• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) pada Kelompok Risiko HIV/AIDS di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) pada Kelompok Risiko HIV/AIDS di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan"

Copied!
147
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMANFAATAN LAYANAN

VOLUNTARY COUNSELING AND TESTING (VCT) PADA KELOMPOK RISIKO HIV/AIDS DI KLINIK IMS DAN VCT VETERAN MEDAN

SKRIPSI

OLEH :

RIZKI FAJARIYAH 101000221

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMANFAATAN LAYANAN

VOLUNTARY COUNSELING AND TESTING (VCT) PADA KELOMPOK RISIKO HIV/AIDS DI KLINIK IMS DAN VCT VETERAN MEDAN

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Kesehatan Masyarakat

Oleh :

RIZKI FAJARIYAH NIM. 101000221

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)
(4)

ABSTRAK

Voluntary Counseling and Testing (VCT) merupakan bentuk upaya dalam menanggulangi angka kasus HIV/AIDS yang meningkat, ditujukan kepada kelompok risiko terinfeksi HIV/AIDS dan keluarganya melalui konseling dan melakukan tes HIV secara sukarela. Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan layanan Voluntary Counseling and Testing

(VCT) pada kelompok risiko tinggi HIV/AIDS di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan ditinjau dari teori health belief model.

Jenis penelitian adalah survei analitik dengan desain penelitian cross sectional. Populasi adalah kelompok risiko HIV/AIDS yang datang berkunjung ke Klinik IMS dan VCT Veteran Medan pada tahun 2013 memanfaatkan layanan konseling dan tes HIV sukarela. Jumlah sampel 89 responden melalui accidental sampling. Data didapatkan dengan kuisioner dengan pilihan jawaban yang disediakan dengan analisis univariat, bivariat, dan multivariat.

Berdasarkan hasil didapatkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara persepsi kerentanan (p=0,815), keseriusan (p=0,791), persepsi manfaat (p=0,234) dan isyarat untuk bertindak (p=0,534) dengan pemanfaatan layanan VCT di Klinik IMS Veteran Medan. Sementara itu, ada hubungan bermakna antara persepsi hambatan (p=0,016). Diharapkan kepada petugas klinik IMS dan VCT Veteran Medan agar dapat memberikan informasi kepada orang risiko HIV/AIDS untuk lebih memahami HIV/AIDS agar maksimal dalam memanfaatkan layanan yang diberikan.

(5)

ABSTRACT

Voluntary Counseling and Testing (VCT) is an effort to cope the increases of HIV / AIDS cases, aimed to HIV / AIDS risk groups and their families through counseling and voluntary HIV testing. The purpose of research is to explain the factors that affect the utilization Voluntary Counseling and Testing (VCT) in the high risk group of HIV / AIDS in IMS and VCT Veteran Medan Clinic, based of theory in terms of health belief models.

This type of research is an analytic survey with cross-sectional research design. The population is a group of risk of HIV / AIDS who come to visit the IMS and VCT Veteran Medan Clinic in 2013 utilizing the services of voluntary counseling and HIV testing. Number of samples was 89 respondents taken by accidental sampling. Data obtained by questionnaire with answer choices provided with univariate, bivariate, and multivariate analyzes.

Based on the results obtained that there is no significant relationship between perceived susceptibility (p=0.815), seriousness (p=0.791), perceived benefits (p=0,234) and cues to action (p=0.534) with the utilization of VCT services in IMS and VCT Veteran Medan Clinic. Meanwhile, there is a significant relationship between perceived barriers (p=0.016). Officers are expected to IMS and VCT Veterans Medan Clinic in order to provide information to the risk of HIV / AIDS to better understand HIV / AIDS in order to utilize the maximum in the services provided.

(6)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Nama : Rizki Fajariyah

Tempat/Tanggal Lahir : Malang / 17 Februari 1993

Agama : Islam

Anak ke : 1 dari - Bersaudara

Status Perkawinan : Belum Kawin

Alamat Rumah : Jl. Raya Padang-Bukit Tinggi KM. 58 Simpang Stasiun Kayutanam, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat

Riwayat Pendidikan : 1. Tahun 1996-1998 : TK Sabilillah Malang

2. Tahun 1998-2004 : SD Negeri 50 Pasa Galombang Kayu Tanam

3. Tahun 2004-2007 : SMP Negeri 2 Padang Panjang 4. Tahun 2008-2010 : SMA Negeri 2 Padang Panjang

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadiran Allah SWT karena atas rahmat dan karunia–Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) pada Kelompok Risiko HIV/AIDS di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat.

Dalam penyusunan skripsi ini mulai dari awal hingga akhir penulis banyak memperoleh bimbingan, dukungan, bantuan, saran dan kritik dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar – besarnya kepada :

1. Bapak Dr.Drs.Surya Utama,M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Tukiman, MKM, selaku Ketua Departemen Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara sekaligus dosen penguji II yang telah banyak memberikan kritik, saran dan pengarahan untuk kesempurnaan skripsi ini.

(8)

4. Bapak Drs. Dr. Kintoko. R, MKM, selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu, bimbingan, pengarahan, dan saran untuk kesempurnaan skripsi ini.

5. Ibu Dra. Syarifah MS, selaku Dosen Penguji I yang telah banyak memberikan kritik, saran dan pengarahan untuk kesempurnaan skripsi ini.

6. Ibu Umi Salmah, SKM M.Kes, selaku dosen Penasehat Akademik yang telah memberikan ilmu, bimbingan serta dukungan moral selama perkuliahan.

7. Seluruh Dosen dan Staf di FKM USU, terutama Departemen Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku yang telah memberikan ilmu, bimbingan serta dukungan moral selama perkuliahan.

8. Ibu dr. Yulia Maryani selaku Kepada Koordinator Klinik, ibu Satriani, ibu Purwantari, ibu Afnida Zahara dan ibu Lodiana Ayu S.Psi, M.Psi selaku staf Klinik IMS dan VCT Veteran Medan yang telah membantu penulis dalam melakukan penelitian.

9. Teristimewa untuk ibunda Hj. Hasnelly Hanaz beserta seluruh keluarga yang

selalu memberikan do’a, kasih sayang, semangat, serta dukungan kepada

penulis selama ini.

10. Sahabat-sahabat Jangakers tersayang Fitri Haniffa, Ria Sutiani, Nadia Chalida Nur, Febria Octasari, Sri Novita Amelia, dan Mabruri Pratama yang telah memberikan semangat dan dukungan kepada penulis.

(9)

Mawardi, Rizvya Fildza Amanda dan Elicia Fadhilah yang telah memberikan dukungan kepada penulis.

12. Kakak tersayang Amanda Fulviona S.Ked yang telah memberikan semangat dan dukungan kepada penulis.

13. Teman- teman Departemen PKIP FKM USU, terkhusus kepada teman-teman seperjuangan PKIP angkatan 2009 dan 2010 Siti, Adel, Sarah, Effi, Ike, Wanda, Ros, Only, Mamat, Kak Lidya, Asnija, Kak Cici, Kak Putri, Kak Nila, Bang Ilham, Kak Juli, Bang Dapot, dan Bang Pavlov.

14. Seluruh keluarga besar FKM USU, terkhusus kepada teman-teman seperjuangan angkatan 2010 FKM USU.

15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak

membantu, memberikan semangat, dukungan dan do’a selama ini.

Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat terutama untuk kemajuan ilmu pengetahuan.

Medan, Juli 2014

(10)

DAFTAR ISI

Halaman :

Halaman Persetujuan

Abstrak ... ii

Abstract ... iii

Riwayat Hidup Penulis ... iv

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi ... viii

Daftar Gambar ... xi

Daftar Tabel ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 11

1.3. Tujuan Penelitian ... 11

1.3.1. Tujuan Umum ... 11

1.3.2. Tujuan Khusus ... 12

1.4. Hipotesis Penelitian ... 12

BAB I TINJAUAN PUSTAKA ... 14

2.1. HIV/AIDS ... 14

2.1.1. Cara Penularan ... 16

2.1.2. Perjalanan Infeksi ... 19

2.1.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penularan ... 22

2.1.4. Kelompok Risiko ... 24

2.1.5. Pencegahan ... 25

2.2. Voluntary Counseling and Testing (VCT)... 26

2.2.1. Tujuan ... 26

2.2.2. Prinsip Layanan ... 27

2.2.3. Tahapan Layanan ... 29

2.2.4. Model Layanan... 32

2.2.5. Peran ... 34

2.3. Pelayanan Kesehatan ... 35

2.3.1. Tujuan ... 36

2.3.2. Pemanfaatan Layanan Kesehatan ... 36

2.3.3. Pemanfaatan Layanan VCT ... 40

2.4. Landasan Teori ... 41

(11)

