• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kekerasan terhadap anak-anak dalam novel ``Miskin Kok Mau Sekolah..?! Sekolah Dari Hongkong..!!! karya Wiwid Prasetyo : tinjauan sosiologi sastra - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Kekerasan terhadap anak-anak dalam novel ``Miskin Kok Mau Sekolah..?! Sekolah Dari Hongkong..!!! karya Wiwid Prasetyo : tinjauan sosiologi sastra - USD Repository"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

KEKERASAN TERHADAP ANAK-ANAK

DALAM NOVEL

MISKIN KOK MAU SEKOLAH..?!

SEKOLAH DARI HONGKONG…!!!

KARYA

WIWID PRASETYO TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA

Tugas Akhir

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Trivina Widiasti Wulandari NIM: 054114004

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

KEKERASAN TERHADAP ANAK-ANAK

DALAM NOVEL

MISKIN KOK MAU SEKOLAH..?!

SEKOLAH DARI HONGKONG…!!!

KARYA

WIWID PRASETYO TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA

Tugas Akhir

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Trivina Widiasti Wulandari NIM: 054114004

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya ini untuk:

Tuhan Yesus Kristus, yang selalu memberikan kekuatan

dibalik setiap proses hidupku. Aku ada sebagaimana aku ada sekarang, semua karenaMu. You are my saviour in my life,

without you, i dont believe i can life.

Kedua orang tuaku, Bapak Johannes Soewito dan Mimi Sri Budiasih yang selalu rela, sabar, dan tanpa lelah menjadikan aku sebagai seorang manusia yang terpelajar, hingga aku bisa sarjana juga akhirnya. Aku hadiahkan

skripsi ini sebagai kado untuk ibundaku tersayang, dan aku hadiahkan wisudaku nanti untuk hadiah pernikahan orang tuaku. Tanpa kalian, aku tidak aka nada seperti sekarang. Thanks mommy, thanks dad…

Kedua kakakku, Daniel Ferry Budiawan, dan Louis Dhatu Aswita Pusparani yang selalu memberi dukungan dan semangat dalam adiknya berkarya.

Teman-teman baik namun menjadi saudara-saudara tercinta kini, Christina Rahayu Putra, Ignatia Rinnie Setyaningsih, Listiana Kusuma Handaru, dan Ayu Sapoetri Pujiandarini, yang selalu menemani disetiap langkahku.

(6)

MOTTO

TUHAN tidak akan pernah terlambat,

Juga tidak akan terlalu cepat,

DIA bekerja tepat pada waktuNYA.

(Trvina Widiasti Wulandari)

eee

Aku telah belajar untuk tidak

mempersoalkan masalah-masalah kecil,

Kebanyakan masalah sesungguhnya sederhana.

Waktu sangat berharga, akan tetapi

kita terlalu sering memboroskannya untuk merasakan

kebencian,

kepahitan, memendam sakit hati, atau menolak memaafkan

atau mengumbar sebuah dendam.

(Paul J. Meyer)

eee

Tetapi karena kasih karunia Allah

Aku adalah sebagaimana aku ada sekarang,

Dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak

sia-sia.

(7)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah saya sebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 24 Juni 2011 Penulis

(8)

Pernyataan Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah

untuk Kepentingan Akademis

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Trivina Widiasti Wulandari

NIM : 054114004

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul Kekerasan Terhadap Anak-anak dalam novel “Miskin Kok Mau Sekolah...?!! sekolah

dari Hongkong...!!!” karya Wiwid Prasetyo Tinjauan Sosiologi Sastra, beserta

perangkat yang diperlukan (bila ada).

Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak menyimpan, mengalihkan dalam bentuk lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media yang lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal 24 Juni 2011 Yang menyatakan,

(9)

ABSTRAK

Widiasti, Trivina. 2011. Kekerasan Terhadap Anak-Anak Dalam Novel Miskin Kok Mau Sekolah…?! Sekolah dari Hongkong…!!! Karya Wiwid Prasetyo Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra. Skripsi. Yogyakarta: Sastra Indonesia, Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mengkaji perilaku kekerasan terhadap anak-anak dalam novel

“Miskin Kok Mau Sekolah…?!” Sekolah dari Hongkong…!!! Karya Wiwid Prasetyo. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan struktur novel yang meliputi tokoh penokohan, alur, dan latar, sekaligus juga mendeskripsikan kekerasan terhadap anak dalam novel “Miskin Kok Mau Sekolah…?!” Sekolah dari Hongkong…!!! karya Wiwid Prasetyo.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan sosiologi sastra yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Mula-mula dilakukan analisis novel “Miskin Kok Mau Sekolah…?!” Sekolah dari Hongkong…!!! untuk melihat unsur tokoh penokohan, alur, dan latarnya. Hasil analisis tersebut digunakan sebagai dasar untuk menganalisis secara sosiologi sastra mengenai kekerasan terhadap anak-anak dalam novel “Miskin Kok Mau Sekolah…?!” Sekolah dari Hongkong…!!!. Metode yang digunakan adalah metode analisis isi dan metode kualitatif.

Hasil penelitian berupa pembagian tokoh dan penokohan dibagi menjadi tokoh utama protagonis, yakni Budi Totol, tokoh tambahan protagonis, yaitu Riris, tokoh tambahan, yakni Slamet dan Iwan, tokoh antagonis, yaitu Mboh Nah dan Pak Coki, dan terakhir tokoh tipikal yang diperankan oleh Pak Giri. Sedangkan latar yang digunakan meliputi latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Untuk alur, novel ini menggunakan alur sorot balik atau sering disebut sebagai alur mundur.

(10)

ABSTRACT

Widiasti, Trivina. 2011. A Literature – Sociology View of Violence on Children in Miskin Kok Mau Sekolah…?! Sekolah dari Hongkong…!!! A Novel by Wiwid Prasetyo. Final Paper. Yogyakarta: The Indonesian Literature Study Program, Literature Department, Sanata Dharma University.

This research analyzes violence on children in Miskin Kok Mau Sekolah…?! Sekolah dari Hongkong…!!!, a novel by Wiwid Prasetyo. This research aims to give a description about the structure of this novel. It includes the characters, characterizations, plot, and setting. Beside that, this paper also aims to describe violence on children in Miskin Kok Mau Sekolah…?! Sekolah dari Hongkong…!!!, a novel by Wiwid Prasetyo.

This research is covered by literature – sociology approach with the literature text as the main analyzing element. On the beginning, author analyzes

Miskin Kok Mau Sekolah…?! Sekolah dari Hongkong…!!!, the novel by Wiwid Prasetyo, to match the characters, characterizations, plot, and setting. The results are used in analyzing the violence on children in the same novel too. The research method is content analysis and qualitative methods.

The results are the composition of characters and characterizations which contain of the main protagonist character, Budi Totol, the additional protagonist character, Riris, additional characters, Slamet and Iwan, the antagonist characters, Mboh Nah and Pak Coki, and the typical character, Pak Giri. Besides this novel uses place setting, time setting, and social setting for the setting mark. In it’s plot, flashback plot is the most dominant one.

(11)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah melimpahkan segala kasih, hikmat, dan berkat yang teramat besar, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul Kekerasan Terhadap Anak-anak dalam Novel “Miskin Kok Mau Sekolah…??? Sekolah dari Hongkong…!!!” karya Wiwid Prasetyo Tinjauan Sosiologi Sastra sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.s) pada Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Ibu S.E. Peni Adji, S.S, M. Hum. selaku pembimbing I yang sudah bersedia memberikan bimbingan dan pengarahan selama proses pengerjaan tugas akhir ini dari awal hingga selesai.

2. Bapak Drs. B. Rahmanto, M. Hum. selaku pembimbing II yang sudah menyisihkan detik-detik waktu terakhir selaku dosen Sastra Indonesia sebelum purna tugasnya sebagai dosen Sastra Indonesia Sanata Dharma.

3. Ibu Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M. Hum., selaku dosen penguji, atas kesediaan menguji serta memberikan masukan dan kritikan untuk menjadikan tugas akhir ini selangkah lebih baik.

4. Dosen-dosen Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma, atas segala ajaran dan tuntunan untuk penulis memahami dunia sastra.

5. Staf sekretariat Prodi Sastra Indonesia USD atas semua kesabaran dan bantuannya dalam memperlancar urusan administrasi.

(12)

7. Keluarga besar The Cement Family, Christina Rahayu Putra, Ignatia Rinnie Setyaningsih, Listiana Kusuma Handaru, dan Ayu Saputri Pujiandarini. “Thanks for being my good listener”.

8. Teman-teman Sastra Indonesia 2005 USD. Tidak akan terlupa masa-masa kuliah kita, dan aku selalu merindukannya.

9. Kakak ketemu gedhe, Dionisius Agung dan Elizabeth Tresnawati. Terimakasih karna kalian sudah menjadi bagian dari otak saya. Tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku. “Thanks for being my good listener,too”.

10.Kekasihku, yang menjadi teman terbaikku, Benedictus Erwin Prabowo. Kaulah impianku, kaulah mimpiku, kaulah semangatku, kaulah bagian dari jiwaku. Terimakasih untuk ribuan pengalaman dalam hidupku. I always remember you in my life.

11.Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini.

