• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Perilaku Pencegahan Terhadap Kejadian HIV Pada Kalangan LSL Di Klinik IMS Dan VCT Veteran Medan Tahun 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Perilaku Pencegahan Terhadap Kejadian HIV Pada Kalangan LSL Di Klinik IMS Dan VCT Veteran Medan Tahun 2015"

Copied!
152
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

OLEH:

GABRIELA PAULA HASIAN MALAU NIM : 111000079

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Skripsi ini diajukan sebagai

Salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH:

GABRIELA PAULA HASIAN MALAU NIM : 111000079

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)
(4)

ABSTRAK

Fenomena peningkatan dan penyebaran kasus HIV pada kelompok risiko tinggi terjadi demikian cepat. Salah satu kelompok risiko tinggi adalah LSL (Lelaki Seks Lelaki). Penemuan kasus yang lebih banyak pada kelompok LSL juga belum menunjukkan keadaan sesungguhnya di masyarakat, karena pemeriksaan dilakukan hanya terhadap individu yang secara sukarela datang ke klinik VCT (Voluntary Counselling and Test).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan perilaku pencegahan terhadap kejadian HIV pada kalangan LSL di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan, yang ditinjau dari teori Health Belief Model. Jenis penelitian ini adalah survei deskriptif analitik. Populasi adalah kelompok LSL yang datang berkunjung ke Klinik IMS dan VCT Veteran Medan pada tahun 2014 yang memanfaatkan layanan konseling dan tes HIV sukarela. Jumlah sampel 39 responden melalui accidental sampling. Data diperoleh dengan kuesioner yang dianalisis dengan analisis univariat dan bivariat.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, persepsi kerentanan (74,4%), persepsi keseriusan (66,7%), dan persepsi kemampuan bertindak (84,6%) termasuk kategori lemah. Persepsi manfaat (79,5%), hambatan (79,5%) serta persepsi isyarat untuk bertindak (61,5%) termasuk kategori sedang. Semua persepsi seperti persepsi kerentanan, keseriusan, manfaat dan hambatan, isyarat untuk bertindak, dan kemampuan bertindak tidak termasuk kategori kuat sehingga semua persepsi tidak mempengaruhi tinggi rendahnya resiko kejadian HIV.

Disarankan petugas Klinik IMS dan VCT Veteran agar dapat lebih meningkatkan pemberian informasi kepada klien yang datang berkunjung yang meningkatkan persepsi terhadap kejadian HIV dengan persepsi kerentanan kelompok risiko HIV akan kemungkinan terinfeksi HIV, keseriusan infeksi HIV, manfaat yang dirasakan apabila mengakses layanan yang disediakan, dan meminimalisir persepsi hambatan yang dirasakan oleh klien agar dapat memanfaatkan layanan VCT dengan baik.

(5)

ABSTRACT

The phenomenon of the increase and spread of HIV cases in high-risk groups happen so quickly. One of the high-risk group is LSL (man who have sex with man). The discovery of more cases in the LSL group also has not shown the real situation in society, because the inspection was carried out only to individuals who voluntarily came to the clinic VCT (Voluntary Counselling and Test).

This study aims to determine the relations between behavioral prevention against HIV incidence among LSL at IMS and VCT Veterans Clinic Medan, which in terms of the theory of the Health Belief Model. This type of research is descriptive analytic survey. LSL is the population who come to visit IMS and VCT Veteran Clinic Medan in 2014 who utilize the services of voluntary counseling and HIV testing. Number of samples 39 respondents with accidental sampling. Data obtained with questionnaires that were analyzed with univariate and bivariate analyzes.

Based on the results of research conducted, the perception of vulnerability (74.4%), the perception of the seriousness of (66.7%), and the perception of acting ability (84.6%) including weak category. Perception benefits (79.5%), barriers (79.5%) as well as the perception cues for action (61.5%) including medium category. All perception as perception of vulnerability, seriousness, benefits and barriers, cues to action, and the ability to act does not include strong category so that all perception does not affect the level of risk of HIV incidence.

Suggestion to the officers IMS and VCT Veteran Clinic in order to further improve the provision of information to the clients who come to visit that increases the perception of the incidence of HIV with HIV risk perception of the vulnerability of the group will likely infected with HIV, the seriousness of HIV infection, the perceived benefits when accessing services provided, and minimize the perception of barriers perceived by the client in order to properly utilize VCT services.

(6)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Nama : Gabriela Paula Hasian Malau

Tempat Lahir : Bengkulu

Tanggal Lahir : 16 September 1992

Suku Bangsa : Indonesia

Agama : Islam

Nama Ayah : Johnny Malau

Suku Bangsa Ayah : Indonesia

Nama Ibu : Rosita Ernawati Turnip

Suku Bangsa Ibu : Indonesia

Pendidikan Formal :

1. Tahun 1998-1999 : TK Pertiwi Bengkulu

2. Tahun 1999-2005 : SD Negeri 19 Kota Bengkulu 3. Tahun 2005-2008 : SMP Negeri 2 Kota Bengkulu 4. Tahun 2008-2011 : SMA Negeri 4 Kota Bengkulu

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadiran Allah SWT karena atas rahmat dan karunia–Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

“Hubungan Perilaku Pencegahan Terhadap Kejadian HIV Pada Kalangan

LSL Di Klinik IMS Dan VCT Veteran Medan Tahun 2015” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat.

Dalam penyusunan skripsi ini mulai dari awal hingga akhir penulis banyak memperoleh bimbingan, dukungan, bantuan, saran dan kritik dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar – besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Drs.Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Tukiman, MKM, selaku Ketua Departemen Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu dr. Linda T. Maas, MPH selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu, bimbingan, pengarahan, dan saran untuk kesempurnaan skripsi ini.

(8)

5. Ibu Lita Sri Andayani, SKM, M.Kes, selaku Dosen Penguji I yang telah banyak memberikan kritik, saran dan pengarahan untuk kesempurnaan skripsi ini.

6. Bapak Andi Ilham Lubis, SKM, MKM, selaku Dosen Penguji II yang telah banyak memberikan kritik, saran dan pengarahan untuk kesempurnaan skripsi ini.

7. Bapak Drs. Heru Santosa, MS, PhD, selaku dosen Penasehat Akademik yang telah memberikan ilmu, bimbingan serta dukungan moral selama perkuliahan. 8. Seluruh Dosen dan Staf di FKM USU, terutama Departemen Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku yang telah memberikan ilmu, bimbingan serta dukungan moral selama perkuliahan.

9. Ibu dr. Yulia Maryani selaku Kepada Koordinator Klinik, ibu Satriani, ibu Purwantari, ibu Afnida Zahara dan ibu Lodiana Ayu S.Psi, M.Psi selaku staf Klinik IMS dan VCT Veteran Medan yang telah membantu penulis dalam melakukan penelitian.

10. Teristimewa untuk ayahanda Johnny Malau dan ibunda Rosita Ernawati Turnip dimana telah memberikan dukungan yang luar biasa serta menunjukkan komitmennya yang tinggi terhadap pentingnya pendidikan bagi penulis. Akhirnya ini skripsi kita boss.

(9)

12. Sahabat-sahabat tersayang Desi Marianta, Lidia Oktavia, Rani Azhari, Riski Purwanti. P. Terima kasih yang tulus untuk selalu ada dan semua hal yang telah kalian berikan.

13. Terimakasih kepada sahabat penulis Rovina Winata, dan Jumirsa Hijriani. Y untuk segala hal yang pernah kita lalui bersama.

14. Abangnda Eko Pranata. Terima kasih untuk segala dukungan, semangat dan doa yang sudah diberikan.

15. Sahabat baik Muhammad Habib dan keluarga yang telah memberi dukungan dan semangat dari awal hingga akhir kepada penulis. Terima kasih sudah menjadi abang yang baik.

16. Teruntuk my nania, Nia Maharani sebagai Partner in Crime penulis. Terima kasih susah menjadi teman berjuang.

17. Partner kerja sekaligus teman baik penulis Rici Dina Putri, Nadya Balqis, Yolanda Silvia Dhani yang telah memberikan dukungan kepada penulis. 18. Adik-adik terkasih Diani Ruth, Ivana Afrilia Stacia, dan Radita Olva, Betty

Damayanti terima kasih atas kebersamaannya, semangat, dan hiburannya selama ini.

19. Teman PBL, Kak Fitri, Bang Marsel, Bang Tomi, Bang Ivan, Astry Elfira, Mitra, Atikah dan Henti yang telah memberikan semangat kepada penulis. Tak pernah lupa bahwa kita pernah serumah.

