• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.2 Kehilangan Berat, Kerusakan Luas Bidang Permukaan dan Intensitas Serangan pada Contoh Uji yang Diawetkan secara Fumigasi di Dua

4.2.1 Kehilangan Berat Kayu

Rata-rata persentase kehilangan berat contoh uji kayu yang sudah difumigasi dengan amonia di dua lokasi percobaan (permukiman dan arboretum) disajikan pada Gambar 19 dan 20. Hasil lengkap perhitungan disajikan pada Lampiran 7 dan 8.

Gambar 19 Persentase kehilangan berat kayu hasil fumigasi di permukiman. B A

Gambar 20 Persentase kehilangan berat kayu hasil fumigasi di arboretum. Dari Gambar 19 diketahui bahwa kayu petai yang difumigasi dengan amonia 10 l memiliki persentase kehilangan berat tertinggi (90,05%), sedangkan kayu sengon yang difumigasi dengan amonia 2 l memiliki persentase kehilangan berat terendah (6,68%). Dibandingkan dengan kayu pinus (kontrol), secara keseluruhan diketahui bahwa semua kayu, selain sengon yang difumigasi dengan 2 l amonia, walaupun sudah difumigasi ternyata masih dapat diserang atau tidak tahan terhadap serangan faktor perusak. Rata-rata kehilangan berat kayu sengon, petai, manii dan karet berturut-turut adalah sebesar 38,86%, 63,33%, 70,57% dan 62,20%, sedangkan rata-rata kehilangan berat kayu kontrolnya hanya 8,36%.

Sama halnya dengan Gambar 19, dari Gambar 20 dapat diketahui bahwa secara umum semua jenis kayu yang diteliti (sengon, petai, manii dan karet) yang difumigasi dengan amonia tidak tahan terhadap serangan faktor perusak dibandingkan dengan kayu pinus (kontrol), kecuali kayu sengon dan manii yang difumigasi dengan amonia 4 l karena persentase kehilangan beratnya lebih tinggi dibandingkan dengan kayu kontrol. Rata-rata kehilangan berat kayu kontrol sebesar 6,07%, sedangkan rata-rata kehilangan berat kayu sengon, petai, manii dan karet masing-masing adalah sebesar 34,70%, 69,02%, 28,33% dan 37,26%. Dibandingkan dengan yang dikubur di arboretum (Gambar 20), ternyata kayu- kayu yang dikubur di permukiman mengalami rata-rata kehilangan berat yang lebih tinggi. Terkait dengan meningkatnya volume amonia, diketahui juga bahwa

kehilangan berat masing-masing jenis kayu di dua lokasi penelitian tidak memperlihatkan suatu pola yang konsisten (Gambar 19 dan 20).

Hasil analisis sidik ragam atau ANOVA (Lampiran 19) memperlihatkan bahwa kehilangan berat contoh uji dipengaruhi oleh jenis kayu, volume amonia, lokasi pengujian, interaksi antara jenis kayu dan lokasi pengujian, serta interaksi antara jenis kayu, volume dan lokasi pengujian. Uji lanjut Duncan (Lampiran 20) dan Gambar 21 menunjukkan bahwa kehilangan berat kayu manii yang dikubur di permukiman, kayu petai yang dikubur di permukiman maupun di arboretum, serta kayu karet yang dikubur di permukiman ketiganya berbeda nyata dengan kehilangan berat kayu sengon yang dikubur di permukiman maupun di arboretum serta kayu manii dan karet yang dikubur di arboretum. Kehilangan berat kayu manii di permukiman sebanding dengan kehilangan berat kayu petai yang dikubur di arboretum dan di permukiman serta kayu karet yang dikubur di permukiman. Kehilangan berat kayu sengon yang dikubur di permukiman juga sebanding dengan kehilangan berat kayu sengon, manii dan karet yang dikubur di arboretum. Kehilangan berat tertinggi (70,57%) terdapat pada kayu manii yang dikubur di permukiman, sedangkan yang terendah pada kayu sengon yang dikubur di arboretum (23,89%).