Penulis menyadari bahwa Tugas Akhr ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis menerima masukan dan saran agar bisa berkembang dan semakin baik lagi. Semoga makalah Tugas Akhir ini berguna bagi para pembaca.

Yogyakarta, Juli 2011

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ………. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……….… ii

HALAMAN PERSETUJUAN PENGUJI ……….. iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ………. iv

MOTTO ……….. v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………...……...……... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ……….. vii

ABSTRAK ……….. viii

ABSTRACK ……… ix

KATA PENGANTAR ……… x

DAFTAR ISI ……….……… xii

BAB I PENDAHULUAN ………. 1

1.1 Latar Belakang Masalah ………..……… 1

1.2 Rumusan Masalah ………..………. 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

1.5 Tinjauan Pustaka ... 9

1.6 Landasan Teori ... 9

1.7 Metodologi Penelitian ... 24

1.8 Sumber Data... 28

(14)

BAB II STRUKTUR NOVEL DALAM MISKIN KOK MAU

SEKOLAH...?!! SEKOLAH DARI HONGKONG...!!! KARYA

WIWID PRASETYO ……… 29

BAB III TINDAK KEKERASAN TERHADAP ANAK-ANAK DALAM NOVEL MISKIN KOK MAU SEKOLAH...?!! SEKOLAH DARI HONGKONG KARYA WIWID PRASETYO ……….. 68

3.1 Pengantar ... 68

3.2 Kekerasan Terhadap Anak secara Fisik ... 69

3.2.1 Budi ... ……. 70

3.2.2 Riris ... 71

3.2.3 Slamet ... 71

3.3 Kekerasan Terhadap Anak secara Sosial ... 72

3.3.1 Budi... 73

3.3.2 Riris ... 73

(15)

3.4 Kekerasan Terhadap Anak secara Psikis ... 76

3.4.1 Riris ………... 77

3.5 Kekerasan Terhadap Anak secara Seksual ... 77

3.5.1 Riris ……….. 76

3.6 Kekerasan Terhadap Anak secara Verbal ... 78

3.6.1 Budi ... 78

3.6.2 Slamet ... 80

3.6.3 Iwan ... 81

3.7 Rangkuman ... 82

BAB IV PENUTUP ……… 84

4.1 Kesimpulan ... 84

4.2 Saran ... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 88

LAMPIRAN SINOPSIS ... 90

(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karya sastra merupakan suatu karya yang dihasilkan melalui proses kreatif pengarang. Dalam proses ini dibutuhkan suatu kreativitas dalam diri pengarang. Kreativitas ini dapat bersumber pada imajinasi pengarang atau hasil observasi pengarang terhadap realitas yang dihadapinya. Hal ini juga dijelaskan oleh Jakob Sumardjo (1979:65) yang mengatakan bahwa karya sastra merupakan hasil pengamatan sastrawan terhadap kehidupan di sekitarnya. Selain itu, Wellek dan Waren juga mengatakan bahwa proses kreatif meliputi seluruh tahapan, mulai dari dorongan bawah sadar yang melahirkan karya sastra sampai pada perbaikan terakhir yang dilakukan pengarang (Wellek dan Waren, 1990: 97). Karya sastra sangat berhubungan erat dengan masyarakat dan budayanya.

(17)

karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya (Nyoman Kutha Ratna, 2009:2).

Sesuai dengan definisi yang dikemukakan Kutha Ratna tersebut, peneliti menemukan gagasan yang berkaitan sosiologi sastra yang mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya, yakni dalam novel

“Miskin Kok Mau Sekolah…?! Sekolah dari Hongkong…!!!” karangan Wiwid Prasetyo. Miskin kok Mau Sekolah bercerita tentang kehidupan sekelompok anak yang hidup di jalanan berusia kurang lebih sembilan tahunan. Mereka adalah Budi, Riris, Iwan dan Slamet. Mereka terbentuk dalam satu kelompok karena persamaan nasib, yakni dikucilkan oleh masyarakat sekitar tempat mereka tinggal dan tidak adanya perhatian yang cukup dari keluarganya. Mereka memiliki cacat fisik, kecuali Riris. Riris bisa bergabung dalam kelompok Budi dan kawan-kawan karena ajakan Budi yang ketika itu tanpa sengaja menjatuhkan pisang goreng jualan Riris dan mengenai dirinya. Dari situlah mereka berkenalan, dan keakraban mereka berdua menular dengan teman-teman Budi yang lain.

(18)

melihatnya. Inilah alasan yang membuat Budi Totol dijauhi oleh masyarakat sekitarnya.

Lain halnya dengan Iwan. Iwan dikucilkan karena ia memiliki bibir yang sumbing. Ia menjadi bahan ejekan karena tidak bisa berbicara secara jelas, dan tentunya gigi yang tumbuh tidak sempurna sehingga mengakibatkan juga bicaranya semakin tidak jelas dan sempurna. Iwan memiliki penambahan nama grumpung, menjadi Iwan Grumpung. Lain Budi, lain Iwan, lain pula Slamet. Slamet memiliki penambahan nama garuk, menjadi Slamet Garuk. Konon ceritanya, dahulu ketika Slamet ada dalam kandungan, ibunya membunuh tokek yang mengganggu tidurnya. Maka setelah Slamet lahir, kulit tubuhnya nyaris seperti tokek, hitam bersisik, dan parahnya tiap kali dielus selalu mengelupas. Hal itu yang membuat Slamet selalu menggaruk-garuk badannya yang gatal dan tak jarang pula mengeluarkan nanah dan warna kemerah-merahan. Mereka bertiga berbanding terbalik dengan Riris. Ia adalah gadis cantik. Namun karena keadaanlah, sehingga kecantikan yang dimiliki Riris tertutupi. Dan di antara mereka, Ririslah yang selalu menjadi motivasi Budi, Iwan, dan Slamet. Riris menjadi penyemangat bagi mereka, sekaligus menjadi mutiara.

(19)

Mereka mampu bertahan dengan kondisi apa pun yang menerjang mereka. Kekerasan demi kekerasan mereka jalani, dari dipukuli, dicemooh, diteriaki, dituduh, dikucilkan, dibohongi, dan kekerasan lainnya, namun mereka tetap optimis bahwa suatu saat, mereka bisa menaklukkan dunia.

Kekerasan yang dilakukan masyarakat di sekitar Budi, Riris, Iwan, dan Slamet, membuat peneliti memfokuskan penelitian dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Selain itu, dalam novel Miskin Kok Mau Sekolah, Wiwid juga ingin mengangkat fenomena masyarakat tentang kekerasan yang dialami anak-anak usia dini, dalam hal ini, anak jalanan. Kekerasan yang Budi dan kawan-kawan alami bukan cenderung ke kekerasan fisik, namun lebih ke psikis yang bukan menjadikan mereka anak-anak minder, namun justru menjadikan mereka anak-anak yang lebih mandiri dan berguna untuk masyarakat di mana mereka tinggal.

(20)

kebencian antarsuku dan agama, dan sebagainya. Hal ini terlihat pada setiap pengalaman tokoh-tokoh dalam novel Miskin Kok Mau Sekolah

karya Wiwid Prasetyo. Mereka memiliki pengalaman dikucilkan, dicibir, dicemooh, ditolak, dimaki, sehingga perlakuan demikian dari masyarakat di mana mereka tinggal, membuat mereka memiliki persamaan satu sama lainnya, dan inilah yang membuat mereka saling ketergantungan.

Peneliti sangat tertarik untuk melihat lebih jauh tokoh Budi, Riris, Iwan, dan Slamet, mengenai perilaku kekerasan yang dilihat dengan teori Edi Suharto yang lebih spesifik membahas kekerasan terhadap anak. Barker via Huraerah mengemukakan kekerasan terhadap anak adalah tindakan melukai yang berulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak yang ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual, biasanya dilakukan para orang tua atau pihak lain yang seharusnya merawat anak (Huraerah, 2007:47).

(21)

ibunya, begitu juga dengan Budi, Iwan, dan Slamet. Budi ditinggalkan ayahnya tanpa alasan yang jelas. Budi, Iwan, dan Slamet juga merasa dikucilkan dan terpojok karena kecacatan yang justru menjadi bahan ejekan dan cemooh di masyarakat mereka tinggal.

Terry W. Lawson, psikiater anak, mengklasifikasikan kekerasan terhadap anak (child abuse) menjadi empat bentuk, yaitu emotional abuse,

verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse. Sementara itu, Suharto mengelompokkan child abuse menjadi: kekerasan secara fisik, kekerasan secara psikologi, kekerasan secara seksual, dan kekerasan secara sosial (Huraerah 2007:47).

(22)

sangat serius pada kehidupan anak dikemudian hari, seperti cacat tubuh permanen, kegagalan belajar, gangguan emosional, konsep diri yang buruk, menjadi penganiaya ketika dewasa, menggunakan obat-obatan atau alkohol, bahkan kematian (Huraerah, 2007: 56-57).

Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan konsep kekerasan menurut Abu Huraerah. Penulis juga menggunakan pendekatan sosiologi sastra yang bertolak dari asumsi bahwa karya sastra merupakan cerminan masyarakat. Pendekatan ini, mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatannya (Damono, 1978:2).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka masalah–masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1.2.1 Bagaimana struktur novel “Miskin kok Mau Sekolah…?! Sekolah dari Hongkong…!!!” karangan Wiwid Prasetyo, yang meliputi tokoh, alur dan latar?

