KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI PETANI BUNGA DI DESA
TONGKOH KABUPATEN KARO (1970-1990)
SKRIPSI SARJANA Dikerjakan:
O
L
E
H
NAMA : BELLI JUNA BUKIT NIM : 020706006
DOSEN PEMBIMBING,
Drs. Samsul Tarigan NIP 131570490
DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Lembar Persetujuan Ujian Skripsi
KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI PETANI BUNGA DI DESA
TONGKOH KABUPATEN KARO (1970-1990)
Yang diajukan Oleh
Nama : BELLI JUNA BUKIT NIM : 020706006
Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh :
Pembimbing,
Drs. Samsul Tarigan Tanggal,……….
NIP 131570490
Ketua Departemen Ilmu Sejarah,
Dra. Fitriaty Harahap, S.U Tanggal,……….
NIP 131284309
DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi
KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI PETANI BUNGA DI DESA
TONGKOH KABUPATEN KARO (1970-1990)
SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O
L E H
NAMA : BELLI JUNA BUKIT NIM : 020706006
Pembimbing,
Drs. Samsul Tarigan
NIP 131570490
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Sastra USU Medan, untuk
melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra dalam bidang Ilmu Sejarah
DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Lembar Persetujuan Ketua
KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI PETANI BUNGA DI DESA
TONGKOH KABUPATEN KARO (1970-1990)
DISETUJUI OLEH :
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
DEPARTEMEN SEJARAH
Ketua,
Dra. Fitriaty Harahap, S.U
NIP 131284309
Lembar Pengesahan Skripsi Oleh Dekan dan Panitia Ujian
PENGESAHAN :
Diterima Oleh :
Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra Dalam Departemen Sejarah pada Fakultas Sastra USU Medan
Pada :
Tanggal :
Hari :
Fakultas Sastra USU Dekan,
Drs. Syaifuddin, MA,Ph. D NIP 132098531
Panitia Ujian :
No. Tanda Tangan
1. (__________________)
2. (__________________)
3. (__________________)
4. (__________________)
Abstrak
KATA PENGANTAR
Dengan kerendahan hati penulis menghaturkan puji syukur dan sembah sujud
kepada Allah Yang Maha Kuasa atas berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis mampu
menyelesaikan skripsi ini. Tanpa kemurahan-Nya semua ini pastilah tidak terlaksana.
Adalah menjadi salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh setiap mahasiswa
untuk menyusun skripsi guna menyelesaikan perkuliahan dan mendapatkan gelar sarjana.
Untuk memenuhi syarat tersebut di atas penulis mengangkat sebuah permasalahan yang
ditulis menjadi sebuah skripsi yang berjudul:
KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI PETANI BUNGA DI DESA TONGKOH
KABUPATEN KARO (1970-1990)
Dalam penyusunan skripsi ini penulis mengumpulkan berbagai sumber yang
relevan dengan penelitian. Di samping itu penulis melakukan wawancara dengan
orang-orang yang mengetahui penelitian yang sedang dilakukan oleh penulis. Banyak kendala
yang dihadapi penulis selama melakukan penelitian, terutama pada saat melakukan
wawancara di mana banyak nara sumber yang sudah lupa dengan kejadian yang
berlangsung waktu itu. Lebih dari itu, umumnya nara sumber yang terlibat langsung
dengan peristiwa-peristiwa awal berkembangnya bunga di desa Tongkoh sudah tidak ada
lagi. Jadi, sumber yang ada hanya diperoleh berdasarkan cerita turun-temurun atau biasa
disebut oral history.
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna. Bagi penulis bukanlah
kesempurnaan itulah yang terpenting. Kesempurnaan sesungguhnya hanyalah utopia
belaka.
Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua
khususnya bagi mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah yang mungkin ingin meneliti lebih
dalam lagi mengenai petani bunga di desa Tongkoh.
Medan, Juli 2008
Penulis
Ucapan Terima Kasih
Puji dan syukur yang teramat besar penulis haturkan kepada Allah swt dan
salawat beriring salam kepada Nabi junjungan Muhammad saw. Hanya karena
kuasa-Nyalah penulis memperoleh kemudahan dan kelancaran dalam menyelesaikan penulisan
skripsi ini. Dalam penyelesaian skripsi ini penulis telah banyak mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Orang tua penulis yang tercinta, Ayahanda Masa Bukit dan Ibunda Jempol br
Sembiring, juga untuk kakak dan adik penulis Pujinta Bukit .SP., Hermina br
Bukit, Mahdalena br Bukit .Amd. dan Andi Putra Bukit serta seluruh keluarga
yang telah memberikan dukungan kepada penulis selama masa pendidikan dan
dalam masa penulisan skripsi. Semoga Allah Yang Maha Pengasih mencurahkan
anugrah dan hidayah-Nya pada kita semua.
2. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis DTMH, Sp.A(K).
3. Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, Bapak Drs. Syaifuddin, MA, Ph.D yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk dapat menjalani ujian meja hijau agar mendapatkan gelar kesarjanaan.
4. Ketua Departemen Sejarah, Ibu Dra. Fitriaty Harahap, S.U, yang telah memberikan banyak bantuan, kemudahan serta pengalaman selama saya
menjalani masa perkuliahan. Terima kasih juga disampaikan kepada Sekretaris
Departemen Sejarah, Ibu Dra. Nurhabsyah, M.Si, yang terus memacu semangat saya agar segera menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak Drs. Samsul Tarigan, selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak memberikan masukan ilmu dan yang telah memberikan nasehat kepada saya
dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Tanpa kontribusi dari bapak, rasanya
skripsi ini akan jauh dari kesempurnaan.
6. Bapak Drs. Budi Aguatono, M.S., selaku Dosen Wali yang telah memberikan
7. Bapak Ibu Dosen dan seluruh Staf Pengajar dan Pegawai di Departemen Sejarah,
terima kasih saya ucapkan atas ilmu pengetahuan yang telah diberikan selama ini,
semoga nantinya bermanfaat bagi saya.
8. Sahabat-sahabatku Mahasiswa Sejarah satambuk ’02 khususnya Birink, Boca,
Deirs, Daru, Tommy, Amien, Roy, Toni, Bambang, I’ing, Ici, Edwin dan
kawan-kawan yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dan
memberikan dukungan moral.
9. Kawan-Kawan seperjungan Gema Prodem khususnya Mika, N-g, Iqbal, Mamek,
Zetro, Mega dan Otank terima kasih atas kepedulian kawan-kawan yang telah
memberikan pelajaran dan pengalaman yang sangat berharga bagi saya, terima
kasih juga atas dukungan moral dari kawan-kawan. Salam 1/2 Merdeka. Demokrasi Untuk Rakyat!!!
10.Seluruh masyarakat di desa Tongkoh dan di desa Lau Gendek yang tidak bisa
penulis sebutkan satu persatu atas semua informasi yang telah diberikan kepada
penulis di lokasi penelitian hingga rela meninggalkan aktivitasnya demi
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Atas semua bantuan ini penulis tidak dapat membalasnya. Penulis hanya bisa
berdoa semoga baik budi itu mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah Yang
Maha Kuasa. Akhir kata semoga skripsi ini berguna bagi kita semua khususnya bagi
mahasiswa Jurusan Sejarah.
Medan, Juni 2008
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAK……… i
KATA PENGANTAR………. ii
UCAPAN TERIMA KASIH………... iv
DAFTAR ISI……… vi
DAFTAR TABEL……… viii
BAB I PENDAHULUAN………. 1
1.1Latar Belakang Masalah……….. 1
1.2Rumusan Masalah………. 7
1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian………. 9
1.4Tinjauan Pustaka……….. 10
1.5Metode Penelitian……… 13
BAB II GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN……… 15
2.1 Letak Geografis……… 15
2.2 Latar Belakang Historis Desa Tongkoh……… 19
2.3 Distribusi Penduduk………. 25
BAB III LATAR BELAKANG DAN PRODUKSI PERTANIAN BUNGA DI DESA TONGKOH………. 30
3.1 Sejarah Petani Bunga di Desa Tongkoh……….. 30
3.2 Produksi Tanaman Bunga……… 41
BAB IV PERKEMBANGAN KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI
MASYARAKAT DI DESA TONGKOH……….. 57
4.1 Kehidupan Ekonomi………. 57
4.1.1 Kehidupan Petani Pemilik……… 60
4.1.2 Kehidupan Petani Penyewa………. 64
4.1.3 Kehidupan Buruh Tani……… 69
4.1.4 Kehidupan Mata Pencaharian Lainnya……… 72
4.1.5 Pola Konsumsi………. 74
4.2 Kehidupan Sosial………. 78
4.2.1 Susunan Masyarakat……… 83
4.2.2 Solidaritas Sosial………. 87
4.2.3 Sosial Budaya……….. 90
4.2.4.Kegiatan Pendidikan……… 93
4.2.5 Kehidupan Beragama……….. 96
4.2.6 Sarana Kesehatan………. 101
4.3 Peranan Petani Bunga dalam Perkembangan Kepariwisataan di Tanah Karo……… 107
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……… 112
- DAFTAR PUSTAKA………. 119
- DAFTAR INFORMAN
DAFTAR TABEL
1. Tabel 1. Pemakaian Tanah Sebelum Adanya Investasi Modal Swasta.
2. Tabel 2. Pemakaian Tanah Setelah Berkembangnya Investasi Modal Swasta.
3. Tabel 3. Distribusi Penduduk Berdasarkan Agama.
4. Tabel 4. Distribusi Penduduk Menurut Umur.
BAB I
KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI PETANI BUNGA DI DESA TONGKOH KABUPATEN KARO (1970-1990)
1.1 Latar Belakang Masalah
Pada hakekatnya untuk mencapai taraf kesempurnaannya manusia hidup dari
dan dalam masyarakatnya. Oleh karena itu manusia mempunyai rasa solidaritas yang
sangat tebal terhadap masyarakatnya. Di samping itu setiap individu yang menjadi
suatu anggota masyarakatnya harus tunduk pada ketentuan-ketentuan yang berkenaan
dengan hak dan kewajibannya yang diatur oleh negara.1
Setiap manusia selalu membutuhkan manusia lainnya untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya, baik kebutuhan yang bersifat primer yang kemunculannya
bersumber pada aspek-aspek kebutuhan biologis atau organisme tubuh manusia yang
mencakup kebutuhan-kebutuhan akan sandang, pangan dan papan. Di samping
keperluan primer, manusia juga membutuhkan kepentingan sekunder seperti
berkomunikasi dengan sesama, kontrol sosial, pendidikan serta keteraturan sosial.