BAB III METODE PENELITIAN ... 47

3.1. Jenis Penelitian ... 47

3.2. Lokasi Penelitian ... 47

3.3. Waktu Penelitian ... 48

3.4. Populasi dan Sampel ... 48

3.4.1. Populasi ... 48

3.4.2. Sampel ... 48

3.5. Metode Pengumpulan Data ... 49

3.5.1. Data Primer ... 49

3.5.2. Data Sekunder... 49

3.6. Instrumen Penelitian... 49

3.7. Aspek Pengukuran ... 50

3.8. Pengukuran Validitas dan Reabilitas ... 53

3.9. Pengolahan dan Analisis Data ... 54

3.10. Definisi Operasional... 55

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 58

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 58

4.2. Karakteristik Responden ... 60

4.3. Analisis Univariat... 62

4.3.1. Sumber Informasi Responden ... 62

4.3.2. Persepsi Kerentanan ... 63

4.3.3. Kategori Persepsi Kerentanan ... 65

4.3.4. Persepsi Keseriusan ... 65

4.3.5. Kategori Persepsi Keseriusan ... 68

4.3.6. Persepsi Manfaat... 68

4.3.7. Kategori Persepsi Manfaat ... 71

4.3.8. Persepsi Hambatan ... 72

4.3.9. Kategori Persepsi Hambatan ... 75

4.3.10. Isyarat Untuk Bertindak... 76

4.3.11. Kategori Isyarat Untuk Bertindak ... 77

4.4. Analisis Bivariat ... 77

4.4.1. Tabulasi Silang Hubungan Karakteristik dan Sumber Informasi Terhadap Pemanfaatan Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) ... 79

4.4.2. Tabulasi Silang Hubungan Persepsi Kerentanan Terhadap Pemanfaatan Layanan Voluntary Counseling And Testing (VCT) ... 81

4.4.3. Tabulasi Silang Hubungan Persepsi Keseriusan Terhadap Pemanfaatan Layanan Voluntary Counseling And Testing (VCT) ... 82

(12)

4.4.5. Tabulasi Silang Hubungan Persepsi Hambatan

Terhadap Pemanfaatan Layanan Voluntary Counseling

And Testing (VCT) ... 84

4.4.6. Tabulasi Silang Hubungan Isyarat Untuk Bertindak Terhadap Pemanfaatan Layanan Voluntary Counseling And Testing (VCT) ... 85

4.5. Analisis Multivariat ... 86

BAB V PEMBAHASAN ... 87

5.1. Karakteristik Responden ... 87

5.1.1. Umur ... 87

5.1.2. Pendidikan ... 88

5.1.3. Jenis Kelamin ... 88

5.1.4. Sumber Pendapatan ... 88

5.1.5. Status Pernikahan ... 89

5.1.6. Kelompok Risiko ... 89

5.2. Sumber Informasi ... 89

5.3. Persepsi Kerentanan ... 90

5.4. Persepsi Keseriusan ... 92

5.5. Persepsi Manfaat ... 94

5.6. Persepsi Hambatan ... 96

5.7. Isyarat Untuk Bertindak ... 97

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 100

6.1. Kesimpulan ... 100

6.2. Saran ... 101

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

Kuisioner Master Data

Output SPSS

Surat Izin Penelitian dari FKM USU

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman :

Gambar 2.1. Pola Penularan HIV di Asia ... 18

Gambar 2.2. Peran VCT Menurut WHO... 34

Gambar 2.3. Alur Pelayanan VCT... 34

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman :

Tabel 2.1. Klasifikasi Klinis HIV Pada Orang Dewasa Menurut WHO ... 19 Tabel 3.1. Penilaian Skala Likert ... 50 Tabel 4.1. Distribusi Karakteristik Responden ... 61 Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Sumber Informasi Responden tentang Klinik

IMS dan Veteran Medan... 62 Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Persepsi Kerentanan Responden yang

Memanfaatkan Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) di Klinik IMS dan Veteran Medan ... 63 Tabel 4.4. Distribusi Kategori Persepsi Kerentanan Responden yang

Memanfaatkan Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT)

di Klinik IMS dan Veteran Medan ... 65 Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Persepsi Keseriusan Responden yang

Memanfaatkan Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) di Klinik IMS dan Veteran Medan ... 66 Tabel 4.6. Distribusi Kategori Persepsi Keseriusan Responden yang

Memanfaatkan Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) di Klinik IMS dan Veteran Medan ... 68 Tabel 4.7. Distribusi Frekuensi Persepsi Manfaat Responden yang

Memanfaatkan Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) di Klinik IMS dan Veteran Medan ... 69 Tabel 4.8. Distribusi Kategori Persepsi Manfaat Responden yang

Memanfaatkan Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT)

di Klinik IMS dan Veteran Medan ... 71 Tabel 4.9. Distribusi Frekuensi Persepsi Hambatan Responden yang

Memanfaatkan Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) di Klinik IMS dan Veteran Medan ... 72 Tabel 4.10. Distribusi Kategori Persepsi Hambatan Responden yang

(15)

Tabel 4.11. Distribusi Frekuensi Isyarat Untuk Bertindak Responden yang Memanfaatkan Layanan Voluntary Counseling and Testing

(VCT) di Klinik IMS dan Veteran Medan ... 76 Tabel 4.12. Distribusi Kategori Isyarat Untuk Bertindak Responden yang

Memanfaatkan Layanan Voluntary Counseling and Testing

(VCT) di Klinik IMS dan Veteran Medan ... 77 Tabel 4.13. Kerutinan Kunjungan Responden ... 78 Tabel 4.14. Tabulasi Silang Hubungan Karakteristik Responden dan Sumber

Informasi Terhadap Pemanfaatan Layanan VCT ... 79 Tabel 4.15. Tabulasi Silang Hubungan Persepsi Kerentanan Terhadap

Pemanfaatan LayananVCT ... 81 Tabel 4.16. Tabulasi Silang Hubungan Persepsi Keseriusan Terhadap

Pemanfaatan LayananVCT ... 82 Tabel 4.17. Tabulasi Silang Hubungan Persepsi Manfaat Terhadap

Pemanfaatan Layanan VCT ... 83 Tabel 4.18. Tabulasi Silang Hubungan Persepsi Hambatan Terhadap

Pemanfaatan Layanan VCT ... 84 Tabel 4.19. Tabulasi Silang Hubungan Faktor Isyarat Untuk Bertindak

(16)
(17)

ABSTRAK

Voluntary Counseling and Testing (VCT) merupakan bentuk upaya dalam menanggulangi angka kasus HIV/AIDS yang meningkat, ditujukan kepada kelompok risiko terinfeksi HIV/AIDS dan keluarganya melalui konseling dan melakukan tes HIV secara sukarela. Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan layanan Voluntary Counseling and Testing

(VCT) pada kelompok risiko tinggi HIV/AIDS di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan ditinjau dari teori health belief model.

Jenis penelitian adalah survei analitik dengan desain penelitian cross sectional. Populasi adalah kelompok risiko HIV/AIDS yang datang berkunjung ke Klinik IMS dan VCT Veteran Medan pada tahun 2013 memanfaatkan layanan konseling dan tes HIV sukarela. Jumlah sampel 89 responden melalui accidental sampling. Data didapatkan dengan kuisioner dengan pilihan jawaban yang disediakan dengan analisis univariat, bivariat, dan multivariat.

Berdasarkan hasil didapatkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara persepsi kerentanan (p=0,815), keseriusan (p=0,791), persepsi manfaat (p=0,234) dan isyarat untuk bertindak (p=0,534) dengan pemanfaatan layanan VCT di Klinik IMS Veteran Medan. Sementara itu, ada hubungan bermakna antara persepsi hambatan (p=0,016). Diharapkan kepada petugas klinik IMS dan VCT Veteran Medan agar dapat memberikan informasi kepada orang risiko HIV/AIDS untuk lebih memahami HIV/AIDS agar maksimal dalam memanfaatkan layanan yang diberikan.

(18)

ABSTRACT

Voluntary Counseling and Testing (VCT) is an effort to cope the increases of HIV / AIDS cases, aimed to HIV / AIDS risk groups and their families through counseling and voluntary HIV testing. The purpose of research is to explain the factors that affect the utilization Voluntary Counseling and Testing (VCT) in the high risk group of HIV / AIDS in IMS and VCT Veteran Medan Clinic, based of theory in terms of health belief models.

This type of research is an analytic survey with cross-sectional research design. The population is a group of risk of HIV / AIDS who come to visit the IMS and VCT Veteran Medan Clinic in 2013 utilizing the services of voluntary counseling and HIV testing. Number of samples was 89 respondents taken by accidental sampling. Data obtained by questionnaire with answer choices provided with univariate, bivariate, and multivariate analyzes.

Based on the results obtained that there is no significant relationship between perceived susceptibility (p=0.815), seriousness (p=0.791), perceived benefits (p=0,234) and cues to action (p=0.534) with the utilization of VCT services in IMS and VCT Veteran Medan Clinic. Meanwhile, there is a significant relationship between perceived barriers (p=0.016). Officers are expected to IMS and VCT Veterans Medan Clinic in order to provide information to the risk of HIV / AIDS to better understand HIV / AIDS in order to utilize the maximum in the services provided.

(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome

(HIV/AIDS) merupakan salah satu penyakit yang hingga saat ini masih menjadi penyakit yang epidemi. Penyebaran infeksi HIV terus berlangsung, dan merampas kekayaan setiap negara karena sumber daya manusia produktifnya menderita. Pada beberapa kawasan, ledakan HIV bersamaan dengan multikrisis lainnya sehingga menambah keterpurukan kawasan tersebut.