1.2.2 Bagaimana kekerasaan terhadap anak dalam novel “Miskin kok Mau Sekolah…?! Sekolah dari Hongkong…!!!”

(23)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1.3.1 mendeskripsikan struktur novel “Miskin kok Mau Sekolah…?! Sekolah dari Hongkong…!!!” karangan Wiwid Prasetyo yang meliputi tokoh penokohan, alur, dan latar, 1.3.2 mendeskripsikan kekerasaan terhadap anak dalam “Miskin

kok Mau Sekolah…?! Sekolah dari Hongkong…!!!”

karangan Wiwid Prasetyo yang dilakukan oleh orang-orang disekitarnya, seperti orang tua, masyarakat kampung Buntalan Mayat, serta di tempat mereka bekerja.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Dalam dunia sastra, khususnya Sastra Indonesia, hasil penelitian ini dapat diharapkan dapat memotivasi pembaca agar peka terhadap masalah-masalah sosial yang berupa kekerasan secara lebih mendalam.

1.4.2 Dalam apresiasi sastra, hasil penelitian ini mampu memberikan penghargaan terhadap sastra popular, yang dipandang sebelah mata.

(24)

1.5 Tinjauan Pustaka

Sejauh pengamatan penulis, belum ada peneliti yang meneliti novel

“Miskin kok Mau Sekolah…?! Sekolah dari Hongkong…!!!” karangan Wiwid Prasetyo. Namun, peneliti menemukan penelitian yang berkaitan dengan kekerasan, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Listiana Kusuma Handaru 2005 Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma. Judul penelitiannya adalah Perilaku Kekerasan Tokoh dalam Kembang Jepun karya Remy Sylado Tinjauan Psikoanalisis. Listiana menggunakan teori kekerasan Poerwandari yang mendefinisikan kekerasan menjadi beberapa kelompok baik intensional (sengaja) maupun bukan intensional (tidak sengaja) yang mengakibatkan manusia (lain) mengalami luka, sakit, penghancuran, dan bukan cuma dalam artian fisik, tetapi juga psikologis. Sedangkan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori Edi Suharto untuk menguraikan secara jelas tentang kekerasan terhadap anak.

Dari penelitian terdahulu, peneliti berusaha melakukan penelitian yang berbeda dengan mengangkat perilaku kekerasan yang dialami Budi, Iwan, Slamet, dan Riris berdasarkan pendekatan sosiologi sastra.

1.6 Landasan Teori

(25)

1.6.1 Tokoh dan penokohan

Menurut Nurgiyantoro, istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Tokoh cerita (character), menurut Abrams via Nurgiyantoro (1995:165), adalah orang (-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan, sedangkan menurut Panuti Sudjiman, tokoh ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita (Sudjiman, 1988:16).

Penokohan menurut Jones (via Nurgiyantoro, 1995:166) adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita, sedangkan istilah tokoh lebih menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Dengan demikian, istilah penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh dan perwatakan, sebab ia sekaligus mencakup siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.

(26)

1.6.1.1Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Bahkan pada novel-novel tertentu, tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian dan dapat ditemui dalam tiap halaman buku cerita yang bersangkutan, berbeda dengan tokoh tambahan. Pemunculan tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama, secara langsung ataupun tak langsung (Nurgiyantoro, 1995:176-177). 1.6.1.2Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis

(27)

terjadinya konflik dalam sebuah novel, mungkin berupa tokoh antagonis, kekuatan antagonis, atau keduanya sekaligus (Nurgiyantoro, 1995: 178-179).

1.6.1.3 Tokoh Tipikal

Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya, dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya atau sesuatu yang lain yang lebih bersifat mewakili. Tokoh tipikal merupakan penggambaran, pencerminan, atau penunjukkan terhadap orang, atau sekelompok orang yang terkait dalam sebuah lembaga, atau seorang individu sebagai bagian dari suatu lembaga, yang ada di dunia nyata. Penggambaran itu tentu saja bersifat tak langsung dan tak menyeluruh, dan justru pihak pembacalah yang menafsirkannya secara demikian berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dan persepsinya terhadap tokoh di dunia nyata dan pemahamannya terhadap tokoh di dunia fiksi (Nurgiyantoro, 1995: 190-191).

1.6.2 Latar

(28)

karya fiksi tidak terbatas pada penempatan lokasi-lokasi tertentu, atau sesuatu yang bersifat fisik saja, melainkan juga yang berwujud tata cara, adat istiadat, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berlaku di tempat yang bersangkutan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra membangun latar cerita (Sudjiman, 1986:46).

Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi (Nurgiyantoro, 1995:217).

(29)

mudah dan terlalu cepat menautkan latar tertentu dengan konotasi tertentu.

1.6.3 Alur

Menurut Kamus Istilah Sastra yang disusun oleh Panuti sudjiman, alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalani dengan seksama yang menggerakkan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan selesaian (Sudjiman,1986:43). Dalam bukunya yang berjudul, ”Pengantar Apresiasi Karya Sastra”, Aminuddin mengatakan pengertian alur pada umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita (Aminuddin, 1987:83). Tahapan-tahapan peristiwa dalam alur ini, pertama, tahap

situation atau tahap perkenalan, kedua, tahap generating circumstance atau tahap pemunculan konflik, ketiga, tahap rising action atau tahap peningkatan konflik, keempat, tahap klimax

atau tahap puncak dari konflik, kelima, tahap denoument atau tahap penyelesaian.

Adapun Boen Oemaryati mengatakan bahwa alur adalah struktur penyusunan kejadian-kejadian dalam cerita, tetapi disusun secara logis (Ali, 1967 :120).

(30)

mengemukakan apa yang terjadi tetapi yang lebih penting ialah menjelaskan mengapa hal itu terjadi. Dengan sambung sinambungnya peristiwa ini terjadilah sebua cerita. Antara awal dan akhir cerita inilah terlaksana alur itu (Mido,1994:41-42).

Tahap penyusunan alur cerita sendiri terdiri atas tiga jenis yaitu teknik alur linier, teknik alur sorot balik, dan teknik alur campur. Teknik alur linier atau terusan adalah rangkaian cerita berkesinambungan, artinya alur cerita berurutan dari awal hingga akhir jalinan ceritanya tidak melompat-lompat sehingga mudah diikuti (Waluyo, 1994:154). Teknik alur sorot balik atau

(31)

tiga jenis alur, yakni teknik alur linier, teknik alur sorot balik, dan teknik alur campur.

1.6.4 Teori Sosiologi Sastra

Ada beberapa definisi sosiologi sastra menurut Ratna (2009:2-3). Yang pertama, pemahaman terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya. Yang kedua, pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakanginya. Yang ketiga, hubungan dwiarah (dialektik) antara sastra dengan masyarakat. Dan yang keempat, sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas interdepensi antara sastra dengan masyarakat. Penelitian ini menggunakan definisi (2) karena penelitian ini lebih cenderung membahas hubungan tokoh dengan sekitar yang melatarbelakanginya. Tokoh tidak dapat dipisahkan dengan hubungan masyarakat di sekitarnya.

(32)

memiliki nilai-nilai historis yang berhubungan dengan aspek kemanusiaan secara keseluruhan. Jadi, sosiologi sastra merupakan ilmu yang memandang karya sastra sebagai hasil interaksi pengarang dengan masyarakat sebagai kesadaran kolektif. Hal ini dikarenakan manusia dalam karya sastra adalah manusia dalam masyarakat sebagai transindividual, bukan individual (Ratna,2003:13).

Hubungan antara sosiologi dan sastra dalam hal ini adalah kesamaan dalam mengkaji masyarakat. Sosiologi adalah ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, serta mempelajari jaringan hubungan antarmanusia dalam masyarakat (Ratna, 2003:1). Di lain sisi, sastra berurusan dengan manusia dalam masyarakat walaupun memiliki cara penyajian yang berbeda. Sosiologi mengkaji masyarakat dengan analisis ilmiah yang obyektif, sedangkan sastra lebih pada aspek perasaan dari pengarangnya dalam menanggapi realita yang ada pada masyarakatnya.

1.6.5 Kekerasan

(33)

kekerasan yang dimaksud dapat dilakukan oleh individu, kelompok individu, negara (baik oleh aparat maupun sebagai sebuah sistem), dapat juga dilakukan oleh orang yang dekat dengan korban maupun orang yang tidak dikenal oleh korban.

(34)

fisik/seksual yang berdampak psikologis. Kekerasan Deprivasi dapat berupa penelantaran, penjauhan dari pemenuhan kebutuhan dasar (makan, minum, buang air, udara, bersosialisasi, dan bekerja) dalam berbagai bentuknya, misalnya pengurungan, pembiaran tanpa makanan dan minuman, serta pembiaran orang sakit serius (Poerwandari 2004:12).