Selain itu ada juga kebutuhan tertier yang meliputi kebutuhan akan barang-barang
yang mewah dan antik. Dengan demikian manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan
yang bersifat universal serta harus dipenuhinya agar dapat melangsungkan hidup
yang lebih baik dan teratur.
1
Masyarakat Indonesia baik didaerah pedesaan maupun perkotaan mempunyai
kecendrungan untuk tinggal di tempat atau lingkungan yang lebih aman dan nyaman.
Keadaan ini sebenarnya dapat diciptakan, antara lain dengan mengisi atau menata
lingkungan tempat tinggal, lingkungan perkantoran atau taman-taman rekreasi dengan
suatu tatanan taman yang dilengkapi dengan berbagai tanaman bunga hias atau bunga
potong sebagai penghias ruangan.
Berbicara mengenai kenyamanan, kehidupan manusia tidak pernah bisa lepas
dari keindahan tanaman bunga. Sejak dahulu bunga dimanfaatkan sebagai simbol
keagamaan dan sosial, serta sebagai motif dalam arsitektur, tekstil, lukisan dan
keramik. Sudah menjadi kesepakatan umum bahwa bunga dipakai sebagai pemuliaan
pribadi dan diatas segalanya sebagai simbol penyambung, pemelihara, dan pemutus
hubungan antara seseorang dengan yang mati maupun yang hidup, dengan Tuhan
maupun dengan sesama manusia. Bagi sebagian manusia, bunga dianggap
mempunyai kemampuan dalam membentuk kehalusan budi pekerti dan menjaga
keseimbangan jiwa manusia.
Di Indonesia sendiri, bunga mempunyai nilai ekonomi yang relatif tinggi,
sehingga mampu meningkatkan pendapatan petani bunga dan memperluas lapangan
pekerjaan. Yayasan Bunga Nusantara mencatat, bahwa di Indonesia terdapat 20.000
petani bunga yang tersebar diseluruh pelosok daerah Nusantara. Sementara pedagang
tahun ke tahun.2 Catatan dari Tim Direktorat Bina Produksi Holtikultura Departemen
Pertanian mengungkapkan, bahwa pada tahun 1988 peringkat ekspor bunga ke Eropa
adalah sebagai berikut: bunga potong (43,38 %), tanaman hias (38,65 %), dan umbi
bunga (12,26 %).3 Pada tahun 1985-1990, ekspor berbagai produk florikultura di
Indonesia hampir mencapai 17 juta dolar AS, sedangkan konsumsi bunga di dalam
negeri terutama kota-kota besar seperti, Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan,
Denpasar, Semarang dan Ujung Pandang adalah 1.928.000 tangkai dengan konsumsi
terbesar di Jakarta. Konsumsi bunga di Indonesia meningkat pada saat-saat Hari
Besar Keagamaan serta hari besar lainnya.
Perkebunan bunga di Sumatera Utara dapat dilakukan petani bunga di semua
daerah yang berhawa sejuk, seperti di Takengon, Tanah Karo, dan Simalungun
bagian pegunungan, tetapi berhubung dengan pengangkutan dan perhubungan, maka
untuk perkebunan bunga yang dapat memberi keuntungan besar kepada petani bunga,
hanya Tanah Karo-lah yang paling strategis letaknya. Dan pusat dari perkebunan
bunga di Tanah Karo terletak di Desa Tongkoh, sekitar Kota Berastagi.4 Sebab
wilayah inilah yang paling cocok untuk penanaman bunga secara dominan, karena
alamnya yang lembab serta berada diantara pegunungan yang memungkinkan untuk
pengembangan yang lebih efektif.
2
Rosa Widyawan, Sarwintyas Prahastuti, Bunga Potong, Tinjauan Literatur, Jakarta: Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah LIPI, 1994, hlm. 2-3.
3
Sukartawi, Manajemen Agribisnis Bunga Potong, Jakarta: UI Press, 1955, hlm. 3.
4
Luas penanaman bunga untuk diperdagangkan di tempat-tempat yang disebut
diatas adalah kira-kira 20-30 ha. Distribusi bunga-bunga tersebut ditujukan ke Kota
Medan dan Banda Aceh yang kembali diperdagangkan ke kota-kota di Sumatera
Utara, dan sebagian ke kota-kota besar di Pulau Sumatera dan Pulau Jawa.
Pada tahun 1951, diperkirakan bahwa dalam sebulan, ada pemasaran
bunga-bunga dari Tanah Karo sebanyak 250.000 tangkai atau dalam satu tahun mencapai 3
juta tangkai.5 Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat dan kebun-kebun bunga
ini masih dapat diperluas, jika larangan pengiriman bunga ke Malaysia karena
penyakit theepokken (cacar), dibatalkan. Sebagai diketahui bahwa sebelum Jepang
datang dan berkuasa di Tanah Karo, ekspor bunga ke Malaysia tidak dilarang dan
banyak juga bunga-bunga yang dikirim dengan kapal terbang dan kapal laut ke negeri
seberang. Tercatat bahwa Singapura saja meminta paling sedikit 80.000 tangkai
Gladiool setiap bulan, namun sayang tidak dapat diberikan lagi karena larangan
tersebut.6
Jenis bunga yang paling banyak ditanam di Tanah Karo adalah: Krisan,
Gladiool, Mawar, Dahlia, Gerbera dan Aster, sedangkan yang agak sedikit adalah:
Tuberoos, Kala Merah, Kerklelie, Lili dan lain-lain.
Berhubung dengan tidak datangnya lagi bibit-bibit baru dari Eropa terutama
Negeri Belanda sejak pendudukan Jepang di Tanah Karo pada tahun 1943, hingga
pasca Revolusi Sumatera Timur di tahun 1950, maka kualitas bunga-bunga di Tanah
5
Ibid
6
Karo sangat cepat mundur. Namun ketika perhubungan dengan luar negeri terbuka
kembali, bibit-bibit dari beberapa jenis bunga mulai didatangkan dari Eropa, tetapi
hal ini belum cukup untuk memperbaiki kualitas bunga-bunga di Tanah Karo,
sedangkan di antara pengusaha-pengusaha bunga di Tanah Karo hampir tidak ada
orang yang berusaha untuk mengadakan seleksi. Sangat disayangkan memang
melihat bahwa bunga-bunga yang berharga seperti Krisan, Mawar, Dahlia, Gladiool
dan lain-lain telah manurun mutunya sehingga sebenarnya bunga-bunga yang ada
menurut ukuran Internasional kurang diminati lagi di pasaran. Regenerasinya sangat
nyata kelihatan pada bunga-bunga Krisan, Mawar, Dahlia, Gladiool, dan lain-lain.
Pada tahun 1970 sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pemasaran
bibit-bibit tanaman Hortikultura berdiri di desa Lau Gendek. Perusahaan yang bernama PT.
Bibit Baru ini ternyata membawa perubahan yang sangat besar bagi petani bunga di
Tanah Karo khususnya di desa Tongkoh, sebagai pusat industri bunga di Tanah Karo
pada saat itu. Perubahan itu terlihat pada sistem penanaman yang dikembangkan oleh
perusahaan swasta tersebut yaitu sistem Perkebunan Inti Rakyat. Tujuan dari
dikembangkannya sistem Perkebunan Inti Rakyat ini kepada masyarakat di desa
Tongkoh dan desa Lau Gendek tidak lain untuk mengembangkan sistem pertanian
masyarakat setempat. Umumnya pihak perusahaan akan memberikan bibit-bibit baru
kepada masyarakat setempat, dimana bibit-bibit tersebut akan dikembangkan sendiri
oleh masyarakat dan hasilnya dijual kembali kepada pihak perusahaan dengan harga
yang telah ditetapkan. Namun program ini tidak bertahan lama, karena masyarakat
menghambat pemasaran hasil pertanian mereka ke luar daerah. Pada akhirnya para
petani bunga di desa Tongkoh hanya memanfaatkan bibit-bibit baru dari perusahaan
tersebut, dan hasilnya mereka pasarkan sendiri ke luar daerah.
