E. Keberadaan anak yang tidak diinginkan
6. Kekerasan dalam Tinjauan Psikologi
Kekerasan adalah salah satu bentuk agresi, dimana korban (anak) adalah objek kekerasan/agresi itu. Perbuatan agresi adalah perilaku fisik atau lisan yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain (Mayers,
1996) (Dalam Sarlito Wirawan Sarwono.2005.Psikologi Sosial (Individu dan
teori-teori Psikologi Sosial).Hal 297). Berbicara mengenai kekerasan anak, akan
ditemukan, bahwa anak bisa menjadi subjek/pelaku maupun objek kekerasan. Anak sebagai pelaku kekerasan/subjek, biasanya dikarenakan ia memiliki pengalaman sebagai objek kekerasan itu sendiri. Anak berperilaku seperti itu sebagai bagian dari imitasi atupun pengekspresian pengalaman-pengalaman mereka, entah itu disadari ataupun tidak.
Anak selalu menjadi korban kekerasan, karena secara fisik, dia tidak dapat mempertahankan dirinya. Kekerasan ini dapat terjadi dimana saja, dirumah, sekolah, maupun lingkungan sosialnya. Rumah, seyogianya menjadi tameng dan benteng pertahanan si anak untuk terhindar dari kekerasan ini, tapi kekerasan kepada anak lebih banyak terjadi dirumah. Sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan yang akan memanusiakan anak secara utuh sebagai persiapan untuk kehidupannya kelak, justru menjadi suatu momok yang menakutkan dan menimbulkan trauma yang mendalam. Kekerasan yang terjadi bukan hanya kekerasan fisik, tetapi yang lebih menyedihkan adalah kekerasan psikis yang akan mempengaruhi kepribadiannya.
Kekerasan pada anak tergantung pada pola asuh dan pola perlakuan kita terhadap anak. Pola asuh anak juga sangat mempengaruhi kepribadian anak. Pola asuh ini menentukan bagaimana anak berinteraksi dengan orangtuanya. Hurlock (1998 : 30), membagi pola asuh menjadi tiga:
b. Pola asuh otoriter, orang tua memberi peraturan yang dan memaksa untuk bertingkah laku sesuai dengan kehendak orang tua, tidak ada komunikasi timbal balik, hukuman diberikan tanpa ada alasan dan jarang memberi imbalan.
c. Pola asuh demokrasi, orang tua memberikan peraturan yang luwes serta memberikan penjelasan tentang sebab diberikannya hukuman serta imbalan tersebut.
d. Pola asuh permisif, orang tua memberikan kebebasan sepenuhnya kepada anak tentang langkah apa yang dilakukan anak, tidak pernah memberikan pengarahan dan penjelasan kepada anak tentang yang sebaiknya dilakukan anak. Dalam pola asuh ini hampir tidak ada komunikasi orang tua dan anak, serta hampir tidak ada hukuman dan selalu mengijinkan segala keinginan anak.
Sikap otoriter sering dipertahankan oleh orang tua dengan dalih untuk menanamkan disiplin pada anak. Sebagai akibat dari sikap otoriter ini, anak menunjukkan sikap pasif (hanya menunggu saja), dan menyerahkan segalanya kepada orang tua. Di samping itu, menurut Watson, sikap otoriter, sering menimbulkan pula gejala-gejala kecemasan, mudah putus asa, tidak dapat merencanakan sesuatu, juga penolakan terhadap orang lain, lemah hati atau mudah berprasangka. Tingkah laku yang tidak dikehendaki pada diri anak dapat merupakan gambaran dari keadaan di dalam keluarga.
Kebanyakan orang tua yang menganut paham otoriter, menganggap anak bodoh sehingga apa yang dikerjakannya memerlukan perintah yang tegas darinya. Ini akan membungkam kreativitas anak. Perlakuan orang tua ataupun pengasuh kepada anak sangat mempengaruhi kepribadian anak. Masa kanak-kanak adalah masa dimana anak menunjukkan ekspresi dan eksistensinya sebagai seorang manusia yang utuh. Kegagalan dalam masa ini, menurut Freud, akan terpendam dan menjadi pengalaman bawah sadar anak, yang menjadikan pengalaman anak sebagai referensi dalam menjadi hidupnya.
