BAB II TINJAUAN PUSTAKA
3. Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan Kehakiman memiliki arti kekuasaan dalam menjalankan
fungsi-fungsi terkait kewenangan yudisial. Dalam bahasa Indonesia dikenal istilah
kekuasaan yudikatif. Bahasa Belanda menyebutnya sebagai judicatief. Sedangkan
dalam bahasa Inggris dikenal istilah judicial, judiciary, atau judicature.
Menurut Bagir Manan kekuasaan kehakiman dalam sebuah negara hukum
yang demokratis adalah:
a. Kekuasaan kehakiman yang mandiri merupakan sendi bagi kehidupan
demokrasi dan terjaminnya perlindungan dan penghormatan atas hak asasi
manusia.
b. Kekuasaan kehakiman yang mandiri merupakan sendi tegaknya paham negara
berdasarkan konstitusi yang menghendaki agar kekuasaan negara dibatasi.
c. Kekuasaan kehakiman yang mandiri diperlukan untuk menjamin netralitas
terutama apabila sengketa terjadi antara warga negara dengan negara atau
pemerintah.
commit to user
d. Penyelesaian sengketa hukum oleh keuasaan kehakiman yang mandiri
merupakan dasar bagi berfungsi sistem hukum dengan baik. (Sirajuddin, 2006:
30)
Sudikno Metrokusumo menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
peradilan sebagai realisasi dari kekuasaan kehakiman mengandung arti menerima,
memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan. Atau
dengan kata lain, “peradilan adalah pelaksanaan hukum dalam hal konkrit adanya
tuntutan hak, fungsi mana dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan
diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapa pun dengan cara
memberikan putusan yang bersifat mengikat dan bertujuan mencegah
eigenrichting”. (Djatmiko Anom Husodo, 2007: 5).
Hakim sebagai komponen terpenting dalam menjalankan fungsi
kekuasaan kehakiman memiliki beberapa prinsip dasar yang sangat penting.
Prinsip-prinsip tersebut menjadi acuan bagi hakim agar mampu menjalankan tugas
dan fungsi yudisialnya seperti memeriksa perkara, memutus perkara, dan
tugas-tugas lain dengan baik. Tanpa adanya prinsip tersebut kedudukan hakim dalam
menjalankan tugasnya menjadi tidak berarti. Lars P. Feld mengemukakan
mengenai pentingnya fungsi dari sebuah peradilan yaitu:
“If contracting parties voluntarily entered into a contract and one of the
parties believes that the other side hasn’t lived up to the contract,
impartial dispute resolution is important”
Apabila salah satu pihak mentaati kontrak sedangkan pihak yang lain
menolak untuk mentaati sebuah kontrak yang dibuat. Maka sebuah penyelesaian
melalui pengadilan yang bersifat tidak memihak menjadi sangat penting.
“The citizens are in need of an organization that can adjudicate who is
right, i.e. who has acted according to the law. If the judiciary is not
independent from executive and legislature, citizens will not trust in the
relevance of the rule of law,”
Masyarakat membutuhkan sebuah lembaga yang mampu memutuskan
mana yang benar dan mana yang salah. Apabila kekuasaan kehakiman tidak
commit to user
independen dari pengaruh eksekutif maupun legislatif maka masyarakat menjadi
tidak percaya kepada konsep negara hukum.
“In the absence of an impartial arbiter, conflicts between government
branches are most likely to develop into power games. An independent
judiciary can keep them within the rules laid out in the constitution”.
(Lars P. Feld, 2003: 2)
Kekosongan dari penyelesaian sengeketa yang tidak berpihak antara
cabang kekuasaan akan menyebabkan permainan kekuasaan. Kekuasaan
kehakiman yang merdeka akhirnya menjadi solusi untuk membatasi hal tersebut
dengan berpatokan dari konstitusi. Konsepsi diatas menekankan begitu pentingnya
prinsip independensi kehakiman yang merdeka yang ditopang dengan asas
independensi. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dan tidak memihak adalah
sesuatu yang mutlak yang harus ada karena merupakan prasyarat bagi terciptanya
cita negara hukum dan jaminan terwujudnya hukum dan keadilan. (Ahsin Thohari,
2007: 69)
Menurut Christopher M. Larkins secara konseptual independensi atau
kebebasan hakim memiliki arti:
a. The independence of the individual judges ;
1) Substantive Independence, yaitu dalam membuat keputusan dan
menjalankan tugasnya, hakim hanya tunduk pada hukum. Hakim harus
bebeas dari encroachment (gangguan) dari lembaga eksekutif dan legislatif.