Kehidupan sosial ekonomi para petani bunga di desa Tongkoh semakin
berkembang setelah berdirinya Balai Penelitian Pertanian di desa Tongkoh pada
tahun 1978. Balai Penelitian Pertanian yang dikelola oleh pemerintah tersebut
memberikan sebuah perubahan dalam sistem pertanian masyarakat, dimana para
petani bunga mulai beralih dari sistem pertanian tradisional ke sistem pertanian
modern. Selain seringnya mengadakan penyuluhan kepada para petani, Balai
Penelitian Pertanian ini juga telah ikut serta di dalam perkembangan jenis-jenis
tanaman bunga yang baru, sehingga jenis-jenis tanaman bunga yang dihasilkan
masyarakat semakin kompleks.
Dalam hal ini bagian perkebunan dari Dinas Pertanian, yaitu Balai Penelitian
Pertanian mengupayakan agar kualitas bunga dari petani direhabilitasi yakni dengan
cara :
1. Pada waktu tertentu mendatangkan benih-benih dari Eropa dengan
kualitas tinggi untuk disebarkan kepada penduduk dan mengadakan
penelitian di kebun, percobaan dan hasilnya kelak disebarkan kepada
penduduk sebagai bibit.
2. Mengadakan seleksi di kebun percobaan dan dari hasil yang terbaik
3. Memberikan penyuluhan kepada petani bagaimana membudidayakan
jenis-jenis bunga dengan sebaik-baiknya, dengan mengadakan seleksi,
pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit, dan lain sebagainya.
Kehadiran Balai Penelitian Pertanian di desa Tongkoh serta PT. Bibit Baru di
desa Lau Gendek, selain ikut serta dalam hal pengembangan pertanian masyarakat,
ternyata membawa dampak positif bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat di desa
Tongkoh. Kehidupan sosial ekonomi masyarakat semakin kompleks dengan
kehadiran para pendatang dari berbagai daerah di Sumatera Utara. Kehadiran para
pendatang di desa Tongkoh yang meningkat pada tahun 1980-an justru semakin
memotivasi masyarakat setempat untuk mengembangkan usaha mereka dengan cara
memperkenalkan produksi pertanian mereka kepada para pendatang, sehingga produk
pertanian masyarakat di desa Tongkoh semakin dikenal di luar daerah.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam melakukan sebuah penelitian maka yang menjadi landasan dari pada
penelitian itu sendiri adalah apa yang menjadi akar permasalahannya. Dengan adanya
permasalahan maka penelitian akan bisa berjalan dan menjadi lebih terarah dan dapat
berkembang sesuai dengan penulis ingin capai. Permasalahannya dianggap penting
karena didalamnya telah terdapat konsep yang akan dibawa dalam penelitian dan
menjadi frame yang membatasi penulis dan menjadi jalur dalam menyusun
Sesuai dengan judulnya yaitu “Kehidupan Sosial Ekonomi Petani Bunga di
Desa Tongkoh Kabupaten Karo (1970-1990)”, maka dibuatlah sesuatu batasan
pokok masalah. Untuk mempermudah memahami permasalahan dalam penelitian ini
maka penulis menspesifikkan beberapa pokok pertanyaan yang akan dikaji dalam
penelitian, yaitu:
1. Bagaimana latar belakang kemunculan petani bunga di Desa Tongkoh?
2. Bagaimana proses produksi serta distribusi tanaman bunga di Desa
Tongkoh?
3. Bagaimana perkembangan kehidupan sosial ekonomi petani bunga di
Desa Tongkoh?
4. Apa peranan petani bunga di dalam perkembangan kepariwisataan di
Tanah Karo?
Perlu diketahui bahwa yang menjadi wilayah bagian bagi penulis untuk
mengembangkan tulisan ini adalah Desa Tongkoh yang merupakan daerah
pegunungan yang kurang dikenal oleh masyarakat luas khususnya pada masyarakat
Karo dan masyarakat Sumatera Utara pada umumnya, karena sepanjang penelusuran
penulis ke lapangan, sangat jarang dan hampir tidak dapat ditemukan tulisan yang
memuat atau membahas tentang budidaya tanaman hias di daerah ini. Mengenai
wilayah ini yang menjadi sasaran penelitian adalah sisi sejarah pedesaan dan segala
kehidupan sosial ekonominya yang bersifat umum dalam mengembangkan tulisan ini.
Kemudian batasan waktu dalam penelitian ini mengambil tahun 1970 sampai
dilatarbelakangi oleh tematis, sejak awal tahun 1970 tanaman bunga yang diproduksi
petani mengalami perubahan dari bunga potong menjadi tanaman bunga hias yang
memungkinkan petani memperoleh keuntungan yang lebih besar. Batasan akhir yang
dijadikan penulis adalah tahun 1990, karena pada tahun tersebut kehidupan sosial
ekonomi masyarakatnya telah berkembang dengan pesat, setelah desa Tongkoh
menjadi salah satu daerah tujuan wisata di Tanah Karo dengan berdirinya Taman
Hutan Raya Bukit Barisan pada tahun 1990.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Setelah melihat apa yang menjadi akar permasalahan yang akan
dikembangkan oleh penulis maka yang menjadi permasalahan selanjutnya adalah apa
yang menjadi tujuan penulis dalam penelitian ini, serta manfaat yang di dapat oleh
penulis nantinya, karena pada dasarnya salah satu landasan awal dalam melakukan
penelitian ini adalah perlunya diperhatikan beberapa tujuan dan manfaat yang
nantinya akan dapat memberikan penjelasan baik kepada penulis sendiri maupun bagi
pembaca yang pada akhirnya dapat dikembangkan dalam masyarakat luas.
Adapun yang menjadi tujuan dari pada penelitian ini adalah:
1. Mengetahui latar belakang petani bunga di dalam melakukan budidaya
tanaman hias di Desa Tongkoh.
2. Mengetahui bagaimana cara petani bunga di dalam memproduksi dan
3. Mengetahui perkembangan kehidupan sosial ekonomi petani bunga di
Desa Tongkoh.
4. Mengetahui peranan penting petani bunga di sektor kepariwisataan di
Tanah Karo.
Adapun yang menjadi manfaat dari pada penelitian ini adalah:
1. Untuk lebih memperkenalkan pada masyarakat luas keberadaan budidaya
tanaman hias di Desa Tongkoh
2. Menambah literatur dalam penulisan sejarah khususnya sejarah Pedesaan
di Sumatera Utara.
3. Menjadi acuan bagi para penulis yang lain.
4. Menjadi sebuah karya tulis (skripsi), sebagai persyaratan untuk menjadi
Sarjana Sastra Jurusan Ilmu Sejarah.
1.4 Tinjauan Pustaka
Untuk dapat menyusun tinjauan kepustakaan yang baik, maka akan
diusahakan mengumpulkan sumber sebanyak-banyaknya, serta harus relevan dengan
topik masalah yang akan ditulis, kemudian melakukan seleksi sebelum dituangkan ke
dalam bentuk tulisan.
Dalam hal ini buku yang menguraikan latar belakang dari petani bunga di
Desa Tongkoh sama sekali tidak ada, sebab penulisan tentang permasalahan ini baru
pertama kali dilakukan oleh penulis.
Perlengkapan yang perlu dimiliki oleh penulis multidimensional adalah
alat-alat metodologi berupa konsep dan teori ilmu-ilmu sosial, yaitu tentang teori
perubahan sosial. Sedangkan ilmu bantu yang cukup membantu dalam penelitian ini
adalah Sosiologi, Ekonomi dan Antropologi sebagai upaya mengungkap peristiwa
sejarah yang lebih dalam. Ilmu bantu ini dianggap sesuai untuk mengkaji tentang
kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
Adapun beberapa buku yang dikemukakan dalam mendukung penelitian ini
yang dapat dijadikan sebagai reperensi adalah sebagai berikut.
Kementerian Penerangan, “Republik Indonesia Propinsi Sumatera Utara”,
mengemukakan tentang keberadaan petani bunga pasca revolusi Sumatera Timur di
Sumatera Utara. Setelah kedatangan Jepang ke Tanah Karo pada tahun 1943, rakyat
Karo menjadi semakin menderita atas kependudukan Pemerintah Jepang tersebut.
Setiap lahan pertanian di Tanah Karo harus ditinggalkan dan para pemuda Karo
dipaksa menjadi tentara Jepang seperti, Heiho, Gyugun dan yang lainnya. Hal ini
yang menjadi penyebab terhentinya produksi bunga potong dari petani bunga di Desa
Tongkoh. Baru setelah pasca revolusi Sumatera Timur berakhir, petani bunga
kembali lagi berusaha membudidayakan bunga potong.
Buku ini juga membahas tentang distribusi produksi bunga potong ke luar
daerah, yang mana pernah juga mengekspor ribuan tangkai bunga ke luar negeri,
seperti Malaysia dan Singapura. Tetapi tidak banyak data yang dapat diperoleh dari
diterangkan. Namun dapat dijadikan acuan sebagai bahan perbandingan dengan
data-data yang lain nantinya.
Kemudian buku yang ditulis oleh Drs. H. Wara Sinuhaji M. Hum, yang
berjudul “Aktivitas Ekonomi Enterpreneurship, Masyarakat Karo Pasca Revolusi”,
menjelaskan tentang asal-usul masyarakat Karo pada mulanya. Buku ini penting bagi
penulisan skripsi ini karena daerah yang akan diteliti berada pada Kabupaten Karo
dan merupakan salah satu daerah tujuan perpindahan penduduk. Buku ini juga
menjelaskan sistem pertanian di tanah Karo sebagai salah satu daerah yang sangat
potensial untuk pertanian. Oleh karena perkebunan bunga juga merupakan lahan
pertanian, maka buku ini diperlukan sebagai salah satu sumber terhadap penelitian
yang akan dilakukan.