(10)

21. Ahmad Gunawan yang telah memberikan semangat, dukungan dan bantuan kepada penulis.

22. Kakak-kakak seperjuangan Tugas Akhir, Kak Hesti, Kak Ayu, Kak Melda, terimakasih untuk segala hal yang kita lalui di bulan-bulan terakhir perkuliahan.

23. Teman- teman Departemen PKIP FKM USU, terkhusus kepada teman-teman seperjuangan PKIP angkatan 2010 dan 2011 Fitriani Nenti, Kristy Ivo, Putri, Hardiani, Hastri, Bang Frengki, Kak Fatima, Ka Dominika, dan lainnya yang telah memberikan semangat dan dorongan kepada penulis.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat terutama untuk kemajuan ilmu pengetahuan.

Medan, Juni 2015

(11)

DAFTAR ISI

2.2.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penularan HIV ... 18

2.2.5 Pencegahan HIV ... 20

2.3 Voluntary Counseling and Testing (VCT) ... 21

2.3.1 Pengertian Voluntary Counseling and Testing (VCT) ... 21

2.3.2 Tujuan Voluntary Counseling and Testing (VCT) ... 22

2.3.3 Prinsip Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) ... 23

2.3.4 Model Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) ... 24

(12)

3.3 Populasi dan Sampel ... 36

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 44

4.2 Karakteristik Responden ... 45

4.3 Analisis Univariat ... 47

4.3.1 Persepsi Kerentanan ... 47

4.3.2 Kategori Persepsi Kerentanan ... 50

4.3.3 Persepsi Keseriusan ... 50

4.3.4 Kategori Persepsi Keseriusan... 53

4.3.5 Persepsi Manfaat ... 53

4.3.6 Kategori Persepsi Manfaat ... 55

4.3.7 Persepsi Hambatan ... 56

4.3.8 Kategori Persepsi Hambatan ... 59

4.3.9 Isyarat Untuk Bertindak ... 60

4.3.10 Kategori Isyarat Untuk Bertindak ... 62

4.3.11 Kemungkinan Bertindak ... 62

4.3.12 Kategori Kemungkinan Bertindak ... 66

(13)

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 96

6.1 Kesimpulan ... 96

6.2 Saran ... 97

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Penilaian Skala Likert ... 40 Tabel 4.1 Distribusi Karakteristik Responden ... 46 Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Persepsi Kerentanan Terhadap Kejadian

HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan ... 48 Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Kategori Persepsi Kerentanan Terhadap

Kejadian HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan ... 50 Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Persepsi Keseriusan Terhadap Kejadian

HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan ... 51 Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Kategori Persepsi Keseriusan Terhadap

Kejadian HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan ... 53 Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Persepsi Manfaat Terhadap Kejadian HIV

di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan ... 54 Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Kategori Persepsi Manfaat Terhadap

Kejadian HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan ... 55 Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Persepsi Hambatan Terhadap Kejadian

HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan ... 56 Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Persepsi Hambatan Terhadap Kejadian

HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan ... 59 Tabel 4.10 Distribusi Frekuensi Isyarat Untuk Bertindak Terhadap Kejadian

HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan ... 60 Tabel 4.11 Distribusi Frekuensi Kategori Isyarat Untuk Bertindak

Terhadap Kejadian HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan .. 62 Tabel 4.12 Distribusi Frekuensi Kemungkinan Bertindak Terhadap Kejadian

HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan ... 63 Tabel 4.13 Distribusi Frekuensi Kategori Kemampuan Bertindak

(15)

Terhadap Kejadian HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan .. 67 Tabel 4.16 Tabulasi Silang Hubungan Kerentanan Responden

Kejadian HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan ... 68 Tabel 4.17 Tabulasi Silang Hubungan Keseriusan Responden Terhadap

Kejadian HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan ... 69

Tabel 4.18 Tabulasi Silang Hubungan Manfaat Responden Terhadap

Kejadian HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan ... 70 Tabel 4.19 Tabulasi Silang Hubungan Hambatan Responden Terhadap

Kejadian HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan ... 71 Tabel 4.20 Tabulasi Silang Hubungan Isyarat Untuk Bertindak

Responden Terhadap Kejadian HIV di Klinik IMS dan VCT

Veteran Medan ... 72 Tabel 4.21 Tabulasi Silang Hubungan Kemampuan Bertindak Responden

Terhadap Kejadian HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran

(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Bagan Precede Lawrence W. Greean ... 9

Gambar 2.2 Pola Penularan HIV di Asia ... 14

Gambar 2.3 Health Belief Model ... 32

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Permohonan Izin Penelitian ... 100

Lampiran 2. Surat Keterangan Telah Selesai Penelitian ... 101

Lampiran 3. Kuesioner ... 102

Lampiran 4. Master Data ... 106

(18)

ABSTRAK

Fenomena peningkatan dan penyebaran kasus HIV pada kelompok risiko tinggi terjadi demikian cepat. Salah satu kelompok risiko tinggi adalah LSL (Lelaki Seks Lelaki). Penemuan kasus yang lebih banyak pada kelompok LSL juga belum menunjukkan keadaan sesungguhnya di masyarakat, karena pemeriksaan dilakukan hanya terhadap individu yang secara sukarela datang ke klinik VCT (Voluntary Counselling and Test).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan perilaku pencegahan terhadap kejadian HIV pada kalangan LSL di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan, yang ditinjau dari teori Health Belief Model. Jenis penelitian ini adalah survei deskriptif analitik. Populasi adalah kelompok LSL yang datang berkunjung ke Klinik IMS dan VCT Veteran Medan pada tahun 2014 yang memanfaatkan layanan konseling dan tes HIV sukarela. Jumlah sampel 39 responden melalui accidental sampling. Data diperoleh dengan kuesioner yang dianalisis dengan analisis univariat dan bivariat.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, persepsi kerentanan (74,4%), persepsi keseriusan (66,7%), dan persepsi kemampuan bertindak (84,6%) termasuk kategori lemah. Persepsi manfaat (79,5%), hambatan (79,5%) serta persepsi isyarat untuk bertindak (61,5%) termasuk kategori sedang. Semua persepsi seperti persepsi kerentanan, keseriusan, manfaat dan hambatan, isyarat untuk bertindak, dan kemampuan bertindak tidak termasuk kategori kuat sehingga semua persepsi tidak mempengaruhi tinggi rendahnya resiko kejadian HIV.

Disarankan petugas Klinik IMS dan VCT Veteran agar dapat lebih meningkatkan pemberian informasi kepada klien yang datang berkunjung yang meningkatkan persepsi terhadap kejadian HIV dengan persepsi kerentanan kelompok risiko HIV akan kemungkinan terinfeksi HIV, keseriusan infeksi HIV, manfaat yang dirasakan apabila mengakses layanan yang disediakan, dan meminimalisir persepsi hambatan yang dirasakan oleh klien agar dapat memanfaatkan layanan VCT dengan baik.

(19)

ABSTRACT

The phenomenon of the increase and spread of HIV cases in high-risk groups happen so quickly. One of the high-risk group is LSL (man who have sex with man). The discovery of more cases in the LSL group also has not shown the real situation in society, because the inspection was carried out only to individuals who voluntarily came to the clinic VCT (Voluntary Counselling and Test).

This study aims to determine the relations between behavioral prevention against HIV incidence among LSL at IMS and VCT Veterans Clinic Medan, which in terms of the theory of the Health Belief Model. This type of research is descriptive analytic survey. LSL is the population who come to visit IMS and VCT Veteran Clinic Medan in 2014 who utilize the services of voluntary counseling and HIV testing. Number of samples 39 respondents with accidental sampling. Data obtained with questionnaires that were analyzed with univariate and bivariate analyzes.

Based on the results of research conducted, the perception of vulnerability (74.4%), the perception of the seriousness of (66.7%), and the perception of acting ability (84.6%) including weak category. Perception benefits (79.5%), barriers (79.5%) as well as the perception cues for action (61.5%) including medium category. All perception as perception of vulnerability, seriousness, benefits and barriers, cues to action, and the ability to act does not include strong category so that all perception does not affect the level of risk of HIV incidence.

Suggestion to the officers IMS and VCT Veteran Clinic in order to further improve the provision of information to the clients who come to visit that increases the perception of the incidence of HIV with HIV risk perception of the vulnerability of the group will likely infected with HIV, the seriousness of HIV infection, the perceived benefits when accessing services provided, and minimize the perception of barriers perceived by the client in order to properly utilize VCT services.

(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome) yaitu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah sindrom kekebalan tubuh oleh infeksi HIV. Perjalanan penyakit ini lambat dan gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah terjadinya infeksi, bahkan dapat lebih lama lagi. (Depkes, 2012).

