BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar BelakangKesehatan merupakan hak asasi manusia yang harus dilindungi oleh
pemerintah dan sebagai salah satu indikator penting dalam menentukan
kesejahteraan suatu bangsa di samping ekonomi dan sosial. Hal ini ditegaskan
dalam Undang-Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 5 ayat 1, yang
menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh
akses atas sumber daya di bidang kesehatan.
Pelaksanaan pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Untuk mencapai tujuan
pembangunan kesehatan tersebut dilakukan upaya-upaya kesehatan. Salah satu
diantaranya adalah program pencegahan dan pengendalian penyakit menular.
Penyakit menular yang sampai saat ini masih menjadi program pemerintah di
antaranya adalah program pengendalian HIV/AIDS.
Menurut Adisasmito (2007), HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyebabkan penyakit AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrom). Seseorang yang terinfeksi HIV, akan mengalami infeksi seumur hidup. Infeksi HIV berjalan sangat progresif merusak kekebalan tubuh. Kebanyakan
ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) bersifat asimtomatik (tanpa gejala dan tanda dari suatu penyakit) untuk jangka waktu panjang dan tidak diketahui telah
AIDS adalah bentuk lanjut dari infeksi HIV dan merupakan sekumpulan
gejala penyakit yang membuat orang tidak berdaya dan bisa berdampak pada
kematian. Case Fatality Rate (CFR) penyakit AIDS yaitu sebesar 100% dalam lima tahun, artinya dalam waktu lima tahun setelah diagnosis AIDS ditegakkan,
semua penderita AIDS akan meninggal (Adisasmito, 2007).
Permasalahan HIV/AIDS belakangan ini menjadi isu yang semakin
mengemuka di berbagai negara di dunia, karena permasalahan HIV/AIDS tidak
hanya menyangkut aspek kesehatan, akan tetapi juga menyangkut berbagai aspek
kehidupan manusia lainnya, seperti ekonomi, hukum, politik, sosial, dan budaya.
Jumlah pengidap HIV/AIDS semakin bertambah dengan cepatnya, sementara
vaksin untuk pencegahannya atau pengobatan yang manjur sampai saat ini belum
ditemukan. Pola hidup masyarakat yang cenderung mendukung peningkatan kasus
HIV/AIDS juga menjadi unsur yang mengkhawatirkan kita (Maas dkk, 2002).
Hingga saat ini, epidemi HIV/AIDS masih menjadi masalah serius bagi
kesehatan masyarakat di dunia, baik di negara maju maupun negara berkembang.
Hal ini terbukti dari komitmen global pada target keenam MDGs (Millenium Development Goals) 2015 yaitu mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan kecenderungan penyebaran jumlah kasus HIV/AIDS serta
mewujudkan akses terhadap pengobatan AIDS bagi semua yang membutuhkan.
Data penemuan kasus HIV/AIDS menurut UNAIDS (2014), jumlah orang
yang hidup dengan HIV secara global ada sebanyak 35 juta jiwa yang termasuk di
dalamnya 2,1 juta orang baru terinfeksi HIV pada tahun 2013. Namun hal yang
Kecenderungan epidemik baik di tingkat global maupun regional secara
umum membentuk tiga pola epidemi, yaitu epidemi meluas (HIV sudah menyebar
di masyarakat umum), epidemi terkonsentrasi (HIV menyebar di kalangan sub
populasi tertentu seperti kelompok pekerja seks), dan epidemi rendah (HIV telah
ada, tapi belum meluas ke sub populasi tertentu). Secara umum di Asia, negara
yang tergolong epidemi meluas yaitu Kamboja, sebagian India, Myanmar, dan
Thailand. Epidemi terkonsentrasi yaitu sebagian China, Indonesia, Malaysia,
Nepal, dan Vietnam. Sedangkan epidemi rendah yaitu Bangladesh, Bhutan, Laos,
Filiphina, Republik Korea, dan Srilanka (Ilmiyah, 2014).
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013, setelah tiga tahun
berturut-turut (2010-2012) cukup stabil, perkembangan jumlah kasus baru HIV
positif pada tahun 2013 kembali mengalami peningkatan secara signifikan,
dengan kenaikan mencapai 35% dibanding tahun 2012 yang hanya sebesar 21.511
menjadi 29.037 kasus baru HIV. Adanya kecenderungan peningkatan penemuan
kasus kumulatif AIDS sampai tahun 2013 sebesar 52.348 kasus dari 46.740 kasus
di tahun 2012. Namun pada tahun 2013 terjadi penurunan kasus baru AIDS
menjadi sebesar 5.608 kasus dari 8.610 di tahun 2012.
