• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN

4.3 Analisis Univariat

4.3.13 Kejadian HIV

Tabel 4.14 Kejadian HIV Responden

Kelompok responden dibagi menjadi kelompok HIV dan tidak HIV seperti dalam tabel berikut ini :

Responden Jumlah Persen (%)

Positif HIV Negatif HIV 5 34 12,8 87,2 Jumlah 39 100,0

Pada tabel 4.14 dapat diketahui bahwa responden yang positif terkena HIV sebanyak 5 orang (12,8 %), sedangkan responden yang tidak terkena HIV sebanyak 34 orang yaitu (87,2%).

4.4 Analisis Bivariat

Analisis bivariat yang digunakan adalah dengan analisis tabulasi silang untuk mengetahui hubungan antara variabel dependen dan independen. Pada analisis penelitian ini variabel karakteristik responden, persepsi kerentanan yang dirasakan, persepsi keseriusan yang dirasakan, persepsi manfaat dan hambatan yang dirasakan, isyarat untuk bertindak serta kemungkinan untuk bertindak dihubungkan dengan variabel kejadian HIV pada penelitian ini.

4.4.1 Tabulasi Silang Hubungan Karakteristik Responden Terhadap Kejadian HIV

Tabel 4.15 Tabulasi Silang Hubungan Karakteristik Responden Terhadap Kejadian HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan

No. Pertanyaan Kejadian HIV Jumlah P

Positif Negatif N % N % N % 1. Umur 15-19 Tahun 20-24 Tahun 25-29 Tahun 30-34 Tahun 35-39 Tahun 40-45 Tahun 0 0 5 0 0 0 0,0 0,0 12,8 0,0 0,0 0,0 2 8 14 2 5 3 5,1 20,5 35,9 5,1 12,8 7,7 2 8 19 2 5 3 5,1 20,5 48,7 5,1 12,8 7,7 0,505 2. Pendidikan Tinggi Rendah 5 0 12,8 0 30 4 76,9 10,3 35 4 89,7 10,3 1,000 3. Sumber Pendapatan Tetap Tidak tetap 5 0 17,9 0,0 23 11 59,0 28,2 28 11 100,0 0,296 4. Status Pernikahan Belum Menikah Menikah Duda 5 0 0 12,8 0,0 0,0 30 3 1 76,9 7,7 2,6 35 3 1 100,0 1,000

responden yang positif HIV sebanyak 5 orang (12,8%) dan negatif HIV sebanyak 19 orang (35,9%), kategori pendidikan tinggi merupakan pendidikan terakhir tertinggi dengan jumlah responden yang positif HIV sebanyak 5 orang (12,8%) dan negatif HIV sebanyak 30 orang (76,9%), sumber pendapatan tetap merupakan sumber pendapatan tetap pada kasus positif HIV dengan jumlah responden sebanyak 5 orang (17,9%) dan untuk kasus HIV negatif sebanyak 23 orang (59,0%). Dari tabel diatas juga dapat diketahui bahwa sebagian besar responden belum menikah dengan kasus HIV positif sebanyak 5 orang (12,8%) dan negatif HIV sebanyak 30 orang (76,7%).

Uji analisis Fisher’s Exact Test dilakukan terhadap hubungan variabel pendidikan, dan sumber pendapatan terhadap kejadian HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara pendidikan terlihat dari nilai p>0,05 (=1,000), dan sumber pendapatan p<0,05 (=0,296) terhadap kejadian HIV.

4.4.2 Tabulasi Silang Hubungan Persepsi Kerentanan Terhadap Kejadian HIV

Tabel 4.16 Tabulasi Silang Hubungan Kerentanan Responden Kejadian HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan

No Persepsi Kerentanan

Kejadian HIV Jumlah P

Positif Negatif N % N % N % 1. 2. Kuat Lemah 5 0 12,8 0,0 24 10 61,5 25,6 29 10 74,4 25,6 0,302 0,302 Berdasarkan tabel 4.16 dapat diketahui bahwa dari 39 orang responden, sebanyak 29 orang responden memiliki persepsi kerentanan yang kuat yang terdiri

dari 5 orang (12,8%) dengan kejadian HIV positif dan 24 orang responden dengan hasil kejadian HIV negatif. Pada persepsi kerentanan lemah terdapat 10 orang responden (25,6%) yang semuanya dengan kejadian HIV negatif.