Gambar 21 Rata-rata kehilangan berat berdasarkan interaksi antara jenis kayu dan lokasi pengujian.

Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa kayu sengon yang sudah difumigasi relatif lebih tahan terhadap serangan faktor perusak kayu dibandingkan dengan ketiga jenis kayu yang diteliti, baik di permukiman maupun di arboretum (Gambar 21). Kehilangan berat kayu sengon baik yang dikubur di permukiman maupun di arboretum merupakan nilai terendah, berturut-turut sebesar 39,38%

dan 23,89%. Berbeda dengan kayu yang diawetkan dengan boron, ternyata kayu yang difumigasi lebih tahan terhadap serangan faktor biologis perusak kayu yang ada di arboretum. Ini menandakan bahwa amonia tidak disukai oleh faktor perusak yang ada diarboretum, sedangkan faktor perusak yang ada di permukiman tidak terpengaruh dengan adanya amonia. Ini memperkuat dugaan bahwa jenis perusak biologis yang ada di dua lokasi penelitian adalah berbeda.

Gambar 22 memperlihatkan rata-rata kehilangan berat berdasarkan interaksi antara jenis kayu, volume amonia dan lokasi penelitian. Dari Gambar 22 diketahui bahwa kehilangan berat kayu petai yang difumigasi dalam amonia 8 l dan 10 l serta kayu manii dalam amonia 2 l yang dikubur di permukiman berbeda nyata dengan kehilangan berat kayu sengon yang difumigasi dalam amonia 2 l, 4 l, 6 l, 8 l, dan 10 l dan dikubur di arboretum, juga dengan kayu sengon 2 l, 4 l, dan 8 l yang dikubur di permukiman, maupun dengan kayu manii 2 l, 4 l, 6 l, dan 8 l di arboretum serta dengan kayu karet 2 l, 4 l dan 6 l yang dikubur di arboretum. Kehilangan berat kayu sengon yang difumigasi dalam 6 l amonia dan dikubur di permukiman, kayu petai 4 l dan 6 l di arboretum, dan kayu karet 6 l di lokasi permukiman berbeda nyata dengan kehilangan berat kayu sengon 2 l, 4 l dan 6 l yang dikubur di arboretum, kayu sengon 2 l dan 4 l di permukiman, kayu manii 2 l dan 4 l di arboretum, serta dengan kayu karet 2 l dan 4 l yang dikubur di arboretum. Kehilangan berat kayu petai 2 l dan 8 l yang dikubur di arboretum, kayu manii 8 l di permukiman serta kayu karet 8 l dan 10 l di permukiman berbeda nyata dengan kehilangan berat kayu sengon yang difumigasi dalam amonia 2 l dan dikubur di permukiman, kayu sengon 2 l dan 4 l di arboretum, kayu manii 4 l dan 6 l di arboretum serta kayu karet 4 l di permukiman. Kehilangan berat kayu petai yang difumigasi dalam amonia 6 l dan dikubur di permukiman serta kayu karet 2 l di permukiman berbeda nyata dengan kehilangan berat kayu sengon yang difumigasi dalam amonia 4 l dan dikubur di arboretum serta kayu manii 4 l di arboretum. Kehilangan berat kayu petai yang difumigasi dalam amonia 8 l dan 10 l serta kayu manii 2 l di permukiman berbeda nyata dengan kehilangan berat kayu sengon dan manii 4 l di arboretum. Kehilangan berat kayu petai 2 l dan 4 l di permukiman, kayu karet 4 l di permukiman dan

kayu karet 8 l di arboretum tidak berbeda nyata dengan kehilangan berat semua kombinasi lainnya.

Gambar 22 Rata-rata kehilangan berat berdasarkan interaksi antara jenis kayu, volume dan lokasi.

