Ada 7 96.00
37 diwawancarai adalah 175 responden, karakteristik umur responden dikelompokan menjadi 3 kelompok umur, yaitu umur responden <20 tahun, 20-40 tahun dan >40 tahun. Usia responden terbanyak berusia >40 tahun (52%) dan responden yang paling sedikit berusia <20 tahun (3.42%). Responden yang banyak ditemui adalah responden berjenis kelamin perempuan (70.30%) dan responden berjenis kelamin laki-laki hanya (29.70%).
Menurut tingkat pendidikan, mayoritas pendidikan responden di lokasi penelitian adalah SMA (34.30%), diikuti Perguruan Tinggi (28.60%), SD (19.40%), SMP (16.00%) dan tingkat pendidikan responden yang paling sedikit adalah yang tidak sekolah (1.70%). Tingkat pendidikan masyarakat di lokasi penelitian ini cukup baik, diharapkan dengan tingkat pendidikan yang baik maka pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat juga baik.
Berdasarkan posisi dalam keluarga sebagian besar responden adalah ibu (60%), diikuti ayah (24%), anak (13.10%), Penghuni kost (2.30%) dan lainnya adalah pembantu rumah tangga (0.60%). Pekerjaan responden dalam penelitian ini didominasi oleh ibu rumah tangga (49.10%), kemudian pegawai swasta (15.4%), wiraswasta (12%), PNS (9.7%), tidak bekerja (2.9%), TNI/POLRI dan buruh masing-masing (1.1%) dan lain-lain sebanyak (8.60%). Berdasarkan kejadian DBD di dalam keluarga sebagian besar responden menyatakan tidak pernah ada kejadian DBD dalam keluarga (96%) dan sisanya (4%) responden menyatakan pernah ada kejadian DBD dalam keluarga.
Pengetahuan Responden
Hasil wawancara dengan menggunakan kuesioner di kelurahan Bantarjati menunjukan bahwa tingkat pengetahuan responden memiliki pengetahuan baik hanya sebesar (38.29%), pengetahuan sedang (54.86%) dan kurang (6.86%). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Riwu (2011) di Kelurahan Pasir Kuda Kota Bogor, responden memiliki pengetahuan sedang (54.5%) dan responden yang memiliki pengetahuan yang baik hanya (20%). Hal ini menunjukan tingkat pengetahuan responden masih kurang.
Pengetahuan responden mengenai gejala penyakit DBD, sebagian besar (78.9%) sudah mengetahui gejala penyakit DBD. Untuk penyebab penyakit DBD hanya (12.6%) yang menjawab benar bahwa penyebab penyakit DBD adalah virus. Responden sebagian besar mengetahui cara penularan penyakit DBD (86.9%) dan serangga yang menjadi vektor penyakit DBD (77.1%). Pendidikan dapat berpengaruh dalam pengetahuan dengan tingkat pendidikan yang tinggi diharapkan masyarakat akan lebih mengetahui informasi tentang penyakit DBD dari berbagai sumber dan media sehingga pencegahan penyebaran penyakit DBD dapat dilakukan dengan baik (Rosse 2008).
Sikap Responden
Hasil wawancara terkait sikap responden mengenai dampak keberadaan nyamuk vektor, sebagian besar responden menjawab berbahaya (95.4%), perlu tidaknya penyuluhan kesehatan terkait DBD sebanyak (86.3%) menjawab perlu dan perlu tidaknya dilakukan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) sebagain besar responden menjawab perlu dilakukan (93.7%). Sebagian besar jawaban menunjukan sikap responden yang sudah cukup baik. Menurut Yudhastuti dan Vidiyani (2005) sikap respon yang baik disebabkan karena responden selalu
38
menjawab hal-hal yang baik saja pada setiap pertanyaan, terkadang sikap responden yang cukup baik dalam hal perlunya pemberantasan sarang nyamuk di lingkungan rumah tidak disertai dengan praktik nyata sehingga masih ditemukan larva dan nyamuk Aedes spp. Semakin kurang sikap masyarakat terhadap pencegahan penyakit DBD maka akan semakin besar kemungkinan terjadinya KLB penyakit DBD (Fathi et al. 2005).
Praktik Responden
Dalam kategori praktik sebagian besar responden memiliki praktik yang baik hanya (5.71%) sedangkan responden yang memiliki praktik yang sedang (74.86%) dan kurang (19.43%). Perilaku responden ini sangat terkait dalam hal pemberantasan sarang nyamuk, upaya perlindungan diri dan kebiasaan yang dilakukan yang terkait dengan keberadaan nyamuk vektor DBD.