Buku Sukartawi yang berjudul “Manajemen Agribisnis Bunga Potong”, yang
membahas tentang budidaya bunga potong, dan akan menjadi sumber yang sangat
penting bagi penulis di dalam penganalisaan nantinya.
Buku ini akan menjelaskan secara terperinci tentang tata cara
pengembangbiakan bunga potong, perawatan hingga tehnik pendistribusian bunga
potong serta pemasarannya. Buku ini juga membahas asal-usul jenis bunga potong
yang sudah ada di Indonesia pada saat ini. Melalui buku ini penulis akan berusaha
mnganalisa data sedetail mungkin untuk memperoleh suatu kesimpulan yang akan
1.5 Metode Penelitian
Dalam penulisan sejarah yang ilmiah pemakaian metode sejarah yang ilmiah
sangatlah penting. Metode sejarah dapat diartikan sebagai proses menguji dan
menganalisa secara kritis atas rekaman dan peninggalan masa lampau.7 Sejumlah
sistematika penulisan yang terangkum di dalam metode sejarah sangat membantu
setiap peneliti didalam merekonstruksi kejadian pada masa yang telah berlalu.
Untuk mendapatkan sumber-sumber yang dibutuhkan sebagai bahan
penulisan yang relevan dengan pokok permasalahan haruslah dikaji secara mendalam.
Dalam penulisan penelitian ini kita harus melewati beberapa proses agar diperoleh
suatu penilaian atau pemaparan yang lebih objektif.
Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam metode sejarah adalah:
1. Heuristik, yaitu mengumpulkan data-data atau sumber-sumber tertulis
melalui studi kepustakaan (library research), yaitu berusaha
mengumpulkan data melalui buku-buku, arsip, dokumen, majalah, artikel,
dan media elektronik yang dianggap mempunyai kaitan dan dapat
membantu penulis untuk memahami permasalahan, dan metode penelitian
(field research), yaitu mengadakan wawancara terhadap tokoh-tokoh yang
dianggap mampu memberikan masukan-masukan yang berarti sebagai
sumber penelitian.
7
2. Kritik sumber, yaitu berusaha mendekatkan penulis mendapatkan petunjuk
atas nilai kebenaran dan keaslian data maupun sumber yang diperoleh.
Adapun nilai-nilai tersebut menjadi suatu tolak ukur dalam melakukan
suatu kritik baik itu secara internal maupun eksternal. Kritik internal, yaitu
penelaah tentang kebenaran isi atau fakta dari sumber-sumber objek
penelitian. Kritik eksternal dilakukan dengan cara pengujian untuk
menentukan keaslian sumber.
3. Interpretasi merupakan tahap dimana penulis akan mencoba menafsirkan
data-data yang telah diperoleh kemudian menghasilkan suatu kesimpulan
dari objek masalah yang diteliti baik dengan cara analisis maupun sintesis.
Hal ini dilakukan untuk manghindari subjektivitas. Sebagian benar, tetapi
sebagian lagi salah. Hal ini akan menjadi benar karena tanpa penafsiran
sejarawan, maka data tidak akan bisa berbicara.
4. Historiografi merupakan tahap akhir dari penulisan, atau dapat juga
dikatakan dengan penulisan akhir dari suatu penelitian yang diperoleh dari
fakta-fakta, dilakukan secara sistematis dan kronologis. Dalam penulisan
sejarah aspek kronologis menjadi sangat penting untuk menghasilkan
Abstrak
BAB II
GAMBARAN UMUM DESA TONGKOH
2.1 Letak Geografis
Desa Tongkoh berada diantara jalan raya Berastagi-Medan, jarak dari Ibukota
Kabupaten ke desa ini lebih kurang sekitar 26 km, sedangkan dari kota Berastagi
hanya berkisar 5 km, sebaliknya jika berangkat dari Ibukota Propinsi menuju lokasi
ini jarak yang harus ditempuh berkisar lebih kurang 59 km. Letak wilayah desa ini
dikelilingi dan dibatasi oleh beberapa desa serta pegunungan. Berikut ini batas-batas
wilayah desa Tongkoh adalah sebagai berikut:
Sebelah Barat berbatasan dengan desa Peceren Kecamatan Berastagi.
Sebelah Timur berbatasan langsung dengan Gunung Barus yang dikelola oleh
Dinas Kehutanan sebagai hutan lindung Bukit Barisan.
Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Basam Kecamatan Barus Jahe.
Sebelah Utara desa ini dibatasi oleh Gunung Singkut yang juga merupakan
hutan lindung Bukit Barisan dan dikelola oleh Dinas Kehutanan.
Sebelum luas wilayah desa ini dipaparkan lebih lanjut, ada baiknya dibahas
sekilas tentang pemerintahan desa Tongkoh ini. Desa Tongkoh tidak bisa terlepas dari
desa Lau Gendek sebagai daerah induk dari kedua desa ini. Hal ini terjadi karena
berkaitan dengan latar belakang berdirinya desa Lau Gendek yang kemudian disusul
oleh desa Lau Gendek dengan desa Tongkoh sebagai dusun atau kesain dalam budaya
Karo. Jadi desa Lau Gendek memegang peranan utama, namun penduduk kedua desa
ini akan selalu bekerja sama dalam segala hal. Mengenai latar belakang kedua desa
ini akan dipaparkan lebih lanjut dalam latar belakang historis desa Tongkoh nantinya.
Mengenai luas wilayah kedua desa ini secara keseluruhan lebih kurang seluas
500 ha yang masing-masing dapat diperinci sebagai berikut: dipakai sebagai tempat
pemukiman penduduk seluas 5 ha, lokasi perusahaan swasta seluas 14,5 ha termasuk
5 ha untuk lokasi perkebunan inti rakyat. Sedangkan kawasan industri swasta dipakai
seluas 4 ha, serta lokasi yang digunakan oleh Hortikultura adalah seluas 7 ha
dijadikan sebagai lokasi penelitian dari Dinas Pertanian.
Keadaan iklimnya berada pada suhu minimum 16 sampai dengan 20 derajat
celsius dengan kelembaban udara rata-rata 28%. Pada bulan September hingga
Desember mulai turun hujan dan pada rentang bulan yang lain mulai terjadi kemarau
serta turun hujan sekali-kali. Keadaan yang demikian menyebabkan keadaan
tanahnya sangat subur untuk lahan pertanian maupun perkebunan yang mendukung
berkembangnya perindustrian di sekitarnya dengan pesat. Sebelum adanya Investasi
Modal Swasta, dan lokasi penelitian dari Dinas Pertanian, pemakaian tanah masih
Tabel 1 Pemakaian Tanah Sebelum Adanya Investasi Modal Swasta
No. Penggunaan Tanah Luas/Ha
1. Pemukiman 3 ha
2. Kebun campuran 3 ha
3. Sawah -
4. Tegalan/lahan kering -
5. Hutan lebat 3 ha
6. Belukar -
7. Perkebunan rakyat 1 ha
8. Dan lain-lain 500 ha
Sumber: Kantor Balai Desa Daulat Rakyat (Tahun 1984)
Tetapi setelah mulai beroperasi usaha perkebunan dan industri swasta, serta
penelitian pertanian yang dikelola oleh Pemerintah, terjadi perubahan dimana
pemanfaatan tanah di kedua desa ini semakin meluas, malahan menyewakan tanah
mereka kepada kalangan non pribumi. Lahan dari desa Lau Gendek di pakai sebagai
perusahaan PT. Bibit Baru, Industri Gitar dan Pengalengan Makanan, sedangkan
lahan dari desa Tongkoh digunakan sebagai lokasi Penelitian Pertanian dari Dinas
Pertanian. Luasnya pemanfaatan tanah dapat dilihat dari perkembangan penggunaan
tanah yang dipakai dan berkembangnya perusahaan-perusahaan swasta, (lihat tabel
Tabel 2 Pemakaian Tanah Setelah Berkembangnya Investasi Modal Swasta
No. Penggunaan Tanah Luas/Ha
1 Pemukiman 5 ha
2. Kebun campuran 5 ha
3.. Perkebunan 14,5 ha
4. Pabrik 4 ha
5. Lokasi penelitian 12 ha
6. Hutan lebat 2 ha
7. Perkebunan rakyat 3 ha
8. Dan lain-lain 454 ha
Sumber: Kantor Balai Desa Daulat Rakyat (Tahun 1986)
Pemanfaatan tanah yang demikian luas tidak hanya diusahakan oleh penduduk
setempat saja, akan tetapi telah mulai banyak disewakan oleh penduduk kepada
pendatang dan kalangan non pribumi, terutama kepada kaum Tionghoa dan ada pula
yang telah menjualnya kepada petani non pribumi.
Selain itu, sejak tahun 1980 desa Lau Gendek telah mulai dibuka menjadi
Pasar Tradisional untuk transaksi hasil-hasil pertanian dengan para pedagang, dan
semakin berkembang lagi setelah pedagang-pedagang jenis kebutuhan lain turut
memang sangat memungkinkan jika dilihat dari sarana transportasi dimana jalur
yang dilalui sangat strategis, yaitu terletak diantara jalan raya Medan-Berastagi.