Secara umum dapat disebutkan bahwa kehilangan berat tidak menunjukkan adanya suatu pola yang konsisten seiring dengan meningkatnya volume amonia pada setiap lokasi. Rata-rata kehilangan berat tertinggi terjadi pada kayu manii yang dikubur di permukiman (70,57%). Nilai ini tidak jauh berbeda dengan kehilangan berat kayu petai di permukiman (63,33%) maupun di arboretum (69,02%), serta dengan kayu karet di permukiman (62,20%). Persentase kehilangan berat terendah terdapat pada kayu sengon yang dikubur di arboretum (23,89%). Semua jenis kayu yang difumigasi dengan amonia relatif masih tidak tahan terhadap organisme perusak kayu dibandingkan dengan kayu kontrolnya. Kehilangan berat kayu kontrol di permukiman dan di arboretum masing-masing sebesar 8,36% dan 6,07%.

Selain diakibatkan oleh perbedaan jenis faktor biologis perusak yang ada di masing-masing lokasi pengujian, perbedaan nilai kehilangan berat kayu diduga juga terkait dengan perbedaan struktur anatomi penyusun masing-masing jenis kayu yang akan mempengaruhi tingkat keterawetan dan kelas awet kayu setelah kayu difumigasi. Banyak-sedikitnya gas amonia yang masuk ke dalam kayu sangat menentukan ketahanan kayu terhadap serangan faktor biologis perusak. Hal ini diperkuat oleh data pada Tabel 6 dan 7 dimana hampir semua kayu yang

telah difumigasi memiliki kelas awet yang lebih rendah dibandingkan keawetan alaminya. Ini menandakan bahwa amonia tidak berikatan dengan komponen dinding sel kayu namun hanya terdapat di dalam rongga sel kayu terutama rongga sel pembuluh (pori-pori). Semakin kecil diameter rongga pori-pori kayu maka akan semakin sedikit pula volume amonia yang masuk. Kondisi ini diperparah dengan sifat amonia yang mudah menguap.

Tabel 6 Kelas awet kayu hasil fumigasi setelah uji kubur di permukiman

Jenis Kayu

% Kehilangan Berat Keawetan Alami

Kelas Awet Setelah Uji kubur 2 l 4 l 6 l 8 l 10 l 2 l 4 l 6 L 8 l 10 l

Sengon 6,68 16,85 76,57 35,43 48,75 IV - V III IV V V V Petai 45,55 47,03 52,39 81,62 90,05 IV V V V V V Manii 82,63 80,74 64,24 70,35 54,89 IV V V V V V Karet 53,72 43,25 74,27 67,72 72,06 IV - V V V V V V

Tabel 7 Kelas awet kayu hasil fumigasi setelah uji kubur di arboretum

Jenis Kayu

% Kehilangan Berat Keawetan Alami

Kelas Awet Setelah Uji kubur 2 l 4 l 6 l 8 l 10 l 2 l 4 l 6 l 8 l 10 l

Sengon 77,03 4,22 25,61 36,66 30,00 IV - V V II V V V Petai 69,94 74,66 73,78 68,7 58,00 IV V V V V V Manii 25,39 3,69 14,14 32,64 65,79 IV V II IV V V Karet 19,93 10,25 33,12 44,88 78,14 IV - V V III V V V

Gambar 23 memperlihatkan kehilangan berat contoh uji sebelum dan sesudah dikubur di masing-masing lokasi pengujian.

Gambar 23 Kehilangan berat contoh uji di permukiman (A dan B) dan di arboretum (C dan D).

A B

4.2.2 Kerusakan Luas Bidang Permukaan

Rata-rata persentase kerusakan luas bidang permukaan (kerusakan LBP)di

dua lokasi pengujian disajikan pada Gambar 24 dan 25. Data lengkap hasil perhitungan disajikan pada Lampiran 9 dan 10.

Dari Gambar 24 diketahui bahwa kayu karet yang difumigasi dengan amonia 6 l mengalami kerusakan LBP yang tertinggi (99,25%), sedangkan kayu sengon yang difumigasi dengan amonia 2 l mengalami kerusakan LBP yang terendah (23,75%). Dibandingkan dengan kayu pinus (kontrol) diketahui bahwa semua kayu yang diteliti meskipun sudah difumigasi ternyata masih kurang tahan terhadap faktor perusak. Rata-rata kerusakan LBP kayu kontrol 10,50%.