Infeksi HIV adalah infeksi kronis yang dalam waktu panjang akan berkembang menjadi AIDS dan berakhir dengan kefatalan. Sejak pertama kali ditemukan tahun 1987 sampai dengan Desember 2013 jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan meningkat secara signifikan setiap tahunnya. HIV/AIDS tersebar di 368 kabupaten/kota dari 497 kabupaten/kota (72%) di seluruh provinsi di Indonesia. Provinsi pertama kali ditemukan adanya kasus HIV/AIDS adalah Provinsi Bali, sedangkan Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2011.

(21)

4.191 kasus, dan Bali 3.985 kasus. Sementara itu untuk daerah Sumatera Utara terdapat 1.573 kasus AIDS (Ditjen PP&PL Kemenkes RI, September 2014).

Widoyono (2005) menjelaskan bahwa penularan kasus HIV/AIDS disebabkan hubungan seksual (70-80%). Perilaku seks tidak hanya terjadi pada kelompok heteroseksual, namun bisa juga terjadi pada kelompok homoseksual. Meskipun kelompok homoseksual bukan merupakan kelompok tertinggi penderita HIV, tetapi mereka merupakan kelompok beresiko dalam penularan HIV.

Kasus HIV terus mengalami peningkatan, fenomena peningkatan dan penyebaran kasus yang terjadi pada kelompok risiko tinggi demikian cepat. Salah satu kelompok risiko tinggi adalah LSL (KPAN 2011). Risiko LSL terkena HIV lebih besar daripada bila lelaki berpasangan seks dengan wanita karena seks anal yang dilakukan oleh LSL akan memungkinkan terjadinya luka pada rectum disebabkan tidak adanya cairan lubrican seperti yang ada pada vagina, ditambah lagi mengingat daya serap rectum yang besar maka deposisi semen dalam rectum tersebut dapat mengakibatkan resiko yang tinggi terhadap penularan infeksi (Nasution, R., 1990).

(22)

Bila dilihat dari faktor risiko infeksi HIV prevalensi terbanyak melalui kelompok heteroseksual 61,5%, penasun 15,2%, perinatal 2,7% dan homoseksual sebanyak 2,4%. Situasi masalah HIV pada Juli-September 2014 dilaporkan persentase faktor risiko HIV kelompok LSLS sebanyak 15%. Berdasarkan hasil pemetaan yang dilakukan program HIV/AIDS dan IMS Dinas Kesehatan Provinsi Sumut pada Desember 2014 diketahui di Kota Medan ada sebanyak 1.860 orang LSL, jumlah ini masih bisa mungkin lebih karena sebagian dari kelompok LSL masih tersembunyi.

Dari hasil survei pendahuluan yang dilakukan di klinik IMS dan VCT Veteran Medan tercatat bahwa terdapat 1102 kunjungan untuk melakukan konseling dan tes HIV tahun 2012, diantaranya 237 merupakan kelompok LSL. Pada tahun 2013 data Klinik IMS dan VCT Veteran Medan juga menunjukkan bahwa terdapat 1238 kunjungan dan 54 diantaranya merupakan kelompok LSL, sedangkan menurut data tahun 2014 terdapat 265 orang LSL yang melakukan kunjungan ke Klinik IMS dan VCT Veteran. Sedangkan pada tahun 2014 sebanyak 41 orang (15,47%) yang positif terkena HIV pada kalangan LSL.

(23)

menjadi kekhawatiran akan dapat meningkatnya risiko seseorang yang berhubungan seks dengannya terkena HIV/AIDS.

Jaringan seksual yang luas ini meningkatkan risiko penularan IMS dan HIV pada kalangan LSL dan pasangan seksualnya. Jika ada LSL yang tertular IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus maka LSL itu pun menyebarkan HIV di komunitasnya. Yang beristri menularkan ke istrinya, perempuan lain atau PSK. Jika istrinya tertular HIV maka ada pula risiko penularan HIV kepada bayi yang dikandungnya kelak ketika di kandungan, saat persalinan atau menyusui dengan air susu ibu (ASI). Karena hal itu LSL dikhawatirkan akan menjadi salah satu mata rantai penyebaran HIV yang potensial.

(24)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana hubungan perilaku pencegahan terhadap kejadian HIV pada kalangan LSL di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan perilaku pencegahan (persepsi kerentanan, persepsi keseriusan, persepsi manfaat dan hambatan, persepsi isyarat untuk bertindak, dan kemungkinan bertindak) terhadap kejadian HIV pada kalangan LSL di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui karakteristik LSL di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan.

b. Untuk mengetahui hubungan persepsi kerentanan terhadap kejadian HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran Kota Medan.

c. Untuk mengetahui hubungan persepsi keseriusan terhadap kejadian HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran Kota Medan.

d. Untuk mengetahui hubungan persepsi manfaat dan hambatan terhadap kejadian HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran Kota Medan.

(25)

f. Untuk mengetahui hubungan kemampuan bertindak terhadap kejadian HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran Kota Medan.

1.4 Hipotesis Penelitian

1. Ada hubungan antara kerentanan terhadap kejadian HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran Kota Medan.

2. Ada hubungan antara keseriusan terhadap kejadian HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran Kota Medan.

3. Ada hubungan antara manfaat dan hambatan terhadap kejadian HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran Kota Medan.

4. Ada hubungan antara isyarat untuk bertindak terhadap kejadian HIV HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran Kota Medan.

5. Ada hubungan antara kemampuan bertindak terhadap kejadian HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran Kota Medan.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah :

1. Dapat mengetahui bagaimana gambaran perilaku pencegahan penularan HIV pada kalangan LSL di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan.

2. Dapat memberikan masukan kepada Klinik IMS dan VCT Veteran Medan berkaitan dengan pencegahan penularan HIV oleh kalangan LSL.

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perilaku Kesehatan

2.1.1 Pengertian Perilaku Kesehatan

Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain: berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar.

Menurut Skinner, seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skinner ini disebut teori “S-O-R” atau

Stimulus-Organisme–Respon. Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua (Notoatmodjo, 2003):

a. Perilaku tertutup (covert behavior)

(27)

yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.

b. Perilaku terbuka (overt behavior)

Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.

2.1.2 Ranah (Domain) Perilaku

Berdasarkan pembagian domain oleh Bloom, dan untuk kepentingan pendidikan praktis, dikembangkan menjadi tingkat ranah perilaku sebagai berikut (Notoatmodjo, 2010):

a. Pengetahuan (Knowladge)

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Dengan sendirinya pada waktu pengindraan sehingga menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek.

b. Sikap (Attitude)

Sikap adalah respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan.

c. Tindakan (Practice)

(28)

terwujudnya tindakan perlu faktor lain antara lain adanya fasilitas atau sarana dan prasarana.

2.1.3 Determinan Perilaku Kesehatan

Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2010) menganalisis faktor perilaku ditentukan oleh 3 faktor utama yaitu: faktor predisposisi (Predisposing factors), terdiri atas faktor pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan dan nilai. Kedua, faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik seperti ketersediaan sarana/fasilitas, informasi. Ketiga, faktor pendorong (reinforcing factors), yag terwujud dalam sikap dan perilaku kelompok referens, seperti petugas kesehatan, kepala kelompok atau peer group.

Gambar 2.1 Bagan Precede Lawrence W. Greean Pendidikan

Kesehatan

Presdiposing factors - Kebiasaan

- Kepercayaan - Tradisi - Pengetahuan - Sikap

Enabling factors - Ketersediaan fasilitas - Ketercapaiaan fasilitas

Reinforcing Factors - Sikap dan Perilaku

Petugas

- Peraturan Pemerintah

Perilaku Kesehatan Masalah

(29)

Didalam proses pembentukan dan atau perubahan perilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari dalam dan dari luar individu itu sendiri. Faktor-faktor tersebut antara lain: susunan saraf pusat, persepsi, emosi, proses belajar, lingkungan dan sebagainya. Perilaku diawali dengan dengan adanya pengalaman-pengalaman seseorang serta faktor-faktor di luar orang tersebut (lingkungan), baik fisik maupun non fisik. Kemudian pengalaman dan lingkungan tersebut diketahui, dipersepsikan, diyakini dan sebagainya sehingga menimbulkan motivasi, niat untuk bertindak dan akhirnya terjadilah perwujudan niat yang berupa perilaku (Notoatmodjo,2005).

2.2 HIV

2.2.1 Pengertian HIV

Depkes (2006) mendefinisikan HIV (Human Immunodeficiency Virus) sebagai virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi.