Hasil wawancara menunjukan bahwa responden terbiasa menguras penampungan air (99.4%), membersihkan rumah (98.9%), melakukan abatisasi (38.3%), tidak terbiasa tidur siang (28.0%), menggunakan kelambu (2.9%), menggunakan spray/lotion anti nyamuk (54.9%) dan responden yang tidak menggantung pakaian bekas pakai sebanyak (17.7%). Sebagai contoh pada lokasi penelitian wadah kaca banyak digunakan sebagai vas dan akuarium, perilaku masyarakat masih kurang baik karena tampak kebersihan wadah tersebut kurang diperhatikan oleh penduduk di lokasi penelitian. Dinding wadah berbahan kaca tersebut terkadang ditemukan dalam keadaan kotor dan dalam keadaan sudah ditumbuhi lumut sehingga wadah tersebut menjadi tempat yang potensial untuk perkembangbiakan nyamuk Aedes spp.
Perilaku penduduk khususnya praktik dapat berpengaruh terhadap penularan dan penyebaran penyakit DBD baik untuk diri sendiri ataupun bagi lingkungannya, perilaku penduduk yang sudah cukup baik dapat terintegrasi menjadi suatu program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Sanitasi dan tata lingkungan yang baik diharapkan dapat mengurangi populasi nyamuk vektor Aedes spp. karena dengan lingkungan yang bersih maka nyamuk tidak memiliki tempat perindukan untuk berkembangbiak. Menurut Novelani (2007) pada keberhasilan program PSN dibutuhkan kerjasama masyarakat, pemerintah ataupun swasata. PSN dapat dilakukan dengan pengendalian secara fisik, biologi dan kimiawi. Jumlah populasi nyamuk yang rendah akan mengurangi kontak dengan manusia sehingga diasumsikan akan mengurangi jumlah penderita dan penyebaran penyakit DBD.
Pembahasan Umum
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan yang penting di Kota Bogor khususnya kelurahan Bantarjati Bogor Utara karena penyakit DBD dapat ditemukan sepanjang tahun dengan jumlah kasus tertinggi di Kota Bogor dengan jumlah penderita tertinggi pada tahun 2010 berjumlah 103 penderita DBD. Kelurahan Bantarjati merupakan wilayah perkotaan yang terletak di Bogor Utara, di Kelurahan ini terdapat 2 tipe pemukiman penduduk yang berbeda, yaitu pemukiman yang padat penduduk dengan jarak antar rumah yang saling berdekatan satu sama lain dan pemukiman berupa komplek yang jarak antar rumahnya teratur. Faktor lingkungan berupa
39 suhu, kelembaban dan curah hujan di lokasi penelitian mendukung perkembangbiakan bagi larva dan nyamuk vektor DBD. Faktor perilaku masyarakat berupa pengetahuan, sikap dan praktik juga berpengaruh terhadap risiko penularan penyakit DBD.
Transmisi penularan penyakit DBD terjadi karena adanya transmisi secara biologi yang melibatkan melibatkan 3 komponen utama siklus arthropod-borne diasease yaitu virus sebagai patogen, vektor nyamuk DBD dan vertebrata sebagai inang. Faktor ekologi berupa lingkungan juga penting dalam mendukung terjadinya interaksi antara ketiga komponen tersebut secara alami. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap penularan dan penyebaran penyakit DBD adalah nyamuk Aedes spp. yang bersifat multiple bitter sehingga dapat meningkatkan potensi risiko penularan DBD dengan cepat, kemudian perilaku penduduk dalam menjaga kebersihan penampungan air baik TPA ataupun non TPA, letak antar rumah penduduk yang saling berdekatan, dan tata letak barang di dalam rumah.