Menurut Freud, tingkah laku dan kepribadian seseorang tergantung pada fase-fase masa kecil anak (gold age) (John W. Santrock.Perkembangan Anak.Hal 44). Dia membagi fase itu kedalam lima tahap: Fase Oral (0 – 1,5 tahun), Fase Anal (1,5 – 3 tahun), Fase Phallic (3 – 6 tahun), Fase Latency (6 - pubertas) dan Fase genital. (Dewasa). Freud membagi masa kanak-kanak kedalam lima tahapan sesuai dengan objek pemuasan (libido) pada anak (psikoseksual). Freud menganalisis kepribadian seseorang sesuai pengalaman masa kecilnya, yang lebih
mengutamakan pada pemuasan (libido) pada tiap-tiap tahap perkembangan. Apabila pada salah satu tahap mengalami hambatan, atau tidak/kurang mengalami pemuasan maka akan berefek pada kepribadiannya kelak.
Keluarga bertanggung jawab mengasuh anak dan merupakan tempat pertama kali anak belajar berinteraksi dengan dunia luar (Wilson, 2000:44). Dari hasil penelitian didapatkan bahwa tindakan kekerasan terhadap anak merupakan salah satu aspek yang berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri anak. Semakin tinggi tindakan kekerasan terhadap anak, maka semakin negatif konsep diri yang dimiliki oleh anak. Kekerasan pada anak dalam keluarga, biasanya tergantung dari pola asuh orang tuanya/pengasuhnya. Jika anak selalu diancam, dimarahi, bahkan disakiti secara fisik, dia akan ragu-ragu dalam bertindak karena takut salah, akibatnya dia akan ragu-ragu dalam mengambil suatu inisiatif. Ataupun anak akan mengalami poor emotion, kegagalan dalam bergaul dengan orang lain, tidak mengerti perasaan orang, pendiam tapi agresif dalam menanggapi respon yang datang.
Anak-anak yang dalam perkembangannya mengalami kekerasan, akan mengalami kekurangan afeksi (kasih sayang orang tua mereka). Padahal dari sisi psikologis, anak sangat membutuhkan afeksi ini (attachment) untuk mengekplorasi lingkungan mereka. Attachment adalah suatu relasi antara dua orang yang memiliki perasaan yang kuat satu sama lain dan melakukan banyak hal bersama untuk melanjutkan relasi itu (John W. Santrock. Life-Span
Development.Jilid 1.Jakarta:Erlangga.2002.Hal 196). Keterikatan (attachment)
mereka dengan orangtua/pengasuh akan menimbulkan rasa aman dan percaya diri anak. Keterikatan ini adalah suatu ikatan emosional yang kuat antara anak dan orangtuanya/pengasuhnya. Bagimana mungkin dapat diciptakan suatu relasi yang harmonis antara anak dan orang tuanya jika anak itu adalah selalu menjadi korban kekerasan.
Misalnya saja pada anak korban perceraian (Kelly Cole dalam Mendampingi
merasa tidak dicintai, menyangkal akan kenyataan yang dialami, sedih, ketakutan, marah, dan merasa bersalah. Anak ini akan mengalami efek-efek yang merugikan terhadap harga dirinya sehingga mereka mengangap dirinya anak ‘nakal’ yang telah menyebabkan perceraian orang tua mereka. Anak korban perceraian akan menyesuaikan kembali kehidupannya dimana mereka harus menghadapi perubahan-perubahan praktis yang memerlukan banyak penyesuaian, seperti pindah sekolah, pindah rumah baru pekerjaan rumah tangga yang lebih banyak dan penyesuaian dengan pola pengasuhan anak yang baru. Ini akan menyebabkan stress pada anak. Anak kemungkinan menarik diri dari pergaulan sosialnya, lebih
introvert, dan penyesalan yang mendalam akan nasib yang dialaminya. Menurut
Purwandari (2004 : 227) Pengalaman traumatik mempengaruhi keseluruhan keseluruhan pribadi anak. Bagaimana anak berpikir, belajar, mengingat, mengembangkan perasaan diri sendiri tentang orang lain, juga bagaimana ia memahami dunia, semuanya tidak dapat dilepaskan dari pengalaman traumatiknya.