Human Immunodeficiency Vyrus (HIV) yaitu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrom adalah sindrom kekebalan tubuh oleh infeksi HIV. Perjalanan penyakit ini lambat dagejala-gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah terjadi infeksi, bahkan dapat lebih lama lagi.

(30)

serangan luar seperti kuman, virus, atau penyakit yang masuk kedalam tubuh. Selain itu, sel darah putih berfungsi memproduksi zat antibodi yang khas untuk penyakit tersebut. Bahkan sel darah putih mampu memproduksi antibodi yang dapat melindungi tubuh seumur hidup.

HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh manusia. HIV dapat menyerang salah satu dari jenis sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Kerja virus setelah masuk ke dalam tubuh manusia yaitu merusak salah satu jenis sel imun tertentu yang dikenal dengan sel T Helper dan sel tubuh lainnya, antara lain sel otak, sel usus, sel paru. Sel T Helper adalah titip pusat pertahanan tubuh, sehingga infeksi HIV menyebabkan daya tahan tubuh menjadi lemah. Virus HIV ditemukan dan diisolasikan dari sel limfosit T4, limfosit B, sel makrofag (di otak dan paru) dan berbagai cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma, cairan vagina, air susu ibu. Sebagian besar (75%) penularan terjadi melalui hubungan seksual (Noviana, 2013).

2.2.2 Cara Penularan HIV

(31)

Cara pencegahan penularan HIV yang paling efektif adalah dengan memutus rantai penularan. Pencegahan dikaitkan dengan cara-cara penularan HIV. Infeksi HIV/AIDS merupakan suatu penyakit dengan perjalanan yang panjang dan hingga saat ini belum ditemukan obat yang efektif, maka pencegahan dan penularan menjadi sangat penting terutama melalui pendidikan kesehatan dan peningkatan pengetahuan yang benar mengenai patofisiologi HIV dan cara penularannya.

Penangggulangan merupakan segala upaya dan kegiatan yang dilakukan, meliputi kegiatan pencegahan, penanganan, dan rehabilitasi. Seperti diketahui, penyebaran virus HIV melalui hubungan seks, jarum suntik yang tercemar, transfusi darah, penularan dari ibu ke anak maupun donor darah atau donor organ tubuh (Noviana, 2013)

Tiga cara penularan HIV yang paling sering terjadi adalah: a. Hubungan seksual

Ada beberapa cara untuk melakukan hubungan seksual, yaitu vaginal (lewat vagina). Anal (menggunakan dubur), oral (menggunakan mulut) dan manogenital (menggunakan tangan). Dari keempat cara tersebut, risiko terbesar untuk dapat tertular HIV adalah apabila melakukan hubungan seksual secara anal dan vaginal. 80% sampai dengan 90% kasus HIV ditemukan pada mereka yang melakukan kegiatan seksual secara anal. Hal ini disebabkan karena lapisan kulit di sekitar dubur cukup tipis, sehingga dapat mengakibatkan luka yang mengeluarkan darah dan dapat terjadi kontak antar cairan tubuh.

(32)

Transfusi darah/produk darah yang tercemar HIV merupakan risiko tinggi penularan HIV yaitu mencapai lebih dari 90%. Namun demikian, kasus penularan HIV melalui transfusi darah ini hanya dijumpai 3-5% dari total kasus penularan HIV sedunia. Selain itu, pemakaian jarum suntik yang tidak steril ataupun pemakaian jarum suntik secara bersama terutama seperti yang dilakukan oleh para pecandu narkotik. Cara ini mengandung 0,5% - 1% dan telah ditemukan pada 5-10% dari total kasus sedunia.

c. Secara vertikal

Secara vertikal maksudnya yaitu dari ibu hamil kepada bayi yang dikandungnya, dimana penularan bisa saja terjadi pada waktu kehamilan, melahirkan ataupun sesudah melahirkan (ketika menyusui). Risiko penularan lewat cara ini adalah 25-40% dan telah ditemukan pada kurang dari 0,1% dari total kasus sedunia (Nasution, 2000).

(33)

Perlu digaris bawahi transmisi yang terbukti dapat terjadi secara efisien adalah melalui darah, cairan semen, cairan vagina/serviks, dan ASI. Adapun pola penularan HIV di Asia memiliki pola seperti berikut (Susilowati, 2011)

Gambar 2.2 Pola Penularan HIV di Asia Populasi

umum pria Pelanggan

Laki-laki seks laki-laki

Wanita pekerja seks

Penasun

(34)

2.2.3 Perjalanan Infeksi HIV

Klasifikasi klinik HIV pada orang dewasa menurut WHO seperti tertuang dalam Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan Pengobatan bagi ODHA (Depkes, 2003) dan Nasronudin (2007) adalah sebagai berikut:

Stadium Gambaran Klinis Skala Aktivitas

I 1. Asimptomatis

II 1. Berat badan menurun <10% 2. Kelainan kulit dan mukosa ringan (dermatitisseboroik prugigo,

onikomikosis)

3. Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir 4.Infeksi saluran nafas bagian atas (sinusitis

bakterialis)

Penampilan/ aktivitas fisik skala II: siptomatis, aktivitas normal

III 1. Berat badan menurun >10%

2. Daire kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan

3. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan

4. Kandidiasis orofaringeal 5. Oral hairy leukoplakia 6. TB paru dalam tahun terakhir 7. Infeksi bakterialis yang berat seperti pneumonia, piomiositis

Penampilan/aktivitas fisik skala

III: Pada umumnya lemah,

aktivitas ditempat tidur <50%

demam >1 bulan yang tidak disebabkan penyakit lain)

2. Pneumonia pneumocystis carinii 3. Toksoplasmosis otak

4. Daire kristosporidiosis lebih dari 1 bulan

5. Kriptokokosis ekstrapulmonal 6. Retinitis virus sitomegalo

(35)

10. Kandidiasis di esophagus, trakea, bronkus, dan paru

11. Mikobabakteriosis atipikal diseminata 12. Sepsemia salmonellosis non tifoid 13. Tuberkolosis di luar paru

14. Limfoma

15. Sarkoma Kaposi 16. Ensefalopati HIV

Perjalanan infeksi HIV ini dapat dibedakan menurut sistematika perjalanan virus itu sendiri. Menurut Suyono dkk (2006) dan Nasronudin (2007) secara klinik, gambaran yang terlihat dalam perjalanan penyakit HIV/AIDS terbagi dalam 3 tahap urutan yaitu tahap infeksi akut atau primer, tahap infeksi asimtomatis atau dini, tahap infeksi simtomatis atau menengah dan tahap sakit HIV berat atau penderita dalam tahap AIDS.

Tahap infeksi akut atau primer (primary infection) keadaan setelah beberapa minggu dari saat infeksi terjadi dan belum muncul gejala secara spesifik. Periode ini terjadi sekitar 6 minggu setelah terpapar virus HIV. Pada tahap ini biasanya akan muncul keluhan berupa demam, rasa letih atau lemah, nyeri otot dan sendi, sakit pada tenggorokan dan adanya pembesaran kelenjar getah bening. Terdapat satu masa transisi virus antigenemia yaitu antigen virus tidak dapat dideteksi di dalam serum darah pengidap sebelum terbentuknya zat anti terhadap virus HIV (Nasronudin, 2007).

(36)

sedang terjadi internalisasi HIV ke intraseluler. Pada tahapan ini penderita HIV biasanya masih dapat beraktivitas secara normal (Nasronudin, 2007).

Tahapan ketiga merupakan infeksi tahapan simtomatis. Keluhan akan lebih spesifik dengan kadar berat ringannya tergantung dari masing-masing penderita. Berat badan biasanya menurun sekitar 10%, sariawan biasanya muncul secara berulang, mungkin juga akan ditemukan peradangan pada sudut mulut, sering ditemukan infeksi bakteri pada saluran nafas bagian atas. Biasanya penderita masih dapat beraktivitas normal meskipun sudah merasa terganggu dengan keadaan tubuhnya. Dalam tahap ini terjadi reaktivasi virus HIV dengan munculnya kembali antigen HIV dan turunnya jumlah limfosit T4. Ada juga yang menyebut sebagai fase AIDS Related Complex yaitu suatu keadaan yang ditandai dengan tanda-tanda konstitusional yang menetap sekurang-kurangnya tiga bulan dan hasil laboratorium minimal satu macam tanpa gejala infeksi oportunisti. Tanda-tanda lain yang ditemui adalah peningkatan suhu badan 38ºC berlangsung terus-menerus, kelelahan sampai

(37)

2.2.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penularan HIV

Menurut Susilowati (2011), faktor-faktor yang mempengaruhi penularan HIV adalah sebagai berikut:

1. Faktor Biologis

a. Tingkat Infeksi orang yang telah terinfeksi HIV. b. Adanya cairan semen dan sekresi genital.

c. Tingginya jumlah virus yang ada dalam darah, apakah penderita ada pada stadium awal infeksi atau stadium lanjut.

d. Adanya perlukaan (exposure to blood) misalnya trauma pada saat kontak seksual, menstruasi pada saat kontak seksual atau bsiul genital.

e. Menyusui bayi pada ibu yang terinfeksi HIV. f. Kerentanan (suspectibility) dari resipien.

g. Adanya gangguan pada wilayah genital atau mucosa rektal (area dubur). h. Laki-laki yang tidak bersunat (lack of circumcision in heterosexual men). i. Melakukan hubungan seksual pada saat menstruasi akan meningkatkan

risiko pada perempuan karena adanya perlukaan pada endometrium yang memungkinkan menjadi pintu masuk virus HIV.

j. Adanya infeksi menular (IMS). k. Resistensi virus terhadap antivirus. l. Kapasitas virus.