Jaringan penerangan listrik juga telah dimulai sejak tahun 1985 oleh Perusahaan
Listrik Negara, sehingga jaringan komunikasi melalui televisi sudah dapat dinikmati
oleh masyarakat ini.
Kebutuhan akan perawatan kesehatan bagi masyarakat telah diperhatikan
pula. Sejak tahun 1979 atas swadaya masyarakat dengan pihak Perusahaan PT. Bibit
Baru telah mendirikan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang memberikan
pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan menyarankan berobat ke Puskesmas ini
yang dilakukan oleh petugasnya. Kegiatan lain di prakarsai masyarakat setempat,
seperti mendirikan Jambur (tempat pertemuan desa), demikian juga halnya dengan
membuat kamar mandi umum, balai desa, kantor agama Islam serta Lembaga
Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) yang dibiayai atas swadaya masyarakat serta
bantuan yang di peroleh dari pihak Pemerintah dan perusahaan-perusahaan yang
terdapat di kedua desa ini, semuanya dibangun di desa Lau Gendek sebagai wilayah
induk.
2.2 Latar Belakang Historis Desa Tongkoh
Menurut legendanya secara oral historis atau cerita turun-temurun dari satu
generasi ke generasi selanjutnya. Dataran tinggi Karo mulai dihuni oleh masyarakat
Melayu Tua yang datang kedaerah pegunungan Karo, kemudian menjadi suku bangsa
Capah, sekarang dinamai Seberaya.8 Disinilah pertama sekali bangsa Haru menyebut
Karou dan menjadi Karo oleh marga Karo Sekali. Sebelum kampung Sicapah
bernama Seberaya, kampung ini masih terbagi dalam empat kesain yang
berpencar-pencar, yaitu Kesain Rumah Juluun, Kesain Rumah Seribu, Kesain Rumah Karo, dan
Kesain Rumah Sinuraya. Kemudian setelah orang-orang Hindu Tamil bermukim di
daerah tersebut kira-kira tahun 1200-an, mereka berasimilasi dengan penduduk
setempat dan mendapat keturunan sampai beberapa generasi, maka kampung Sicapah
berubah nama menjadi Seberaya. Seberaya berasal dari kata sabe-sabe yang berarti
pemujaan dan raya yang berarti besar, karena di kampung inilah pertama sekali
diadakan sebuah musyawarah besar umat Hindu Perbegu, kira-kira pada permulaan
abad ke-14 sebelum legenda Putri Hijau lahir di kampung itu pada abad ke-16.
Kampung Sicapah dengan ibukotanya Kerajaan Haru Sicapah berasal dari
kata Capah yang artinya piring. Terjadinya nama kampung dan kerajaan Haru
Sicapah adalah karena pada mulanya nenek moyang suku Karo melahirkan bayi
kembar lima berselaput dan dibedah diatas piring besar. Sejak saat itulah tempat
kediaman nenek moyangnya yang kembar lima itu dinamai kampung Sicapah yang
awalnya dinamai burung Sicapah. Kelima nenek moyangnya itu melahirkan
keturunan yang bermarga Karo Sekali, karo Kemit, karo Samura,
Karo-karo Bukit, dan Karo-Karo-karo Sinuhaji dan Sinuraya.
8
Penduduk desa Seberaya ini biasanya dengan bangga mengatakan bahwa
merekalah penduduk asli di Tanah Karo.9 Setelah beberapa generasi mendiami desa
Seberaya sebagai Pemantek Kuta (kelmpok pendiri desa), akhirnya sebahagian dari
pada kelompok marga Karo Sekali semakin terdesak oleh pendatang kelompok marga
yang lain sehingga lahan pertanian sebagai sarana pokok untuk memenuhi kebutuhan
hidup semakin sempit. Hal ini mendorong sebahagian kelompok marga Karo Sekali
mencari tempat pemukiman yang baru untuk mengatasi tantangan tersebut.
Sebelum pemerintahan Kolonial Belanda berkuasa di Tanah Tinggi Karo pada
tahun 1901, yang dimulai dengan pecahnya Perang Garamata, timbullah perselisihan
paham diantara sesama marga Karo Sekali di desa Seberaya untuk memperebutkan
masalah pembagian warisan tanah yang ada di desa tersebut. Karena pertikaian tidak
dapat diselesaikan, maka sekelompok dari kelompok yang bertikai tersebut mencari
alternatif dengan mencari pemukiman yang baru, untuk menghindarkan diri dari
kemungkinan terjadinya perang saudara. Akhirnya kelompok ini pergi meninggalkan
desa Seberaya menuju kearah daerah sebelah selatan yang jaraknya kira-kira 18 km
dari desa Seberaya, kemudian di tempat yang baru tersebut mereka mendirikan
sebuah perkampungan baru sebagai tempat tinggal yang baru. Desa yang baru ini
kemudian dinamakan oleh mereka dengan nama Taneh Jawa. Tidak ada asal usul
nama tempat yang baru ini, namun awalnya bernama “Perawa-rawa” yang artinya
9
pemarah, dibuat seperti itu agar tidak ada kelompok lain yang mengusik keberadaan
mereka.
Dalam waktu yang relatif singkat daerah tersebut mengalami perkembangan.
Berhubung komunikasi dengan daerah sekitarnya sangat sulit serta adanya ancaman
binatang buas sehingga keamanan mereka terganggu, pada akhirnya mereka pindah
ke pinggir jalan raya Medan-Berastagi yang waktu itu masih berupa jalan setapak, di
dekat pemukiman yang baru ini terdapat sebuah aliran sungai yang kecil dan
gendek.10 Perkembangan selanjutnya, pada dekade awal tahun 1970-an, sebagaimana
halnya dengan nama-nama desa yang lain, desa Lau Gendek dirubah namanya
menjadi desa Daulat Rakyat sesuai dengan musyawarah masyarakatnya, dan
merupakan nama gabungan dari desa Lau Gendek dengan Desa Tongkoh.
Latar belakang berdirinya desa Tongkoh sendiri adalah karena perpindahan
kaum pendatang marga Karo-karo Bukit dari desa Sampun, sebelum Belanda
berkuasa di Tanah Karo. Sama seperti perpindahan submarga lainnya yang ingin
mencari lahan baru untuk dijadikan sebagai tempat tinggal, marga Karo-karo Bukit
juga demikian. Namun tidak seperti marga Karo Sekali yang datang secara
berkelompok, marga Karo-karo Bukit datang justru hanya dengan sebuah keluarga
saja, kemudian beberapa tahun berikutnya diikuti oleh kedatangan marga Karo-karo
Gurusinga yang masih saudara dekat dengan keluarga Karo-karo Bukit. Singkat cerita
Karo-karo Bukit yang pertama datang menyerahkan lahan-lahan kosong kepada
10
Karo-karo Gurusinga. Pendatang yang terakhir muncul adalah kelompok marga
Sembiring yang menghuni di daerah perbatasan desa Tongkoh dengan desa Lau
Gendek. Jadi hanya ketiga marga inilah yang mendiami desa Tongkoh secara
turun-temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Asal mula nama desa Tongkoh sendiri tidak terlepas dari cerita terkenal Tanah
Karo tentang legenda Putri Hijau versi orang Karo. Putri Hijau br Sembiring Meliala
lahir di Seberaya dari seseorang yang bermarga Sembiring Meliala keturunan Hindu
Tamil.11 Ia pergi meninggalkan Seberaya disebabkan terjadinya salah paham di
dalam keluarganya. Dari Seberaya Putri Hijau pergi ke daerah Lau Kawar berharap
akan ada yang akan menyusulnya, namun belum juga ada Anak Berunya yang
menyusulnya, kemudian ia pergi kedaerah Lau Gendek yang ketika itu masih berupa
lahan yang kosong, Anak Berunya belum juga kelihatan menyusul, hingga sampailah
Putri Hijau di suatu tempat persinggahan, yaitu sebuah lahan yang kosong dengan
hutan lebat dipinggirannya. Ia mulai beristirahat dan berpikir di tempat itu, timbul
tanda tanya dalam dirinya mengapa Anak Berunya tidak juga datang menyusulnya.
Sambil menyunyah daun sirih, pikirannyapun menjadi “Tongkoh”,12 apakah ia harus
kembali ke Seberaya atau pergi ke tempat saudara ayahnya yang berada di daerah
Deli Tuwa.
11
Ibid., hlm. 20.
12
Dalam Bahasa Karo kata “Tongkoh” dapat diartikan sebagai bercabang-cabang dan juga dapat diartikan juga sebagai tunggal atau satu. Pengertiannya tergantung kata-kata yang mengikutinya, kata “Tongkoh” dalam kalimat tersebut diatas memiliki arti bercabang, dengan kata lain pikiran Putri Hijau tidak menentu. Pada zaman sekarang, penggunaan kata “Tongkoh” tidak pernah lagi
Hubungan desa Tongkoh sendiri dengan desa Lau Gendek adalah tidak lain
atas hubungan tanah, karena marga Karo Sekali yang pertama sekali mendiami desa
Lau Gendek sampai ke daerah pinggiran desa Tongkoh, maka marga Karo Sekali
dianggap sebagai tuan tanah seluruh daerah tersebut. Walaupun pada mulanya daerah
desa Tongkoh hanya berupa lahan yang kosong dan tak berpenghuni. Hingga sampai
sekarang marga Karo Sekali tetap dianggap sebagai “Pemantek Kuta” kedua desa
ongkoh yang seluruh lahan pada mulanya dikuasai oleh marga
pada
rima
tersebut, walaupun sebenarnya marga Karo-karo Bukit yang pertama mendiami
daerah itu.
