang datang dari Medan, Binjai dan Belawan.

Selain jenis pekerjaan yang telah dikemukakan diatas masih ada jenis mata pencaharian lainnya, yaitu menjadi buruh tani yang biasa disebut Aron. Mereka bekerja diladang petani yang membutuhkan tenaga bantuan. Pada umumnya pekerjaan sebagai Aron mereka lakukan karena memiliki lahan yang sempit atau umumnya tidak mempunyai lahan untuk bertani. Ada juga diantara mereka yang bekerja sebagai buruh dari perusahaan yang ada di sekitar desa ini. Meskipun merek

telah mempunyai pekerjaan tetap seperti menjadi karyawan pada instalansi pemerintah, namun ada juga diantara mereka membuka areal pertanian sebagai mata pencaharian tambahan. Selain dari pada itu ada juga pekerjaan untuk menambah sumber mata percaharian, yaitu dengan cara mengontrakkan rumah bagi para pendatang di desa ini sebagai tempat tinggal dan dilakukan dengan cara sistem kost.

Beragamnya sumber mata pencaharian yang telah disebutkan, terutama bagi asyarakat di desa Tongkoh, mempunyai arti penting karena dapat meningkatkan k dan hal ini lebih cendrung mengarah kepada milik

ilikan

kebanyakan tanah tersebut sudah dikuasai oleh marga pendatang yang menjadi kerabat mereka, atau dengan kata lain telah dimiliki oleh pihak Anak Beru dan m

pengeluaran yang semakin banya

pe an materi, yang sebelumnya mereka hanya memenuhi kebutuhan primer saja, kini beralih kepada kebutuhan sekunder seperti motor, mobil, radio-tape, televisi dan kebutuhan lainnya.

4.1.1 Kehidupan Petani Pemilik

Sudah menjadi suatu kelaziman di Tanah Karo, bahwa hak pem terhadap tanah setiap desa mayoritas dimiliki oleh kelompok marga yang mendirikan desa, yang kemudian diwariskan secara turun-temurun kepada keturunannya berdasarkan garis keturunan Patrilineal. Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya, kelompok marga yang mendirikan desa ini adalah marga Karo-karo Bukit, sehingga pemilikan tanah mayoritas dimiliki oleh kelompok marga ini.

Kalimbubu secara turun-temurun. Karena tanah di desa ini merupakan warisan pusaka yang diwariskan kepada setiap anak laki-laki secara merata sehingga lama-kelamaan tanah semakin sempit dan sangat pantang untuk dijual. Jadi walaupun tanah ini telah dikuasai oleh pihak Anak Beru30 dan Kalimbubu31 yang berasal dari marga Tarigan, Ginting, Sembiring dan Perangin-angin, pada mulanya adalah hanya bersifat hak pakai, kemudian tanah ini akan diwariskan pula kepada keturunannya. Beginilah sistem pewarisan tanah ini sehingga semakin lama semakin sempit serta masyarakat merasa sangat tabu untuk menjual tanah miliknya tersebut kecuali untuk disewakan. Kemudian selain kelompok-kelompok pemilik tanah diatas, ada juga kelompok marga lain yang berhak atas pemakaian tanah di desa Tongkoh, yaitu kelompok marga Gurusinga dan sebagian kelompok marga Sembiring Meliala. Kedua kelompok marga ini adalah pendatang kedua setelah kelompok marga Karo-karo Bukit. Jadi sebagian kecil tanah di desa Tongkoh tersebut dipakai oleh kedua kelompok marga ini. Akan tetapi walaupun tanah yang dimiliki kelompok marga lain sebagai pemilikan hak pakai, tetapi setelah beberapa generasi hak pakai ini berubah menjadi

ak mi

h lik sendiri dan tidak bisa diambil kembali oleh kelompok marga Karo-karo Bukit. Oleh karena itu dalam penulisan ini kelompok ini dikategorikan juga sebagai petani pemilik.

30

“Anak Beru” adalah kelompok marga yang memperistri seorang wanita turunan marga Karo-karo Bukit di desa Tongkoh.

31

“Kalimbubu” adalah kelompok marga yang dijadikan istri oleh setiap turunan marga Karo-karo Bukit di desa Tongkoh.