United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) pada tahun 2013 melaporkan bahwa secara global hingga tahun 2012 tercatat sekitar 35,3 juta orang di dunia menderita HIV, yang terdiri dari 32,1 juta kasus orang dewasa, 17,7 juta wanita, dan sebanyak 3,3 juta kasus kelompok anak-anak yang berusia <15 tahun. Sementara itu untuk kasus yang hanya terjadi pada tahun 2012 saja, terdapat sekitar 2,3 juta orang yang terdiri dari 2,0 juta kasus orang dewasa, dan 260.000 kasus kelompok anak-anak berusia <15 tahun. Data UNAIDS tersebut juga menunjukkan bahwa tercatat kejadian kematian akibat AIDS sebanyak 1,6 juta orang yang terdiri dari sekitar 1,4 juta kasus orang dewasa, dan 210.000 kasus anak usia <15 tahun sepanjang tahun 2012.

Angka kejadian HIV/AIDS di Asia Selatan dan Asia Tenggara menurut UNAIDS (2013) menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 3,9 juta penduduk yang menderita HIV sampai dengan tahun 2012, dan 270.000 penduduk yang baru

(20)

menderita HIV pada tahun 2012. Angka kejadian HIV/AIDS di Asia Bagian Selatan dan Asia Tenggara ini menempati urutan ketiga tertinggi setelah negara bagian Sub Sahara Afrika dan Afrika Utara (UNAIDS, 2013).

Infeksi HIV adalah infeksi kronis yang dalam waktu panjang akan berkembang menjadi AIDS dan berakhir dengan kefatalan. Sejak pertama kali ditemukan tahun 1987 sampai dengan Desember 2013, HIV/AIDS tersebar di 368 kabupaten/kota dari 497 kabupaten/kota (72%) di seluruh provinsi di Indonesia. Provinsi pertama kali ditemukan adanya kasus HIV/AIDS adalah Provinsi Bali, sedangkan yang terakhir melaporkan adalah Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2011 (Dirjen PP&PL Kemenkes RI, 2013).

Jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia berdasarkan laporan dari Dirjen PP&PL Kemenkes RI (2013) secara kumulatif yang dilaporkan sejak 1 Januari 1987 hingga 31 Desember 2013 terdiri dari 127.416 kasus HIV dan 52.348 kasus AIDS. Sementara itu, untuk kasus sepanjang tahun 2013 terhitung dari bulan Januari hingga Desember 2013 saja terdapat sebanyak 29.037 kasus HIV dan 5.608 kasus AIDS di Indonesia.

(21)

3.985 kasus. Sementara itu untuk di Sumatera Utara terdapat 1.301 kasus AIDS (Dirjen PP&PL Kemenkes RI, 2013).

Data Dirjen PP&PL Kemenkes RI (2013) selama 5 tahun terakhir menunjukkan terjadi peningkatan kasus HIV dan AIDS di Indonesia dari tahun ke tahun. Tahun 2009 sebanyak 9.793 kasus HIV dan 5.483 kasus AIDS, meningkat tahun 2010 menjadi 21.591 kasus HIV dan 6.845 kasus AIDS, tahun 2011 21.031 kasus HIV dan 7.004 kasus AIDS, terakhir tahun 2012 terdapat 21.511 kasus HIV.

Situasi masalah AIDS sejak tahun 1987 hingga Desember 2013 di Indonesia mencatat bahwa secara kumulatif kasus AIDS tertinggi terjadi pada kelompok umur 20-29 tahun (34,2%), kemudian diikuti kelompok umur 30-39 tahun (29%), 40-49 tahun (10,8%), 15-19 (3,3%), dan 50-59 tahun (3,3%). Persentase AIDS pada laki-laki sebanyak 55,1% dan perempuan 29,7% sementara itu sebanyak 15,2 % tidak melaporkan jenis kelamin. Jumlah AIDS tertinggi adalah pada ibu rumah tangga (6.230), diikuti wiraswasta (5.892), tenaga non-profesional/karyawan (5.287), petani/peternak/nelayan (2.261), buruh kasar (2.047), penjaja seks (2.021), pegawai negeri sipil (1.601), dan anak sekolah/mahasiswa (1.268). Faktor risiko penularan AIDS terbanyak melalui heteroseksual (62.5%), penasun (16.1%), diikuti penularan melalui perinatal (2,7%), dan homoseksual (2,4%) (Dirjen P&PL Kemenkes RI, 2013).

(22)

tahun 2011 menyebabkan peningkatan jumlah kasus HIV/AIDS secara keseluruhan menjadi 3.237 kasus. Pada tahun 2012, jumlah kasus HIV/AIDS meningkat tajam mejadi 6.430 kasus dengan rincian, 2.189 kasus HIV/AIDS. Berdasarkan karakteristik penderita diketahui penderita terbanyak adalah pria sekitar 75% dan wanita yaitu 25%. Tiga kabupaten/kota yang menduduki peringkat tertinggi di Sumatera Utara berturut-turut adalah kota Medan yaitu 506 kasus (34,56%), Kabupaten Karo 347 kasus (23,70%) dan Kabupaten Deli Serdang sebanyak 172 kasus (11,75%) dari total seluruh penderita baru. Sumber penularan terbanyak melalui hubungan heteroseksual 65% dan pengguna jarum suntik (IDUs) 26%. Persentase penularan dari ibu ke bayi (parenteral) meningkat dari 0,6% tahun 2007 menjadi 1,6% pada tahun 2012. Berdasarkan golongan umur yaitu 84% adalah kelompok usia 20-39 tahun. Berdasarkan kebangsaan diketahui 99,2% adalah Warga Negara Indonesia (WNI) (Dinkes Provinsi Sumatera Utara, 2012).

(23)

penularan terjadi melalu hubungan seks, diikuti dengan pemakaian alat suntik tercemar, dan juga melalui transfusi darah yang tercemar.

Sejak pertama seseorang terinfeksi HIV, ia sudah berpotensi menularkan HIV kepada orang lain melalui cara-cara penularannya. Perjalanan HIV menjadi AIDS memerlukan waktu bertahun-tahun dan sebelum seseorang masuk dalam AIDS orang tersebut tampak sehat tanpa gejala. Maka, tanpa diwaspadai oleh yang bersangkutan dan orang lain, selama itu pula orang tersebut berpotensi menularkan pada orang lain.

Menghadapi bertambahnya kasus baru HIV perlu dilakukan akselerasi program penganggulangan HIV/AIDS. Bersamaan dengan itu, perlu dibangun sistem penanggulangan HIV/AIDS jangka panjang yang komprehensif mencakup program pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan serta mitigasi. HIV adalah epidemi yang mengancam kesehatan dan kehidupan generasi penerus bangsa yang secara langsung membahayakan perkembangan sosial dan ekonomi, serta keamanan negara. Oleh karena itu, bentuk upaya penganggulangannya harus dianggap sebagai masalah yang penting dengan tingkat urgensi yang tinggi dan merupakan program jangka panjang yang membutuhkan koordinasi semua pihak yang terkait, serta mobilisasi sumber daya yang intensif dari seluruh lapisan masyarakat untuk mempercepat dan memperluas cakupan program (KPAN, 2008).

(24)

Kota Medan menjadi kota yang memiliki resiko tinggi terhadap penyebaran penyakit AIDS. Penyebaran virus ini sangat dipengaruhi dari perilaku individu berisiko tinggi terutama perilaku seks, narkoba khususnya pengguna jarum suntik. Pencegahan penyebaran infeksi dapat diupayakan melalui peningkatan akses perawatan dandukungan pada kelompok risiko HIV/AIDS dan keluarganya (Komisi Penanggulangan AIDS Daerah, SUMUT, 2005).

Voluntary Counseling and Testing (VCT) adalah salah satu bentuk upaya pemerintah dalam menanggulangi angka kasus HIV/AIDS yang meningkat tersebut. VCT merupakan strategi efektif pencegahan dan perawatan HIV (Depkes RI, 2006). VCT terutama ditujukan bagi kelompok risiko tinggi HIV/AIDS dan keluarganya, meskipun demikian layanan ini juga dapat dilakukan masyarakat umum yang ingin mengetahui status HIV melalui tes.

(25)

Pelayanan VCT penting untuk penderita HIV/AIDS dan orang yang berisiko

terinfeksi HIV/AIDS. Studi-studi menunjukkan bahwa VCT dapat mengubah perilaku

seksual untuk mencegah penularan HIV. Dengan memberikan pelayanan VCT terdapat

penurunan morbiditas Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). VCT juga dapat mengurangi

stigma dan penyangkalan serta mempromosi normalisasi. Makin luas ketersediaan

pelayanan VCT, maka makin meningkat orang yang sadar akan status HIV-nya, sehingga

mengurangi penularan secara cepat (Depkes RI, 2006).

Situasi yang dihadapi penderita HIV/AIDS sangat kompleks, selain harus menghadapi penyakitnya sendiri, mereka juga menghadapi stigma dan diskriminasi, sehingga mengalami masalah pada fisik, psikis dan sosial sehingga diperlukan intervensi komprehensif (medikamentosa, nutrisi, dukungan sosial maupun psikoterapi/konseling). VCT merupakan salah satu pilihan terapi untuk mereka yang merasa mendekati kematian, terisolasi, maupun mengalami masalah psikis lainnya sehingga akan mengalami keselarasan/harmoni internal maupun eksternal. Pada terapi ini penderita HIV/AIDS diarahkan untuk mengembangkan diri dengan perubahan kesadaran agar nantinya dapat mengelola emosinya secara mandiri sehingga dapat melakukan aktivitas seperti layaknya orang sehat sehingga dapat meningkatkan kualitas hidupnya (Panduan VCT, 2003).