Secara keseluruhan diketahui pula bahwa meskipun kerusakan LBP pada semua jenis kayu yang diteliti dan pada setiap volume amonia yang diberikan lebih besar dibandingkan kerusakan LBP kontrolnya, persentase kerusakan LBP tidak berhubungan dengan peningkatan volume amonia. Rata-rata kerusakan LBP kayu sengon, petai, manii dan karet secara keseluruhan berturut-turut adalah 71,43%, 89,95%, 94,83% dan 89,42%. Keadaan ini terkait dengan tingkat keterawetan dan kelas awet kayu setelah kayu difumigasi. Dengan keterawetan yang sulit dan kelas awet dari rendah sampai sangat rendah, maka kayu yang sudah difumigasi pun akan dapat dengan mudah diserang oleh faktor biologis perusak kayu.

Gambar 24 Persentase kerusakan LBP hasil fumigasi di permukiman. Gambar 25 memperlihatkan rata-rata persentase kerusakan LBP kayu yang telah difumigasi dan dikubur di arboretum.

Gambar 25 Persentase kerusakan LBP hasil fumigasi di arboretum.

Dari Gambar 25 diketahui bahwa kerusakan LBP kayu petai yang difumigasi dengan amonia 4 l merupakan kerusakan LBP yang tertinggi (99,08%), sedangkan kerusakan LBP kayu sengon yang difumigasi dengan amonia 4 l merupakan kerusakan LBP yang terendah (22,25%). Kayu sengon dan karet yang difumigasi dengan amonia 4 l serta kayu manii yang difumigasi dengan amonia 6 l mengalami kerusakan LBP yang lebih rendah dibandingkan kayu kontrol. Kerusakan LBP kayu sengon dan karet 4 l masing-masing sebesar 22,5% dan 31,92%, sedangkan kerusakan LBP kayu manii 6 l sebesar 26,08%. Kerusakan LBP kayu pinus (kontrol) adalah 38,50%.

Secara keseluruhan diketahui bahwa rata-rata kerusakan LBP pada semua jenis kayu yang diteliti lebih tinggi dibandingkan kerusakan LBP kayu kontrol. Rata-rata kerusakan LBP hasil penelitian ini adalah 47,10% (sengon), 98,15% (petai), 49,18% (manii) dan 58,25% (karet). Kerusakan LBP kayu petai tidak dipengaruhi oleh volume amonia yang digunakan, sedangkan pada sengon, manii dan karet, kerusakan LBP berfluktuasi menurut volume amonia dan tidak konsisten.

Hasil analisis sidik ragam atau ANOVA (Lampiran 21) menunjukkan bahwa kerusakan LBP dipengaruhi oleh jenis kayu, lokasi pengujian dan interaksi antara jenis kayu dan lokasi. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 22) dan Gambar 26 memperlihatkan bahwa kerusakan LBP kayu petai yang dikubur di arboretum dan kayu manii yang dikubur di permukiman berbeda nyata dengan kerusakan LBP kayu sengon yang dikubur di permukiman maupun di arboretum serta kayu karet, manii, dan sengon yang dikubur di arboretum. Kerusakan LBP kayu petai dan karet yang dikubur di permukiman berbeda nyata dengan kerusakan LBP kayu sengon, manii dan karet yang dikubur di arboretum. Kerusakan LBP kayu petai yang dikubur di arboretum dan kayu manii di permukiman tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kerusakan LBP kayu petai dan karet yang dikubur di permukiman. Selanjutnya diketahui pula bahwa kerusakan LBP kayu petai dan karet yang dikubur di permukiman tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kerusakan LBP kayu sengon yang di permukiman. Kerusakan LBP kayu sengon di permukiman juga tidak berbeda nyata dengan kerusakan LBP kayu karet yang di arboretum. Kerusakan LBP kayu karet di arboretum tidak berbeda nyata dengan kerusakan LBP kayu manii yang di arboretum.