Walaupun berdasarkan adapt istiadat setiap pemilik tanah menganggap tabu untuk menjual tanahnya, namun nilai-nilai ini sudah mulai luntur karena sebahagian dari mereka sudah ada yang menjual tanahnya kepada para pendatang, hal ini dilakukan oleh pemilik tanah karena keperluan dan kebutuhan yang meningkat sesuai perkembangan zaman, terutama untuk membiayai sekolah anak-anak mereka yang telah duduk di dunia pendidikan maupun kebutuhan lainnya yang mendesak. Selain dari pada itu banyak juga diantara tanah yang mereka miliki dikontrakkan dalam

yang bersifat tradisional ini turut berubah dengan ra ma

jangka waktu tertentu kepada pihak lain, terutama karena pihak tuan tanah ini ada juga yang tidak sanggup mengelola tanah yang diwarisinya dalam jumlah yang sangat luas, sehingga dari pada tanah tersebut tidak terpakai, lebih baik disewakan kepada para pendatang.

Pada awal-awal tahun 1970, para petani di desa ini masih melaksanakan sistem pertanian tradisional, yaitu masih menerapkan cara bertani yang menggantungkan nasibnya terhadap alam dan kesuburan tanah, terutama dalam bertani bunga sehingga hasilnya kurang memuaskan. Tetapi setelah adanya penyuluhan maupun pengenalan sistem pertanian dengan cara yang lebih maju yang diperkenalkan oleh pihak pemerintah serta perusahaan PT. Bibit Baru, maka secara perlahan-lahan sistem pertanian

ca upun sistem yang lebih modern, sehingga hasil-hasil pertanian sudah semakin meningkat karena dikelola secara intensif dengan mempergunakan bahan-bahan kimia, terutama jenis pupuk Pestisida dan Fungisida untuk memberantas hama dan meningkatkan kesuburan tanah.

Dengan beralihnya jenis tanaman penduduk, terutama pada tanaman bunga yaitu dari bunga potong menjadi tanamn hias yang pemasarannya semakin luas serta

ola pertanian tradisional. Seluruh proses perubahan tersebut tidak dapat yang dikembangkan melalui Perkebunan Inti Rakyat oleh PT. Bibit Baru, para petani sudah mulai merasakan hasilnya dengan berlipat ganda juka dibandingkan dengan yang sebelumnya sehingga mengakibatkan pola pertanian yang tradisional berubah menjadi pertanian yang lebih produktif.

Terjadinya proses perubahan nilai-nilai dari yang tradisional menjadi yang modern di bidang pertanian, maka secara spontanitas para petani beralih mengelola tanah miliknya dengan metode yang baru sehingga tidak ditemukan lagi petani dengan p

dilepaskan dari peranan perusahaan yang membawa nilai-nilai yang kemudian diserap oleh para petani di desa Tongkoh, sehingga meningkatnya pendapatan para petani dari hasil taninya tidak dapat pula dipisahkan dari pada pengaruh perusahaan swata tersebut.

Walaupun arus modernisasi telah mempengaruhi para petani di desa Tongkoh, namun tenaga manusia sebagai faktor pengelola tanah masih sangat dominant, hampir tidak ditemukan tenaga-tenaga yang berhubungan dengan mesin didalam pengolahan tanah, kecuali alat penyemprot manual.

Tanah-tanah pertanian biasanya diolah dan dikelola oleh kaum wanita dan pria yang mempunyai tugas yang saling berbeda. Kaum pria yang secara kodrat memiliki fisik yang kuat, akan mengerjakan jenis-jenis pekerjaan yang berat-berat seperti menyemprot tanaman, membuat jalur serta menyemaikan bibit dan menyiram

tanaman jika musim kemarau tiba. Sedangkan kaum wanita biasanya akan mengerjakan pekerjaan yang agak ringan seperti menyiangi rumput, menanam tanaman kedalam polibag serta pekerjaan yang dianggap ringan lainnya. Selain itu, tugas kaum wanita yang sangat menonjol adalah dalam hal pemasaran hasil pertanian atau menjual hasil produksi mereka kepada para pembeli yang dating. Hal ini sudah mum bagi kaum wanita di Tanah Karo, sebab kaum wanita biasanya sangat pintar n barang dagangannya kepada para pembeli,

mumnya petani-u

dan lugas dalam hal menawarka

sedangkan kaum pria dalam hal ini hanya berfungsi untuk menyiapkan dan mengangkat hasil panennya untuk dijual oleh kaum wanita.