Seperti halnya dengan desa-desa lain di Tanah Karo, karena kedua desa ini
didirikan oleh marga Karo Sekali, secara otomatis jabatan Penghulu atau Kepala Desa
di pegang oleh kelompok marga tersebut secara turun-temurun. Demikian juga halnya
dengan pemilikan tanah dimana sebagian besar dikuasai oleh kelompok marga
tersebut kecuali desa T
Karo-karo Bukit, kemudian diberikan sebagian kepada marga Karo-karo Gurusinga
dan marga Sembiring.
Sampai Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan,
jabatan Kepala Desa dipegang oleh Atuk Karo Sekali, kemudian sejak tahun
1945-1975, jabatan tersebut diserahkan kepada keturunannya yang bernama Lias Karo
Sekali. Sedangkan pada periode 1975-2002, jabatan Kepala Desa dipegang oleh
Cengken Hasan Karo Sekali. Saat ini jabatan Kepala Desa diserahkan ke
Te Karo Sekali yang merupakan adik kandung dari Cengken Hasan Karo Sekali.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa pemanfaatan tanah
semakin bertambah karena berdirinya beberapa perusahaan dan perkebunan serta
adanya penjualan tanah kepada para pendatang, sehingga dengan sendirinya desa ini
berubah wajahnya. Kalau pada awalnya bersifat homogen sekarang mulai bersifat
eterogen. Perubahan ini juga disebabkan adanya pendatang baru, yaitu suku lainnya
awa dan lain-lain.
laki-laki
rjum
latif singkat atau lebih kurang selama tiga tahun, jumlah
ut, akan tetapi adalah akibat dari h
seperti Simalungun, toba, J
2.3 Distribusi Penduduk
Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan oleh Pemerintahan desa Daulat
Rakyat pada tahun 1984, dapat diketahui bahwa jumlah keseluruhan penduduk yang
bermukim di desa ini adalah sejumlah 715 jiwa dari 149 rumah tangga. Jumlah
tersebut dapat diperinci berdasarkan kelompok jenis kelamin, yaitu
be lah 324 jiwa dan perempuan berjumlah 391 jiwa. Tetapi pada tahun 1966 dan
tahun 1976, sensus penduduk tidak dilaksanakan menurut para informan.
Pada tahun 1984, jumlah rumah tangga tercatat 149 kepala keluarga, jika
dibandingkan dengan tahun 1987, sudah berjumlah lebih kurang 300 rumah tangga.
Dalam rentang waktu yang re
penduduk di desa ini sudah hampir dua kali lipat jika dibandingkan dengan sensus
penduduk pada tahun 1984.
Meningkatnya jumlah penduduk tersebut bukanlah karena disebabkan
m katnya jumlah pendatang untuk mencari lapangan pekerjaan kemudian
menetap menjadi penduduk di desa Daulat Rakyat.
Pada umumnya masyarakatnya memiliki sifat yang terbuka dan tidak bersifat
sukuisme dan itulah sebabnya para pendatang betah tinggal di desa ini. Sifat
keterbukaan yang dimiliki masyarakat desa ini membentuk sifat heterogen, bukan
hanya dari segi etnis saja tetapi juga dalam hal kepercayaan yang dianut. Walaupun
kepercayaan mereka umumnya berbeda, namun dengan suatu kesadaran yang tinggi,
kepercayaan yang mereka anut bukan dija ening
dikan sebagai benih-benih yang
nim
melaksanakan upacara tradisional
tara
me bulkan konflik melainkan mereka saling bertoleransi dan tidak menjadikannya
sebagai penghalang dalam pergaulan sehari-hari.
Disamping agama yang sudah ada sekarang ini, namun sebagian
masyarakatnya masih ada yang menganut kepercayaan tradisional. Mereka
menganggap kepercayaan tradisional identik dengan adat istiadat yang mereka warisi
dari nenek moyang mereka, sehingga meskipun mereka sudah menganut kepercayaan
seperti Agama Islam dan Kristen, mereka masih
an lain, “Erpangir Kulau”, memberi sesajen di tempat-tempat yang dianggap
keramat agar roh nenek moyang memberi rejeki.
Menurut informasi yang di peroleh lapangan, unsur-unsur Agama Kristen
mulai masuk ke desa ini sekitar tahun 1981, sedangkan unsur-unsur Agama Islam
mulai berkembang pada tahun 1983. Kedua ajaran agama ini berkembang bukanlah
atas bantuan misi-misi tertentu, melainkan kedua ajaran agama ini masing-masing
Unsur-unsur yang dibawa oleh para pendatang ini kemudian diserap oleh penduduk setempat
sesuai dengan keyakinan dan keinginan masing-masing tanpa adanya unsur-unsur
erdiri dari Agama Islam, Kristen dan Budha.
Dari daftar distrib tnya berdasarkan
data sensus tahun 1984 (lihat tabel 3).
Tabel 3 Distribusi Penduduk Berdasarkan Ag
. Jenis Agama Jum wa
paksaan, sehingga penduduk yang pada mulanya masih menganut kepercayaan
tradisional mulai menganut agama yang telah ada yaitu Kristen dan Islam.
Berdasarkan distribusi penduduk menurut agama, penulis membuat suatu
kesimpulan bahwa agama yang ada t
usi berikut ini akan dapat dilihat jumlah penganu
ama
Su r: Kantor Balai Desa Daulat Rakyat (Tahun 1984)
Berdasarkan tabel diatas jumlah masyarakat desa ini bisa diklarifikasikan
bahwa Agama Islam merupakan jumlah mayoritas yang dianut oleh p mbe
enduduk, atau
mlah
ju nya dua kali lipat dari pada keseluruhan agama yang ada, walaupun Agama
Sebagaimana halnya dengan masyarakat lain, penduduk desa ini juga taat
menjalankan ibadahnya sesuai dengan keyakinan agama yang mereka anut. Hal ini
dapat dilihat dari adanya rumah ibadah yang mereka bangun dengan hasil swadaya
sendiri, yaitu dua buah Mesjid yang di bangun masing-masing sebuah di desa
uduk
h dianggap memiliki berpenghasilan.
ada saat sensus diadakan, hasilnya menunjukkan lebih banyak jumlah usia muda
ari pada jumlah yang produktif (lihat tabel 4).
Tongkoh dan Desa Lau Gendek, serta sebuah bangunan Gereja yang terletak di desa
Lau Gendek.
Selain dari pada itu, di bawah ini akan dipaparkan pula tabel klasifikasi
penduduk desa berdasarkan kelompok usia sesuai dengan sensus jumlah p-end
pada tahun 1984, sehingga dari tabel ini nantinya akan dapat diketahui klasifikasi
penduduk yang dianggap produktif sebagai penghasil perekonomian di desa ini.
Selain itu, berdasarkan produktif atau tidaknya, penduduk desa Daulat Rakyat
dapat dibagi menjadi dua, yaitu penduduk yang tidak produktif berdasarkan usia
muda, yaitu dibawah 25 tahun. Kelompok ini dianggap masih dalam taraf pendidikan.
Dengan demikian tidak dapat dilibatkan dalam peningkatan sosial ekonomi.
Kelompok yang lainnya adalah yang produktif berdasarkan usia 25 tahun ke atas dan
tidak bersekolah lagi. Dalam usia 25 tahun suda
P
Tabel 4 Distribusi Penduduk Menurut Umu
. Kelom Usia Juml sia
r
No pok ah/U
1. 0-1 31
2. 2-5 80
3. 6-7 170
4. 8-14 135
5. 15-24 136
6. 25-54 108
7. 55 ke atas 55
Jumlah 715
S r: Kantor Balai Desa Daulat Rakyat (Tahun 1984)
Pada saat sensus ini dilakukan, jumlah usia muda jauh lebih banyak jika
dibandingkan dengan jumlah yang dianggap potensial sebagai produktif penghasil
ekonomi, yaitu berusia 25 tahun ke atas. Usia yang dianggap tidak produktif disini
adalah usia anak-anak yang berusia 14 tahun ke bawah, sedangkan yang dianggap
sangat produktif adalah usia 25 tahun ke atas dan tidak bersekolah lagi. Jadi
penduduk yang berusia 25 tahun ke atas dianggap sangat produktif, karena pada usia
demikian dianggap telah mampu berper umbe
muda dianggap masih dalam taraf pen n tidak mutlak melibatkan diri dalam
pen
LATAR BELAKANG DAN PRODUKSI PERTANIAN BUNGA DI DESA
H
emikian, demikian bentuk pertanian yang ada
m pelembagaan ada yang merupakan satuan dasar dari produksi
didikan da
ingkatan sosial ekonomi di desa ini.
BAB III
TONGKO
3.1 Sejarah Petani Bunga Di Desa Tongkoh
Sejarah pertanian telah mencatat bahwa pola pertanian masyarakat petani awal
adalah pertanian subssisten.13 Mereka menanam berbagai jenis tanaman pangan
sebatas untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Mereka menanam berbagai
jenis biji-bijian, antara lain padi, jagung, gandum, dan kacang-kacangan serta
tanaman sayur-sayuran. Dengan d
sangat individual, kalau mau dikatakan bersifat sosial, itu masih sangat sempit
cakupannya hanya dalam keluarga.