2. Faktor Sosioekonomi

(38)

dari rumah. Penyebaran HIV mengikuti pola perdagangan dan perniagaan. Laki-laki melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial, tertular HIV dan membawanya ke rumah, menularkan kepada istri yang pada akhirnya dapat menularkan kepada janin yang dikandung atau bayi pada saat menyusui.

b. Stigma dan penolakan. Pemikiran negatif mengenai HIV sudah menjadi norma. Banyak orang yang berpendapat kurang tepat HIV adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan beronset lambat, menyebabkan kondisi sakit dan berakibat kematian. Kebanyakan orang tidak mengetahui bagaimana HIV bisa ditularkan secara tidak rasional takut tertular dari orang terinfeksi HIV. Penularan HIV sering dihubungkan dengan pelanggaran moral yang berkaitan dengan perilaku seksual, sehingga orang yang terindeksi HIV dicap telah melakukan hal yang buruk.

c. Masa perang. AIDS ditularkan melalui wilayah yang penuh dengan konflik misalnya perang. Anggota militer melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial. Mereka melakukan perkosaan sebagai cara untuk mempermalukan dan mengontrol penduduk sipil atau untuk melemahkan musuh melalui perusakan ikatan keluarga atau masyarakat.

3. Faktor Budaya

(39)

medis konvesional. Budaya memperlihatkan perilaku-perilaku gender, agama, kelompok etnis, bahasa, masyarakat, dan kelompok umur.

b. Gender. Peran gender mempunyai pengaruh yang kuat dalam penularan HIV. Di banyak budaya, laki-laki justru diharapkan menjalin banyak hubungan seksual. Tekanan sosial dalam masyarakat menyebabkan laki-laki melakukan hal tersebut. Hal ini meningkatkan risiko laki-laki-laki-laki terkena infeksi HIV. Karena perempuan seringkali mengalami ketidaksetaraan ekonomi sehingga mereka menjadi pekerja seks sebagai upaya untuk dapat bertahan hidup. Hal ini menyebabkan mereka mudah terpapar risiko ketika mereka mencoba menegosiasikan seks yang aman.

c. Penggunaan obat-obatan terlarang dan konsumsi alkohol. Penggunaan obat-obatan terlarang dengan cara menyuntikkan berbagai jarum suntik dan peralatan injeksi akan meningkatkan risiko penularan HIV.

2.2.5 Pencegahan HIV

Pencegahan agar tidak terinfeksi HIV adalah sebagai berikut (UNAIDS, 2000):

1. Pencegahan melalui hubungan seksual:

a. Tidak melakukan hubungan seks pra nikah; b. Tidak berganti-ganti pasangan; dan

c. Apabila salah satu pihak sudah terinfeksi HIV, gunakanlah kondom. 2. Pencegahan melalui darah:

a. Transfusi darah dengan yang tidak terinfeksi;

(40)

c. Hindari pengguna narkoba;

d. Tidak menggunakan alat suntik, alat, tindik, alat tato, pisau cukur dan sikat gigi berdarah dengan orang lain; dan

e. Steril peralatan medis yang berhubungan dengan cairan manusia 3. Pencegahan penularan ibu kepada anak:

a. Ibu yang telah terinfeksi HIV agar mempertimbangkan kehamilannya; dan b. Tidak menyusui bayinya

4. Pencegahan melalui pendidikan gaya hidup:

a. Perlu komunikasi, edukasi, informasi, dan penyuluhan kepada masyarakat, dan

b. Hindari gaya hidup yang mencari kesenangan sesaat.

2.3 Voluntary Counseling and Testing (VCT)

2.3.1 Pengertian Voluntary Counseling and Testing (VCT)

Voluntary Counseling and Testing (VCT), dalam bahasa indonesia disebut konseling dan tes sukarela, artinya sama dengan VCCT (voluntary counseling and confidential counseling and testing). VCT merupaka kegiatan konseling bersifat sukarela dan rahasia, yang dilakukan sebelum dan sesudah tes darah untuk HIV di laboratorium. Tes HIV dilakukan setelah klien terlebih dahulu memahami dan menandatangani informed consent yaitu surat persetujuan setelah mendapatkan penjelasan yang lengkap dan benar (Depkes, 2003)

(41)

dilakukan melalui proses VCT. Proses ini diperlukan karena tes HIV memerlukan jaminan kerahasiaan bagi orang yang diperiksa. Selain itu, pemeriksaan harus dilakukan secara etis dan sukarela atau paksaan dari pihak manapun (Meilani, 2013).

2.3.2 Tujuan Voluntary Counseling and Testing (VCT)

VCT sangat penting dilakukan karena VCT merupakan pintu masuk ke layanan HIV/AIDS, menawarkan keuntungan baik bagi yang hasilnya positif maupun negatif dengan fokus memberikan dukungan atas kebutuhan klien seperti perubahan perilaku, dukungan mental, dukungan terapi ARV, pemahaman faktual dan terkini tentang HIV, mengurang stigma masyarakat, merupakan pendekatan menyeluruh baik fisik maupun mental dan memudahkan akses ke berbagai pelayanan yang dibutuhkan klien baik kesehatan maupun psikososial (Depkes, 2003).

(42)

2.3.3 Prinsip Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT)

VCT merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV/AIDS berkelanjutan yang berdasarkan prinsip :

a. Sukarela dalam melaksanakan testing HIV

Pemeriksaan HIV hanya dilaksanakan atas dasar kerelaan klien tanpa paksaan dan tanpa tekanan. Keputusan untuk melakukan pemeriksaan terletak ditangan klien. Testing dalam VCT bersifat sukarela sehingga tidak direkomendasikan untuk testing wajib pada pasangan yang akan menikah, pekerja seksual, Injecting Drug User (IDU), rekrutmen pegawai/tenaga kerja Indonesia dan asuransi kesehatan.

b. Saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas

Layanan harus bersifat profesional, menghargai hak dan martabat semua klien, konselor dan petugas kesehatan, tidak diperkenankan didiskusikan diluar konteks kunjungan klien. Semua informasi tertulis harus disimpan dalam tempat yang tidak dapat dijangkau oleh mereka yang tidak berhak. Untuk penanganan kasus klien selanjutnya dengan seijin klien maka informasi kasus dari diri klien dapat diketahui.

c. Mempertahankan hubungan relasi konselor dan klien yang efektif

(43)

d. Testing merupakan salah satu komponen dari VCT

WHO dan Depkes RI telah memberikan pedoman yang dapat digunakan untuk melakukan testing HIV. Penerimaan hasil testing senantiasa diikuti oleh konseling pasca testing oleh konselor yang sama atau konselor lain yang disetujui oleh klien.

2.3.4 Model Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) Adapun model layanan VCT terdiri dari :

1. Mobile VCT (Penjangkauan dan Keliling)

Layanan Konseling dan Testing HIV/AIDS Sukarela model penjangkauan dan keliling (mobile VCT) dapat dilaksanakan oleh LSM atau layanan kesehatan yang langsung mengunjungi sasaran kelompok masyarakat yang memiliki perilaku berisiko atau berisiko tertular HIV/AIDS di wilayah tertentu. Layanan ini diawali dengan survei atau penelitian atas kelompok masyarakat di wilayah tersebut dan survei tentang layanan kesehatan dan layanan dukungan lainnya di daerah setempat.

2. Statis VCT (Klinik VCT Tetap)

(44)

Sasaran dari pelayanan VCT adalah masyarakat yang membutuhkan pemahaman diri akan status HIV agar dapat mencegah dirinya dari penularan infeksi penyakit yang lain dan penularan kepada orang lain. Masyarakat yang datang ke pelayanan VCT disebut dengan klien. Sebutan klien dan bukan pasien merupakan salah satu pemberdayaan bagi klien agar berperan aktif dalam proses konseling. Tanggung jawab klien dalam konseling adalah bersama mendiskusikan hal-hal yang terkait dengan informasi akurat dan lengkap tentang HIV/AIDS, perilaku berisiko, testing HIV dan pertimbangan yang terkait dengan hasil negatif atau positif (Meilani, 2013).