Kekerasan bukan intensional adalah tindak kekerasan yang mungkin tidak disengaja, tetapi didasari oleh ketidaktahuan (ignorancy), kekurangpedulian, atau alasan-alasan lain yang menyebabkan subyek secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam upaya pemaksaan, penaklukkan, dan perendahan manusia lain. Misalnya, pembiaran terjadinya pemerkosaan atau penyiksaan fisik oleh seorang anak buah sedangkan majikannya diam saja membiarkan itu terjadi. Dalam hal ini, subyek tidak melakukan pemerkosaan atau penyiksaan fisik, tetapi sikapnya yang membiarkan itu terjadi dapat diartikan menyetujui atau sekurangnya, tidak mengambil langkah untuk mencegah atau memberi sanksi agar hal yang sama tidak terjadi penekanan pada sisi implikasi/akibat (Poerwandari 2004:13).

1.6.6 Kekerasan terhadap Anak

(35)

orang tua atau orang dewasa lainnya sampai kepada penelantaran kebutuhan-kebutuhan dasar anak.

(36)

memukul anak (ketika anak sebenarnya memerlukan perhatian). Pukulan akan diingat anak itu jika kekerasan fisik itu berlangsung dalam periode tertentu. Sedangkan, sexual abuse

biasanya tidak terjadi selama delapan belas bulan pertama dalam kehidupan anak. Eksploitasi seksual pada anak adalah ketergantungan, perkembangan seksual aktivitas yang tidak matur pada anak dan orang dewasa, dimana mereka tidak sepenuhnya secara komprenhensif dan tidak mampu untuk memberikan persetujuan karena bertentangan dengan hal yang tabu di keluarga.

Sementara itu, Edi Suharto via Abu Huraerah (2007: 47-48) mengelompokkan kekerasan terhadap anak menjadi: kekerasan secara fisik, kekerasan secara psikologis, kekerasan secara seksual, dan kekerasan secara sosial. Keempat bentuk kekerasan terhadap anak ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

(37)

panas atau berpola akibat sundutan rokok atau setrika. Lokasi luka biasanya ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut, punggung atau daerah bokong. Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orang tuanya, seperti anak nakal atau rewel, menangis terus, minta jajan, buang air, kencing atau muntah disembarang tempat, memecahkan barang berharga.

1.6.6.2 Kekerasan terhadap anak secara psikis, meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar atau kotor, memperlihatkan buku, gambar, dan film porno pada anak. Anak yang mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala perilaku maladaftif, seperti menarik diri, pemalu, menangis jika didekati, takut keluar rumah, dan takut bertemu dengan orang lain. 1.6.6.3 Kekerasan terhadap anak secara seksual, dapat berupa

(38)
(39)

Dalam penelitian ini, teori kekerasan yang akan dipakai adalah teori Edi Suharto. Menurut Edi, kekerasan terhadap anak tersebut meliputi kekerasan secara fisik, kekerasan secara psikologis, kekerasan secara seksual, dan kekerasan secara sosial. Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengemukakan perbedaan teori kekerasan Poerwandari secara umum dengan teori kekerasan terhadap anak milik Edi Suharto.

1.7 Metodologi Penelitian

1.7.1 Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data didapat melalui studi pustaka. Teknik tersebut dipakai untuk mendapatkan data yang ada, yaitu sebuah novel yang berjudul “Miskin Kok Mau Sekolah..?!” Sekolah dari Hongkong…!!!, buku-buku referensi, dan artikel atau tulisan-tulisan yang berkaitan dengan obyek tersebut.

Dalam teknik ini juga digunakan teknik simak dan teknik catat. Teknik simak digunakan untuk menyimak teks sastra yang telah dipilih sebagai bahan penelitian. Sedangkan, teknik catat digunakan untuk mencatat hal-hal yang dianggap sesuai dan mendukung penulis dalam memecahkan rumusan masalah. Teknik catat merupakan tindak lanjut dari teknik simak.

1.7.2 Analisis Data

(40)

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Prof. Dr. Lexy J. Moleong menyimpulkan penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong, 2006:6).

Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya. Dalam penelitian karya sastra, misalnya, akan dilibatkan pengarang, lingkungan sosial dimana pengarang berada, termasuk unsur-unsur kebudayaan pada umumnya (Ratna, 2009: 47).

(41)

1.7.2.2 Metode Analisis Isi

Sesuai dengan namanya analisis isi terutama berhubungan dengan isi komunikasi, baik secara verbal, dalam bentuk bahasa, maupun nonverbal, seperti arsitektur, pakaian, alat rumah tangga, dan media elektronik. Dalam ilmu sosial, isi yang dimaksudkan berupa masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik, termasuk propaganda. Jadi, keseluruhan isi dan pesan komunikasi dalam kehidupan manusia. Tetapi dalam karya sastra, isi yang dimaksudkan adalah pesan-pesan, yang dengan sendirinya sesuai dengan hakikat sastra. Analisis isi, khususnya dalam ilmu sosial sekaligus dapat dimanfaatkan secara kualitatif dan kuantitatif (Ratna 2009:48).

(42)

laten, tetapi belum tentu sebaliknya. Objek formal metode analisis ini adalah isi komunikasi. Analisis terhadap isi laten akan menghasilkan arti, sedangkan analisis terhadap isi komunikasi akan menghasilkan makna. Oleh karena itulah, metode analisis isi dilakukan dalam dokumen-dokumen yang padat isi (Ratna, 2009: 48-49).

1.7.3 Penyajian Hasil Analisis Data

Penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dan metode analisis. Metode deskriptif diartikan sebagai pemecah masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya untuk memberikan bobot lebih tinggi pada metode ini (Namawi dan Martini, 1994:73). Selain itu, penelitian deskriptif di sini adalah jenis penelitian yang memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada perlawanan terhadap obyek yang diteliti (Kountur, 2003:105).

(43)

1.8 Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Judul buku : Miskin kok Mau Sekolah…?! Sekolah dari Hongkong…!!!

Pengarang : Wiwid Prasetyo Tahun terbit : 2009

Penerbit : PT. Diva Press Cetakan : 1 (pertama) Halaman : 389 halaman

1.9 Sistematika Penyajian

(44)

BAB II

STRUKTUR NOVEL

DALAM MISKIN KOK MAU SEKOLAH…?!

SEKOLAH DARI HONGKONG…!!! KARANGAN WIWID PRASETYO

2.1 Pengantar

Dalam bab II ini, akan dianalisis struktur novel “Miskin kok mau sekolah…?! Sekolah dari Hongkong…!!!” karangan Wiwid Prasetyo yang meliputi tokoh penokohan, alur, dan latar. Analisis ini dipakai sebagai dasar untuk menelaah kekerasan terhadap anak, yang akan dipaparkan pada bab berikutnya.

(45)

memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca (Nurgiyantoro, 1995:166).

Ada beberapa tokoh yang terkait dengan novel “Miskin kok mau sekolah…?! Sekolah dari Hongkong…!!!” karangan Wiwid Prasetyo, dan mereka memiliki ciri dan sifat yang berbeda namun saling berkaitan satu sama lainnya sehingga menimbulkan konflik, dan hal itulah yang menjadikan cerita dalam novel karangan Wiwid Prasetyo ini menjadi menarik untuk disimak. Mereka adalah Budi, Riris, Slamet, Iwan, Mbok Nah, Pak Coki, dan Pak Giri.

(46)

bukan di tempat yang layak-. Pada akhir bab, penulis kembali bercerita masa sekarang, dimana dirinya merindukan Riris (Ukhti Ayu) yang sudah menghilang beberapa tahun silam. Disini, penulis menceritakan bahwa dirinya menemukan Riris kembali lewat akun pertemanan bernama

facebook. Hingga akhirnya penulis memutuskan untuk menelusuri keberadaan Riris dan berhasil menemukannya.

Latar menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams, 1981:175 via Nurgiyantoro). Latar dalam karya fiksi tidak terbatas pada penempatan lokasi-lokasi tertentu, atau sesuatu yang bersifat fisik saja, melainkan juga yang berwujud tata cara, adat istiadat, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berlaku di tempat yang bersangkutan.

Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi (Nurgiyantoro, 1995:217). Selain itu, latar juga berfungsi sebagai proyeksi keadaan batin para tokoh, dengan kata lain, latar menjadi metafor dari keadaan emosional dan spiritual tokoh (Sudjiman, 1988:46).

2.2 Tokoh dan Penokohan

2.2.1 Budi

(47)

adalah bocah laki-laki berusia kurang lebih sebelas tahun dan ia merupakan anak tunggal. Ayahnya bekerja sebagai kuli batu di sebuah proyek gedung megah Jakarta, sedangkan ibunya adalah pengangguran. Ia tinggal di perkampungan yang menganut sifat hedonisme, yakni Kampung Kebon Jeruk Jakarta, atau sering disebut sebagai Kampung Buntalan Mayat. Budi memiliki sifat yang keras namun setia kawan. Sifat keras didapatnya karena lingkungan yang membentuknya. Dari kecil Budi memang dididik dengan sikap keras, entah dijambak, dicubit, hingga pukulan yang menyisakan bekas memar. Tidak ada sayang yang ditunjukkan dengan kelemahlembutan bagi ayah Budi. Hal itu pun yang menjadikan Budi menjadi pribadi yang keras, ditambah lagi sikap penolakan terhadap dirinya yang dilakukan masyarakat tempat ia tinggal. Berikut kutipan yang menjelaskan pengakuan Budi pada ayahnya saat mengutarakan alasan mengapa ia pergi begitu saja meninggalkan rumah.