Pada abad-abad pertengahan, seni pertanian di dunia barat hanya terbatas di
kebun-kebun biara. Jadi, pertanian merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
dinamika kehidupan membiara, yang mampu menghasilkan pangan, anggur dan
obat-obatan. Dala
pertanian yang belum banyak terjalin interaksi dan komunikasi secara luas dalam
masyarakat.
13
Perkembangan kultur pertanian berikutnya adalah terbentuknya
komunitas-komunitas kecil yang menyerupai desa dalam bentuk dan struktur yang lebih
sederhana. Bentuk pertaniannya masih berupa sistem ladang, masyarakatnya tidak
bersifat menetap karena berpindah-pindah mengikuti ladang yang baru, tempat
mereka memperoleh sumber makanannya. Solidaritas di antara mereka tampil dalam
bentuk gotong-royong, baik yang bermaksud tolong-menolong secara spontan karena
sikap bakti maupun sebagai wujud saling membutuhkan satu sama lain.14 Sistem
bertani awal seperti ini belum mempunyai konsep pemilikan atas suatu ladang secara
individual. Tanah menjadi milik bersama. Tiap individu anggota kelompok boleh
mengerjakan satu bagian tanah dan mengambil hasil jerih payahnya. Ketika ia
nger
me jakan suatu areal tanah, tanah ini berada di bawah kekuasaannya. Apabila
tanah tersebut berhenti dikerjakan, tanah kembali di bawah kekuasaan kelompok.15
Para sosiolog pertanian Indonesia memperoleh kesulitan apabila harus
mengaplikasikan dua konsep yang berasal dari Sosiologi Barat, yakni peasants dan
farmers yang dalam penggunaannya oleh para Sosiolog Barat dibedakan. Peasants
adalah petani yang memiliki lahan yang sempit dan memanfaatkan sebagian besar
dari hasil produksi pertaniannya untuk kepentingan mereka sendiri. Sementara
farmers adalah orang-orang yang hidup dari mengolah tanah pertanian namun
berbeda dengan peasants, maka farmers menjual bagian terbanyak dari hasil
pertanian mereka. Farmers juga telah akrab dengan pemanfaatan teknologi pertanian
14
Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: Dian Rakyat, 1967, hlm. 156.
15
yang modern seperti perbankan. Tipe farmers adalah petani-petani yang hidup di
dunia pertama seperti Inggris dan Amerika umpamanya. Dalam perbendaharaan kata
erti subsektor
sumber pertumbuhan baru di sektor pertanian. Salah satu tanaman
Hortiku
bahasa Indonesia, tidak ada kata yang berbeda bagi mereka yang hidup dari usaha
tani, mereka disebut dengan satu kata yakni petani.16
Pertanian Indonesia tidak hanya terdiri dari subsektor pertanian pangan.
Disamping subsektor pertanian pangan terdapat subsektor lain, sep
perkebunan, subsektor peternakan, subsektor perikanan, dan subsektor Hortikultura
(sayur-mayur, buah-buahan, tanaman hias, dan tanaman obat-obatan).
Subsektor Hortikultura merupakan salah satu subsektor pertanian yang
dipandang dapat menjadi salah satu sumber pertumbuhan dalam sektor pertanian di
Indonesia. Tanaman Hortikultura seperti buah-buahan, sayur-sayuran,
bunga-bungaan, dan tanaman obat-obatan mendapat perhatian dari pemerintah. Terbukti
tanaman Hortikultura dimasukkan dalam subsektor tanaman pangan, sehingga ada
subsektor tanaman pangan dan Hortikultura. Tanaman Hortikultura mendapat
perhatian besar karena telah membuktikan dirinya sebagai komoditi yang dapat
dipakai sebagai
ltura yang telah lama menjadi komoditi ekspor adalah tanaman hias dan
bunga potong.
Di Indonesia tanaman bunga mempunyai nilai ekonomi yang relatif tinggi
sehingga mampu meningkatkan pendapatan petani bunga dan memperluas lapangan
16
pekerjaan. Yayasan Bunga Nusantara mencatat, bahwa di Indonesia terdapat 20.000
petani bunga yang tersebar diseluruh pelosok daerah Nusantara. Sementara pedagang
bunga atau florist berjumlah 2.000, dan angka ini cenderung mengalami kenaikan dari
tahun ke tahun.17 Catatan dari Tim Direktorat Bina Produksi Hortikultura
Departemen Pertanian mengungkapkan, bahwa pada tahun 1988 peringkat ekspor
jual bunga.
amun
bunga ke Eropa adalah sebagai berikut: bunga potong (43,38%), tanaman hias
(38,65%), dan umbi bunga (12,26%).18
Di Tanah Karo sendiri, komoditi bunga potong telah lama diusahakan oleh
masyarakat, terutama pada masyarakat desa Tongkoh yang merupakan salah satu
pemasok bunga potong terbesar di Tanah Karo. Walaupun luas penanaman tidak
dalam skala besar, namun hampir seluruh lapisan masyarakatnya terjun ke dunia
tanaman bunga. Masyarakat desa Tongkoh sendiri telah lama bermatapencaharian
sebagai petani bunga. Umumnya petani bunga di desa tersebut dipanggil dengan
istilah perudang-rudang, yang jika diartikan memiliki makna sebagai pen
N sesuai dengan perkembangan zaman, penggunaan nama “perudang-rudang”
telah menghilang pada akhir tahun 1970-an di tengah-tengah masyarakat.
Sebelum pembahasan tentang petani bunga di desa Tongkoh dibahas lebih
lanjut, ada baiknya diketahui latar belakang petani bunga di desa Tongkoh itu sendiri.
Untuk itu uraian tentang petani bunga di desa Tongkoh akan dipaparkan lebih lanjut.
17
Rosa Wiidyawan, Sarwintyas Prahastuti., loc.cit.
18
Sejak kedatangan marga Karo-karo Bukit ke desa Tongkoh sebagai pendatang
pertama, kelompok atau keluarga ini langsung merambah dan membuat tanda di
setiap lahan yang mereka garap tersebut seluas mungkin. Maksud dari pembuatan
tanda atau dalam istilah bahasa Karo disebut dengan pantek, tidak lain adalah untuk
menegaskan kepada pendatang yang lain nantinya bahwa lahan tersebut telah
dikuasai oleh keluarga marga Bukit. Sebagai awal, mereka mendirikan gubuk sebagai
tempat perlindungan serta menanam jagung di lahan yang telah mereka bersihkan.
Bibit jagung tersebut dibawa dari kampung halaman mereka sendiri, yaitu desa
Sampun, hasilnya kemudian dijual ke desa sebelah yaitu desa Lau Gendek dan
ditukar dengan beras. Kegiatan seperti ini terus berlangsung hingga sekitar satu
dekade. Sekitar empat tahun setelah kedatangan marga Bukit, marga Gurusinga
menjadi pendatang kedua di daerah ini. Karena masih ada hubungan keluarga, marga
Bukit memberikan lahannya yang tidak terpakai kepada marga Gurusinga yang juga
datang dengan sebuah keluarga saja. Baru beberapa tahun kemudian, marga
mbir
Se ing muncul sebagai pendatang baru di daerah ini sehingga daerah ini semakin
ramai. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka menanam jagung serta
berburu kehutan.
Kontak budaya masyarakat Karo dengan Belanda di dataran tinggi mulai
berlangsung pada awal abad ke-20, sejak saat itu berlangsunglah pendudukan
Belanda hingga tahun 1942 ketika Jepang menggantikan kedudukan Belanda.19
19
Kontak dengan Belanda menyebabkan jendela untuk melihat dunia yang lebih luas
menjadi semakin terbuka. Setelah sistem pemerintahan lokal ditata dan dapat
dikendalikan, Belanda meniadakan isolasi daerah Tanah Karo dan segera membangun
infrastruktur sarana jalan raya dari Medan membelah punggung Bukit Barisan
menuju Berastagi. Jalan ini sungguh sangat memiliki arti ekonomi yang sangat besar
bagi daerah Tanah Tinggi Karo, kemudian diteruskan ke Kabanjahe, Pematang
Siantar (Simalungun). Bahagian pertama diselesaikan pada tahun 1912. Kurun waktu
ereka, terlebih-lebih setelah dibukanya kebun percobaan
yang sama Lembaga Batak yang banyak di biayai Gereja, mendirikan sebuah kebun
percobaan di Kuta Gadung, 3 km dari Berastagi arah ke Kabanjahe, banyak tanaman
yang ditanam berasal dari kebun percobaan ini.20
Bagi masyarakat desa Tongkoh, terbukanya jalan ini memiliki arti ekonomi
yang sangat besar. Kehidupan perekonomian yang selama ini tertutup dari dunia luar
khususnya ke daerah Berastagi dan Kabanjahe kini semakin mudah. Untuk merubah
kehidupan perekonomian m
di Kuta Gadung, mereka mulai mendapat bibit sayur-sayuran seperti kentang dari
kebun tersebut dan berusaha untuk membudidayakan sayur-sayuran tersebut sebagai
matapencaharian mereka.