Gambar 26 Rata-rata kerusakan LBP berdasarkan interaksi antara jenis kayu dan lokasi pengujian.

Dari Gambar 26 juga diketahui bahwa kerusakan LBP kayu sengon, manii dan karet yang dikubur di permukiman lebih besar dibandingkan dengan yang dikubur di arboretum, sedangkan pada kayu petai relatif sama. Rata-rata nilai kerusakan LBP tertinggi berdasarkan interaksi antara jenis kayu dan lokasi

pengujian adalah 98,15% (petai di arboretum), sedangkan yang terendah adalah 47,10% (sengon di arboretum).

Perbedaan nilai kerusakan LBP di atas juga terkait dengan perbedaan macam atau jenis faktor biologis perusak kayu yang ada di dua lokasi serta perbedaan struktur anatomi penyusun kayu. Perbedaan dalam hal struktur anatomi kayu akan mengakibatkan perbedaan jumlah amonia yang masuk dan atau yang bereaksi dengan komponen dinding sel penyusun kayu. Sifat amonia yang mudah menguap juga turut andil dalam perbedaan nilai kerusakan LBP yang terjadi.

Gambar 27 memperlihatkan kerusakan LBP contoh uji di masing-masing lokasi pengujian.

Gambar 27 Kerusakan LBP contoh uji di permukiman (A dan B) dan di arboretum (C dan D).

4.2.3 Intensitas Serangan

Rata-rata nilai intensitas serangan di dua lokasi percobaan yang berbeda (permukiman dan arboretum) disajikan pada Gambar 28 dan 29. Data lengkap hasil perhitungan disajikan pada (Lampiran 11 dan 12).

Dari Gambar 28 diketahui bahwa intensitas serangan faktor biologis perusak kayu yang paling rendah terdapat pada kayu sengon yang difumigasi dengan amonia 2 l. Intensitas serangan ini setara dengan intensitas serangan pada kayu kontrolnya (nilai = 7). Intensitas serangan pada kayu sengon 4 l dan 10 l setara dengan intensitas yang terjadi pada kayu petai dan karet 2 l, tetapi lebih rendah dibandingkan kayu kontrolnya (nilai 4 berbanding 7). Intensitas serangan

A B

pada contoh uji lainnya tergolong tinggi yang dibuktikan dengan hancurnya contoh uji (nilai = 0).

Gambar 28 Nilai intensitas serangan pada kayu hasil fumigasi di permukiman.

Gambar 29 Nilai intensitas serangan pada kayu hasil fumigasi di arboretum. Berbeda halnya dengan yang di permukiman, intensitas serangan terhadap kayu petai (semua volume amonia), manii 10 l dan karet 8 l yang dikubur di arboretum tergolong tinggi dimana contoh uji semuanya hancur (nilai = 0). Intensitas serangan yang paling rendah terdapat pada kayu sengon 4 l dan manii 6 l (nilai = 7). Intensitas ini relatif lebih rendah dibandingkan dengan yang terjadi pada kontrol, sengon 6 l dan 10 l, manii 2 l, 4 l dan 8 l, serta karet 2 l dan 4 l (nilai

= 6). Intensitas serangan pada contoh uji lainnya relatif lebih tinggi dibandingkan kontrolnya (nilai = 4).

Di arboretum, faktor biologis perusak tampaknya tidak mau menyerang kayu sengon. Tidak ada satupun contoh uji kayu sengon yang hancur (Gambar 29). Pada kayu manii dan karet ada satu perlakuan yang contoh ujinya hancur, sedangkan pada kayu petai semua contoh uji hancur. Hal ini memperkuat dugaan bahwa faktor biologis perusak yang ada di permukiman berbeda dibandingkan dengan yang ada di arboretum.