(1) “Aku pergi meninggalkan kampung karena keadaan,Pak. Aku tidak tahan dengan cemoohan orang kampung padaku.” (Wiwid, 2009:239)

(48)

(2) “Sungguh Budi tak habis pikir, di mana ayahnya ketika Budi menderita? Ke mana ia akan mengadu saat batinnya didera siksa? Seseorang yang sesungguhnya diharapkan untuk memperoleh perlindungan, namun ternyata sama sekali tak dapat diandalkan. Sungguh tak dapat dibayangkan betapa menderitanya Budi waktu itu. Dalam keadaan menderita, tak ada seorang pun yang dapat menolong anak itu. Ayahnya –orang yang sesungguhnya sangat dekat di hatinya- kenyataannya meninggalkan Budi begitu saja tanpa sebab yang jelas”. (Wiwid, 2009:239)

Budi memiliki penambahan nama belakang totol. Hal itu disebabkan karena ia pernah tersiram air panas. Kulitnya menjadi belang karena pigmen warna kulit yang dulu tersiram air panas tengah berganti dan menyesuaikan dengan keadaan kulit yang semula, yakni sawo matang. Hanya saja, bekas kulitnya yang terbakar menjadi putih seperti sapi, kemudian ditingkahi dengan titik-titik berwarna cokelat. Kelihatan sangat kontras sekali dan mengerikan bagi siapa saja yang belum pernah melihatnya. Dan inilah salah satu alasan yang menjadikan Budi menerima perilaku kekerasan dari lingkungan sekitarnya. Tak jarang ia dicemooh, dikucilkan, dipandang rendah, dimaki-maki, dituduh sembarangan, dibodohi, bahkan mendapat kekerasan fisik. Dan inilah alasan Budi pergi merantau dan memutuskan untuk pergi meninggalkan ibunya seorang diri di rumah. Namun, adapun alasan lain yang mengakibatkan Budi sampai merasa ‘terusir’ di kampungnya sendiri. Berikut kutipannya:

(49)

tak mendapatkan uang sedikit pun. Padahal, menurut Budi, anak kecil itu yang minta ikut. Dan, ketika dilarang, bocah itu malah semakin nekat, mencak-mencak nggak karuan”. (Wiwid, 2009:43)

Setelah pergi meninggalkan kampungnya, Budi dan kawan-kawannya memutuskan untuk hidup di perantauan. Di perantauan pun, Budi pun tak luput dari perilaku kekerasan dari orang-orang di sekitarnya. Tidak sedikit yang memandang Budi jijik karena kekurangan yang ada dalam dirinya, bahkan Budi dan kawan-kawannya pernah dengan sengaja diusir dari toko ketika mereka hendak akan membeli semir sepatu untuk modal usaha mereka. Pemilik toko itu menganggap bahwa mereka adalah anak-anak jalanan yang tidak mempunyai kepentingan di toko miliknya, dan ketika Budi akan membayarnya, pemilik toko itu justru mencela bahwa uang yang akan dipakai buat membayar semir itu adalah uang hasil curian. Berikut kutipan yang menjelaskan bahwa Budi pernah diusir ketika hendak membeli semir sepatu:

(4) “Hush, sana…!!!”

“Tapi, kita mau beli, Koh…,” kata Budi Totol, membela diri dengan memperlihatkan uang recehan miliknya kepada sang pemilik toko yang masih keturunan Tionghoa.

“Kagak pake tapi! Dapat uang dari mana, lu? Usaha apa nyolong?” kata pemilik toko itu. Dia, seorang pria berkepala botak.

“Ini dari tabungan, Koh.” “Cari yang lain aja!”

(50)

Selain itu, Budi juga pernah diusir dengan kasar oleh satpam ketika hendak mencari seseorang di hotel mewah lantaran fisiknya. Satpam itu menilai bahwa Budi merusak pemandangan di hotel yang megah tersebut, satpam itu pun mencurigai Budi akan melakukan tindakan kriminal di hotel itu, padahal niat Budi pergi ke hotel tersebut adalah untuk mencari seseorang yang menjadi pelanggan semirnya. Pelanggan Budi itu memang memberikan alamat hotel tersebut padanya, karena pelanggan tersebut sebenarnya adalah manager sekaligus koki di hotel megah tersebut. Pelanggan itu merasa kasihan terhadap Budi.

Kekerasan terakhir yang Budi alami dalam perantauannya adalah menjadi buruh jermal. Jermal sendiri adalah tempat penangkapan ikan khas Sumatera Utara, yang biasanya berada di lepas pantai. Orang yang menjadi buruh jermal harus tinggal dan menetap di tempat itu, dan hidup dengan sangat seadanya. Bahkan tak jarang, pemilik jermal sering memperlakukan anak-anak jermal dengan sangat kasar. Jika tidak menurut apa katanya, mereka sering kali disiksa secara fisik. Makanan yang mereka dapatkan juga tidak jarang sudah basi, namun apa boleh buat, karena keadaan mereka pun memakannya dengan lahap.

(51)

yang menunjukkan keinginan Budi dan kawan-kawannya pergi ke Prancis. Ia memanjatkan doa dan harapan akan cita-citanya tersebut.

(5)“Ya Allah, aku ingin melihat Menara Eiffel. Ingin melihat gemerlap kotanya, keindahan lampu-lampunya, jembatannya, jalan rayanya. Aku tahu ini mustahil bagiku, tetapi kalau Kau mengabulkan, tak ada yang tak mungkin bagiMu. Kalau Kau menakdirkan aku harus ke Prancis dengan sekolah dulu, sampai kapan aku harus menunggu? Ya Allah, jika Kau berkenan, aku ingin ke Prancis dalam waktu dekat ini. sebab, aku ke sana juga tak akan lama. Aku hanya ingin menghirup udara kotanya, menghapus luka akibat kerinduan tak terperi pada negeri itu. Aku hanya ingin menuntuskan rasa penasaran itu, kemudian aku akan kembali ke tanah air tercinta. Biarlah di sana aku menjadi tukang semir. Sebentar juga tak masalah, ya Allah. Yang penting, aku bisa ke sana segera…” (Wiwid, 2009:106)

Lewat keinginan yang begitu besarlah, Budi justru terperangkap dalam jebakan Pak Giri. Budi justru dikirim ke Jermal bersama kawan-kawannya untuk dijadikan budak. Di jermal, tenaga dan pikiran diperas habis-habisan. Tanpa bayaran, tempat, dan makanan yang layak.

2.2.2 Riris

(52)

kampung Buntalan Mayat. Dalam novel ini, Riris diceritakan sebagai teman akrab Budi, rumahnya pun hanya berbeda dua gang dengan Budi. Dari kecil ia tinggal bersama ibunya, sedangkan ayahnya tidak jelas keberadaannya. Ibunya bekerja sebagai buruh cuci di rumah orang Cina. Riris adalah bocah perempuan berusia sembilan tahun. Parasnya ayu dengan kulit sawo matang, hidugnya mbangir, bibirnya tipis, dan dagunya seperti bulan sabit. Sebenarnya ia adalah gadis yang sangat cantik, hanya saja karena tinggal di tempat yang kurang menguntungkan, kecantikan itu seperti terpendam di dasar laut. Karena keadaan dan lingkungan yang keras, pribadi Riris terbentuk menjadi pribadi yang keras dan sulit untuk diatur. Ia benci dengan kemapanan dan segala sesuatu yang membuat jiwanya tidak bisa bebas bergerak. Ia juga sedikit tomboy dan lebih suka bergaul dengan bocah laki-laki, namun bukan berarti ia lemah dan mudah diatur oleh mereka. Kenyataan membuktikan, setelah sekian lama perjalanan hidupnya, ia justru bisa mewarnai arus pemikiran teman-temannya. Ia laksana air yang kelihatan lembut. Namun, jika bergulung-gulung dengan tekanan yang keras, ia bisa menghancurkan bangunan sekokoh apapun.

Untuk membantu ibunya, Riris bekerja sebagai penjual pisang goreng di kereta api. Di situlah awal mula Riris bertemu dengan Budi, tanpa suatu kesengajaan tatkala Budi dan Riris bertabrakan. Berikut kutipannya.

(53)

dengan menjual pisang goreng keliling gerbong. Di sanalah, pertemuan tak sengaja itu berlangsung.

Stasiun yang penuh sesak, para penumpang kleleran tak hanya di bangku-bangku penumpang, tetapi banyak juga yang malang melintang di jalan, menyulitkan para pedagang untuk berjalan. Ada satu kebiasaan unik para penumpang, mereka menjadikan kolong kursi sebagai tempat tidur yang nyaman.

Pada waktu itu, Riris tanpa sengaja tersandung kaki orang yang tengah tertidur, hingga pisang gorengnya jatuh bergelimpangan. Sementara itu, di depan Riris ada seorang anak sepantaran dengannya dan kebetulan terkena tumpahan pisang gorengnya.

“Eh, maaf…, aku nggak sengaja,” kata Riris. “Nggak apa-apa…,” kata Budi Totol waktu itu.