Jika dilihat dari gambaran kasus baru AIDS menurut kelompok umur
menunjukkan bahwa sebagian besar kasus baru AIDS terdapat pada usia
produktif, seperti pada usia 20-29 tahun (25,3%), usia 30-39 tahun (26%), dan
usia 40-49 tahun sebesar 11,6% (Kemenkes RI, 2014). Menurut Adisasmito
(2007), pola pemberantasan HIV/AIDS di Indonesia harus dilakukan secara
cukup besar. Diharapkan hal itu mampu menyelamatkan SDM berusia produktif
yang berpotensi bagi pembangunan dari mewabahnya HIV/AIDS di masyarakat.
Menurut Nursalam dan Kurniawati (2009), ada beberapa faktor resiko cara
penularan HIV/AIDS yang ada di masyarakat adalah melalui hubungan seksual
dengan penderita, penularan HIV dari ibu kepada bayinya saat proses kehamilan,
darah yang tercemar HIV/AIDS, pemakaian alat kesehatan yang tidak steril, alat
untuk menoreh kulit, dan menggunakan jarum suntik secara bergantian.
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013, HIV/AIDS yang
ditularkan melalui hubungan seksual lawan jenis (heteroseksual) masih
merupakan cara penularan dengan persentase tertinggi yaitu sebesar 78%,
hubungan sejenis melalui Lelaki Seks dengan Lelaki (LSL) menempati urutan
kedua yaitu 43%, penggunaan alat suntik secara bergantian 9,3 %, penularan dari
ibu ke anak sebesar 2,6 % serta transfusi darah 0,5% (Kemenkes RI, 2014).
Menurut Dirjen PP dan PL (2014) menyatakan bahwa situasi epidemi
HIV/AIDS telah berubah. Pada tahun-tahun mendatang, jumlah terbesar infeksi
HIV baru akan terjadi di antara Lelaki Seks Lelaki (LSL), diikuti oleh perempuan
pada populasi umum (perempuan risiko rendah). Estimasi dan proyeksi jumlah
ODHA menurut populasi kunci LSL di Indonesia pada tahun 2014 sekitar 113.650
dengan infeksi HIV baru 22.352 orang, serta pada tahun 2015 diproyeksikan ada
132.690 dengan infeksi HIV baru 25.412 orang. Proporsi infeksi HIV baru
tertinggi pada kelompok LSL sebesar 32% akibat penularan seks mereka.
Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2013 menunjukkan
sebanyak 387 kasus. Dengan peningkatan ini maka sampai dengan tahun 2013
jumlah kasus HIV secara keseluruhan (prevalens) menjadi 2.916 kasus dan AIDS
sebanyak 4.628 kasus. Penderita baru HIV/AIDS, ada 3 kota yang tergolong pada
peringkat tertinggi di tahun 2013 secara berurutan yaitu Kota Medan sekitar
37,79%, Kabupaten Deli Serdang sebanyak 16,96% dan Kota Pematang Siantar
sebanyak 8,97% dari total seluruh penderita baru (Dinkes ProvSU, 2014).
Sementara itu, Kota Medan tercatat ada sebanyak 597 jumlah penemuan
kasus HIV dan 50 jumlah kasus AIDS. Dari keseluruhannya, ada sejumlah 97
orang yang mengalami kematian karena AIDS. Kelompok umur yang sangat
menyumbang angka kematian akibat AIDS tersebut berada pada rentang umur
30-39 tahun sebanyak 63 orang (Dinkes Kota Medan, 2014).
Pemerintah saat ini sudah membuat program penanggulangan HIV/AIDS
di Kabupaten/Kota. Menurut Permenkes RI No.21/2013 tentang penanggulangan
HIV/AIDS pasal 9 ayat 1 telah disebutkan bahwa ada 5 kegiatan yang
dilaksanakan untuk menanggulangi permasalahan HIV/AIDS yaitu promosi
kesehatan; pencegahan penularan HIV; pemeriksaan diagnosis HIV; pengobatan,
perawatan, dan dukungan; serta rehabilitasi.