Analisis statistik uji Chi-Square tidak dapat dilakukan karena ada 2 sel (50%) dengan expected count kurang dari 5, maka untuk melihat ada atau tidaknya hubungan persepsi kerentanan terhadap kejadian HIV dilanjutkan dengan alternatif Fisher’s Exact Test dan diperoleh nilai p>0,05 (=0,302). Hal ini menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara persepsi kerentanan responden terhadap kejadian HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan.

4.4.3 Tabulasi Silang Hubungan Persepsi Keseriusan Terhadap Kejadian HIV

Tabel 4.17 Tabulasi Silang Hubungan Keseriusan Responden Terhadap Kejadian HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan

No Persepsi Keseriusan

Kejadian HIV Jumlah P

Positif Negatif N % N % N % 1. 2. Kuat Lemah 5 0 12,8 0,0 29 5 74,4 12,8 34 5 87,2 12,8 1,000 1,000 Berdasarkan tabel 4.17 dapat diketahui bahwa dari 39 orang responden, sebanyak 34 responden memiliki persepsi keseriusan yang kuat yang terdiri dari 5 orang responden (12,8%) dengan kejadian HIV positif dan 29 orang responden (87,2%) dengan kejadian HIV negatif. Pada persepsi keseriusan lemah terdapat 5 orang responden (12,8%) yang semuanya dengan kejadian HIV negatif.

Analisis statistik uji Chi-Square tidak dapat dilakukan karena ada 3 sel (75%) dengan expected count kurang dari 5, maka untuk melihat ada atau tidaknya hubungan persepsi kerentanan terhadap kejadian HIV dilanjutkan dengan

uji alternatif Fisher’s Exact Test dan diperoleh nilai p>0,05 (=1,000). Hal ini menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara persepsi kerentanan responden terhadap kejadian HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan.

4.4.4 Tabulasi Silang Hubungan Persepsi Manfaat Terhadap Kejadian HIV Tabel 4.18 Tabulasi Silang Hubungan Manfaat Responden Terhadap

Kejadian HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan No Persepsi

Manfaat

Kejadian HIV Jumlah P

Positif Negatif N % N % N % 1. 2. Kuat Lemah 5 0 12,8 0,0 34 0 87,2 0,0 39 0 100,0 0,0

Berdasarkan tabel 4.18 dapat diketahui bahwa dari 39 orang responden, semua responden memiliki persepsi manfaat yang kuat yang terdiri dari 5 orang (12,8%) dengan kejadian HIV positif dan 34 orang responden (87,2%) dengan kejadian HIV negatif.

Analisis statistik uji Chi-Square tidak dapat dilakukan karena persepsi manfaat memiliki data yang konstan. Hal ini menunjukkan tidak dapat dihubungan antara persepsi manfaat yang dirasakan oleh responden terhadap kejadian HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan.

4.4.5 Tabulasi Silang Hubungan Persepsi Hambatan Terhadap Kejadian HIV

Tabel 4.19 Tabulasi Silang Hubungan Hambatan Responden Terhadap Kejadian HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan

No Persepsi Hambatan

Kejadian HIV Jumlah P

Positif Negatif N % N % N % 1. 2. Kuat Lemah 5 0 12,8 0,0 33 1 84,6 2,6 38 1 97,4 2,6 1,000 1,000

Berdasarkan tabel 4.19 dapat diketahui bahwa dari 39 orang responden, sebanyak 38 responden memiliki persepsi hambatan yang kuat yang terdiri dari 5 orang responden (12,8%) dengan kejadian HIV positif dan 33 orang responden (84,6%) dengan kejadian HIV negatif. Sisanya 1 orang memiliki persepsi hambatan yang lemah yang terdiri dari 1 orang (2,6%) dengan kejadian HIV negatif.