4.1.2 Kehidupan Petani Penyewa

Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, yang dikategorikan sebagai petani pemilik adalah para petani yang memiliki tanah di desa Tongkoh, sedangkan yang dikategorikan sebagai petani penyewa adalah kelompok petani yang menyewa tanah dari masyarakat setempat. Oleh karena itu selain dari pada suku Karo, terdapat juga para petani di desa ini para pendatang yang berasal dari daerah Tapanuli dan Simalungun yang umumnya adalh karyawan dari Balai Penelitian Pertanian, dan juga suku Jawa dan Cina yang membuka areal pertanian didesa ini. U

petani Cina yang datang sekitar tahun 1980-an, berasal dari Berastagi dan Medan, berarti mereka tidak menetap tinggal di desa Tongkoh dan biasanya mereka menanam tanaman sayur-sayuran dalam jumlah yang besar. Sedangkan para petani yang berasal dari daerah lain, semuanya menetap menjadi penduduk di desa ini.

Petani penyewa yang minoritas dan tidak tinggal di desa ini adalah para pendatang keturunan Cina. Para petani Cina ini umumnya menanam jenis tanaman sayur-sayuran komoditi ekspor seperti kentang dan kol yang diolah dengan konsep-konsep yang lebih maju jika dibandingkan dengan milik para petani lainnya, sehingga hasilnya selalu jauh lebih menguntungkan. Adapun konsep perbedaannya adalah terletak dalam segi modal, karena umumnya para petani Cina memiliki modal yang besar, maka dalam pemakaian jenis pupuk baik Fungisida maupun Pestisida dapat mereka terapkan secara teratur dalam pemakaiannya dan bahkan sering berlebihan sehingga hasil produksi pertaniannya sangat memuaskan. Sedangkan petani penyewa lainnya serta petani pemilik, karena seringnya mereka kekurangan modal, pemakaian jenis Pestisida dan Fungisida sering diterapkan tidak teratur dan bahkan kurang, sehingga hasilnya kurang memuaskan jika dibandingkan dengan petani Cina tersebut.

Para petani penyewa yang non Cina tersebut, pada awalnya bukanlah bertujuan untuk bertani, melainkan bekerja sebagai buruh pada perusahaan yang terdapat di kawasan desa Lau Gendek, tetapi akibat mundurnya produksi sebahagian dari perusahaan industri tersebut, pada tahun 1980, mereka terpaksa terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), sehingga berdasarkan modal yang minim mereka berusaha mengalihkan penghasilannya dengan cara bertani sebagai petani penyewa atau mengontrak tanah milik penduduk desa untuk diusahakan dengan jalan bertani.

Walaupun dengan modal yang sangat minim pada awalnya, sebahagian besar dari mereka ini berhasil karena mereka menerapkan sistem pertanian sesuai dengan pengalaman kerja mereka, terutama mantan buruh PT. Bibit Baru. Dengan

pengalaman tersebutlah mereka jadikan sebagai tolok ukur sehingga berhasil mengalihkan statusnya dari tenaga buruh menjadi petani. Dari modal yang minim kemudian berakumulasi menjadi lebih besar sehingga dalam waktu yang relatif singkat mereka dapat memperoleh pendapatan yang cukup untuk kebutuhan

erja mereka

keseharian mereka. Dalam hal ini dapat diartikan secara luas, bahwa keberhasilan seseorang menjadi seorang petani yang sukses tergantung dari luasnya lahan pertanian dan pengalaman yang cukup dalam bidang tersebut serta dibarengi dengan sarana modal sebagai pendukung usahanya.

Berbeda dengan para petani pemilik yang pada mulanya bertani secara tradisional, tetapi para petani penyewa ini dalam menjalankan usaha pertaniannya langsung melangkah kepada sistem yang modern, sebab nilai-nilai ini telah mereka serap dan pelajari terlebih dahulu ketika masih bekerja pada perusahaan PT. Bibit Baru, sehingga nilai-nilai tersebut secara praktis langsung diterapkan tatkala mereka mulai mengalihkan mata pencahariannya dari tenaga buruh menjadi petani penyewa.