Nilai rata-rata ABJ di lokasi penelitian sebesar (76%) yang menunjukan masih berada dibawah indikator ABJ nasional (95%). Keberadaan wadah-wadah yang tidak dibersihkan dengan baik dapat menjadi tempat perindukan nyamuk vektor DBD. Jenis wadah yang banyak digunakan oleh penduduk di lokasi penelitian adalah wadah tempat penampungan air (TPA) sebanyak 298 buah dengan kepadatan larva (12.20%) dan wadah bukan TPA sebanyak 98 buah dengan kepadatan lebih tinggi dibandingkan wadah TPA (60.01%). Nilai CI, HI dan BI di Kelurahan Bantarjati termasuk dalam kelompok kepadatan populasi nyamuk yang sedang dengan nilai density figure 2-5. Hal ini menunjukan bahwa penduduk di Kelurahan Kelurahan Bantarjati masih belum melakukan pemberantasan sarang nyamuk dengan baik sehingga memiliki risiko dalam penularan dan penyebaran penyakit DBD. Larva Ae. aegypti sedikit lebih banyak ditemukan di luar rumah rumah (10.45%) dibandingkan di dalam rumah (8.81%), hal tersebut terjadi karena pada beberapa titik lokasi penelitian terdapat pemukiman yang jaraknya saling berdekatan dan tidak memiliki halaman sehingga Ae. aegypti dapat bertelur baik di dalam ataupun di luar rumah. Berbeda dengan larva Ae. albopictus yang lebih banyak ditemukan di luar rumah (34.33%). Jumlah nyamuk Ae. aegypti yang tertangkap baik disaat mengisap darah ataupun istirahat lebih banyak dibandingkan dengan nyamuk Ae. albopictus. Aktivitas puncak Ae. aegypti mengisap darah di dalam rumah terjadi pada jam 10.00-11.00 (0.42 nyamuk/orang/jam) dan 16.00-17.00 (0.21 nyamuk/orang/jam) sedangkan di luar rumah terjadi pada jam 10.00-11.00 (0.42 nyamuk/orang/jam) dan 15.00-16.00 (0.08 nyamuk/orang/jam). Pada penelitian ini tampak jumlah nyamuk Ae. aegypti yang mengisap darah lebih banyak terjadi di dalam rumah, hal ini terjadi karena nyamuk Ae.aegypti lebih bersifat endofagik. Pada nyamuk Ae. albopictus puncak aktivitas mengisap darah di dalam rumah juga terjadi pada jam 10.00-11.00 (0.42 nyamuk/orang/jam) dan 14.00-15.00 (0.17 nyamuk/orang/jam) sedangkan puncak aktivitas mengisap darah terjadi di luar rumah terjadi pada jam 10.00-11.00 (0.08 nyamuk/orang/jam).
41
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1 Jenis wadah yang paling banyak ditemukan larva Aedes spp. adalah jenis wadah bukan TPA (60.61%) dan TPA (12.20%) dengan Indeks larva HI, CI dan BI di dikategorikan dalam kepadatan sedang .
2 Nyamuk Ae. aegypti lebih sering ditemukan saat mengisap darah di dalam rumah (60.53%) dengan kepadatan nyamuk tertinggi saat mengisap darah pada jam 10.00-11.00 (0.42 nyamuk/orang/jam) dan jam 16.00-17.00 (0.21 nyamuk/orang/jam), sedangkan nyamuk Ae. albopictus lebih sering tertangkap di luar rumah (77.27%) dengan puncak aktivitas mengisap darah pada jam 10.00-11.00 (0.42 nyamuk/orang/jam) dan 14.00-15.00 (0.17 nyamuk/orang /jam)
3 Perilaku istirahat nyamuk Ae. aegypti cenderung lebih menyukai di dalam rumah (0.03 nyamuk/rumah) dan Ae. albopictus lebih menyukai istirahat di luar rumah (0.01 nyamuk/rumah).
4 Virus DEN serotipe DEN-1, DEN-2, dan DEN-3 tidak ditemukan dalam tubuh nyamuk Aedes spp. dari Kelurahan Bantarjati Kota Bogor.
5 Sebagian besar penduduk Kelurahan Bantarjati Kota Bogor memiliki tingkat pengetahuan, sikap dan praktik berada pada kategori sedang (cukup baik). Pengetahuan, sikap dan praktik penduduk yang sudah cukup baik dapat terintegrasi menjadi suatu program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN).
Saran
1 Perlu dilakukan pengamatan larva dan nyamuk Aedes spp. secara kontinyu untuk mengetahui langkah yang tepat untuk mencegah terjadinya wabah DBD di wilayah yang dinyatakan endemik DBD.
2 Untuk mengurangi kepadatan larva dan nyamuk dewasa Aedes spp. perlu dilakukan pengendalian dan pemberantasan sarang nyamuk secara berkala di rumah penduduk.
3 Untuk dapat mendeteksi keberadaan virus Dengue dari tubuh nyamuk diharapkan waktu penelitian segera dilakukan pada saat terjadinya KLB DBD sehingga kemungkinan untuk ditemukannya serotipe virus Dengue menjadi lebih besar.
42