Analisis statistik uji Chi-Square tidak dapat dilakukan karena ada 3 sel (75%) dengan expected count kurang dari 5, maka untuk melihat ada atau tidaknya hubungan persepsi hambatan yang dirasakan oleh responden terhadap pemanfaatan layanan kejadian HIV dilanjutkan dengan uji alternatif Fisher’s Exact Test dan diperoleh nilai p>0,05 (=1,000). Hal ini menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara persepsi hambatan responden terhadap kejadian HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan.

4.4.6 Tabulasi Silang Hubungan Faktor Isyarat Untuk Bertindak Terhadap Kejadian HIV

Tabel 4.20 Tabulasi Silang Hubungan Isyarat Untuk Bertindak Responden Terhadap Kejadian HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan No Persepsi

Isyarat Untuk Bertindak

Kejadian HIV Jumlah P

Positif Negatif N % N % N % 1. 2. Kuat Lemah 5 0 12,8 0,0 34 0 87,2 0,0 39 0 100,0 0,0

Berdasarkan tabel 4.20 dapat diketahui bahwa 39 orang responden, semua responden memiliki persepsi isyarat untuk bertindak yang kuat yang terdiri dari 5

orang (12,8%) dengan kejadian HIV positif dan 34 orang responden (87,2%) dengan kejadian HIV negatif.

Analisis statistik uji Chi-Square tidak dapat dilakukan karena persepsi manfaat memiliki data yang konstan. Hal ini menunjukkan tidak dapat dihubungan antara persepsi manfaat yang dirasakan oleh responden terhadap kejadian HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan.

4.4.7 Tabulasi Silang Hubungan Kemampuan Bertindak Terhadap Kejadian HIV

Tabel 4.21 Tabulasi Silang Hubungan Kemampuan Bertindak Responden Terhadap Kejadian HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan No Persepsi

Kemampuan Bertindak

Kejadian HIV Jumlah P

Positif Negatif N % N % N % 1. 2. Kuat Lemah 0 5 0,0 12,8 6 28 15,4 15,4 6 33 100,0 100,0 0,574 0,574 Berdasarkan tabel 4.21 dapat diketahui bahwa dari 39 orang responden, sebanyak 6 responden memiliki kemapuan bertindak yang kuat yang terdiri dari 6 orang (15,4%) dengan kejadian HIV negatif dan tidak ada responden dengan kejadian HIV positif. 33 orang responden memiliki faktor isyarat bertindak yang lemah yang terdiri dari 28 orang (71,8%) dengan kejadian HIV negatif dan 5 orang (12,8%) dengan kejadian HIV positif.

Analisis statistik uji Chi-Square tidak dapat dilakukan karena ada 2 sel (50,0%) dengan expected count kurang dari 5, maka untuk melihat ada atau tidaknya hubungan faktor isyarat untuk bertindak terhadap kejadian HIV dilanjutkan dengan uji Fisher’s Exact Test dan diperoleh nilai p>0,05 (=0,574).

Hal ini menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara persepsi faktor isyarat untuk bertindak responden terhadap kejadian HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan.

BAB V PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Responden 5.1.1 Umur

Hasil penelitian mengenai umur yang diperoleh melalui kuisioner menunjukkan bahwa sebagian responden tergolong kelompok umur 25-29 tahun yaitu sebanyak 19 orang (48,7%) dari total 39 orang responden. Responden umur 25-29 tahun tersebut terdiri dari 5 orang (12,8%) yang memiliki kejadian HIV positif.