Meningkatnya jumlah kasus infeksi HIV khususnya pada kelompok sub
populasi yang beresiko, maka kemungkinan terjadinya penyebaran infeksi HIV ke
masyarakat umum tidak dapat diabaikan. Kebanyakan dari mereka yang berisiko
tertular HIV tidak mengetahui akan status HIV mereka, apakah sudah terinfeksi
Oleh karena itu, penanganan tidak hanya dari segi medis tetapi juga dari
psikososial dengan berdasarkan pendekatan kesehatan masyarakat melalui upaya
pencegahan primer, sekunder, dan tertier. Salah satu upaya tersebut adalah deteksi
dini untuk mengetahui status seseorang sudah terinfeksi HIV atau belum melalui
Konseling dan Testing HIV/AIDS Sukarela (VCT), bukan dipaksa atau
diwajibkan. Mengetahui status HIV lebih dini memungkinkan pemanfaatan
layanan-layanan terkait dengan pencegahan, manajemen kasus, perawatan,
dukungan, dan pengobatan bagi ODHA sehingga KTS/VCT merupakan pintu
masuk semua layanan tersebut di atas (Depkes RI, 2006).
Menurut Mujiati dkk (2013), Konseling dan Testing HIV ini penting
karena: Pertama, melakukan pencegahan penularan HIV dari seseorang dengan
HIV positif ke orang lain. Kedua, klinik VCT merupakan pintu masuk ke semua
layanan HIV/AIDS. Ketiga, mengurangi stigma masyarakat dan mendukung hak
asasi manusia. Diagnosis HIV mempunyai banyak implikasi baik fisik,
psikologik, sosial, maupun spiritual. HIV/AIDS dapat mengancam kehidupan dan
pengobatannya seumur hidup, sehingga menimbulkan stigma di masyarakat.
Keberhasilan penemuan penderita HIV/AIDS salah satunya disebabkan
meningkatnya jumlah layanan Konseling dan Tes HIV secara Sukarela (VCT) di
beberapa wilayah di Indonesia. Menurut Dinkes ProvSU (2014), peningkatan
kasus yang terjadi setelah tahun 2000 merupakan upaya membongkar fenomena
gunung es “ice berg fenomenm” yaitu jumlah kasus yang ditemukan lebih sedikit
Dari hasil kajian eksternal yang dilakukan telah terlaporkan banyak
kemajuan program yang nyata seperti misalnya jumlah peningkatan cakupan
layanan tes HIV bertambah secara nyata. Hingga saat ini berjumlah lebih dari 300
layanan yang tersebar di seluruh provinsi dan aktif melaporkan kegiatannya.
Namun demikian, masih juga belum cukup menjangkau masyarakat untuk
mengetahui status HIV mereka serta jumlah kasus dan ODHA (Orang Dengan
HIV/AIDS) masih cenderung terus meningkat. Hal ini terlihat akan kesenjangan
yang tinggi antara estimasi jumlah ODHA dengan ODHA yang pernah
menjangkau layanan Konseling dan Testing HIV. Mereka datang ke layanan
kesehatan setelah timbul gejala dan menjadi simtomatik (Kemenkes RI, 2013).
Puskesmas memegang peranan penting sebagai unit pelayanan kesehatan
terdepan dalam upaya pengendalian penyakit menular yang salah satunya adalah
HIV/AIDS. Puskesmas menjadi tonggak utama dalam upaya preventif dan
promotif bagi masyarakat, khususnya dalam upaya mendeteksi dini HIV melalui
penggunaan pelayanan klinik VCT oleh masyarakat.
Berdasarkan hasil analisa dari Laporan Triwulan III Dirjen PP dan PL
(2014), keseluruhan pelayanan VCT di berbagai puskesmas yang ada di Kota
Medan, Puskesmas Teladan meraih jumlah penemuan kasus HIV positif tertinggi
sebesar 44 orang HIV positif, namun jumlah orang yang berkunjung menempati
urutan ketiga terbanyak (929 orang yang berkunjung) setelah Puskesmas Padang
Bulan dan Puskesmas Helvetia. Data mengenai jumlah kunjungan Konseling dan
Tes HIV Per Bulan beserta rincian rekapitulasi kunjungan dan tes HIV positif
Puskesmas Teladan Kota Medan tahun 2014 secara rinci dapat dilihat pada tabel
1.1 dan tabel 1.2 berikut ini :
Tabel 1.1 Jumlah Kunjungan Konseling dan Tes HIV Per Bulan di Klinik IMS dan VCT Puskesmas Teladan Kota Medan Tahun 2014
Bulan Jlh
Sumber: Laporan Bulanan KTS/VCT Puskesmas Teladan Kota Medan.