(26)

Salah satu model yang digunakan untuk menjelaskan perubahan perilaku kesehatan seseorang dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan adalah Health Belief Models (HBM). Health Belief Models (HBM) menjelaskan bahwa perilaku kesehatan seseorang akan dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal seperti persepsi kerentanan terhadap penyakit (percieved suspectibility), persepsi keseriusan terhadap ancaman penyakit (percieved seriousness), persepsi manfaat dan hambatan terhadap perubahan perilaku kesehatan (percieved benefit and barrier), serta faktor pendorong (cues to action) (Lewin, 1954; Becker, 1974).

HBM merupakan teori yang digunakan sebagai upaya menjelaskan secara luas kegagalan partisipasi masyarakat dalam program pencegahan atau deteksi penyakit. HBM juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi beberapa faktor prioritas penting yang berdampak terhadap pengambilan keputusan secara rasional dalam situasi yang tidak menentu (Rosenstock, 1990) serta teori ini berpusat pada perilaku kesehatan individu (Maulana, 2009).

(27)

Sejalan dengan itu, Alfridi et al (2008) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi aksesibilitas dan akseptabilitas VCT pada kelompok risiko tinggi HIV antara lain 91% dari responden melaporkan bahwa mereka telah mendengar tentang HIV/AIDS (36% mendengar melalui media dan 33% dari teman), hampir 31% dari responden menyatakan bahwa mereka memiliki risiko tertular HIV, 46% responden mengetahui tempat dimana tes HIV (VCT) dilakukan dan 85% responden mengatakan bahwa tempat itu adalah rumah sakit. Tim monev Sekretariat KPAN pada tahun 2007 mencatat jumlah cakupan program populasi kelompok risiko tinggi seksual yang mendapat pelayanan VCT pada WPS 69,95%, waria 50%, laki-laki suka laki-laki-laki-laki (LSL) 53,64%.

Kinik IMS dan VCT Veteran Medan merupakan klinik dibawah Dinas Kesehatan Propinsi yang khusus melayani pemeriksaan IMS dan VCT (Dinas Kesehatan Propinsi, 2008). Lokasi klinik ini juga strategis bagi kelompok-kelompok risiko HIV/AIDS tersebut untuk berkunjung dibandingkan dengan tempat pemeriksaan lainnya walaupun terdapat klinik IMS dan VCT lain yang tersebar di kota Medan.

(28)

menunjukkan bahwa terdapat 1238 kunjungan (823 laki-laki, 460 perempuan) dan sebanyak 1108 orang yang berkunjung (706 laki-laki, 402 perempuan) selama tahun 2013. Pada tahun 2014 tercatat jumlah kunjungan sebanyak 112 kunjungan (68 laki-laki, 44 perempuan) pada bulan Januari, dan sebanyak 134 kunjungan (94 laki-laki-laki, 40 perempuan) pada bulan Februari. Masalah yang kemudian timbul adalah, tidak semua dari kelompok risiko HIV/AIDS yang berkunjung ke klinik IMS dan VCT Medan tersebut yang mau melakukan tes HIV. Dari total 1108 orang yang berkunjung selama tahun 2013 tersebut, hanya 393 orang saja yang mau melakukan tes darah untuk mengetahui status HIV-nya positif atau negatif. Pemanfaatan layanan VCT yang diberikan oleh Klinik IMS dan VCT Veteran Medan oleh kelompok risiko HIV/AIDS tersebut juga dipengaruhi oleh dorongan orang lain dan juga dari kemauan diri sendiri. Sebagian dari mereka hanya menerima konseling pra tes, dan butuh waktu yang cukup lama untuk memutuskan mau melakukan tes HIV. Kurang maksimalnya kelompok risiko HIV/AIDS yang berkunjung ke klinik IMS dan VCT Veteran Medan dalam memanfaatkan layanan VCT yang diberikan oleh petugas kesehatan/konselor tersebut menjadi alasan penulis melakukan penelitian ini. Penulis ingin mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kelompok risiko HIV/AIDS tersebut dalam memanfaatkan pelayanan yang diberikan di Klinik IMS dan VCT Veteran Kota Medan. Penulis merasa bahwa model teori Health Belief Models

(29)

Pendekatan teori HBM ini diharapkan dapat menjelaskan faktor-faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan VCT, tenaga kesehatan dapat menentukan rencana dan strategi selanjutnya agar orang risiko tinggi HIV/AIDS dapat memanfaatkan layanan VCT secara maksimal dan meningkat.

1.2. Perumusan Masalah

Layanan VCT merupakan bagian dari promosi kesehatan yang berfokus pada tindakan pencegahan laju epidemi HIV/AIDS. Kejadian HIV/AIDS pada kelompok risiko tinggi HIV/AIDS, salah satunya disebabkan kurangnya pemanfaatan layanan VCT secara maksimal yang mensyaratkan dilakukan tes HIV/AIDS. Belum diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) pada kelompok risiko tinggi HIV/AIDS di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan menjadi alasan penulis ingin mengangkat masalah penelitian ini.

Berdasarkan uraian dan latar belakang diatas, dirumuskan masalah penelitian yakni faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan layanan VCT oleh kelompok risiko HIV/AIDS di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

(30)

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Mendeskripsikan karakteristik kelompok risiko HIV/AIDS dalam pemanfaatan layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan.

b. Mendeskripsikan persepsi kerentanan kelompok risiko HIV/AIDS dalam pemanfaatan layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan.

c. Mendeskripsikan persepsi keseriusan kelompok risiko HIV/AIDS dalam pemanfaatan layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan.

d. Mendeskripsikan persepsi manfaat dan hambatan kelompok risiko HIV/AIDS dalam pemanfaatan layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan.

e. Mendeskripsikan faktor isyarat untuk bertindak/pendorong kelompok risiko HIV/AIDS dalam pemanfaatan layanan Voluntary Counseling and Testing

(VCT) di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan.

f. Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dan mempengaruhi pemanfaatan layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan oleh kelompok risiko HIV/AIDS.

1.4. Hipotesis Penelitian

(31)

responden terhadap pemanfaatan layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) oleh kelompok risiko HIV/AIDS di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan.

1.5. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah :

1. Dapat mengetahui bagaimana gambaran kelompok risiko dalam memanfaatkan layanan Voluntary and Counseling Testing (VCT) yang diberikan di klinik IMS dan VCT Veteran kota Medan.

2. Dapat mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dan mempengaruhi kelompok risiko HIV/AIDS dalam memanfaatkan pelayanan Voluntary and Counseling Testing (VCT) yang diberikan di klinik IMS dan VCT Veteran kota Medan.

3. Dapat memberikan masukan kepada Klinik IMS dan VCT Veteran Medan berkaitan dengan pemanfaatan layanan oleh kelompok risiko tinggi HIV/AIDS.

4. Memberi pengalaman dan kesempatan untuk melaksanakan penulisan dengan metode yang benar, penulis mampu berfikir lebih baik dalam memahami masalah serta melakukan analisis secara ilmiah dan sistematis.

(32)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. HIV/AIDS

Depkes (2006) mendefinisikan HIV (Human Immunodeficiency Virus) sebagai virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. HIV merupakan suatu retrovirus RNA yang memiliki genom yang dapat mengkode enzim transverse transcriptase yaitu enzim yang memungkinkan virus untuk mengubah infomasi genetiknya yang berbeda dalam RNA menjadi bentuk DNA dan kemudian diintegrasikan ke dalam informasi genetik sel limfosit yang diserang. Human Immunodeficiency Virus menyerang limfosit T-helper yang mempunyai reseptor CD4 pada permukaannya.

HIV adalah jenis virus yang tergolong familia retrovirus, sel-sel darah putih yang diserang oleh HIV pada penderita yang terinfeksi adalah sel-sel limfosit T (CD4) yang berfungsi didalam sistem imun (kekebalan tubuh). HIV memperbanyak diri dalam sel limfosit yang diinfeksinya dan merusak sel-sel tersebut, sehingga mengakibatkan sistem imun terganggu dan daya tahan tubuh berangsur-angsur menurun (Daili, F.S., 2009).

HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh manusia. HIV dapat menyerang salah satu dari jenis sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Kerja virus setelah masuk ke dalam tubuh manusia yaitu merusak salah satu jenis sel imun tertentu yang dikenal dengan sel T Helper dan sel tubuh lainnya, antara lain sel

(33)

otak, sel usus, sel paru. Sel T Helper adalah titip pusat pertahanan tubuh, sehingga infeksi HIV menyebabkan daya tahan tubuh menjadi lemah. Virus HIV ditemukan dan diisolasikan dari sel limfosit T4, limfosit B, sel makrofag (di otak dan paru) dan berbagai cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma, cairan vagina, air susu ibu. Sebagian besar (75%) penularan terjadi melalui hubungan seksual.

Sementara itu, Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu kumpulan gejala penyakit kerusakan kekebalan tubuh, bukan penyakit bawaan tetapi dibuat dari hasil penularan. Penyakit ini disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Penyakit ini telah menjadi masalah internasional karena dalam waktu yang relatif singkat terjadi peningkatan jumlah pasien dan semakin melanda banyak negara. Saat ini belum ditemukan vaksin atau obat efektif untuk pencegahan HIV/AIDS sehingga menimbulkan keresahan di dunia (Widoyono, 2005).