Kelompok responden yang berumur 25-29 tahun merupakan kelompok responden yang mayoritas sudah memiliki penghasilan sendiri dan merupakan kelompok dengan perilaku bebas terutama yang berhubungan dengan seks. Pada kelompok umur 25-29 tahun seseorang akan cenderung untuk banyak berinteraksi dengan orang lain yang dapat memicu kearah perilaku seks yang menyimpang. Depkes (2009) menyatakan bahwa kasus HIV di Indonesia paling banyak terjadi pada kelompok umur 25-29 tahun yang termasuk usia produktif. Dan di usia tersebut masih besar kemungkinan untuk melakukan aktivitas sehari-hari, seperti: bekerja, sekolah bahkan melakukan hubungan seksual. Namun, saat ini usia produktif sangat rentan terkena HIV/AIDS. Mereka biasanya tertular HIV/AIDS karena hubungan seks bebas

Berdasarkan data yang dirilis Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dari tahun 2010 hingga tahun 2014, jumlah kasus orang dengan HIV/AIDS di

Indonesia mencapai total 108.704. Penderita HIV terbanyak terjadi pada tahun 2013 yaitu sekitar 29.037 Dari jumlah tersebut, penderita terbanyak berasal dari kelompok produktif, dengan rentang usia 20-49 tahun. Penyebab utama banyaknya kasus HIV/AIDS adalah hubungan seks diluar nikah dan penggunaan narkoba suntik. Hampir 90% penyebaran virus HIV/AIDS disebabkan kedua prilaku tersebut (Kemenkes RI, 2014)

5.1.2 Pendidikan

Sebagian besar responden dalam penelitian ini dengan pendidikan tertinggi SMA/sederajat yaitu sebanyak 21 orang (53,8 %), responden dengan pendidikan SD/sederajat sebanyak 1 orang (2,6%) dan pendidikan SMP/sederajat jumlahnya yaitu 3 orang (7,7%). Responden dengan tingkat pendidikan D3 sebanyak 5 orang (12,8%), responden yang memiliki pendidikan sarjana atau S1 sebanyak 8 orang (20,5%) dan responden yang memiliki pendidikan S2 sebanyak 1 orang (2,6%). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan 5 orang responden dengan kejadian HIV positif memiliki pendidikan yang tinggi yaitu 4 orang memiliki pendidikan SMA/Sederajat dan 1 orang responden dengan pendidikan D3.

Menurut Irmayati (2007), tingkat pendidikan dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh terhadap pola pikir dan daya nalar dalam menghadapi suatu masalah (Hutasoit, 2006). Redding et al (2000) yang dikutip oleh Anggraeni (2010) menyatakan faktor pengubah seperti tingkat pendidikan dipercayai mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap perilaku dengan cara mempengaruhi persepsi

individu. Individu dengan pendidikan tinggi, cenderung memiliki perhatian yang besar terhadap kesehatannya sehingga jika individu tersebut mengalami gangguan kesehatan maka ia akan segera mencari pelayanan kesehatan.

Hal ini didukung oleh Notoatmodjo (2003), yang menyatakan bahwa seseorang yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi tidak sama pemahamannya dengan orang yang memiliki tingkat pendidikan rendah. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah pula bagi mereka untuk menerima informasi dan pada akhirnya semakin banyak pengetahuan yang mereka miliki. Secara umum, pengetahuan yang baik akan memunculkan sikap yang baik dan mengaplikasikannya dalam tindakan. Semakin tinggi pengetahuan seseorang terhadap kesehatan, semakin tinggi kesadaran orang tersebut dalam menjaga kesehatannya.

5.1.3 Sumber Pendapatan

Sebagian besar responden memiliki sumber pendapatan yang berasal dari gaji karyawan tetap yaitu sebanyak 28 orang (71,8%), 5 orang (12,8%) bekerja sebagai pekerja bebas, selain itu 4 orang (10,3%) memiliki sumber pendapatan berasal dari uang saku pelajar dan jumlah terkecilnya dengan pendapatan dari bekerja di salon dan panti pijat masing-masing yaitu 1 orang (2,6%).