Selain petani penyewa yang telah dipaparkan sebelumnya, ada juga petani penyewa yang merupakan karyawan dari Balai Penelitian Pertanian. Pekerjaan sebagai petani ini umumnya mereka lakukan sebagai mata pencaharian sampingan setelah pulang kerja. Mereka memiliki banyak waktu untuk bertani, karena jam k

di Balai Pemerintahan tersebut sangat pendek. Untuk itu mereka menyewa tanah dari penduduk setempat untuk dikelola agar menambah pemasukan ekonomi bagi kehidupan mereka. Tanamn yang mereka tanam adalah bunga-bunga dan sayur-sayuran yang mereka teliti di Balai Penelitian Pertanian tempat mereka bekerja.

Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, tumpang tindihnya pekerjaan yang dilakukan masyarakat juga dilakukan oleh petani penyewa ini, hal ini dapat dilihat pada setiap adanya pecan yang berlangsung di Pasar setiap dua kali seminggu di desa Lau Gendek. Mereka berdagang secara kecil-kecilan dengan cara mengecer barang-barang kelontong dan berbagai jenis tanaman hias yang mereka tanam sendiri dari lahan yang disewa untuk menambah pemasukan. Semakin berkembangnya Pasar yang berlangsung dua kali seminggu, membuat mereka terpaksa mencari tempat berjual

ai modal yang cukup kuat, sehingga kalau mereka bertani tenaga

an secara permanent dengan cara menyewa kios-kios kecil dari penduduk di desa Lau Gendek. Akhirnya akibat tumpang tindihnya pekerjaan yang mereka hadapi, mereka terpaksa mengajak keluarganya yang masih ditinggalkan di tempat asalnya untuk pindah ke desa Tongkoh maupun ke desa Lau Gendek.

Sistem kerja tumpang tindih ini tidak sama halnya dengan petani-petani Cina. Petani Cina tidak menghendaki pekerjaan yang demikian karena mereka masing-masing telah mempuny

dan pikirannya tercurah seluruhnya terhadap usaha taninya. Hal yang demikian memang memungkinkan bagi mereka, berbeda halnya dengan petani penyewa lainnya yang harus mereka kerjakan karena kekurangan modal untuk mendukung usahanya.

Adapun bentuk sistem sewa tanah antara petani penyewa dan pemilik tanah dilakukan oleh kedua belah pihak dalam jangka waktu yang telah disetujui bersama. Petani penyewa biasanya mengontrak tanah penduduk dalam jangka waktu 3 sampai 5 tahun. Harga sewa tanah ini pada mulanya berkisar Rp. 80.000 pertahun dalam

rata-rata luas satu hektar, akan tetapi sejak meningkatnya jumlah peminat untuk menyewa, maka sejak awal tahun 1984 pemasaran sewa tanah ini sudah semakin meningkat, yaitu Rp. 100.000 perhektar dal setahun, dan bahkan lebih tinggi lagi jika tanah tersebut terletak di pinggir jalan besar yang sudah lancer arus transportasinya. Umumnya petani penyewa ini menyewa tanah dari penduduk setempat dalam skala yang ke

n hasil pertaniannya. danya persaingan yang sehat ini menimbulkan suatu gairah kerja yang tinggi, ehingga produktifitas hasil-hasil pertanian di desa ini baik itu sayur-sayuran maupun

cil, yaitu antara 1/4 - 1/2 ha saja, berbeda dengan petani keturunan Cina yang bisa menyewa secara luas antara 1 – 3 ha. Apabila masa kontrak sudah habis dapat kembali diperpanjang sesuai dengan kesepakatan bersama dan mengikuti harga pasaran yang terus berkembang.

Tingginya pasaran harga sewa tanah ini tidak dapat dipisahkan dari pengaruh adanya perusahaan swasta yang beroperasi di desa Lau Gendek, sehingga maju mundurnya usaha petani penyewa turut berpacu terhadap kesungguhannya untuk berjuang mengembalikan modal sewa tanah yang sudah merupakan sebahagian dari pada investasi modalnya. Demikian juga halnya dengan petani pemilik tanah, walaupun sebahagian tanahnya telah dikontrakkan bukan berarti mereka sebagai tuan tanah menjadi lengah dan bekerja malas, tetapi mereka semakin giat untuk bertani dan bersaing secara sehat untuk meningkatkan hasil-hasil pertaniannya, sebab ada semacam sifat prasangka penduduk desa ini bahwa mereka akan merasa malu terhadap para pendatang apabila tidak berhasil meningkatka

A s

tanaman bunga cukup tinggi dan produksi yang tinggi ini akhirnya turut pula ening

ntuk upah yang tidak terpengaruh atas rugi untungnya produksi

duk setempat tidak ada ang m

m katkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakatnya.

