• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III TINDAK KEKERASAN TERHADAP ANAK-ANAK DALAM

3.3 Kekerasan Terhadap Anak secara Sosial

Menurut Suharto, kekerasan anak secara sosial dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh-kembang anak. Misalnya, anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial, atau politik tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikisnya dan status sosialnya. Misalnya, anak dipaksa untuk bekerja di pabrik-pabrik yang membahayakan (pertambangan, sektor alas kaki) dengan upah rendah dan tanpa peralatan yang memadai, anak dipaksa untuk angkat senjata, atau dipaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga melebihi batas kemampuannya (Edi Suharto via Abu Huraerah, 2007: 47-49).

3.3.1 Budi

Budi dan kawan-kawan dipekerjakan sebagai buruh Jermal. Awalnya mereka dijanjikan untuk bekerja di Paris, namun tidak ada yang menyangka bahwa Budi dan kawan-kawan dipekerjakan sebagai buruh Jermal di tempat yang sama sekali asing buat mereka. Berikut kutipan yang menunjukkan kekerasan anak secara sosial.

(43) “Tidak ada yang tahu, surat itu sebenarnya adalah surat perjanjian bahwa mereka akan memperdagangkan anak dibawah umur. Ketika menunjukkan surat itu, ia menutup-nutupinya dengan kertas kosong yang dijepit di bagian depannya, dan hanya ada ruang kosong yang mengintip di bawah, merayu untuk segera ditandatangani. Padahal, tanpa ditutupi begitu rupa, ketiga anak ini sampai kiamat juga tidak akan tahu apa isi surat sebenarnya karena mereka tak bisa membaca.” (Wiwid, 2009:116)

(44) “Ketiga anak polos itu tengah berkemas, tanpa mengetahui bahwa mereka sebenarnya sedang pergi ke mulut buaya yang menanti dengan mulut menganga dan bau mulut kebohongan yang luar biasa besar.

Pak Giri, namanya. Mereka berkenalan hariini saat lelaki itu akan check out dari hotel, sekaligus mengantarkan mereka ke tempat yang mereka tuju, Pelabuhan Tanjung Priok.” (Wiwid, 2009:122)

Kutipan (43) dan (44) menjelaskan bahwa Budi dan teman-temannya telah diperdagangkan untuk menjadi buruh Jermal di Tanjung Balai, Sumatera. Tempatnya sangat terpencil dan sangat sulit untuk dijangkau.

3.3.2 Riris

Selain dipekerjakan sebagai buruh Jermal, Riris juga mendapat perlakuan eksploitasi anak dari ibunya sendiri. Ia dipekerjakan sebagai ‘pelacur kecil’ di sebuah bar di kampungnya. Berikut

kutipan yang menjelaskan kekerasan anak secara sosial yang dialami Riris.

(45) Tidak ada yang tahu, surat itu sebenarnya adalah surat perjanjian bahwa mereka akan memperdagangkan anak dibawah umur. Ketika menunjukkan surat itu, ia menutup-nutupinya dengan kertas kosong yang dijepit di bagian depannya, dan hanya ada ruang kosong yang mengintip di bawah, merayu untuk segera ditandatangani. Padahal, tanpa ditutupi begitu rupa, ketiga anak ini sampai kiamat juga tidak akan tahu apa isi surat sebenarnya karena mereka tak bisa membaca.” (Wiwid, 2009:116)

(46) “Ketiga anak polos itu tengah berkemas, tanpa mengetahui bahwa mereka sebenarnya sedang pergi ke mulut buaya yang menanti dengan mulut menganga dan bau mulut kebohongan yang luar biasa besar.

Pak Giri, namanya. Mereka berkenalan hariini saat lelaki itu akan check out dari hotel, sekaligus mengantarkan mereka ke tempat yang mereka tuju, Pelabuhan Tanjung Priok.” (Wiwid, 2009:122)

Kutipan (45) dan (46) menunjukkan kekerasan secara sosial yang dialami Riris dan kawan-kawannya ketika hendak diperdagangkan pak Giri untuk menjadi buruh jermal.

(47)“Satu hal yang tidak disadari Riris bahwa sang ibu ini benar-benar sudah gelap mata. Ia sengaja memanfaatkan kelemahlembutan wajah Riris untuk sesuatu yang sama sekali tidak dimengertinya.

Selesai dibedaki, kemudian bibirnya yang tipis diwarnai dengan liptik berwarna merah saga.

“Ibu apa-apaan,sih?”

“Sudah, kamu diam saja. Jadi anak Ibu harus penurut.” “Tetapi, bukan seperti ini caranya.”

“Kamu bisa diam,nggak!” sang ibu mulai naik pitam. “Ternyata, Ibu sama saja. Ibu nggak bisa mengerti aku.”

Plakkkkkk…..!!!

Sebuah tamparan keras tiba-tiba mendarat. Membuat sudut Riris pecah.” (Wiwid, 2009:248-249)

(48) “Kamu masih mau jadi anak ibu,nggak?” “Selamanya aku akan jadi anak Ibu.”

“Kalau begitu, kau pakai gaun ini. ibu ingin melihat seberapa

cantiknya kamu.”

Riris menurut. Ia bangkit dengan sisa-sisa tenaga, kemudian mulai melucuti pakaiannya, berganti dengan gaun berwarna putih dengan kembang-kembang di dada.” (Wiwid, 2009:25)

Kutipan (47) dan (48) menggambarkan pemaksaan ibunya kepada Riris untuk menjadi pelayan sebuah bar yang keberadaannya merupakan kebanggan bagi penduduk kampung Buntalan Mayat.

3.3.3. Slamet

Selain Budi dan Riris, Slamet pun tak luput dari target pak Giri untuk diperdagangkan sebagai buruh jermal di Sumatera Utara. Berikut kutipannya ketika Slamet dan kawan-kawannya diperdagangkan tanpa sepengetahuan mereka.

(49) Tidak ada yang tahu, surat itu sebenarnya adalah surat perjanjian bahwa mereka akan memperdagangkan anak dibawah umur. Ketika menunjukkan surat itu, ia menutup-nutupinya dengan kertas kosong yang dijepit di bagian depannya, dan hanya ada ruang kosong yang mengintip di bawah, merayu untuk segera ditandatangani. Padahal, tanpa ditutupi begitu rupa, ketiga anak ini sampai kiamat juga tidak akan tahu apa isi surat sebenarnya karena mereka tak bisa membaca.” (Wiwid, 2009:116)

(50) “Ketiga anak polos itu tengah berkemas, tanpa mengetahui bahwa mereka sebenarnya sedang pergi ke mulut buaya yang menanti dengan mulut menganga dan bau mulut kebohongan yang luar biasa besar.

Pak Giri, namanya. Mereka berkenalan hariini saat lelaki itu akan check out dari hotel, sekaligus mengantarkan mereka ke tempat yang mereka tuju, Pelabuhan Tanjung Priok.” (Wiwid, 2009:122)

Slamet tak mampu mengelak dan lari ketika dirinya tahu bahwa ia akan diperdagangkan menjadi buruh jermal, karena ketika ia tahu, ia, Budi, dan Riris sudah berada di kapal menuju jermal.

3.4 Kekerasan Terhadap Anak secara Psikis

Dokumen terkait