Responden dengan pendapatan tetap (gaji karyawan) cenderung datang memanfaatkan layanan VCT di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan kemungkinan dikarenakan sudah memiliki penghasilan sendiri sehingga memiliki rasa kepercayaan diri yang lebih. Responden yang dianggap populasi kunci yang

sebenarnya memiliki peran yang cukup krusial dalam penyebaran virus HIV/AIDS, yaitu responden yang masuk dalam kategori “Mobile Man with Money”, atau pria yang mapan dan bermobilitas tinggi. Mungkin karena responden adalah orang-orang dengan berpenghasilan tetap, berpenampilan bersih, berpakaian sesuai fashion terkini, dengan fisik yang menawan karena memiliki uang untuk perawatan tubuh, dan tinggal di kawasan mewah. Responden dianggap bersih. Padahal kelompok ini adalah kelompok yang sangat dekat dengan virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). Karena responden dengan

berpenghasilan tetap adalah orang-orang yang memiliki mobilitas tinggi, baik untuk tujuan pribadi atau bisnis, dan mempunyai daya beli yang kuat. Besar kemungkinan mereka menggunakan uang mereka untuk hiburan yang memaparkan mereka dengan risiko penularan HIV, misalnya membeli jasa pekerja seks komersial dan tidak menggunakan kondom. Atau berhubungan seks dengan kenalan baru, juga tidak menggunakan kondom.

5.1.4 Status Pernikahan

Sebagian besar responden belum menikah dengan jumlah 35 orang (89,7%) dan paling sedikit jumlahnya dengan status duda yaitu sebanyak 1 orang (2,6%). Responden dengan status belum menikah tersebut terdiri dari 3 orang (7,7,6%). Berdasarkan hasil dari penelitian 5 orang responden dengan kejadian HIV positif memliki status belum menikah.

Responden dengan status pernikahan belum menikah cenderung memanfaatkan layanan VCT mungkin dikarenakan memiliki tingkat kecemasan

yang lebih daripada responden dengan status pernikahan yang sudah menikah. Seseorang dengan status sudah menikah akan cenderung merasa tidak akan terancam terinfeksi HIV/AIDS karena ia merasa sudah setia dengan satu pasangan lain halnya dengan mereka yang masih berstatus lajang.

5.2 Persepsi Kerentanan

Gambaran tentang pengetahuan, sikap dan perilaku seksual LSL dalam kaitannya dengan HIV cukup untuk dijadikan alasan tentang perlunya upaya membentuk sikap dan perilaku seksual yang sehat di kalangan LSL. Adanya responden yang terinfeksi IMS dianalogikan sebagai besarnya peluang responden terinfeksi AIDS. Seperti diketahui bahwa komunitas LSL merupakan komunitas yang rentan berpeluang terinfeksi AIDS. Dengan jaringan seksual responden yang demikian luas maka AIDS berpeluang untuk menyebar lebih luas lagi jika salah seorang anggota komunitas tersebut terinfeksi AIDS.

Kerentanan yang dirasakan mengacu pada keyakinan tentang kemungkinan mendapatkan penyakit atau kondisi. Hal ini mengarah pada persepsi subyektif seseorang menyangkut risiko dari kondisi kesehatannya. Suatu tindakan pencegahan terhadap suatu penyakit akan timbul bila seseorang telah merasakan bahwa dia atau keluarganya rentan terhadap penyakit tersebut. Upaya pencegahan itu dapat dilakukan secara lebih efektif. Fokus perhatian dapat ditumpahkan pada bagaimana mengubah perilaku seksual responden (komunitas LSL) menjadi perilaku seksual yang lebih sehat dan aman dapat dijabarkan melalui beberapa indikasi sebagai berikut:

1. Memiliki jumlah pasangan yang tertentu dan terbatas, 2. Memiliki pasangan yang sehat.

3. Mengurangi frekuensi berhubungan seks dengan pria pekerja seks, dan 4. Mengunakan kondom ketika melakukan hubungan seksual.

Sejalan dengan penelitian di Thailand yang merupakan negara dengan LSL tinggi, 28,3% penduduknya merupakan LSL dengan kejadian HIV positif. Temuan tersebut dapat menjadi bahan refleksi terhadap berbagai upaya pencegahan IMS, HIV dan AIDS yang dilakukan selama ini. Ada perbedaan penting antara perilaku laki-laki ke laki-laki dan LSL. Tidak semua laki-laki berhubungan seks dengan laki-laki lain mempunyai kerentanan yang sama terhadap HIV. Secara relatif kurang bersahabatnta program dan pelayanan LSL menambah kerentanan infeksi bagi LSL. Banyak negara masih tidak mau mengakui eksistensi dari perilaku seks laki-laki ke laki-laki, sejalan dengan stigmatisasi sosial terhadap perilaku seks sesama jenis, cara hidup dan distriminasi. Stigma perilaku seks sesama jenis terjadi pada berbagai tingkatan dan tindakan seks sesama laki-laki seingkali dicela.