Hasil analisis sidik ragam atau ANOVA (Lampiran 23) menunjukkan bahwa intensitas serangan dipengaruhi nyata oleh jenis kayu, volume amonia, lokasi pengujian, interaksi antara jenis kayu dan lokasi, serta interaksi antara jenis kayu, volume dan lokasi. Hasil uji Duncan (Lampiran 24) dan Gambar 30 memperlihatkan bahwa intensitas serangan pada kayu manii di arboretum berbeda nyata dengan intensitas serangan pada kayu sengon, petai, manii dan karet di permukiman serta dengan kayu petai di arboretum. Intensitas serangan pada kayu sengon dan karet di arboretum berbeda nyata dengan intensitas serangan pada kayu sengon, manii dan karet di permukiman serta kayu petai di arboretum. Intensitas serangan pada kayu sengon di permukiman berbeda nyata dengan intensitas serangan terhadap kayu manii di permukiman maupun terhadap kayu petai di arboretum.

Gambar 30 Rata-rata nilai intensitas serangan berdasarkan interaksi antara jenis kayu dan lokasi pengujian.

Dari Gambar 30 juga diketahui bahwa rata-rata nilai intensitas serangan untuk semua jenis kayu yang dikubur di arboretum relatif lebih tinggi

dibandingkan dengan yang di permukiman, kecuali pada kayu petai. Ini berarti kayu-kayu yang dikubur di arboretum relatif masih utuh (intensitas serangan rendah). Di permukiman, intensitas serangan relatif lebih tinggi (nilai rata-rata nya lebih kecil) dan lebih banyak contoh uji yang hancur. Kayu petai yang dikubur di arboretum dan kayu manii yang dikubur di permukiman merupakan jenis yang mengalami intensitas serangan tertinggi (nilai = 0; kayu hancur), sedangkan kayu manii di arboretum merupakan kayu dengan intensitas serangan terendah (nilai = 4,53).

Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 24) dan Gambar 31 diketahui bahwa intensitas serangan pada kayu-kayu yang difumigasi dengan amonia 4 l dan dikubur di arboretum berbeda nyata dibandingkan dengan intensitas serangan pada kayu-kayu yang difumigasi dalam amonia 10 l dan dikubur di arboretum serta dengan kayu-kayu yang difumigasi dalam amonia 4 l, 6 l, 8 l dan 10 l dan dikubur di permukiman. Intensitas serangan pada kayu-kayu yang difumigasi dalam amonia 6 l dan dikubur di arboretum berbeda nyata dibandingkan dengan intensitas serangan pada kayu-kayu yang difumigasi dalam amonia 4 l, 6 l, 8 l dan 10 l dan dikubur di permukiman. Intensitas serangan pada kayu-kayu yang difumigasi dalam amonia 2 l dan dikubur di arboretum berbeda nyata dibandingkan dengan intensitas serangan pada kayu-kayu yang difumigasi dalam amonia 6 l dan 8 l dan dikubur di permukiman. Intensitas serangan pada kayu-kayu yang difumigasi dalam amonia 2 l dan dikubur di permukiman serta kayu-kayu yang difumigasi dalam amonia 8 l dan dikubur di arboretum berbeda nyata dibandingkan dengan intensitas serangan pada kayu-kayu yang difumigasi dalam amonia 6 l dan dikubur di permukiman.

Gambar 31 Rata-rata nilai intensitas serangan berdasarkan interaksi antara bahan pengawet amonia dan lokasi.

Dari gambar tersebut diketahui juga bahwa intensitas serangan tertinggi (nilai = 0) terjadi pada perlakuan fumigasi dengan 6 l amonia dan dikubur di permukiman, sedangkan intensitas serangan terendah (nilai = 4,58) terjadi pada perlakuan fumigasi amonia 4 l di arboretum.

Gambar 32 memperlihatkan kondisi contoh uji setelah di serang oleh faktor biologis perusak kayu yang ada di masing-masing lokasi pengujian.

Gambar 32 Perbedaan intensitas serangan terhadap contoh uji di permukiman A dan B) dan di arboretum (C dan D).

A B

BAB V

Dokumen terkait