Mereka berdua memunguti pisang goreng yang berhamburan di lantai kereta. Memasukkan kembali ke dalam panik dengan gerakan yang sangat cepat. Pertama kali melihat tangan Budi yang totol-totol seperti macan tutul, Riris seketika terkejut. Ia langsung memejamkan matanya sebentar. Namun, begitu teringat sisa pisang gorengnya, sambil memunguti pisang gorengnya, mau tak mau Riris melihat tangan Budi Totol juga. Jantung gadis kecil itu berdegup kencang, seluruh tubuhnya gerah. Ada apa dengan tangan bocah lelaki itu? Mengapa bisa belang seperti itu?

Meski begitu, Riris merasa mendapatkan perlindungan ketika Budi datang dan membantunya memunguti pisang gorengnya. Semenjak itu, Riris kerap mengunjungi markas mereka di gerbong tak terpakai.” (Wiwid, 2009: 44-45)

(54)
(55)

(7)“Riris mendengarkan apa pun nasihat sang ibu. Ia hanya mengangguk setuju, meskipun tak sepenuhnya nasihat itu lindap di dalam hatinya. Sebagian justru keluar, masuk telinga kanan, keluar lewat telinga kiri dan lenyap tak berbekas seperti jejak musafir di padang pasir. Pandangan Riris menerawang. Terbayanglah rasa sakit jika tidak boleh bermain dengan anak-anak baik hati itu. Ya, kalau tak ada mereka, dengan siapa Riris bermain? Apakah Riris harus di rumah yang membosankan ini? Apakah Riris setiap hari harus menikmati gempa bumi dari suara-suara roda besi yang terantuk rel kereta? Sungguh membosankan jika harus berada di tempat ini terus menerus. Ia tak bisa melihat luasnya dunia, luasnya ibukota, tak bisa melihat gedung-gedung megah yang mulai ramai dibangun. Ia seperti anak rimba yang melihat perkasanya hutan beton dengan pandangan takjub.” (Wiwid, 2009:27-28)

Bagi Budi, Iwan, dan Slamet, Riris merupakan anugerah terindah yang mereka miliki selama hidup. Selain cantik, Riris juga paling rajin memberikan dukungan dan motivasi pada mereka tatkala mereka merasa putus asa menghadapi permasalahan hidup. Riris adalah anak yang supel, ia tidak memandang seseorang dari parasnya. Di antara keempat temannya yang lain, Riris adalah pribadi yang hangat dan paling setia kawan. Oleh karena itu, siapa pun yang dekat dan berbicara dengannya, pasti akan merasa kerasan dan mudah akrab. Berikut kutipan yang menunjukkan bahwa Riris adalah pribadi yang hangat dan penuh motivasi.

(56)

kalian belanjakan harus kalian bayar dengan jerih payah dan keringat lagi. Itu artinya kalian harus mengulur waktu untuk mendapatkan semir dan sikat yang sebenarnya lebihkalian butuhkan daripada pinball itu!”. (Wiwid, 2009:49-50)

Sama seperti Budi, dan kawan-kawannya yang lain, Riris adalah korban eksploitasi ibunya. Sewaktu ia pulang dari petualangan bersama kawan-kawannya, ia dipaksa ibunya untuk menjadi ‘pelacur kecil’ di klub malam yang berkembang pesat di kampungnya. Dulu, sewaktu Riris pergi, ibunya memiliki hutang yang banyak kepada manager klub malam tersebut, dan karena ibunya tidak sanggup membayar, Riris dipaksa untuk bekerja di sana sebagai gantinya. Awalnya Riris menolak, karena bagi Riris pekerjaan tersebut adalah pekerjaan haram. Namun setelah Riris diberi ancaman berbagai rupa oleh ibunya, akhirnya ia bersedia menuruti. Riris juga memiliki alasan lain mengapa ia mau menerima pekerjaan yang sebenarnya sangat tidak ia inginkan, yakni mau berbakti pada ibunya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.

(9) “ingin rasanya Riris memberontak terhadap ibunya, tetapi

pandangan hidupnya kali ini lain. Ia merasa telah banyak

melakukan dosa pada ibunya. Ia menyesal telah membuat ibunya

terkatung-katung tak karuan gara-gara sikap gilanya itu. Maka,

satu hal yang pertama kali ingin dilakukan oleh Riris jika

bertemu sang ibu adalah meminta maaf sebelum semuanya

terlambat – sebelum ibunya meninggal” (Wiwid, 2009: 247).

(57)

dengan mulus, namun pada hari ketiga, mulai bermunculan tamu-tamu yang merayu dan menggodanya. Risih dengan perlakuan para tamunya, Riris pun berontak dan menyiramkan minum keras tersebut pada tamunya dan ia pun kabur. Dari situlah masalah demi masalah muncul dalam hidup Riris hingga mengakibatkan ibunya meninggal dunia.

Akibat kelakuannya, manager klub tersebut, Pak Coki, menghardik ibu Riris dan meminta pertanggungjawaban atas sikap anaknya. Ia mengambil semua barang-barang yang ada di rumah Riris, bahkan saat ibunya Riris bersujud meminta ampun atas sikap kasar anaknya, Pak Coki justru mendorongnya hingga pelipisnya menatap ujung meja dan bersimbah darah. Semenjak kejadian itu, ibunya Riris stres berat dan tidak ingat dengan apa pun di sekelilingnya, termasuk Riris. Saat mengetahui kejadian tersebut, Riris pun merasa bersalah dan berjanji akan melakukan apa pun asalkan ibunya bisa sembuh seperti sedia kala. Berikut kutipan yang menunjukkan bahwa Mbon Nah sudah tidak mengenali anaknya lagi.

(10)“Ibu…, bagaimana bisa seperti ini?”

Tak ada jawaban. Ibu Riris seperti kehilangan segala-galanya. Pandangan matanya kosong, suaranya menyayat hati Riris. tetapi, yang membuat dirinya lebih bersedih lagi adalah saat sang ibu sama sekali tak mengenal anaknya itu. “Bu…, ini aku, Bu. Anakmu…, Riris.”

“Riris? ha..ha..ha..! Aku tak pernah kenal dengan anak yang namanya Riris”. (Wiwid, 2009:300)

(58)

malam itu demi ibunya. Riris pun bertahan meskipun mendapat tekanan dari Pak Coki, selaku atasannya. Meski hatinya berontak, ia tetap harus melakukan tugasnya sebagai pelayan minuman di klub malam tersebut. Tidak hanya sampai di situ, sebelumnya Riris bersama teman-temannya juga mengalami perilaku eksploitasi anak dari Pak Giri, yang menjual dan menjadikannya sebagai buruh jermal. Meskipun Riris perempuan, namun perlakuan pemilik jermal juga tetap sama. Masa kecil Riris memang hampir tidak pernah terisi dengan kebahagiaan.

2.2.3 Slamet

(59)

bahwa Slamet terusir dari kampungnya lantaran kekurangan dalam dirinya.

(11)“Lain Budi Totol, lain pula Slamet Garuk. Kata Slamet, orang-orang berani mengusirnya karena sebab mistis yang muncul dari dalam dirinya. Tangan dan kakinya timbul kudis akibat kutukan di dalam dirinya. Ya, ketika Slamet Garuk di dalam kandungan, tanpa sengaja ibunya telah membunuh tokek yang terus mengganggu tidurnya. Maka, sesudah lahir, kulit tubuhnya nyaris seperti tokek, hitam bersisik, dan tiap kali dielus selalu mengelupas. Ketika Slamet tumbuh besar, kondisi kulitnya semakin parah. Kulit tubuhnya jadi borok dan menjijikkan karena

keluar darah dan nanah. Makanya, tak ada seorang pun yang sudi dekat dengan Slamet Garuk, lantaran takut ketularan penyakit menjijikkan itu.” (Wiwid, 2009:43)

Sama seperti Budi, Slamet juga adalah anak yang tumbuh tanpa pengawasan dan kasih sayang orang tua secara wajar. Kurangnya perhatian dari orang tua, dan sikap pengucilan dari orang-orang di sekitarnya membuat Slamet menjadi orang yang terbuang. Ia tumbuh dengan sikap keras dari orang tuanya. Ketika Slamet melakukan sedikit kesalahan, orang tuanya tidak sungkan untuk memukul atau menamparnya. Ketika Slamet memberanikan diri untuk sekedar keluar rumah dan bergaul dengan kawan-kawan sebayanya, justru ejekan dan cemoohan yang didapatnya, ia pun juga dijauhi karena mereka merasa jijik dengan kondisi badan Slamet yang mengerikan. Slamet juga menjadi korban eksploitasi anak yang dilakukan oleh pak Giri.

(60)

yang mengajarinya. Ia mempunyai tekhnik di mana ia bisa cepat menghafal. Seperti contohnya, ia akan menaruh tulisan yang ia ingin hafal di tempat-tempat yang paling sering ia lihat dan jumpai, maka secara tidak langsung ia akan dengan cepat menghafalnya. Ia selalu bisa mendapatkan pengetahuan yang orang lain tidak pernah mencapainya, yang orang lain tak pikirkan, maka ia memikirkannya. Slamet adalah sosok yang mandiri dan memiliki perjuangan hidup yang tinggi. Pengalaman pahit yang ia rasakan tidak membuatnya menjadi anak yang minder dan mudah putus asa. Sekalipun ia kehilangan ayahnya ketika ia tinggal berpetualang mencari pengalaman, namun ia tidak begitu saja tenggelam dalam kesedihan. Kesedihanlah yang membuat dia bangkit dan terus berusaha untuk mencari dan mencari yang terbaik dalam hidup.