Tabel 1.2 Data Rekapitulasi Kunjungan Konseling dan Tes HIV Positif pada Kelompok Risiko Tinggi Tertular HIV/AIDS di Klinik IMS dan VCT Puskesmas Teladan Kota Medan Tahun 2014
Pasangan Risiko Tinggi 625 19
Pasangan Pekerja Seks 282 11
Lain-Lain 13 1
Total 1407 65
Sumber: Laporan Bulanan KTS/VCT Puskesmas Teladan Kota Medan.
Berdasarkan hasil telaah data laporan bulanan VCT Puskesmas Teladan
disebabkan karena berhubungan dengan Lelaki Seks Lelaki (LSL) dan Waria.
Masalah yang kemudian timbul adalah masih sedikit kelompok risiko tinggi
tertular HIV/AIDS pada LSL yang mau menggunakan klinik VCT yang tersedia
di Puskesmas Teladan (236 kunjungan atau 16.77%). Sedangkan jumlah
kumulatif penemuan kasus HIV dari data hasil kunjungan kelompok LSL yang
sudah menggunakan VCT tersebut cukup banyak (25 orang HIV positif) di
Puskesmas tersebut jika dibandingkan kelompok risiko HIV lainnya.
Menurut laporan yang didapat dari KPA Tahun 2011 dalam Susanti
(2014), jumlah keseluruhan LSL berdasarkan letak wilayah per-kecamatan yang
menjadi pemetaan populasi kunci untuk pencegahan penyebaran HIV/AIDS
ditemukan paling banyak di Kecamatan Medan Kota sebanyak 295 LSL dari 1699
LSL yang ada di Kota Medan tahun 2011. Hal ini menjadi pertimbangan dan
perhatian serius bagi pihak puskesmas mengingat Puskesmas Teladan menaungi
wilayah kerja di kecamatan tersebut.
Jika puskesmas tersebut dilakukan perbandingan dengan estimasi jumlah
Populasi Kunci Terdampak (PKT) HIV di Kota Medan sebesar 8.495 jiwa LSL
(Dirjen PP dan PL, 2014) dan estimasi komunitas LSL sebesar 572 ODHA di
Kota Medan (Dirjen PP dan PL, 2014), maka menimbulkan kesenjangan berupa
rendahnya permintaan LSL dalam memanfaatkan VCT Puskesmas Teladan
(2,77%) mengingat tersangka HIV banyak diperoleh dari kelompok tersebut.
Fenomena ini menggambarkan bahwa ada sebagian kecil rasa
keingintahuan LSL yang merasa terinfeksi HIV maupun IMS lainnya untuk
ataupun pelayanan kesehatan lainnya. Kondisi ini didasari adanya persepsi bahwa
orang yang terjangkit virus HIV pada tahap awal, biasanya tak merasakan tanda
berarti secara fisik sehingga mereka enggan memeriksakan dirinya ke layanan
kesehatan. Bagi pengguna klinik IMS dan VCT diduga masih tabu dan malu,
meskipun sudah dilakukan sosialisasi ke masyarakat. Hal ini disebabkan oleh
adanya anggapan stigma dan diskriminasi oleh masyarakat lain.
Persepsi masyarakat terhadap sehat-sakit erat hubungannya dengan
perilaku pencarian pengobatan. Perilaku pencarian pengobatan bisa berupa tidak
bertindak apa-apa, mengobati sendiri, mencari pengobatan ke fasilitas
tradisional/modern, atau bahkan hanya membeli obat di apotek. Kedua pokok
pikiran tersebut akan memengaruhi atas dipakai atau tidak dipakainya fasilitas
kesehatan yang disediakan (Notoatmodjo, 1993).
LSL (Lelaki Seks Lelaki) cenderung memiliki banyak pasangan seks.
Perilaku seksual LSL melalui seks oral, anal, dan vaginal sehingga LSL
memberikan kontribusi penularan IMS dan HIV yang signifikan. Hal ini
diperparah apabila pemakaian kondom secara konsisten dinilai sangat rendah.
Berdasarkan hasil penelitian Susanti (2014) menunjukkan bahwa perilaku seksual
komunitas LSL di Kota Medan dapat menularkan IMS dan HIV/AIDS karena
mereka memiliki pasangan tetap seorang wanita dan pasangan laki-laki atau
waria. Selain itu, LSL belum menggunakan kondom setiap berhubungan seksual
pada pasangannya dengan alasan kenikmatan seksual.