2.4 Homoseksual

Istilah homo diambil dari bahasa Yunani yang artinya sama. Istilah ini pertama kali diperkenalkan di Eropa menjelang akhir abad 19. Untuk lebih tepatnya, jika penderita homoseksual tersebut laki-laki, sebutannya gay. Jika penderita homoseksual tersebut seorang perempuan, sebutannya lesbian.

Faktor penyebab paling kuat timbulnya kelainan ini adalah faktor keturunan. Homoseksual sebenarnya bukan tergolong penyakit pada umumnya, melainkan lebih cenderung kepada pilihan identitas seseorang. Karenanya, cara apa pun yang digunakan untuk penyembuhannya, tidak selamanya akan berhasil (Dianawati, 2006)

Ekspresi homoseksual ada tiga, yaitu: a. Aktif, bertindak sebagai pria yang agresif.

(45)

c. Bergantian peranan, kadang memerankan fungsi wanita, kadang-kadang jadi laki-laki.

Banyak teori yang menjelaskan sebab-sebab homoseksual antara lain: 1. Faktor herediter berupa ketidakseimbangan hormon-hormon seks.

2. Pengaruh lingkungan yang tidak baik atau tidak menguntungkan bagi perkembangan kematangan seksual normal.

3. Seseorang selalu mencari kepuasan relasi homoseks, karena ia pernah menghayati pengalaman homoseksual yang menggairahkan pada masa remaja. 4. Seorang anak laki-laki pernah mengalami traumatis dengan ibunya sehingga

timbul kebencian atau atipati terhadap ibunya dan semua wanita. Lalu muncul dorongan homoseks yang jadi menetap (Fitriyah, 2014)

2.4.1 LSL

(46)

berhubungan seks dengan laki-laki demi uang atau kesenangan. LSL termasuk juga berbagai kategori dari laki-laki yang dapat dibedakan menurut pengaruh dari variabel seperti:

1) Identitas seksual mereka, tanpa memandang perilaku seksual (gay, homoseksual, heteroseksual, biseksual, dan transgender, atau persamaannya, dan identitas lain)

2) Penerimaan dan keterbukaan mereka akan identitas seksual mereka yang bukan mainstream (terbuka atau tertutup)

3) Partner seksual mereka (laki-laki, perempuan, dan/atau transgender)

4) Alasan mereka memilih pasangan seksual tersebut (alami, pemaksaan atau tekanan, motivasi komersial, kesenangan atau rekreasi, dan/atau karena keberadaan di lingkungan yang semuanya laki-laki)

5) Peran mereka dalam praktik khusus (penetratif, reseptif, atau keduanya)

6) Identitas terkait gender mereka, peranan dan perilaku (laki-laki atau perempuan, maskulin atau feminin/effeminate, bersebrangan pakaian (cross-dressing) atau berpakaian sesuai gender).

(47)

laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki-laki-laki, karena ia menunjukkan kelompok yang lebih luas dari sejumlah individu yang berhubungan seks dengan pasangan lain dari kelamin yang sama. Khususnya, ia tidak mempunyai batasan pada umur yang ditunjukkan dengan kata ”laki-laki”, dan karenanya termasuk juga anak-anak lelaki yang saling berhubungan seks dan juga hubungan seks antara laki-laki dewasa dengan anak lelaki (Demartoto, 2010)

LSL dapat termasuk yang berikut ini:

1) Laki-laki yang secara eksklusif berhubungan seks dengan laki-laki lain. 2) Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki lain tapi sebagian besarnya

berhubungan seks dengan perempuan.

3) Laki-laki yang berhubungan seks baik dengan laki-laki maupun perempuan tanpa ada perbedaan kesenangan.

4) Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki lain untuk uang atau karena mereka tidak mempunyai akses untuk seks dengan perempuan, misalnya di penjara, ketentaraan.

Beberapa laki-laki yang mengidentifikasi diri sebagai heteroseksual atau biseksual kadang-kadang berhubungan seks dengan laki-laki untuk kesenangan, biasanya karena sulit mengakses perempuan. Sebagian laki-laki dapat berhubungan seks terutama dengan LSL transgender tanpa mengidentifikasi diri sebagai gay atau homoseksual, terutama karena LSL transgender tidak dianggap sebagai laki-laki dalam kontek budaya mereka.

(48)

bisa disebabkan karena masyarakat yang konservatif yang dengan ketat membatasi segregasi antara laki-laki dan perempuan, atau berada pada lingkungan yang seluruhnya laki-laki dalam waktu yang lama, seperti di penjara, lingkungan militer, lingkungan buruh migran laki, dan institusi pendidikan khusus laki-laki. Karena sulit mengakses perempuan, laki-laki harus menyalurkan kebutuhan seksual mereka dengan laki-laki lain, tanpa membuat mereka mengidentifikasi diri sebagai gay atau homoseksual.

Banyak pekerja seks laki-laki di Asia sering mengidentifikasi diri mereka sebagai heteroseksual dan berhubungan seks dengan laki-laki terutama untuk mendukung mereka serta keluarganya. Mereka seringkali menikah atau mempunyai pacar perempuan atau pasangan seks perempuan. Namun ada juga sejumlah pekerja seks laki-laki yang benar mengindentifikasi diri sebagai gay atau homoseksual dan berhubungan seks hanya dengan laki-laki.

(49)

2.5 Landasan Teori

Persepsi terhadap kerentanan dan keparahan penyakit, pertimbangan manfaat dan biaya melakukan tindakan kesehatan serta isyarat untuk bertindak dipengaruhi oleh:

a. Variabel demografi yaitu, usia, jenis kelamin, pekerjaan, latar belakang budaya.

b. Variabel sosio-psikologis yaitu kepribadian, kelas sosial, tekanan sosial. c. Variabel struktural yaitu pengetahuan dan pengalaman masalah.

Health Belief Model (HBM) mencakup 4 komponen utama (Fieldtheory, Lewin, 1954; Becker, 1974), yaitu:

1. Percieved Susceptibility (Kerentanan yang dirasakan)

Merupakan persepsi individu tentang kemungkinannya terkena suatu penyakit. Mereka yang merasa dapat terkena penyakit tersebut akan lebih cepat merasa terancam. Seseorang akan bertindak untuk mencegah penyakit bila ia merasa bahwa sangat mungkin terkena penyakit tersebut. Kerentanan yang dirasakan setiap individu berbeda tergantung persepsi tentang risiko yang dihadapi individu pada suatu keadaan tertentu.

(50)

3. Percieved Benefit and Barriers (Persepsi manfaat dan hambatan-hambatan yang dirasakan)

Individu akan mempertimbangkan apakah alternatif itu memang bermanfaat dapat mengurangi ancaman penyakit, persepsi ini juga berhubungan dengan ketersediaan sumber daya sehingga tindakan ini mungkin dilaksanakan. Persepsi ini dipengaruhi oleh norma dan tekanan dari kelompoknya. Sementara persepsi rintangan (barriers) adalah persepsi terhadap biaya/aspek negatif yang menghalangi individu untuk melakukan tindakan kesehatan, misalnya mahal, bahaya, pengalaman tidak menyenangkan, rasa sakit.

4. Cues to Action (Isyarat untuk bertindak)

Ada faktor pencetus untuk memutuskan menerima atau menolak alternatif tindakan tersebut, isyarat dapat bersifat:

a). Internal, isyarat untuk bertindak yang berasal dari dalam diri individu, misal gejala yang dirasakan.

b). Eksternal, isyarat untuk bertindak yang berasal dari interaksi interpersonal, misal media massa, pesan, nasehat, anjuran, atau konsultasi dengan petugas kesehatan.

5. Kemampuan bertindak.

Kemampuan bertindak adalah kecendrungan untuk bertindak atau praktik. Untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain antara lain adanya fasilitas atau sarana dan prasarana.

(51)

adalah model kognitif yang menjelaskan dan memprediksi health behavior apa yang akan dilakukan dengan fokus pada belief individu akan percieved seriousness, percieved suspectibility, precieved benefits and barriers, dan cues to action.

Gambar 2.3 Health Belief Model Variabel demografis (umur, jenis kelamin, dll.) Variabel sosial psikologi (peer, reference group, kepribadian, pengalaman sebelumnya)

Variabel struktur (kelas sosial, akses ke pelayanan kesehatan, dll.)