Situasi dari laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki yang dibahas pada bagian terdahulu dapat dikenali dengan relatif kurangnya program, kurangnya pengetahuan dan tingginya prevalensi seks yang tidak aman. Dibanyak negara Asia, LSL telah secara disproporsional terjangkiti epidemi HIV. Di negara- negara dimana informasi semacam ini tersedia, angka infeksi HIV di kalangan LSL seringkali lebih tinggi daripada di populasi umum

Oleh karena itu upaya pencegahan dan penularan IMS, HIV dan AIDS perlu diadakan secara terfokus pada kelompok sasaran yang berisiko tinggi termasuk komunitas LSL. Perdebatan tentang kampanye AIDS perlu diarahkan kepada kelompok risiko tinggi atau seluruh masyarakat hendaknya tidak mengurangi pentingnya prioritas pada penduduk yang berisiko tinggi itu. Studi ini mengungkapkan bahwa komunitas LSL merupakan salah satu yang termasuk kelompok beresiko tinggi terinfeksi LSL dan HIV dan AIDS (Kemenkes RI, 2014)

Fokus kegiatan pencegahan dan perilaku seksual di kalangan LSL perlu diarahkan, tidak saja pada LSL terbuka, tetapi juga dilakukan terhadap LSL tertutup dan pria pekerja seks. Berangkat dari temuan seperti itu maka tampaknya sulit untuk mengubah perilaku individu tanpa mencoban mempengaruhi norma yang berlaku ditempat individu itu berada. Oleh karena itu fokus perhatian pertama dalam upaya mempengaruhi perubahan perilaku individu adalah mengubah norma-norma yang berlaku dalam komunitas LSL. Dalam kaitan ini perlu ada upaya pengenalan dan penanaman norma-norma baru yang berkaitan dengan perilaku seksual mereka. Norma-norma yang diperkenalkan adalah norma-norma yang memungkinkan mereka memiliki perilaku seksual yang sehat dan aman.

Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukan bahwa dari 39 responden dalam kategori persepsi kerentanan sebanyak 29 orang (74,4%) berada pada kategori kerentanan kuat dan 10 orang (25,6%) berada pada kategori kerentanan

dirinya rentan terhadap HIV. Bedasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa untuk korelasi variabel kerentanan dengan kejadian HIV, pada taraf nyata 0,05 didapat angka probabilitas (p) 0,206 (p > 0,05). Ini berarti tidak menunjukkan hubungan bermakna antara persepsi kerentanan dengan kejadian HIV. Responden datang ke klinik dengan keluhan IMS, namun mereka memahami bahwa mereka adalah kelompok dengan risiko tinggi untuk terinfeksi HIV/AIDS.

Sebagian besar responden memiliki kategori persepsi kerentanan yang kuat menunjukkan bahwa ia merasa rentan terhadap HIV, hal tersebut bisa jadi dikarenakan pengetahuan mereka yang sudah cukup baik dengan tingkat pendidikan responden rata-rata SMA. Dilihat dari hasil yang diperoleh hampir semua responden selalu menyediakan kondom jika berhubungan seksual ditambah lagi ada beberapa responden yang memiliki kelompok dampingan, serta menunjukkan bahwa mereka sudah paham bagaimana cara pencegahan HIV. Disamping itu LSL merupakan hidden populasi yang kemungkinan beberapa responden memiliki informasi tentang HIV sangat kurang sehingga menyebabkan mereka harus memiliki upaya lebih untuk mencari informasi dari berbagai akses.