Nasution (2000), seseorang yang terinfeksi HIV dapat dengan mudah terserang berbagai penyakit, termasuk penyakit yang dalam keadaan normal sebenarnya tidak terlalu berbahaya, tetapi bagi mereka yang telah terinfeksi HIV, penyakit tersebut justru dapat bertambah parah. Hal ini disebabkan karena rendahnya daya kekebalan tubuh dan dapat berakhir dengan kematian. Weber (2006), AIDS disebabkan oleh virus yang dikenal sebagai Human T-cell Lymphotric Virus Type III

(34)

dirusak oleh virus HTLV-III sehingga stistem imunitas rusak. Selanjutnya hal ini menimbulkan infeksi dan kanker tertentu yang terbentuk didalam tubuh.

2.1.1. Cara Penularan

Nasronudin (2007) menyatakan bahwa masuknya virus HIV ke dalam tubuh manusia atau transmisi HIV yaitu secara vertikal, transeksual dan horizontal. Nasution (2000) AIDS adalah HIV yang terdapat dalam darah dan cairan tubuh seseorang yang tertular, walaupun orang tersebut belum menunjukkan keluhan atau gejala penyakit. HIV dapat menular kepada siapapun melalui cara-cara tertentu tanpa melihat status, kebangsaan, ras, jenis kelamin, agama, tingkat pendidikan, kelas ekonomi maupun orientasi seksual (Nasution, 2000).

Tiga cara penularan HIV yang paling sering terjadi adalah : a. Hubungan seksual

Ada beberapa cara untuk melakukan hubungan seksual, yaitu vaginal (lewat vagina). Anal (menggunakan dubur), oral (menggunakan mulut) dan mano-genital (menggunakan tangan). Dari keempat cara tersebut, risiko terbesar untuk dapat tertular HIV adalah apabila melakukan hubungan seksual secara anal dan vaginal. 80% sampai dengan 90% kasus HIV ditemukan pada mereka yang melakukan kegiatan seksual secara anal. Hal ini disebabkan karena lapisan kulit di sekitar dubur cukup tipis, sehingga dapat mengakibatkan luka yang mengeluarkan darah dan dapat terjadi kontak antar cairan tubuh.

(35)

Transfusi darah/produk darah yang tercemar HIV merupakan risiko tinggi penularan HIV yaitu mencapai lebih dari 90%. Namun demikian, kasus penularan HIV melalui transfusi darah ini hanya dijumpai 3-5% dari total kasus penularan HIV sedunia. Selain itu, pemakaian jarum suntik yang tidak steril ataupun pemakaian jarum suntik secara bersama terutama seperti yang dilakukan oleh para pecandu narkotik. Cara ini mengandung 0,5% - 1% dan telah ditemukan pada 5-10% dari total kasus sedunia.

c. Secara vertikal

Secara vertikal maksudnya yaitu dari ibu hamil kepada bayi yang dikandungnya, dimana penularan bisa saja terjadi pada waktu kehamilan, melahirkan ataupun sesudah melahirkan (ketika menyusui). Risiko penularan lewat cara ini adalah 25-40% dan telah ditemukan pada kurang dari 0,1% dari total kasus sedunia (Nasution, 2000).

(36)
[image:36.612.122.511.171.321.2]

Transmisi yang terbukti dapat terjadi secara efisien adalah melalui darah, cairan semen, cairan vagina/serviks, dan ASI. Adapun pola penularan HIV di Asia memiliki pola seperti berikut (Susilowati, 2011)

Gambar 2.1. Pola Penularan HIV di Asia

Dari gambar dapat terlihat bahwa pada awalnya HIV/AIDS berada pada komunitas pekerja seks, kemudian para pelanggan yang merupakan populasi umum pria tertulas HIV/AIDS dan menularkan penyakit tersebut kepada wanita pasangannya atau istrinya. Diantara pelanggan pria juga terdapat diantaranya yang merupakan kelompok biseksual yang dapat melakukan hubungan seksual dengan perempuan juga dengan laki-laki, akibatnya penularan HIV/AIDS juga memasuki kelompok homoseksual. Para pengguna narkoba suntik yang terinfeksi dengan karena jarum suntik kemudian juga melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks dan juga pasangannya atau istrinya.

Populasi Umum Pria

Laki-laki seks laki-laki

Wanita Pekerja Seks

Bayi Populasi Umum Wanita

Pelanggan

(37)

2.1.2. Perjalanan Infeksi

Klasifikasi klinik HIV/AIDS pada orang dewasa menurut WHO seperti tertuang dalam Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan Pengobatan bagi ODHA (Depkes, 2003) dan Nasronudin (2007) adalah sebagai berikut:

Stadium Gambaran Klinis Skala Aktivitas

I 1. Asimptomatis

2. Limfadenopati generalisata

Penampilan/aktivitas fisik skala I: asimptomatis, aktivitas normal

II 1. Berat badan menurun <10% 2. Kelainan kulit dan mukosa ringan (dermatitisseboroik prugigo, onikomikosis) 3. Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir 4. Infeksi saluran nafas bagian atas (sinusitis bakterialis)

Penampilan/ aktivitas fisik skala II: siptomatis, aktivitas normal

III 1. Berat badan menurun >10%

2. Daire kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan

3. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan 4. Kandidiasis orofaringeal

5. Oral hairy leukoplakia 6. TB paru dalam tahun terakhir 7. Infeksi bakterialis yang berat seperti

pneumonia, piomiositis

Penampilan/aktivitas fisik skala III: Pada umumnya lemah, aktivitas ditempat tidur <50% per hari dalam bulan terakhir

IV 1. HIV wasting syndrome (berat badan turun >10% ditambah diare kronik >1 bulan atau demam >1 bulan yang tidak disebabkan penyakit lain)

2. Pneumonia pneumocystis carinii 3. Toksoplasmosis otak

4. Daire kristosporidiosis lebih dari 1 bulan 5. Kriptokokosis ekstrapulmonal

6. Retinitis virus sitomegalo

7. Heroes simplek mukokutan >1 bulan 8. Leukosenfalopati multifocal progresif 9. Mikosis diseminata

10. Kandidiasis di esophagus, trakea, bronkus, dan paru

11. Mikobabakteriosis atipikal diseminata 12. Sepsemia salmonellosis non tifoid 13. Tuberkolosis di luar paru

14. Limfoma 15. Sarkoma Kaposi 16. Ensefalopati HIV

[image:37.612.115.515.194.654.2]
(38)

Pada saat seseorang terinfeksi HIV maka diperlukan waktu 5-10 tahun untuk sampai ke tahap AIDS. Setelah virus masuk ke dalam tubuh manusia, maka selama 2-4 bulan keberadaan virus tersebut belum bisa terdeteksi dengan pemeriksaan darah meskipun virusnya sendiri sudah ada di dalam tubuh manusia. Tahap ini disebut sebagai periode jendela. Sebelum masuk tahap AIDS, orang tersebut dinamai HIV positif karena dalam darahnya terdapat HIV. Pada keadaan ini maka kondisi fisik yang bersangkutan sudah aktif menularkan virusnya ke orang lain jika dia mengadakan hubungan seks atau menjadi donor darah.

Sejak masuknya virus dalam tubuh manusia maka virus ini akan merusak sel darah putih (yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh) dan setelah 5-10 tahun maka kekebalan tubuh akan hancur dan penderita masuk dalam tahap AIDS dimana terjadi berbagai infeksi misalnya infeksi jamur, virus-virus lain, kanker, dan sebagainya. Penderita akan meninggal dalam waktu 1-2 tahun kemudian karena infeksi tersebut. Menurut Suyono dkk (2006) dan Nasronudin (2007) secara klinik, gambaran yang terlihat dalam perjalanan penyakit HIV/AIDS terbagi dalam 3 tahap urutan yaitu tahap infeksi akut atau primer, tahap infeksi asimtomatis atau dini, tahap infeksi simtomatis atau menengah dan tahap sakit HIV berat atau penderita dalam tahap AIDS.

(39)

transisi virus antigenemia yaitu antigen virus tidak dapat dideteksi di dalam serum darah pengidap sebelum terbentuknya zat anti terhadap virus HIV (Nasronudin, 2007).

Tahap selanjutnya disebut tahap infeksi dini atau asimtomatis dimana pada tahap ini justru penderita tidak merasakan keluhan yang muncul pada tahapan pertama diatas. Tahapan ini berlangsung sekitar 6 minggu sampai dengan beberapa bulan bahkan beberapa tahun setelah infeksi terjadi. Pada tahapan ini sedang terjadi internalisasi HIV ke intraseluler. Pada tahapan ini penderita HIV biasanya masih dapat beraktivitas secara normal (Nasronudin, 2007).

(40)

Tahap keempat yang merupakan tahap sakit HIV berat (severe HIV atau

fullblown AIDS) atau berarti penderita telah masuk dalam tahap AIDS. Pada tahapan ini terjadi penurunan berat badan lebih dari 10%, diare terjadi lebih dari 1 bulan, panas yang tidak diketahui penyebabnya dan terjadi lebih dari 1 bulan, kandidiasis oral, tuberkolosis paru dan pneumonia bakteri. Beberapa infeksi oportunistik sangat sering terjadi pada tahapan ini (Nasronudin, 2007).