Yayasan Riset AIDS Amerika, AMFAR dalam Wahyuddin (2010)
19 kali lebih besar tertular penyakit HIV ketimbang masyarakat umum, AMFAR
mengeluarkan kesimpulan ini setelah melakukan penelitian di 129 negara.
Berdasarkan pengamatan pada studi pendahuluan, alasan dari Lelaki Seks
Lelaki tidak mau demand dalam menggunakan pelayanan klinik VCT bermacam-macam seperti menganggap layanan VCT bagi yang sudah terkena HIV, tidak
memerlukan VCT jika belum sakit yang parah, kurang motivasi, merasa tidak
memiliki risiko HIV/AIDS, tidak ingin terlihat datang ke pusat pelayanan VCT
dengan alasan malu, takut dinyatakan HIV positif sehingga muncul beban bagi
pikiran mereka serta takut adanya stigma/diskriminasi di masyarakat, dan takut
kehilangan pelanggan yang berdampak pada penghasilan. Sementara penemuan
kasus HIV positif bagi kelompok risiko tertular HIV/AIDS salah satunya sangat
mengandalkan dari keberadaan klinik VCT. Oleh karena itu, dibutuhkan persepsi
dan respon yang positif dari LSL terhadap demand pelayanan VCT.
Menurut Jacobalis dalam Trimurthy (2008), faktor utama yang
mempengaruhi demand terhadap pelayanan kesehatan adalah persepsi sakit, realisasi kebutuhan (harapan, kepercayaan, pengalaman sebelumnya, adat istiadat,
agama), kemampuan membayar, motivasi untuk memperoleh pelayanan
kesehatan, serta lingkungan (tersedianya fasilitas pelayanan kesehatan).
Kroeger menggambarkan penggunaan pelayanan kesehatan di negara
berkembang dipengaruhi oleh persepsi terhadap keuntungan dari tindakan
pencarian pengobatan dan persepsi atas hambatan untuk melakukan tindakan.
Kedua macam persepsi ini dipengaruhi oleh tiga kelompok variabel, yaitu:
predisposing factors, karakteristik dari penyakit dan pandangan terhadap penyakit itu, serta persepsi terhadap sistem pelayanan kesehatan (Trimurthy, 2008).
Andersen dalam Fauriza (2014) menyatakan bahwa salah satu faktor
dalam karakteristik predisposisi yang menentukan perilaku permintaan dalam
pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah kepercayaan tentang kesehatan (health beliefs model). Kepercayaan tentang kesehatan terkait dengan aspek persepsi, sikap dan pengetahuan tentang penyakit dan pelayanan kesehatan.
Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian tentang persepsi
Lelaki Seks Lelaki (LSL) tentang HIV/AIDS dan VCT dalam peningkatan
demand pada pelayanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) di Klinik IMS dan VCT Puskesmas Teladan dalam rangka semua stakeholder HIV/AIDS dapat menentukan rencana dan strategi selanjutnya agar kelompok orang risiko tinggi
HIV/AIDS khususnya LSL dapat meningkatkan permintaan dalam memanfaatkan
layanan VCT secara maksimal demi penanggulangan HIV/AIDS di Kota Medan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, dapat dirumuskan
permasalahan penelitian ini adalah sebagai berikut : bagaimana persepsi Lelaki
Seks Lelaki (LSL) tentang HIV/AIDS dan VCT dalam peningkatan demand pada pelayanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) di Klinik IMS dan VCT Puskesmas Teladan Kota Medan.
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana persepsi
demand pada pelayanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) di Klinik IMS dan VCT Puskesmas Teladan Kota Medan.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Memberikan bahan masukan dan informasi bagi Dinas Kesehatan Kota
Medan dan tim Komisi Penanggulangan AIDS Kota Medan dalam
rangka pengembangan VCT untuk pencegahan penularan HIV/AIDS.
2. Sebagai kontribusi dan masukan bagi pihak Puskesmas Teladan
khususnya Klinik IMS dan VCT mengenai pengembangan pelayanan
VCT bagi masyarakat Kota Medan.
3. Sebagai bahan referensi dan perbandingan bagi peneliti selanjutnya
yang ingin melakukan penelitian sejenis.
4. Sebagai tambahan informasi yang akan memperkaya kajian dalam ilmu