2.2.4 Iwan

(61)

yang tidak sempurna, yakni memiliki bibir sumbing. Karena itulah ia pun memilki nama tambahan menjadi Iwan Grumpung. Semua orang mengolok-olok ketika ia berbicara. Tidak ada satu pun orang yang menghargainya, kecuali Budi, Slamet, Riris, dan ibunya. Bahkan hidupnya pun harus ia akhiri dengan penderitaan, yakni kelaparan. Di tengah kondisi yang kurang menguntungkan, sosok Iwan Grumpung merupakan sosok yang selalu bisa mensyukuri apa yang terjadi dalam hidupnya, ia tidak pernah sama sekali menyalahkan takdir yang memberikan kehidupan seperti yang dialaminya.

(12)“Ia sama sekali tidak tahu mengapa Allah menciptakannya seperti ini. Iwan Grumpung sungguh bisa menerima keadaannya. Ia tetap berbaik sangka kepada Allah bahwa dirinya telah sempurna sebagai seorang makhluk. Ia tetap mensyukuri kondisinya.

Iwan Grumpung tak hendak mengatakan dirinya kurang sempurna. Orang-orang kampung itulah yang justru mengejeknya, yang berarti mengejek ciptaan Allah. Tiap kali ia bicara, orang-orang selalu meniru suara suara sengaunya sambil memencet-mencet hidung mereka.” (Wiwid, 2009:43-44)

(62)

Merasa tidak kuat, Iwan pun akhirnya meninggalkan kawan-kawannya. Awalnya Budi dan kawan-kawan akan membawa Iwan ke rumah sakit terdekat, namun mereka ragu karena mereka sadar bahwa mereka tidak memiliki uang untuk membayar biaya rumah sakit. Mereka juga sadar bahwa mereka adalah anak gelandangan, yang bukannya justru dibantu namun mereka akan diusir dari rumah sakit. Bagi Budi dan kawannya, rumah sakit hanya boleh digunakan bagi setiap orang yang memiliki uang. Hal yang sangat ironis.

2.2.5 Mbok Nah

Mbok Nah adalah ibu kandung Riris. Dalam novel “Miskin Kok Sekolah…?!” ini, Mbok Nah berperan sebagai tokoh antagonis. Sehari-harinya ia bekerja sebagai tukang cuci di Koh A Ping. Ia sebenarnya sudah cukup tua untuk bekerja sebagai buruh cuci, namun apa daya, keadaanlah yang memaksanya bekerja. Ia memiliki selisih dengan anak kandungnya sendiri, yakni Riris. Mbok Nah selalu memaksakan kehendaknya pada Riris, termasuk memaksa Riris untuk menjadi ‘pelacur kecil’ di Sahara NiteClub. Dan itulah yang menjadi alasan utama dirinya berseteru dengan Riris hingga akhir hayatnya. Pemaksaan kehendak terhadap Riris terlihat dalam kutipan berikut ini.

(13)“Ris, waktunya sekarang kau yang tampil.” “Tampil di mana, Bu?”

Coba kau ikut aku!” ajak ibunya.

Wanita itu mengajak Riris ke kamar. Di sana terdapat satu set bedak dengan gradasi warna dari cokelat tua hingga yang paling muda. Kemudian ada juga lipstik dengan warna merah maga. “Untuk apa ini semua, Bu?”

(63)

Tanpa banyak bicara, sang ibu membuka alas bedaknya dan mulai memoleskannya ke wajah Riris “Lihat, kau sudah dewasa sekarang,Nak. Wajahmu sangat alami sekali,” kata ibunya. Ia begitu takjub pada wajah Riris dengan gurat-gurat wajah yang tegas, rahang yang lembut. Semua begitu mempesona.

“Bu, untuk apa semua ini?”

“Sudah, kau diam saja. Kau mau berbakti pada Ibu,nggak?” “Mau.”

“Kalau mau, ya diam!” kata ibu.

Satu hal yang tidak disadari Riris bahwa sang ibu ini benar-benar sudah gelap mata. Ia sengaja memanfaatkan kelemahlembutan wajah Riris untuk sesuatu yang sama sekali tidak dimengertinya. Selesai dibedaki, kemudian bibirnya yang tipis diwarnai dengan

lipstick berwarna merah maga.

“Ibu apa-apaan,sih?”

“Sudah, kamu diam saja. Jadi anak Ibu harus penurut.” “Tetapi, bukan seperti ini caranya.”

“Kamu bisa diam,nggak!” sang ibu mulai naik pitam. “Ternyata, Ibu sama saja. Ibu nggak bisa mengerti aku.”

Plaakkkk…!!! (Wiwid, 2009:248-249)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Mbok Nah memanfaatkan penyesalan Riris. Riris ingin membayar penyesalannya karena ia meninggalkan ibunya beberapa tahun dan membiarkannya bergelut seorang diri melawan kesulitan hidup. Riris ingin berbakti pada ibunya, namun sebaliknya, ibunya justru memanfaatkan sikap bakti putrinya tersebut. Selain itu, Mbok Nah juga menyimpan dendam tersendiri terhadap Riris. Ia sangat geram karena Riris meninggalkannya. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut.

(64)

Kutipan (14) menunjukkan sikap ketidakwajaran sebagai seorang ibu. Ia menyumpahi dan menyimpan dendam pada anaknya. Sikap yang bertolak belakang dari sikap seorang ibu pada umumnya, yang bersedia memberi maaf atas setiap kesalahan anaknya sendiri.

2.2.6 Pak Giri

Dalam novel “Miskin Kok Sekolah…?!” Sekolah dari Hongkong…!!! ini, Pak Giri berperan sebagai tokoh tipikal. Pak Giri adalah seorang pria setengah baya dengan rambut yang sudah jarang tumbuh di kepalanya. Kesan pertama orang yang melihatnya pasti akan mengatakan ia baik, namun di balik semua itu, ia adalah orang yang berwatak kasar dan serakah. Demikian juga dengan Budi, kesan pertama ketika bertemu dengan Pak Giri, ia menilai bahwa Pak Giri adalah seseorang yang ramah dan baik hati, namun ternyata, dialah sebenarnya dalang di balik semua kejadian yang menimpa Budi dan kawan-kawan, dialah yang mengirim Budi dan kawan-kawan ke jermal. Ia licik dan mencari keuntungan untuk dirinya sendiri, ia memanfaatkan kepolosan Budi dan kawan-kawannya. Hal tersebut terlihat dari kutipan berikut.

(15) “Terdengar gagang telepon ditutup. Bapak berkepala botak ini melihat mereka bertiga. Dengan raut wajah yang meyakinkan sebagai dewa penolong cita-cita mereka, ia berkata, “Nanti sore, kalian bisa berangkat. Tapi, sebelumnya kalian harus tanda tangani sesuatu sebagai syarat persetujuan ini dulu.”

“Apa ini?”

“Surat persetujuan bahwa kalian akan berangkat ke Prancis.”

(65)

“Kenapa?”

“Tadi tidak ada acara gini-ginian.”

“Ini hanya sebagai prasyarat kelengkapan administrasi. Karena kalian akan memasuki negeri orang, jadi harus didata,” kata orang tersebut, setengah memaksa.

Tidak ada yang tahu, surat itu sebenarnya adalah surat perjanjian bahwa mereka akan memperdagangkan anak di bawah umur. Ketika menunjukkan surat itu, ia menutup-nutupinya dengan kertas kosong yang dijepit di bagian depannya, dan hanya ada ruang kosong yang mengintip di bawah, merayu untuk segera ditandatangani. (Wiwid, 2009:116)

Kutipan di atas menunjukkan sikap pak Giri yang membodohi Budi dan kawan-kawan. Ia tahu bahwa mereka tidak bisa membaca, dan ia tahu bahwa mereka adalah anak-anak yang masih polos yang bisa dibohongi dengan iming-iming yang mereka harapkan, yakni pergi ke Paris.

(16) “Kedelapan anak itu sudah melangkah turun dari tangga kapal, menyongsong gethek kecil di bawahnya. Namun, sebelum yakin bahwa anak-anak itu harus turun, Pak Giri membisiki mereka. “Seperti janji kita kemarin, kalian turun dulu di sini, sebelum beberapa hari ke depan ada kapal yang lewat dan kalian bisa naik lagi ke tempat tujuan. Aku ada urusan sendiri dengan Pak Karta”.

“Bagaimana kami bisa menjamin kalau kapal yang akan kami tumpangi ini seizin Bapak?”

“Goblok!! Nanti aku akan menjemput kalian. Sekarang, kalian turun dulu. Cepat naik gethek itu! Kalian sudah ditunggu!” (Wiwid, 2009:132)

(66)

2.2.7 Pak Coki

Pak Coki adalah penyalur tenaga kerja di Sahara NiteClub. Ia pria setengah baya yang berpenampilan rapi dan berparas lembut. Rambutnya selalu klimis dan berkilat-kilat karena minyak. Di novel

“Miskin Kok Mau Sekolah..?!” ini, Pak Coki berperan sebagai tokoh antagonis. Pak Coki berselisih dengan Riris dan ibunya. Hal itu dikarenakan Mbok Nah memiliki banyak utang padanya, dan untuk melunasinya, mbok Nah bermaksud menyerahkan Riris pada Sahara NiteClub untuk menjadi pelayan penuang minuman, namun Riris sama sekali tak menghendaki niat ibunya tersebut, hingga perselisihan demi perselisihan pun terjadi, baik antara Riris dengan ibunya, ataupun Riris dengan Pak Coki.