4.1.3 Kehidupan Buruh Tani

Adapun yang dimaksud dengan pengertian buruh tani disini adalah orang yang memperoleh penghasilan dengan bekerja untuk mendapatkan upah dari pemilik tanah atau para petani penyewa tanah yang sebahagian besar bekerja dalam waktu jangka pendek serta dilepaskan setelah pekerjaan selesai.32 Pendapatan buruh tani ini dihitung dalam be

para petani dan upah yang mereka peroleh diukur berdasarkan tenaga yang mereka sumbangkan kepada pemilik tanah, sehingga tinggi rendahnya sumber penghasilan ini bergantung dengan tersedianya lapangan pekerjaan di desa Tongkoh. Dengan demikian lapangan pekerjaan yang tersedia harus ditentukan dan menunggu kabar dari pihak petani.

Pekerjaan sebagai buruh tani di desa Tongkoh, terutama mayoritas dilakukan oleh para pendatang, walaupun demikian bukan berarti pendu

y enjadi buruh tani, penduduk desa ini juga akan menjadi buruh tani bila mereka sedang tidak ada pekerjaan dan ada yang membutuhkan tenaga mereka. Umumnya

32

Sajogoyo dan Pujiwati Sajogyo, Sosiologi Pedesaan, Jilid I, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, hlm. 158.

pendatang yang menjadi buruh tani kebanyakan dari kalangan suku Jawa dan Tapanuli. Tenaga mereka sangat dibutuhkan oleh petani dalam hal menanam dan merawat tanaman yang diusahakan dalam jumlah yang besar.

Biasanya para petani yang banyak menyerap tenaga buruh untuk dipekerjakan

pada pagi dan sore adalah dilakukan oleh petani-petani dari kalangan orang Cina, sebab selain karena mereka membuka areal pertanian yang cukup luas, mereka biasanya memanfaatkan tenaga buruh mulai dari musim tanam hingga musim panen secara berkesinambungan sehingga tenaga buruh tersebut seolah sudah merupakan pekerja tetap diareal pertanian yang mereka miliki.

Berbeda dengan petani Cina, petani-petani bunga juga banyak memanfaatkan tenaga buruh tani, khususnya para pengusaha bunga yang ada di desa ini. Namun buruh tani tersebut umumnya tidak bekerja menetap dilahan para pengusaha bunga ini. Tenaga buruh tani ini biasanya dibutuhkan pada saat penanaman bunga dalam jumlah yang besar, selain itu juga pada saat musim kemarau tiba, dimana tenaga buruh tani ini digunakan untuk menyiram bunga yang dilakukan

hari dan dilakukan setiap harinya hingga musim hujan tiba. Kadang-kadang tenaga mereka ini juga dibutuhkan dalam hal perawatan tanamn, dimana para pengusaha bunga ini juga sering kali tidak mampu merawat semua tanamn mereka karena pada umumnya mereka juga memiliki ladang yang ditanami dengan sayur-sayuran, jadi para pengusaha bunga ini harus pintar dal membagi waktu.

Dibandingkan dengan pendapatan penduduk di desa Tongkoh, maka penghasilan yang paling rendah di antara penduduk tersebut adalah pendapatan buruh

tani. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penghasilan yang mereka peroleh setiap hari, masing-masing tenaga buruh yang menggunakan jasanya diladang milik petani mulai dari pagi sampai menjelang matahari terbenam mendapatkan upah yang berkisar antara Rp. 2.500 sampai Rp. 3.000 perhari. Menurut hasil wawancara dengan para

umber

engontrol mereka dengan s informan, jumlah penghasilan yang mereka peroleh tersebut hanya cukup untuk dipergunakan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan hanya bersisa

Dokumen terkait