Kecenderungan yang dilihat (precevied) mengenai gejala penyakit. Syaratnya yang dilihat mengenai gejala dan penyakit.

Ancaman yang dilihat mengenai gejala penyakit

Manfaat yang dilihat dari pengambilan

tindakan dikurangi biaya (rintangan) yang dilihat dari pengambilan tindakan

Pendorong (cues) untuk bertindak(kampanye media massa, peringatan dari dokter, tulisan, dll.)

(52)

2.6 Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teori diatas, maka kerangka konsep penelitian ini adalah:

(53)
(54)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian survei yang bersifat deskriptif analitik.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan. Adapun alasan memilih lokasi penelitian ini karena klinik IMS dan VCT Veteran merupakan satu dari pemberi layanan khusus tes sukarela HIV di kota Medan yang langsung berada dibawah naungan Dinas Kesehatan Provinsi Kota Medan. Klinik VCT dan IMS Veteran ini juga mempunyai lokasi strategis dimana penulis melihat bahwa kelompok risiko tinggi HIV/AIDS akan cenderung memilih klinik yang khusus memberikan pelayanan VCT tersebut dibandingkan dengan pergi ke rumah sakit atau tempat pemeriksaan lainnya karena lokasi Klinik IMS dan VCT Veteran tesebut agak jauh dari keramaian dan tidak menarik perhatian.

3.2.1 Waktu Penelitian

(55)

3.3 Populasi Dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kelompok LSL yang menggunakan layanan VCT di Klinik IMS Dan VCT Veteran Medan pada tahun 2014 sebanyak 265 orang LSL.

3.2.2 Sampel

Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Accidental Sampling. Pengambilan sampel secara aksidental (accidental) ini dilakukan dengan mengambil responden sesuai dengan jumlah sampel yang sudah ditentukan yang kebetulan ada atau tersedia di suatu tempat sesuai dengan konteks penelitian (Soekidjo Notoadmodjo, 2002).

Besar sampel yang akan diambil berdasarkan jumlah populasi LSL tahun 2014 sebanyak 265 orang LSL dengan menggunakan rumus (Lemeshow, 1997):

n =

n = 1,962 0,5 (1-0,5) 265 0,12 (265-1) +1,962 = 254,506

(56)

Keterangan: n : besar sampel

N : besar populasi kunjungan selama tahun 2014 (265) Z : standar deviasi normal (1,96 dengan Cl 95%) P : target populasi (0,5)

d : derajat ketepatan yang digunakan (=10%) α : tingkat kepercayaan (1%)

3.4 Metode Pengumpulan Data

3.4.1 Data Primer

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuisioner melalui wawancara yang berisi pertanyaan dan jawaban yang sudah disediakan di lembaran kuisioner.

3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder diperoleh meliputi data kunjungan kelompok LSL yang berkunjung ke Klinik IMS Dan VCT Veteran Medan yang didapat dari petugas layanan Klinik IMS Dan VCT Veteran Medan tersebut.

3.5 Definisi Operasional

Variabel Defenisi Skala Hasil

Umur Jumlah tahun yang dihitung mulai lahir sampai ulang tahun terakhir responden

(57)

Pendidikan Jenis pendidikan formal yang yang didapatkan dari bekerja.

Ordinal Dalam satuan Status

perkawinan

Status/keadaan responden dimana lengkap atau tidaknya pasangan hidup yang terikat perkawinan setelah menjadi lanjut usia atau tidak pernah menikah selama hidupnya. infeksi HIV di masa mendatang.

Ordinal Dalam satuan %

Persepsi Keseriusan

Keyakinan responden tentang beratnya kerugian atau ancaman yang di alami terhadap infeksi HIV. perilaku seksual yang aman, pelayanan kesehatan yang dipilih apakah memang bermanfaat dan dapat mengurangi ancaman tindakan perilaku seksual aman dan melakukan tindak kesehatan

(58)

di klinik VCT dan IMS Veteran, misalnya mahal, bahaya,

pengalaman tidak menyenangkan, atau rasa sakit sehubungan

dengan penyakit infeksi HIV. Isyarat

Untuk Bertindak

Faktor pendorong kalangan LSL untuk memutuskan menerima atau menolak alternatif tindakan Kuisioner pelayanan VCT di klinik VCT dan IMS Veteran (dalam diri individu itu sendiri, konsultasi dengan petugas

Aspek pengukuran dalam penelitian ini didasarkan ada jawaban responden terhadap pertanyaan dari kuisioner yang disesuaikan dengan nilai. Nilai yang tertinggi dikumpulkan, dikategorikan menjadi 2 (dua) tingkat (Arikunto, 1998) yaitu :

(59)

Data yang telah terkumpul melalui kuisioner, kemudian diolah kedalam bentuk kuantitatif, yaitu dengan cara menetapkan skor dari pertanyaan yang telah dijawab oleh responden, dimana pemberian skor tersebut didasarkan pada ketentuan Sugiyono (2008: 108).

Tabel 3.1 Penilaian Skala Likert (Sumber: Sugiyono, 2008) Alternatif Bobot

SS (Sangat Setuju) 3

S (Setuju) 2

TS (Tidak Setuju) 1

STS (Sangat Tidak Setuju) 0

Untuk kelompok pertanyaan faktor persepsi hambatan berlaku ketentuan bobot skor kebalikan dari bentuk skor pada tabel diatas seperti berikut:

Tabel 3.2 Penilaian Skala Likert (Sumber: Sugiyono, 2008) Alternatif Bobot

SS (Sangat Setuju) 0

S (Setuju) 1

TS (Tidak Setuju) 2

STS (Sangat Tidak Setuju) 3 a. Persepsi Kerentanan

Persepsi kerentanan terdiri dari 5 pertanyaan yang diukur dengan menggunakan skala Likert (Sugiyono, 2008). Dari seluruh pertanyaan didapatkan total nilai sebesar 15. Berdasarkan Arikunto (2007), persepsi kerentanan diklasifikasikan dalam 3 kategori yaitu:

1. Persepsi kerentanan kuat, apabila nilai yang diperoleh >60% dari nilai tertinggi seluruh pertanyaan.

(60)

b. Persepsi Keseriusan

Persepsi keseriusan terdiri dari 6 pertanyaan yang diukur dengan menggunakan skala Likert (Sugiyono, 2008). Dari seluruh pertanyaan didapatkan total nilai sebesar 18. Berdasarkan Arikunto (2007), persepsi keseriusan diklasifikasikan dalam 3 kategori yaitu:

1. Persepsi kerentanan kuat, apabila nilai yang diperoleh >60% dari nilai tertinggi seluruh pertanyaan.

2. Persepsi kerentanan lemah, apabila nilai yang diperoleh <60% dari nilai tertinggi seluruh pertanyaan.

c. Persepsi Manfaat

Persepsi manfaat terdiri dari 5 pertanyaan dimana keseluruhan pertanyaan diukur dengan menggunakan skala Likert (Sugiyono, 2008). Dari seluruh pertanyaan didapatkan total nilai sebesar 15. Berdasarkan Arikunto (2007), persepsi manfaat yang dirasakan diklasifikasikan dalam 3 kategori yaitu:

1. Persepsi kerentanan kuat, apabila nilai yang diperoleh >60% dari nilai tertinggi seluruh pertanyaan.

(61)

d. Persepsi Hambatan

Persepsi hambatan terdiri dari 10 pertanyaan yang diukur dengan menggunakan skala Likert (Sugiyono, 2008). Dari seluruh pertanyaan didapatkan total nilai sebesar 30. Berdasarkan Arikunto (2007), persepsi hambatan diklasifikasikan dalam 3 kategori yaitu:

1. Persepsi kerentanan kuat, apabila nilai yang diperoleh >60% dari nilai tertinggi seluruh pertanyaan.

2. Persepsi kerentanan lemah, apabila nilai yang diperoleh <60% dari nilai tertinggi seluruh pertanyaan.

e. Isyarat Untuk Bertindak

Isyarat untuk bertindak terdiri dari 4 pertanyaan yang diukur dengan menggunakan skala Likert (Sugiyono, 2008). Dari seluruh pertanyaan didapatkan total nilai sebesar 12. Berdasarkan Arikunto (2007), isyarat untuk bertindak diklasifikasikan dalam 3 kategori yaitu :

1. Persepsi kerentanan kuat, apabila nilai yang diperoleh >60% dari nilai tertinggi seluruh pertanyaan.

(62)

f. Kemampuan Bertindak

Untuk mengetahui aspek manfaat terhadap pencegahan HIV responden digunakan 9 pertanyaan. Untuk setiap pertanyaan, jika responden menjawan “Ya” diberi skor 1, jika menjawab “Tidak” diberi skor 0. Sehingga skor tertinggi yang

dapat dicapai responden adalah 9 dan yang terendah adalah 0.