2.1.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penularan

Menurut Susilowati (2011), faktor-faktor yang mempengaruhi penularan HIV/AIDS adalah sebagai berikut :

1. Faktor Biologis

a. Tingkat Infeksi orang yang telah terinfeksi HIV. b. Adanya cairan semen dan sekresi genital.

c. Tingginya jumlah virus yang ada dalam darah, apakah penderita ada pada stadium awal infeksi atau stadium lanjut.

d. Adanya perlukaan (exposure to blood) misalnya trauma pada saat kontak seksual, menstruasi pada saat kontak seksual atau bsiul genital.

e. Menyusui bayi pada ibu yang terinfeksi HIV. f. Kerentanan (suspectibility) dari resipien.

g. Adanya gangguan pada wilayah genital atau mucosa rektal (area dubur). h. Laki-laki yang tidak bersunat (lack of circumcision in heterosexual men). i. Melakukan hubungan seksual pada saat menstruasi akan meningkatkan

(41)

j. Adanya infeksi menular (IMS). k. Resistensi virus terhadap antivirus. l. Kapasitas virus.

2. Faktor Sosioekonomi

a. Adanya mobilitas sosial seperti perdagangan bebas dan ekonomi global yang menyebabkan orang-orang melakukan perjalanan atau bekerja jauh dari rumah. Penyebaran HIV/AIDS mengikuti pola perdagangan dan perniagaan. Laki-laki melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial, tertular HIV dan membawanya ke rumah, menularkan kepada istri yang pada akhirnya dapat menularkan kepada janin yang dikandung atau bayi pada saat menyusui.

b. Stigma dan penolakan. Pemikiran negatif mengenai HIV sudah menjadi norma. Banyak orang yang berpendapat kurang tepat HIV adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan beronset lambat, menyebabkan kondisi sakit dan berakibat kematian. Kebanyakan orang tidak mengetahui bagaimana HIV bisa ditularkan secara tidak rasional takut tertular dari orang terinfeksi HIV. Penularan HIV sering dihubungkan dengan pelanggaran moral yang berkaitan dengan perilaku seksual, sehingga orang yang terindeksi HIV dicap telah melakukan hal yang buruk.

(42)

untuk mempermalukan dan mengontrol penduduk sipil atau untuk melemahkan musuh melalui perusakan ikatan keluarga atau masyarakat. 3. Faktor Budaya

a. Adat-istiadat, budaya, keyakinan, dan praktik-praktik tertentu dalam masyarakat mempengaruhi pemahaman dan sudut pandang seseorang mengenai kesehatan, penyakit dan penerimaan mereka pada perawatan medis konvesional. Budaya memperlihatkan perilaku-perilaku gender, agama, kelompok etnis, bahasa, masyarakat, dan kelompok umur.

b. Gender. Peran gender mempunyai pengaruh yang kuat dalam penularan HIV. Di banyak budaya, laki-laki justru diharapkan menjalin banyak hubungan seksual. Tekanan sosial dalam masyarakat menyebabkan laki-laki melakukan hal tersebut. Hal ini meningkatkan risiko laki-laki-laki-laki terkena infeksi HIV. Karena perempuan seringkali mengalami ketidaksetaraan ekonomi sehingga mereka menjadi pekerja seks sebagai upaya untuk dapat bertahan hidup. Hal ini menyebabkan mereka mudah terpapar risiko ketika mereka mencoba menegosiasikan seks yang aman.

c. Penggunaan obat-obatan terlarang dan konsumsi alkohol. Penggunaan obat-obatan terlarang dengan cara menyuntikkan berbagai jarum suntik dan peralatan injeksi akan meningkatkan risiko penularan HIV.

2.1.4. Kelompok Risiko

(43)

pelaku homoseksual dan lesbian, orang yang pernah menerima transfusi darah, pengguna narkoba suntik, orang yang pernah mengalami infeksi menular seksual (IMS), kelompok waria, IDU, gay, dan lain-lain (Depkes RI, 2004).

2.1.5. Pencegahan

Pencegahan agar tidak terinfeksi HIV/AIDS adalah sebagai berikut (UNAIDS, 2000) :

1. Pencegahan melalui hubungan seksual : a. tidak melakukan hubungan seks pra nikah; b. tidak berganti-ganti pasangan; dan

c. apabila salah satu pihak sudah terinfeksi HIV, gunakanlah kondom. 2. Pencegahan melalui darah :

a. transfusi darah dengan yang tidak terinfeksi;

b. sterilisasi jarum suntik dan alat-alat yang melukai kulit; c. hindari pengguna narkoba;

d. tidak menggunakan alat suntik, alat, tindik, alat tato, pisau cukur dan sikat gigi berdarah dengan orang lain; dan

e. steril peralatan medis yang berhubungan dengan cairan manusia 3. Pencegahan penularan ibu kepada anak :

a. ibu yang telah terinfeksi HIV agar mempertimbangkan kehamilannya; dan b. tidak menyusui bayinya

4. Pencegahan melalui pendidikan gaya hidup :

(44)

b. hindari gaya hidup yang mencari kesenangan sesaat.

2.2. Voluntary Counseling and Testing (VCT)

Konseling dalam Voluntary Counseling and Testing (VCT) adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis, informasi, dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularah HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan antiretroviral (ARV) dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV/AIDS yang bertujuan untuk perubahan perilaku kearah perilaku lebih sehat dan lebih aman (Pedoman Pelayanan VCT, 2006).

Menurut Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) (2008), VCT adalah konseling dan testing HIV/AIDS sukarela, suatu prosedur diskusi pembelajaran antara konselor dan klien untuk memahami HIV/AIDS beserta risiko dan konsekuensinya terhadap diri, pasangan, dan keluarga serta orang disekitarnya.

VCT merupakan salah satu cara untuk mengetahui status HIV seseorang dengan pemeriksaan tes HIV yang didahului oleh konseling di awal dan konseling setelah pemeriksaan. Dalam pemeriksaan status HIV/AIDS seseorang idealnya dilakukan melalui proses VCT. Proses ini diperlukan karena tes HIV memerlukan jaminan kerahasiaan bagi orang yang diperiksa. Selain itu, pemeriksaan harus dilakukan secara etis dan sukarela atau paksaan dari pihak manapun.

2.2.1. Tujuan

(45)

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan VCT dapat mengubah perilaku berisiko dalam beberapa kelompok rentan terhadap HIV di masyarakat (Sangiwa G. et al, 1998).

VCT perlu dilakukan karena merupakan pintu masuk menuju ke seluruh layanan HIV/AIDS, dapat memberikan keuntungan bagi klien dengan hasil tes postif maupun negatif dengan fokus pemberian dukungan terapi ARV (anti retroviral), dapat membantu mengurangi stigma di masyarakat, serta dapat memudahkan akses ke berbagai layanan kesehatan maupun layanan psikososial yang dibutuhkan klien (Murtiastutik, 2008).

VCT terbuka untuk siapa saja, yang secara sukarela tanpa paksaan ingin memeriksakan dirinya terhadap status kesehatannya. Baik untuk orang yang sehat tanpa gejala HIV (asimtomatik) maupun untuk orang dengan tanda-tanda HIV. Seluruhnya bebas melakukan VCT dengan keinginan dan kemauannya sendiri tanpa paksaan dari pihak manapun. Namun VCT terutama disarankan untuk dilakukan oleh orang-orang dengan risiko tinggi terhadap penularan virus HIV/AIDS. Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dalam Strategi dan Rencana Aksi Nasional (SRAN) Penanggulangan HIV/AIDS tahun 2010-2-14 telah menetapkan 720 orang per tahun dalam setiap layanan VCT.

2.2.2. Prinsip Layanan

(46)

Pemeriksaan HIV hanya dilaksanakan atas dasar kerelaan klien tanpa paksaan dan tanpa tekanan. Keputusan untuk melakukan pemeriksaan terletak ditangan klien. Testing dalam VCT bersifat sukarela sehingga tidak direkomendasikan untuk testing wajib pada pasangan yang akan menikah, pekerja seksual,

Injecting Drug User (IDU), rekrutmen pegawai/tenaga kerja Indonesia dan asuransi kesehatan.

b. Saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas

Layanan harus bersifat profesional, menghargai hak dan martabat semua klien, konselor dan petugas kesehatan, tidak diperkenankan didiskusikan diluar konteks kunjungan klien. Semua informasi tertulis harus disimpan dalam tempat yang tidak dapat dijangkau oleh mereka yang tidak berhak. Untuk penanganan kasus klien selanjutnya dengan seijin klien maka informasi kasus dari diri klien dapat diketahui.

c. Mempertahankan hubungan relasi konselor dan klien yang efektif

Konselor mendukung klien untuk kembali mengambil hasil testing dan mengikuti pertemuan konseling pasca testing untuk mengurangi perilaku berisiko. Dalam VCT dibicarakan juga respon dan perasaan klien dalam menerima hasil testing dan tahapan penerimaan hasil testing positif.

d. Testing merupakan salah satu komponen dari VCT

(47)

2.2.3. Tahapan Layanan

Layanan konseling secara garis besar terbagi dua, yaitu konseling pra tes dan konseling pasca tes yang keduanya selalu disertai konseling (Depkes, 2006).