Perusahaan-perusahaan perkebunan Sumatera Timur memiliki peranan utama
dalam perubahan dataran tinggi Karo, terutama Berastagi sekitarnya. Setelah sarana
jalan raya terbuka mereka ramai-ramai membangun villa sebagai tempat
peristirahatan. Di sekeliling bukit Gundaling telah berdiri rumah kediaman
orang-20
orang Belanda dan Sultan-Sultan kaya Sumatera Timur, selain udara yang sejuk dari
bukit ini dapat pula dinikmati pemandangan yang indah ke dataran rendah, juga
erulang kali, hasilnya mulai kelihatan. Inilah awal tanaman
ukan kolonial
Belanda, pengiriman bunga hanya terbatas untuk daerah Berastagi dan Kabanjahe
kearah gunung Sibayak dan Sinabung. Kurun waktu yang sama didirikan pula Grand
Hotel, sebuah hotel mewah bertaraf internasional, dan apa saja yang diinginkan oleh
turis telah tersedia di hotel ini.21
Bagi orang-orang Belanda, menghias tempat tinggal mereka dengan menanam
berbagai jenis bunga di pekarangan selain menambah indah suasana juga merupakan
suatu hobi. Jadi setiap mereka datang ke villa-villa tersebut, mereka akan selalu
membawa bibit bunga dan menanamnya di pekarangan mereka. Umumnya
orang-orang Belanda akan mempekerjakan orang-orang-orang-orang pribumi untuk mengurus villa-villa
mereka. Beberapa masyarakat desa Tongkoh bekerja di villa-villa ini, karena sudah
terbiasa mengurus tanaman-tanaman yang ada di villa tersebut. Para pekerja tersebut
lantas membawa tanaman bunga itu ke rumah mereka dan berusaha
membudidayakannya. Pada awalnya memang agak sulit untuk membudidayakannya,
namun setelah dilakukan b
bunga tersebut dikembangkan oleh orang-orang pribumi di desa Tongkoh. Hingga
tahun 1930-an masyarakat mulai membudidayakan dan memasarkan hasilnya ke
Berastagi dan Kabanjahe.
Jenis tanaman bunga awal yang ditanam petani adalah jenis Dahlia, Garbera,
Aster, Glardiol, Lili, Krisan, Mawar dan lain-lain. Pada saat pendud
21
saja, namun jika ada transportasi yang datang dari Medan, pengiriman bunga ke
Medan baru akan dilakukan walaupun hanya dalam jumlah yang kecil.
Sejak pendudukan Jepang di Tanah Karo pada tahun 1943, kehidupan petani
bunga menurun drastis. Hal ini didasarkan karena tidak datangnya lagi bibit-bibit
baru dari Eropa terutama Negeri Belanda. Sehingga kualitas bunga potong juga
semakin menurun. Selain itu, karena kondisi saat itu, petani juga kurang baik dalam
perawatan tanaman. Hal ini terus berlangsung hingga pasca revolusi Sumatera Timur.
Setelah Negara Sumatera Timur dibubarkan pada tanggal 13 Agustus 1950,22
produksi bunga potong bergairah lagi. Ini terbukti dengan pemasaran bunga potong
yang semakin lancar karena transportasi juga sudah mendukung pengiriman bunga ke
luar daerah. Pada tahun 1951, diperkirakan bahwa dalam sebulan ada pemasaran
bunga dari Tanah Karo sebanyak 250.000 tangkai atau dalam satu tahun mencapai
tiga juta tangkai. Bahkan pengiriman bunga potong ke luar negeri seperti Malaysia
dan Singapura juga semakin lancar dan memperbesar pemasukan bagi petani bunga di
Tanah Karo khususnya bagi petani bunga di desa Tongkoh.23
Pada tanggal 17 September 1963 hubungan diplomatik dengan Kuala Lumpur
diputuskan secara sepihak oleh pemerintahan Malaysia karena Indonesia tidak
mengakui Federasi Malaysia yang didirikan pada tanggal 31 Agustus 1963 di Kuala
Lumpur.24 Imbas dari pemutusan hubungan diplomatik ini adalah melesunya
perekonomian Indonesia, khususnya bagi petani bunga di desa Tongkoh yang tidak
22
Kementerian Penerangan, op.cit., hlm. 395-396.
23
Ibid., hlm. 587.
24
dapat lagi memasarkan hasil panennya ke Luar Negeri. Sebab secara historis pula
semenanjung Malaya telah menjadi “surga” bagi produk komoditi mereka. Ratusan
ribu bahkan jutaan ton pertahun berbagai komoditi petani diekspor untuk memenuhi
permintaan konsumen di Semenanjung Malaya. Putusnya hubungan diplomatik dan
ekonomi dengan negara tersebut, berarti tertutup pula pemasaran yang paling
potensial bagi ekonomi Karo. Dan lebih luas lagi mematikan ribuan lapangan
pekerjaan dikalangan petani, buruh dan pedagang. Pada akhirnya secara ekonomis
tentu merembes pula pada semua sektor kehidupan masyarakat yang lebih luas.
Setelah konfrontasi Indonesia-Malaysia mereda, perekonomian Tanah Karo
tetap lesu, hal ini dikarenakan pengiriman hasil panen pertanian para petani di Tanah
Karo tidak bisa lagi secara bebas. Hal ini juga membawa dampak yang sangat besar
bagi petani bunga di desa Tongkoh, mereka tidak bisa lagi mengirimkan hasil panen
mereka ke Malaysia. Pemasaran bunga potong hanya terbatas di kota-kota besar
Sumatera Utara dan Aceh saja, dan itu juga hanya meningkat pada perayaan hari-hari
besar keagamaan. Hal ini terjadi dikarenakan pada awal tahun 1970, muncul industri
bunga plastik yang di pelopori oleh orang-orang keturunan Cina di Indonesia. Di
Sumatera Utara industri ini berkembang dengan pesat karena permintaan pasar yang
sangat besar. Umumnya bunga plastik ini digunakan sebagai pengganti bunga potong
yang tidak tahan lama. Keadaan ini membuat petani bunga potong di desa Tongkoh
kekurangan konsumen. Untuk menyiasatinya, tanaman bunga yang diproduksi para
petani mengalami perubahan dari bunga potong menjadi tanaman hias dalam pot
hidup. Pada tahun itu juga mulai muncul pengusaha-pengusaha bunga yang cukup
besar didesa Tongkoh, dan umumnya diusahakan oleh mereka yang dari keturunan
marga Karo-karo Bukit. Namun, petani bunga potong juga masih tetap eksis di desa
Tongkoh, walaupun dengan jumlah yang kecil, penanaman bunga potong ini
lam
Baru ini memberikan dampak positif bagi para petani bunga di desa Tongkoh. Selain diusahakan oleh sebahagian kecil masyarakat di desa Tongkoh untuk memenuhi
kebutuhan pasar khususnya untuk kota Berastagi sekitarnya.
Pada tahun 1970, sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha
industri pertanian, terutama dalam memproduksi bibit-bibit tanaman Hortikultura,
berdiri di desa Lau Gendek, perusahaan ini bernama PT. Bibit Baru. Dalam rangka
meningkatkan pengabdiannya terhadap masyarakat sekitar, perusahaan PT. Bibit
Baru dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Karo mengembangkan sistem
Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Sistem pertanian ini dapat secara perlahan-lahan
diterima oleh masyarakat, khususnya masyarakat di desa Tongkoh da
pengembangan usaha tanaman bunga. Sementara itu, masyarakat di desa Lau Gendek
berusaha di bidang pertanian pangan, misalnya tanaman padi serta sayur-sayuran.
Dengan adanya kerjasama antara perusahaan dengan Pemerintah Daerah
untuk meningkatkan hasil pertanian para petani, tetapi tidak semua masyarakat
menerima sistem PIR ini, namun masih ada juga beberapa diantara kalangan petani
ini yang tetap mengandalkan pengalamannya secara alamiah sebagaimana yang telah
dilakukannya selama ini. Memang perubahan ini tidak dapat berlangsung secara
mendapatkan bibit-bibit baru dari perusahaan, kehidupan sosial ekonomi di desa
Tongkoh juga semakin kompleks dengan keberadaan para pendatang yang ingin
Penelitian Pertanian ini justru
makin
maju dan modern. bekerja di perusahaan tersebut.
Pada tahun 1978, sebuah Balai Penelitian Pertanian berdiri di desa Tongkoh.
Balai Penelitian Pertanian yang dibangun oleh pemerintah ini bertujuan untuk
melakukan penelitian dan percobaan terhadap tanaman-tanaman pangan, khususnya
untuk tanaman Hortikultura yang di tanam oleh masyarakat di Tanah Karo. Hasil
percobaan tersebut selanjutnya dikirim ke pusat tepatnya di Bogor dan
dikembangkan disana. Sebenarnya keberadaan Balai Penelitian Pertanian ini tidak
terlalu berpengaruh bagi masyarakat di desa Tongkoh, terutama terhadap petani
bunga, karena hasil-hasil dari penelitian tersebut tidak pernah mengikutsertakan
masyarakat setempat dalam usaha pengembangannya. Tetapi bagi kehidupan sosial
masyarakat di desa Tongkoh, berdirinya Balai
membawa perubahan yang besar bagi masyarakat.
Selain sebahagian tenaga-tenaga buruh dari PT. Bibit Baru yang berdomisili
di desa ini, karyawan-karyawan dari Balai Penelitian Pertanian yang kebanyakan
adalah insinyur-insinyur pertanian juga berdomisili di desa Tongkoh, sehingga
mempengaruhi perkembangan masyarakat kearah yang lebih maju. Perubahan sosial
budaya maupun ekonomi yang terjadi adalah akibat dari pada tingkat perkembangan
pengetahuan masyarakat semakin berkembang. Dengan demikian perubahan