2) Personal independence, yaitu bahwa undang-undang, tradisi-tradisi
peradilan serta kebiasaan-kebiasaan untuk meningkatkan independensi
hakim dalam masa jabatan dan kedudukanya yang bersifat tetap.
b. The collective independence of the judiciary as a body, Independensi Badan
Judisial, yaitu sejauh mana pengadilan secara keseluruhan ditopang dengan
administrasi pengadilan yang mampu menegakkan independensinya. (Djatmiko
Anom Husodo, 2007: 6)
Lebih jauh dan mendalam Chirstoper M. Larkins menyatakan bahwa
independensi kehakiman sebagai suatu ajudication oleh neutral third mempunyai
dua arti penting, Pertama yaitu penerapan prinsip keadilan, tanpa memandang
commit to user
penting manakala pemerintah merupakan salah satu pihak yang berperakara.
(Djatmiko Anom Husodo, 2007: 6)
Alexies de Tocqueville menyatakan ada tiga ciri bagi independensi
kehakiman. Pertama, kekuasaan kehakiman disemua negara merupakan pelaksana
fungsi peradilan dimana pengadilan hanya bekerja kalau ada pelanggaran hukum
tanpa ada satu kekuasaan lainya yang dapat melakukan intervensi. Kedua, fungsi
peradilan hanya berlangsung kalau ada kasus pelanggaran hukum yang khusus.
Hakim dikatakan masih dalam koridor tugasnya jika dalam memutuskan perkara ia
menolak menerapkan prinsip yang berlaku umum. Namun jika ia menolak pada
saat tidak dalam memeriksa suatu perkara, ia dapat dihukum atas dasar
pelanggaran tersebut. Ketiga, kekuasaan kehakiman hanya berfungsi jika
diperlukan dalam hal adanya sengketa yang diatur dalam hukum. (Andi M. Asrun,
2004: 52)
Independensi menurut Joel G. Verner dinyatakan the ability to decide
cases on the basis of estabilished law and the merits of the case, without
substansial interference from other political or govermental agent. Intervensi
substansial tersebut dapat dilihat dari tekanan kepada hakim mulai dari proses
persidangan kasus. Bentuk tekanan tersebut bermacam-macam. Tekanan dapat
berupa intimidasi atau ancaman fisik kepada hakim. Tekanan dapat datang dari
kelompok politik atau pihak-pihak yang diperiksa di pengadilan, dan bahkan
melalui media massa. Tekanan kepada hakim tersebut membuka peluang bagi
ketidaknetralan hakim dalam memeriksa suatu perkara. Hakim pada akhirnya
menjatuhkan putusan bukan didasarkan kepada fakta-fakta dalam persidangan,
tetapi lebih pada keberpihakan pada salah satu pihak sebagai upaya
menyelamatkan diri. (Andi M. Asrun, 2004: 55)
Dalam perspektif sistem peradilan Islam dikenal beberapa prinsip-prinsip
yang dipegang oleh hakim. Seperti yang dikemukakan oleh Abdul Manan ada tiga
kondisi apa yang seharusnya hakim lakukan pada saat memeriksa perkara yaitu:
commit to user
a. Seorang hakim tidak boleh mengadili suatu perselisihan yang mana salah satu
pihaknya memiliki hubungan kekerabatan denganya.
b. Seorang hakim tidak boleh memeriksa kasus yang mana salah satu pihak yang
terkait adalah musuhnya.
c. Seorang hakim dituntut untuk tidak melakukan hubungan di luar urusan
perkerjaan dengan pihak yang berperkara, diluar pengadilan. (Abdul Manan,
2007: 144)
Adanya potensi gangguan terhadap pelaksanaan peradilan, independensi
peradilan dapat dirumuskan sebagia berikut Judicial independence refers to the
exisctence of judges who are not manipulated for political gain, who are impartial
toward the parties of a disputes, and who form a judicial branch which has the
power as an institution to regulate the legality of goverment behaviour, enact
“neutral” justice, and determine significant constitutional and legal values. (Andi
M. Asrun, 2004: 55)
Jadi secara konseptual independensi dapat diuji melalui dua hal, yaitu
ketidakberpihakan (impartiality) dan keterputusan relasi dengan para aktor politik
(political insularity). Apa yang disampaikan Muhammad Asrun bahwa
imparsialitas proses peradilan setidaknya mencakup beberapa hal penting.