Adapun tahapan layanan VCT terdiri dari : a. Konseling Pra Tes

Konseling pra tes yaitu konseling yang dilakukan sebelum darah seseorang yang menjalani tes itu diambil. Konseling ini sangat membantu seseorang untuk mengetahui risiko dari perilakunya selama ini, dan bagaimana nantinya bersikap setelah mengetahui hasil tes. Konseling pra tes bermanfaat untuk meyakinkan orang terhadap keputusan untuk melakukan tes atau tidak, serta mempersiapkan dirinya bila hasilnya nanti nanti positif (Depkes, 2006).

Adapun tahapan konselingnya adalah sebagai berikut : 1. Alasan tes

2. Pengetahuan tentang HIV dan manfaat testing 3. Perbaikan kesalahpahaman tentang HIV/AIDS 4. Penilaian risiko pribadi terhadap penularan HIV 5. Informasi tentang tes HIV

6. Diskusi tentang kemungkinan hasil yang keluar 7. Kapasitas menghadapi hasil/dampak hasil

8. Kebutuhan dan dukungan potensial – rencana pengurangan resiko pribadi 9. Pemahaman tentang pentingnya test ulang

(48)

12.Memfasilitasi dan penandatanganan informed consent

Kemudian, pasien dapat melakukan tes HIV atau pengambilan darah oleh perawat untuk di tes pada laboratorium yang tersedia dalam melakukan tes HIV. Selanjutnya setelah hasil didapatkan, maka konselor akan melakukan konseling pasca tes.

b. Tes HIV

Pada umumnya, tes HIV dilakukakan dengan cara mendeteksi antibodi dalam darah seseorang. Jika HIV telah memasuki tubuh seseorang, maka didalam darah akan terbentuk protein khusus yang disebut antibodi. Antibodi adalah suatu zat yang dihasilkan sistem kekebalan tubuh manusia sebagai reaksi untuk membendung serangan bibit penyakit yang masuk. Pada umumnya antibodi terbentuk di dalam darah seseorang memerlukan watu 6 minggu sampai 3 bulan tetapi ada juga sampai 6 bulan bahkan lebih. Jika seseorang memiliki antibodi terhadap HIV di dalam darahnya, hal ini berarti orang itu telah terinfeksi HIV.

Tes HIV yang umunya digunakan adalah Enzyme Linked Imunosorbent Assay

(ELISA), Rapid Test dan Western Immunblot Test. Setiap tes HIV ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang berbeda. Sensitivitas adalah kemampuan tes untuk mendeteksi adanya nantibodi HIV dalam darah sedangkan spesifisitas adalah kemampuan untuk mendeteksi antibodi protein HIV yang sangat spesifik.

1.) Enzyme Liked Imunosorbent Assay (ELISA)

(49)

spesisifitas rendah. Oleh karena itu masih diperlukan tes pemeriksaan lain untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan ELISA ini. Jadi walaupun ELISA menunjukkan hasil postif, masih ada dua kemungkinan, orang tersebut sebenarnya tidak terinfeksi HIV atau betul-betul telah terinfeksi HIV.

2.) Rapid Test

Penggunaan dengan metode rapid test memungkinkan klien mendapatkan hasil tes pada hari yang sama dimana pemeriksaan tes hanya membutuhkan waktu 10 menit. Metode pemeriksaan dengan menggunakan sampel darah jari dan air liur. Tes ini mempunyai sensitivitas tinggi (mendekati 100%) dan spesifisitas (>99%). Hasil positif pada tes ini belum dapat dipastikan apakah dia terinfeksi HIV. Oleh karena itu diperlukan pemeriksaan tes lain untuk mengkonfirmasi hasil tes ini. 3.) Western Immunoblot Test

Sama halnya dengan ELISA, Western Immunoblot Test juga mendeteksi antibodi terhadap HIV. Western blot digunakan sebagai tes konfirmasi untuk tes HIV lainnya karena mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi untuk memastikan apakah terinfeksi HIV atau tidak.

c. Konseling Pasca Tes

(50)

dukungan. Konseling pasca tes sangat penting untuk membantu mereka yang hasilnya HIV positif agar juga dapat mengetahui cara menghindari penularan pada orang lain, serta untuk bisa mengatasinya dan menjalin hidup secara positif. Bagi mereka yang yang hasilnya HIV negatif, konseling pasca tes bermanfaat untuk memberi tahu tentang cara-cara mencegah infeksi di masa datang (Depkes, 2006).

Adapun tahapan konselingnya adalah sebagai berikut :

1. Dokter dan konselor mengetahui hasil untuk membantu diagnosa dan dukungan lebih lanjut. Hasil diberikan dalam amplop tertutup,

2. Hasil disampaikan dengan jelas dan sederhana, 3. Beri waktu bereaksi,

4. Cek pemahaman hasil tes, 5. Diskusi makna hasil tes,

6. Konseling disclosure; dampak pribadi, keluarga, sosial, terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA), kepada siapa dan bagaimana memberitahu, 7. Rencana pribadi penurunan risiko,

8. Menangani reaksi emosional,

9. Tindak lanjut perawatan dan dukungan ke layanan manajemen kasus atau layanan dukungan yang tersedia.

2.2.4. Model Layanan

Adapun model layanan VCT terdiri dari : 1. Mobile VCT (Penjangkauan dan Keliling)

(51)

langsung mengunjungi sasaran kelompok masyarakat yang memiliki perilaku berisiko atau berisiko tertular HIV/AIDS di wilayah tertentu. Layanan ini diawali dengan survei atau penelitian atas kelompok masyarakat di wilayah tersebut dan survei tentang layanan kesehatan dan layanan dukungan lainnya di daerah setempat.

2. Statis VCT (Klinik VCT Tetap)

Pusat Konseling dan Testing HIV/AIDS Sukarela terintegrasi dalam sarana kesehatan dan sarana kesehatan lainnya, artinya bertempat dan menjadi bagian dari layanan kesehatan yang telah ada. Sarana kesehatan dan sarana kesehatan lainnya harus memiliki kemampuan memenuhi kebutuhan masyarakat akan konseling dan testing HIV/AIDS, layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan terkait dengan HIV/AIDS.

(52)

2.2.5. Peran

[image:52.612.119.517.176.415.2]

Peran VCT merupakan pintu masuk penting untuk pencegahan dan perawatan HIV adalah sebagai berikut (WHO) :

Gambar 2.2. Peran VCT (WHO)

Gambaran pelayanan VCT dapat dijelaskan sebagaimana ditunjukkan dalam gambar di bawah ini.

Gambar 2.3. Alur Pelayanan VCT

Konseling HIV/AIDS adalah dialog yang terjaga kerahasiaan antara konselor dan klien. Konseling membantu orang mengetahui statusnya lebih dini, menekankan kepada aspek perubahan perilaku, peningkatan kemampuan menghadapi stress, keterampilan pemecahan masalah. Konseling HIV juga menekankan pada isu HIV

Konseling Pra Tes TES HIV/AIDS Konseling Pasca Tes

Penerimaan sero-status, coping dan

perawatan diri

VCT

Memfasilitasi Intervensi PMTCT

Memfasilitasi Perubahan Perilaku 1. Perencanaan masa

depan

2. Perawatan anak yatim piatu 3. Pewarisan

Normalisasi HIV

Manajemen dini infeksi oportunistik &

inroduksi ARV IMS; introduksi ARV Terapi pencegahan

dan perawatan reproduksi Rujukan dukungan

(53)

terkait seperti bagaimana hidup dengan HIV, pencegahan HIV ke pasangan, dan isu HIV yang berkelanjutan.

Pendekatan VCT tidak dapat dilakukan massal seperti penyuluhan atau edukasi massal, melainkan harus : 1. Terfokus pada klien satu persatu. 2. Melakukan penilaian risiko personal dan menurunkan risiko. 3. Menggali kemampuan diri dan mengarahkan rencana ke depan. 4. Meneguhkan keputusan tes. 5. Menindaklanjuti dukungan atas kebutuhan (Depkes, 2006).

2.3. Pelayanan Kesehatan

Menurut Levey dan Loomba (1973) dalam Azwar (1999), pelayanan kesehatan merupakan setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sana dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit dan penyembuhan penyakit serta pemulihan kesehatan perseorangan, keluarga, kelompok, maupun masyarakat. Brotosaputro (1997) menyatakan bahwa pelayanan kesehatan adalah segala kegiatan yang secara langsung berupaya untuk menghasilkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan atau dituntut oleh masyarakat untuk mengatasi masalah kesehatannya. Notoadmodjo (2003), mengungkapkan bahwa pelayanan kesehatan juga melakukan pelayanan kuratif (pengobatan) dan rehabilitatif (pemulihan kesehatan).

(54)

individu-individu yang khusus. Dilain pihak, pelayanan kesehatan pribadi adalah langsung kearah individu.