Kerentanan merupakan kondisi yang subjektif dalam diri individu, khususnya orang risiko tinggi HIV. Responden yang memiliki persepsi kerentanan yang lemah terhadap HIV, dapat dinyatakan memiliki keyakinan bahwa dirinya tidak berisiko menderita HIV, tidak memiliki riwayat perilaku yang berisiko tertular HIV, tidak memiliki pekerjaan yang membuat dirinya berisiko HIV, dan tidak memiliki teman atau orang disekitarnya yang membuatnya berisiko HIV/AIDS. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Notoadmodjo (2003)

menyatakan agar seseorang bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakitnya maka ia harus merasakan bahwa ia rentan (suspectible) pada penyakit tersebut.

Perubahan perilaku bukan semata-mata proses individual dalam menyerap informasi dan membuat keputusan rasional tentang perilakunya. Proses perubahan perilaku individu lebih merupakan hasil atas keanggotaan dirinya sendiri dari satu komunitas yang mengubah standar perilakunya dan mengharapkan perubahan perilaku anggotanya. Kebanyakan LSL tidak suka menggunakan kondom, tetapi menerimanya bahwa mereka harus melakukannya. Bukan semata-mata dari keputusan rasional bahwa menggunakan kondom merupakan hal baik untuk menghindari HIV, melainkan karena sadar bahwa komunitas LSL yang mereka miliki telah menerima norma bahwa menggunakan kondom merupakan perilaku standar yang harus dilakukan oleh setiap anggotanya. Sanksi bagi yang tidak menggunakan kondom bukanlah dalam bentuk terinfeksi HIV, tetapi berupa ketidaksetujuan dan pengasingan oleh pasangannya. Hal tersebut berkaitan dengan hampir sebagian besar responden tidak menggunakan kondom karena pasangan yang tidak menginginkan.

5.3 Persepsi Keseriusan

Persepsi keseriusan merupakan pandangan individu tentang beratnya penyakit yang diderita. Pandangan ini mendorong seseorang untuk mencari pengobatan atas penyakit yang dideritanya. Keseriusan ini ditambah dengan akibat dari suatu penyakit misalnya, kematian, pengurangan fungsi fisik dan

mental, kecacatan dan dampaknya terhadap kehidupan sosial. Persepsi keseriusan yang dirasakan berbicara dengan kepercayaan individu tentang keseriusan atau keparahan penyakit. Sementara persepsi keseriusan sering didasarkan pada informasi medis atau pengetahuan, juga dapat berasal dari keyakinan seseorang bahwa ia akan mendapat kesulitan akibat penyakit dan akan membuat atau berefek pada hidupnya secara umum

Pada penelitian ini mengungkapkan bahwa penyakit HIV & AIDS adalah penyakit yang mematikan, berbahaya, dan bisa menular ke anggota keluarga lain melalui hubungan seksual Terdapat juga subjek penelitian yang beranggapan apabila mengetahui ada orang yang terkena HIV & AIDS sebaiknya jangan dekat- dekat agar tidak tertular. Hal inilah yang sering menjadikan anggapan salah pada seluruh lapisan masyarakat. HIV itu hidup di semua cairan tubuh manusia, tetapi hanya dapat ditularkan melalui cairan tubuh tertentu yaitu darah, air mani (cairan, bukan sperma), cairan vagina, dan ASI.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 39 orang responden pada persepsi keseriusan, terdapat 34 orang responden (87,2%) dengan kategori persepsi yang kuat, 5 orang responden (12,8%) kategori persepsi lemah. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden merasakan persepsi keseriusan ataupun ancaman yang diterima terhadap penyakit HIV. Bedasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa untuk korelasi variabel keseriusan dengan kejadian HIV, pada taraf nyata 0,05 didapat angka probabilitas (p) 1,000 (p > 0,05). Ini berarti menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara persepsi keseriusan dengan kejadian HIV.

Persepsi keseriusan mempengaruhi tindakan responden untuk mencari pengobatan dan pencegahan terhadap penyakit HIV yang diderita. Namun hal tersebut tidak menunjukkan kesesuaian antara teori dengan fakta dilapangan, meski ada responden yang memiliki persepsi keseriusan yang sedang dan tergolong tinggi. Persepsi keseriusan yang dirasakan terhadap HIV kemungkinan

Dokumen terkait