3.6 Analisis Data

(63)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Klinik IMS dan VCT Veteran Medan didirikan pada tahun 2008, terletak di Jalan Veteran No. 146/94 A Sambu, Kecamatan Medan Timur Kota Medan Sumatera Utara. Klinik IMS dan VCT Veteran Medan merupakan satu-satunya klinik dibawah naungan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara yang khusus memberikan layanan kepada pasien dengan keluhan infeksi menular seksual, serta konseling dan tes HIV sukarela bagi orang yang memiliki risiko terinfeksi HIV/AIDS. Klinik yang berada dibawah pengawasan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara ini juga aktif mengunjungi tempat-tempat yang berpotensi sebagai tempat penularan IMS seperti tempat-tempat pelacuran dimana pencarian pasien dibantu oleh LSM.

Klinik IMS dan VCT Veteran Medan memiliki 6 petugas yang terdiri dari 1 orang dokter, 1 orang bidan, 1 orang perawat, 1 orang petugas administrasi, 1 orang petugas laboratorium dan 1 orang konselor (psikolog). Adapun alur pelayanan di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan adalah sebagai berikut:

(64)

b. Ruang konsultasi dan pemeriksaan, dengan kegiatan melengkapi formulir pemeriksaan, pemeriksaan fisik oleh dokter, dan pengambilan spesimen oleh perawat atau bidan. Laboratorium, dengan kegiatan pengambilan darah, pemeriksaan laboratorium basah, pengecatan gram/methylen blue, RPR, dan TPHA hingga penyerahan hasil laboratorium kepada dokter oleh tenaga analis. d. Ruang konsultasi dan pengobatan, dengan kegiatan penyampaian hasil

pemeriksaan laboratorium, dan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) oleh dokter.

e. Ruang konseling, dengan kegiatan konseling dan edukasi tentang HIV dan tes dengan 4C (Counseling, Consent, Confidential, and Condom), pemberian brosur KIE, dan perjanjian kunjungan yang akan datang oleh konselor.

4.2 Karakteristik Responden

Dalam penelitian ini yang menjadi responden adalah lelaki seks lelaki yang datang berkunjung untuk berkonsultasi di klinik IMS dan VCT Veteran Medan baik secara rutin (melakukan check-up dengan cara datang secara berkala setiap 3 bulan sekali) maupun tidak rutin (datang untuk pertama kali/kunjungan atau juga mereka yang berkunjung berkala tetapi lewat dari 3 bulan sekali).

(65)

Tabel 4.1 Distribusi Karakteristik Responden

No. Karakteristik Jumlah Presentase (%)

1. Umur

2. Status Pendidikan 1. SD/Sederajat

3. Sumber Pendapatan 1. Karyawan tetap 2. Pekerja Bebas 3. Bekerja di Salon 4. Panti Pijat

5. Uang Saku Pelajar 6. Menjual Seks

(66)

Dapat terlihat juga bahwa sebagian besar responden memiliki sumber pendapatan responden yang berasal dari gaji karyawan yaitu sebanyak 28 orang (71,8%), sebagian besar responden belum menikah sebanyak 35 orang (89,7%).

4.3 Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi dari, persepsi kerentanan yang dirasakan, persepsi keseriusan yang dirasakan, persepsi manfaat yang dirasakan, persepsi hambatan yang dirasakan, isyarat untuk bertindak, dan kemungkinan bertindak.

4.3.1 Persepsi Kerentanan

Peneliti ingin mengetahui pandangan kelompok lelaki seks lelaki risiko yang berkunjung ke Klinik IMS Dan VCT Veteran Medan terhadap kemungkinan dirinya untuk terkena infeksi HIV/AIDS di masa mendatang.

(67)

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Persepsi Kerentanan Terhadap Kejadian HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan

No. Pertanyaan dan Jawaban Responden Jumlah Persen (%) 1. Saya berisiko tertular penyakit HIV

2. Pekerjaan saya membuat saya berisiko tertular penyakit HIV membuat saya berisiko tertular penyakit HIV membuat saya berisiko tertular penyakit HIV

(68)

setuju yaitu 14 orang responden (35,9%), paling sedikit dengan 6 orang responden (15,4%) yang menyatakan tidak setuju.

Responden yang menyatakan bahwa pekerjaan membuatnya berisiko terkena HIV/AIDS, dengan jumlah responden yang menyatakan tidak setuju sebanyak 17 orang responden (43,6%), paling sedikit dengan jumlah 2 orang responden (5,1%) yang menyatakan sangat setuju.

Responden yang menyatakan bahwa perilaku membuatnya berisiko terkena HIV/AIDS dengan jumlah responden yang menyatakan setuju sebanyak 25 orang (64,1%), paling sedikit dengan jumlah 3 orang (7,7%) yang menyatakan sangat tidak setuju.

Responden yang menyatakan bahwa perilaku orang lain di sekitarnya yang membuat saya berisiko terkena HIV/AIDS dimana sebagian besar responden menyatakan tidak setuju yaitu sebanyak 20 orang (51,3%), dan paling sedikit dengan jumlah 4 orang (10,3%) yang menyatakan sangat setuju.

(69)

4.3.2 Kategori Persepsi Kerentanan

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Kategori Persepsi Kerentanan Terhadap Kejadian HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan

No. Persepsi Kerentanan Jumlah Persen (%)

1. yang memiliki persepsi kerentanan kuat, 10 orang (25,6%) yang memiliki persepsi kerentanan lemah.

4.3.3 Persepsi Keseriusan

Peneliti ingin mengetahui pandangan kelompok lelaki seks lelaki yang berkunjung ke Klinik IMS Dan VCT Veteran Medan tentang beratnya penyakit yang akan diderita yaitu infeksi HIV/AIDS.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat dilihat persepsi keseriusan yang dirasakan terhadap kejadian HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan seperti pada tabel berikut:

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Persepsi Keseriusan Terhadap Kejadian HIV di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan

No. Pertanyaan dan Jawaban Responden Jumlah Persen (%) 1. HIV adalah penyakit yang mematikan saya tidak akan sembuh

(70)

Tidak Setuju jika terkena penyakit HIV

Sangat Setuju

4. Saya akan dijauhi atau dikucilkan dari keluarga dan teman-teman jika terkena HIV

5. Kondisi saya akan menjadi buruk jika saya tidak berhenti melakukan hubungan seks tidak aman

Sangat Setuju

Berdasarkan tabel 4.4 dapat diketahui bahwa responden yang menyatakan HIV/AIDS adalah penyakit yang berbahaya sebagian besar responden menyatakan setuju yaitu sebanyak 19 orang (48,7%), dan paling sedikit dengan jumlah 3 orang responden (7,7%) yang menyatakan sangat tidak setuju.

Gambar

Gambar 2.1 Bagan Precede Lawrence W. Greean
Gambar 2.2 Pola Penularan HIV di Asia
Gambar 2.3 Health Belief Model
Gambar 2.4 Kerangka Konsep
+7

Referensi

Dokumen terkait

persepsi keseriusan penyakit terhadap perilaku pencegahan faktor risiko SM p = 0.003, ada pengaruh antara persepsi manfaat individu terhadap perilaku pencegahan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan hubungan antara persepsi orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tentang voluntary counseling and testing dengan perilaku pencegahan

2.Jika P value ≥ α (0,05) maka Ha ditolak, jadi tidak ada hubungan pengetahuan, Persepsi Kerentanan, Isyarat untuk bertindak, Persepsi Manfaat dan Persepsi

Judul Penelitian : Pengetahuan dan sikap kelompok resiko Lelaki Seks Lelaki (LSL) dalam pencegahan penularan HIV/AIDS. Nama :

Tabulasi Silang Hubungan Karakteristik dan Sumber Informasi Terhadap Pemanfaatan Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) ... Tabulasi Silang Hubungan Persepsi Kerentanan

Persepsi keseriusan yang dirasakan terhadap Osteoporosis Persepsi ancaman penyakit Osteoporosis Persepsi manfaat pencegahan Osteoporosis yang dirasakan Perilaku

mengetahui hubungan antara persepsi kerentanan, keseriusan, hambatan dan manfaat dalam pemeliharaan gigi, faktor pencetus dan pengetahuan terhadap kejadian karies gigi pada

Hubungan Persepsi Kerentanan dengan Perilaku Pencegahan Penyakit Jantung Koroner PJK Setelah dilihat dari hasil penelitian menunjukkan maka responden dengan persepsi keseriusan positif