Keadaan ini akan mempengaruhi kepribadian anak kelak. Pengalaman-pengalaman masa kecilnya adalah Pengalaman-pengalaman yang paling berharga dalam hidupnya. Dan pengalaman ini akan dijadikan referensi dalam mengatasi problem-problem hidup ketika mereka dewasa kelak. Anak akan selalu merasa bersalah sehingga memiliki self-concept yang salah.
Orang tua/pengasuh ataupun orang-orang yang terkait dalam hal ini dalam suatu keluarga adalah sumber keamanan bagi perkembangan anak, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Segala sesuatu yang dibuat anak mempengaruhi keluarganya, begitu pula sebaliknya. Keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral dan pendidikan kepada anak. Pengalaman interaksi di dalam keluarga akan menentukan pula pola tingkah laku anak terhadap orang lain dalam masyarakat. Di samping keluarga sebagai tempat awal bagi proses sosialisasi anak, keluarga juga merupakan tempat sang anak mengharapkan dan mendapatkan pemenuhan kebutuhan. Kebutuhan akan kepuasan emosional telah dimiliki bayi yang baru lahir.
Bowlby (dalam Haditono dkk,1994) menyatakan bahwa hubungan antara orangtua/pengasuh (attachment) akan bertahan cukup lama dalam rentang kehidupan manusia yang diawali dengan kelekatan anak pada ibu atau figur lain pengganti ibu. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kehangatan dan afeksi yang diberikan ibu pada anak akan berpengaruh pada perkembangan anak selanjutnya (Ampuni, 2002). Dengan kelekatan ini, anak merasa nyaman dan aman dengan objek lekatnya (ibu/pengasuh). Keadaan ini akan menjamin seorang anak untuk megeksplorasi lingkungannya dengan baik. Seorang anak yang tidak mendapat objek kelekatan yang memadai, misalnya anak yang mengalami kekerasan akan terlihat apatis dengan lingkungannya, selalu merasa curiga, dan celakanya anak dapat mengalami gejala miskin emosi (poor emotion).
Jadi, syarat utama lingkungan yang sehat secara psikologi adalah lingkungan yang bisa memberikan rasa aman bagi anak. Faktor ini bisa faktor aman secara internal (orang tua/pengsuh) maupun eksternal (lingkungan sosial). Keamanan secara internal adalah keamanan dalam membangun relasi yang sehat dengan orang-orang disekitarnya. Keamanan eksternal lebih pada keamanan dari lingkungan yang lebih besar. Tanpa ada jaminan keamanan bagi anak, ia akan selalu merasa cemas dan menjadi pendiam.
Kaitan antara berbagai faktor keluarga dengan prilaku yang anti sosial menurut penelitian Sula Wolff (1985), ia mendapatkan factor-faktor berikut secara statistik berkaitan dengan gangguan perilaku (dalam Dr. John. Pearce, hal 120):
1. Tiadanya seorang ayah
2. Kehilangan orang tua lebih karena perceraian bukan karena kematian 3. Ibu yang depresif
4. Orang tua yang mudah marah 5. Ketidakcocokan dalam perkawinan
6. Keadaan sosial ekonomi yang kurang menguntungkan 7. Banyak anak
Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa, keadaan keluarga sangat menentukan perilaku anak. Dari keluargalah akan melahirkan generasi-generasi, yang potensinya tergantung dari stimulus-stimulus yang diterima dari lingkungannya. Perlakuan yang salah terhadap anak, akan mendapat respon yang sama dari anak. Kebanyan orang tua pelaku kekerasan terhadap anak adalah karena dimasa kecilnya diperlakukan sama oleh orang tuanya. Perlakuan ini akan masuk di alam bawah sadar, sehingga menjadi pola pengasuhan kelak. Jika hal ini tidak diberikan pemahanan yang benar tentang pengasuhan anak yang sehat, kemungkinan hal ini akan berlanjut seterusnya. Pengasuhan anak membutuhkan suatu keterampilan khusus, berhubungan dengan mereka membutuhkan kondisi emosi yang stabil.