Awalnya, Pak Coki merupakan pribadi yang lembut, ramah, dan supel. Namun ternyata, Pak Coki adalah manusia paling kejam di dunia. Riris pun juga menyadarinya, ini terlihat dari kutipan di bawah ini.

(17) “Tiba-tiba, seseorang masuk dengan cara yang sangat kasar. Langkahnya cepat, pertanda emosinya membuncah, bahkan aura kemarahannya sudah tampak dari kejauhan.

“Hei, Ris! Kamu niat kerja,nggak…!!!” kata-kata itu keluar bagai api yang menyala, darah mengalir di kepalanya hingga berwarna merah, bahkan kepalanya mirip sup kepala kambing yang mendidih terebus. Ia berdiri berkacak pinggang. Suaranya keras menggelegar. Air ludahnya menyembur, seperti hujan gerimis yang sangat menjijikkan.

(67)

kemarin diperlihatkan seperti sebuah kamuflase saja, hanya untuk menutupi hatinya yang sudah bernanah membusuk.” (Wiwid, 2009: 268-269)

Selain itu, di kampung Buntalan Mayat, tempat Budi dan kawan-kawan tinggal, Pak Coki juga dikenal akrab sebagai pribadi yang tidak memiliki perasaan. Hatinya sama sekali tidak memiliki belaskasihan, parahnya, sikap itu pun juga ditunjukkan pada kaum perempuan, Mbok Nah contohnya. Berikut beberapa kutipan yang menunjukkan perilaku kasar Pak Coki.

(18) “Minggir kamu orang tua…!!!” kata Pak Coki sembari menyingkirkan tangan Mbok Nah yang terus saja menggelayuti kaki lelaki itu. Tiba-tiba, lelaki kejam itu menendang tubuh Mbok Nah. Tendangan yang keras mengenai ulu hati wanita renta itu. Darah pun merembes keluar dari sudut bibir mbok Nah. Ia tidak dapat merasakan apa-apa, selain rasa sakit di ulu hati. Sambil menangis, ia hanya melihat barang-barang berharganya dirampok begitu saja.” (Wiwid, 2009:276-277)

Tekanan demi tekanan yang Pak Coki lakukan pada Mbok Nah, secara tidak langsung juga menekan Riris. Riris ingin berbakti pada ibunya yang sempat ia tinggalkan. Pak Coki pun memanfaatkan sikap bakti Riris tersebut.

(68)

2.3 Analisis Alur

(69)

dirinya rindu pada seorang pujaan hatinya yang sudah dikenalnya sejak kecil, wanita itu bernama Ukthi Ayu. Ayu, begitu sapaannya, tak lain adalah Riris. Ayu menghilang begitu saja, tanpa pesan dan penjelasan sedikitpun darinya. Ayu hanya menjelaskan bahwa dirinya ingin memiliki pasangan hidup yang bekerja sebagai seorang guru. Namun itu tidak seperti kenyataannya, dimana pengarang bekerja sebagai seorang penulis. Karena alasan tersebutlah, Ayu tidak dapat menerima pengarang menjadi seorang kekasih dan Ayu pun menghilang entah kemana.

(70)

keinginan pujaan hatinya untuk menjadi seorang guru, dengan keinginan bahwa Ukthi Ayu semoga bisa mengerti akan keadaannya.

Alur dalam novel ini berjalan dari masa sekarang, kembali ke masa lalu, dan kembali lagi ke masa sekarang.

Pada kutipan (19), pengarang menceritakan masa kecilnya yang memiliki banyak pengalaman berharga. Pada saat pengarang menulis, terjadi pada tahun 2009. Terlihat dari kutipan berikut.

(19) Semarang, 31 Juli 2009 (Wiwid, 2009:5).

Sedangkan penulis juga cukup menjelaskan bahwa pengarang menulis kejadian 20 tahun lalu. Terlihat dari kutipan berikut.

(20) Kampung Kebon Jeruk, Jakarta, 20 tahun lalu…..

Sesuai dengan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa alur yang digunakan dalam novel “Miskin Kok Mau Sekolah..?!” Sekolah dari Hongkong…!!! karangan Wiwid Prasetyo adalah alur sorot balik.

2.4 Analisis Latar

2.4.1 Latar Tempat

(71)

(21)“Di sisi lain, tersebutlah sebuah kampung kecil. “Kampung Buntalan Mayat”, namanya. Ia adalah sejenis kampung supit urang dengan ciri khas pintu masuk yang sempit, namun ngantong di dalam. Kampung ini dinamakan “Buntalan Mayat” karena dari google map terlihat memanjang dengan lekuk-lekuk, seperti mayat terbungkus kain kafan. Dari kepalanya, adalah sebuah mulut gapura yang sudah tak jelas lagi bentuknya. Tak tampak lagi keindahannya, bahkan nyaris seperti sebuah peninggalan sejarah yang sudah tertimbun bertahun-tahun.” (Wiwid, 2009:17)

Selain itu, penulis juga memakai beberapa tempat sebagai pendukung cerita, antara lain adalah Stasiun Senen, Stasiun Hargeulis Indramayu, Pelabuhan Tanjung Priok, Tanjung Balai Sumatera, dan Pantai Wiracarita Anyer. Semuanya saling mewakili setiap kejadian dalam novel ““Miskin Kok Sekolah..?!” Sekolah dari Hongkong…!!!

ini. Stasiun Senen merupakan tempat Budi dan kawan-kawan memulai petualangannya sebagai pedagang asongan.

(22)“Stasiun Senen dengan dua jalur rel di sebelah kiri dan kanannya. Di tempat inilah, anak-anak biasa pergi dan bermain menghabiskan waktu sepanjang hari, bahkan sampai malam hanya untuk melihat keindahan kereta api.

Di tempat ini, mereka bisa melihat segala sesuatu yang diusahakan dengan keinginan keras akhirnya akan memperoleh penghargaan berupa uang. Dan, dari uang itu, mereka bisa melakukan segala hal. Namun, untuk mendapatkan uang banyak itu dibutuhkan kerja sama dan pengorbanan yang demikian sulit.” (Wiwid, 2009:29)

(72)

(23)“Hingga makin malam, mereka kalah oleh kondisi tubuh sendiri. Di stasiun Hargeulis, Indramayu, mereka turun dengan tubuh kelelahan, keringat bercucuran, tenaga habis, dan perut lapar melilit. Hampir saja Budi Totol terjatuh saat menuruni tangga kereta”. (Wiwid, 2009:40)

Pelabuhan Tanjung Priok merupakan seting latar tempat ketika Budi dan kawan-kawan dibodohi dan digiring pak Giri untuk dibawa menuju jermal.

(24) “Pak Giri, namanya. Mereka berkenalan hari ini saat lelaki itu akan check out dari hotel, sekaligus mengantarkan mereka ke tempat yang mereka tuju, Pelabuhan Tanjung Priok. Selanjutnya mereka dibawa ke kapal feri dan berangkat menuju ke Singapura. Katanya sih mampir dulu ke sana.” (Wiwid, 2009:122)

Tanjung Balai Sumatera merupakan tempat Budi dan kawan-kawan diperbudak sebagai buruh jermal. Jermal itu sendiri merupakan tempat penangkapan ikan khas Sumatera Utara.

(25) “Jadi, kita masih di Indonesia?”

“Ya, kita berada di tanjung Balai, Sumatera.”

“Wah, sialan kita dibohongi lagi…!” (Wiwid, 2009:134)

Sedangkan pantai Wiracarita merupakan seting cerita ketika mereka terdampar setelah melakukan pelarian dari Tanjung Balai yang tak lain adalah tempat mereka menjadi buruh jermal.

(26) “Ssst…, dia sadar! Dia sadar…!” seru yang lain. “Dimana aku ini?” tanya bocah malang itu. “Pantai Wiracarita, Anyer”

“Ah…, aku sudah di Jawa rupanya.” (Wiwid, 2009:197)

Gambar

gambar visual), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara

Referensi

Dokumen terkait

Karena Produk “Jelly Hitz” merupakan produk baru yang ada di pasaran, maka kami menetapkan strategi penetapan harga yang efektif dalam tahap perkenalan ini, yaitu

Penelitian ini dilatar belakangi oleh kemampuan kosakata anak kelompok A yang masih belum sesuai dengan standar tingkat pencapaian perkembangan bahasa anak usia 3-4

Hasil analisis ragam perlakuan bahan humat, larutan P dan waktu inkubasi pada tanah Podsolik (Lampiran 15) menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi antara waktu inkubasi

[r]

[r]

[r]

Hambatan-hambatan apa sajakah yang timbul dalam penyelesaian tindak pidana pembunuhan disertai mutilasi di Pengadilan Negeri Magetan. Hambatan tersebut muncul dari faktor

Sampel dari penelitian ini adalah data rekam medik pasien luka bakar yang mengalami kontraktur dengan kriteria inklusi data pasien dengan keluhan adanya kontraktur