2.3.1. Tujuan

Tujuan dari pelayanan kesehatan adalah untuk meningkatkan derajat kesehatan dan kemampuan masyarakat secara menyeluruh dalam memelihara kesehatannya untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal secara mandiri sehingga pelayanan kesehatan sebaiknya tersedia, dapat dijangkau, dapat diterima oleh semua orang. Penyusunan kebijakan kesehatan seharusnya melibatkan penerima pelayanan kesehatan, lingkungan, pengaruh terhadap kesehatan penduduk, kelompok, keluarga dan individu, pencegahan penyakit sangat diperlukan untuk meningkatkan kesehatan dimana kesehatan merupakan tanggung jawab individu dan klien merupakan anggota tetap tim kesehatan (Azwar, 1999).

2.3.2. Pemanfaatan Layanan Kesehatan

Manfaat secara bahasa diartikan sebagai guna; faedah; untung. Pemanfaatan adalah proses; cara; perbuatan memanfaatkan sedangkan pelayanan adalah perihal atau cara melayani (Depdiknas, 2003).

Berbagai pendekatan dipakai dalam penelitian penggunaan pelayanan kesehatan yang menurut jenisnya dibedakan ke dalam 7 kategori yang didasarkan pada tipe-tipe variabel yang digunakan sebagai determinan-determinan penggunaan pelayanan kesehatan (Anderson dan Newman, 1979).

(55)

tujuan dari model-model penggunaan pelayanan kesehatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah model kepercayaan (the health belief models).

Berikut merupakan tujuan tipe-tipe dari model-model pemanfaatan pelayanan kesehatan tersebut, diantaranya :

a. Model Demografi (Kependudukan)

Dalam model ini tipe variabel yang dipakai adalah umur, seks, status perkawinan, dan besarnya keluarga. Variabel-variabel yang digunakan sebagai ukuran mutlak atau indikator fisiologis yang berbeda (umur, seks) dan siklus hidup (status perkawinan, besarnya keluarga) dengan asumsi bahwa perbedaan derajat kesehatan, derajat kesakitan, dan penggunaan pelayanan kesehatan sedikit banyak akan berhubungan dengan variabel diatas.

b. Model-model struktur sosial (social structure models)

Didalam model ini tipe variabel yang dipakai adalah pendidikan, pekerjaan, dan kebangsaan. Variabel-variabel ini mencerminkan keadaan sosial dari individu atau keluarga di dalam masyarakat.

Penggunaan pelayanan kesehatan adalah salah satu aspek dari gaya hidup ini, yang ditentukan oleh lingkungan sosial, fisik, dan psikologis. Masalah utama dari model struktur sosial dari penggunaan pelayanan kesehatan adalah bahwa kita tidak mengetahui mengapa variab ini menyebabkan penggunaan pelayanan kesehatan.

c. Model-model sosial psikologis (psychological models)

(56)

(1). Pengertian kerentanan terhadap penyakit (2). Pengertian keseluruhan dari penyakit

(3). Keuntungan yang diharapkan dari pengambilan tindakan, dalam menghadapi penyakit

(4). Kesiapan tindakan individu

Masalah utama dengan model ini adalah menganggap suatu mata rantai penyebab langsung antara sikap dan perilaku yang belum dapat dijelaskan.

d. Model sumber keluarga (family resource models)

Dalam model ini variabel yang dipakai adalah pendapat keluarga, cakupan asuransi keluarga atau sebagai anggota keluarga suatu asuransi keseharan dan pihak yang membiayai pelayanan kesehatan keluarga dan sebagainya. Karakteristik ini untuk mengukur kesanggupan dari individu atau keluarga untuk memperoleh pelayanan kesehatan mereka.

e. Model sumber daya masyarakat (community resource models)

Tipe model yang digunakan disini adala penyediaan pelayanan kesehatan yang tersedia dan sumber-sumber di dalam masyarakat. Model sumber daya masyarakat selanjutnya adalah suplai ekonomis yang berfokus pada ketersediaan sumber-sumber kesehatan pada masyarakat setempat.

f. Model-model organisasi (organization models)

Dalam model ini, variabel yang dipakai adalah pencerminan perbedaan bentuk-bentuk sistem pelayanan kesehatan. Biasanya variabel yang digunakan adalah:

(57)

(2). Sifat (nature) dari pelayanan tersebut (membayar langsung atau tidak) (3). Letak dari pelayanan (tempat pribadi, rumah sakit, atau klinik)

(4). Petugas kesehatan yang pertama kali kontak dengan pasien (dokter, asisten dokter, asisten dokter)

g. Model sistem kesehatan

Keenam kategori model penggunaan fasilitas kesehatan tersebut tidak begitu terpisah meskipun ada perbedaan dalam sifat (nature). Model sisitem kesehatan mengintregasi keenam model terdahulu ke dalam model yang lebih sempurna. Untuk itu, maka demografi, ciri-ciri struktur sosial, sikap, dan keyakinan individu atau keluarga, sumber-sumber di dalam masyarakat dan organisasi pelayanan kesehatan yang ada, digunakan bersama dengan faktor-faktor yang berhubungan seperti kebijaksanaan dan struktur ekonomi pada masyarakat yang lebih luas (negara).

Dengan demikian, apabila dilakukan analisis terhadap penyediaan dan pnenggunaan pelayanan kesehatan oleh masyarakat maka harus diperhitungkan juga faktor-faktor yang terlibat didalamnya. Dalam melakukan penelitian perilaku sehubungan dengan penggunaan/pencairan fasilitas-fasilitas kesehatan, semua variabel dari berbagai model tersebut dihubungkan dengan perilaku manusia terhadap fasilitas, dan juga dilihat variabel mana yang paling dominan pengaruhnya.

g. Model sistem kesehatan (health system model)

(58)

h. Model kepercayaan kesehatan (the health belief model)

Model kepercayaan yang didasarkan pada kenyataan bahwa problem-problem kesehatan ditandai oleh kegagalan-kegagalan orang atau masyarakat untuk menerima usaha-usaha pencegahan dan penyembuhan penyakit yang diselenggarakan oleh provider.

Model kepercayaan (the health belief model) inilah yang pada akhirnya menjadi pedoman dalam penelitian ini karena berkaitan erat dengan bentuk model yang digunakan dalam pemanfaatan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat yaitu, pelayanan VCT (tes sukarela HIV/AIDS).

2.3.3. Pemanfaatan Layanan VCT

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), manfaat berarti guna atau faedah. Dengan demikian kata pemanfaatan berarti menggunakan sesuatu dengan tujuan untuk mendapatkan kegunaan atau faedah dari objek tersebut. Pemanfaatan adalah proses; cara; perbuatan memanfaatkan sedangkan pelayanan adalah perihal atau cara melayani (Depdiknas, 2003).

Layanan VCT adalah suatu prosedur diskusi pembelajaran antara konselor dan klien untuk memahami HIV/AIDS beserta resiko dan konsekuensi terhadap diri, pasangan, keluarga dan orang disekitarnya dengan tujuan utama adalah perubahan perilaku kearah perilaku yang lebih sehat dan lebih aman (Pedoman Pelayanan VCT, 2006).

(59)

pemanfaatan layanan VCT adalah sejauh mana orang yang pernah melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS merasa perlu menggunakan layanan VCT untuk mengatasi masalah kesehatannya, untuk mengurangi perilaku berisiko dan merecanakan perubahan perilaku sehat.

2.4. Landasan Teori

Health Belief Model (HBM) adalah suatu bentuk penjabaran dari model sosio-psikologis. Munculnya ide ini didasarkan pada kenyataan bahwa problem-problem kesehatan ditandai oleh kegagalan-kegagalan orang atau masyarakat untuk menerima usaha-usaha pencegahan dan penyembuhan penyakit yang diselenggarakan oleh provider. Kegagalan ini akhirnya memunculkan teori yang menjelaskan perilaku pencegahan peny

Gambar

Gambar 2.1. Pola Penularan HIV di Asia
Gambaran Klinis
Gambar 2.2. Peran VCT (WHO)
Gambar 2.4. Kerangka Konsep
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini menunjukkan tidak ada pengaruh yang bermakna umur dengan penyakit sifilis pada Lelaki Suka Lelaki di Klinik IMS-VCT Veteran Kota Medan tahun 2013. Hasil

Diagram Bar Proporsi Tingkat Pendidikan Berdasarkan Faktor Risiko Penularan Pada Penderita HIV/AIDS Di Pusyansus Klinik VCT RSUP H. Adam Malik Medan

Beberapa pernyataan informan diatas dapat ditarik hasil penelitian bahwa informan menyatakan pernah mendengar informasi tentang Klinik IMS dan VCT Puskesmas Teladan dari

The research used descriptive survey with a qualitative approach which was done and aims to explain the perception of Men Sex Men (MSM) about HIV/AIDS and VCT

Persepsi Lelaki Seks Lelaki (LSL) Tentang HIV/AIDS dan VCT dalam Peningkatan Demand pada Pelayanan Voluntary Counseling And Testing (VCT) di Klinik IMS

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa informan yang memiliki keinginan untuk memanfaatkan klinik VCT adalah informan yang memiliki persepsi kerentanan yang tinggi

Persepsi yang baik tentang Klinik VCT tidak serta merta meningkatkan pemanfaatan Klinik VCT. Hal tersebut dikarenakan ada faktor harapan yang bersama-sama dengan faktor

Kerentanan untuk terinfeksi HIV/AIDS pada orang risiko tinggi yang memanfaatkan VCT di Puskesmas Dupak dalam kategori kuat, Keseriusan yang dirasakan ( perceived seriousness )