Pertama, imparsialitas hakim terlihat pada gagasan bahwa para hakim akan
mendasarkan putusanya pada hukum dan fakta-fakta di persidangan, bukan atas
dasar keterikatan dengan salah satu pihak yang berperkara. Kedua, Imparsialitas
hakim memang bukan sesuatu yang mudah dideteksi dimana hal itu hanya dapat
dilacak dari prilakunya selama menjadi hakim vis-a-vis kerterkaitanya dengan
pihak berperkara dalam konteks hubungan sosial ataupun hubungan politik.
Ketiga, imparsialitas proses peradilan hanya dapat dicapai jika hakim dapat
melepaskan diri dari konflik kepentingan atau faktor semangat pertemanan
commit to user
diri dari proses persidangan jika melihat adanya potensi imparsialitas. (Andi M.
Asrun, 2004: 53)
Ketidakberpihakan (impartiality) kekuasaan kehakiman tidak hanya
ketiadaan bias atau kecurigaan tertentu terhadap hakim saja, melainkan juga
berlaku bagi hal-hal yang berkaitan dengan pertimbangan-pertimbangan lain
seperti pandangan politik dan agama yang ianut oleh hakim. J.A.G. Griffith
mengatakan:
Impartiality means not merely absence of personal bias or prejudice in
the judge, but also the exclusion of relevant considerations, such as his
political or religious views. Individual litigants expect to be heard fairly
and fully and to receive justice. Essentially, this view rests on an
assumption of judicial neutrality.
Kekuasaan kehakiman memang bukan merupakan entitas yang hampa
dari kepentingan-kepentingan politik, karena politik memiliki potensi dan
kecenderungan yang sangat besar untuk melakukan intervensi terhadap kekuasaan
kehakiman. Politik mempunyai derajat determinasi yang tinggi terhadap
independensi kekuasaan kehakiman. (Ahsin Thohari, 2004: 10)
Dalam hal political insularity, Keterputusan relasi dengan dunia politik
bagi hakim akan sangat mendukung imparsialitas proses peradilan. karena hal ini
merupakan sesuatu yang masuk akal bahwa hakim diasumsikan menjadi bagian
dari partai politik tertentu dalam pemilihan umum. Karena itu keterikatan seorang
calon hakim dengan partai politiknya harus dilepaskan ketika dia diangkat menjadi
hakim. (Andi M. Asrun, 2004: 54)
Paulus E. Lotulung, menyatakan bahwa batasan atau rambu-rambu yang
harus dilihat dalam implementasi kebebasan adalah aturan-aturan hukum baik
yang sifatnya prosedural maupun substansial materiil yang merupakan batasan
bagi kekuasaan kehakiman agar dalam melakukan independensinya tidak
melanggar hukum, dan bertindak sewenang-wenang. Hakim adalah bertindak
commit to user
subordinated pada hukum dan tidak bertindak contra legem. (Ahsin Thohari,
2010: 72)
Basic Principles on the Independence of the Judiciary dirumuskan untuk
membantu negara-negara di dunia mengaplikasikan gagasankekuasaan kehakiman
yang merdeka dan tidak memihak. Khusus mengenai kemerdekaan kekuasaan
kehakiman ada sembilan pasal yang mengatur tentang hal tersebut yaitu Pasal 1
menyatakan bahwa kemerdekaan kekuasaan kehakiman harus dijamin oleh negara
yang ditetapkan di dalam konstitusi atau undang-undang negara. Tugas
penghormatan dan pengamatan terhadap kemerdekaan kehakiman merupakan
tugas pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya. Pasal 2 menyatakan bahwa
kekuasaan kehakiman harus memutuskan suatu perkara dengan tanpa sikap
memihak, berdasarkan fakta-fakta sesuai dengan peraturan perundang. undangan,
tanpa pembatasan apa pun juga, tanpa pengaruh-pengaruh yang tidak benar, tanpa
bujukan, tanpa tekanan, tanpa ancaman atau campur tangan, baik secara langsung
maupun tidak langsung, dari bagian apa pun atau untuk alasan apa pun. Pasal 3
meyatakan bahwa kekuasaan kehakiman harus mempunyai yurisdiksi dan harus
kewenangan untuk memutuskan apakah perkara-perkara yang diajukan untuk
diputuskan tersebut berada dalam kompetensinya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Pasal 4 menyatakan tidak boleh ada campur tangan terhadap
proses peradilan dalam bentuk apa pun, juga putusan-putusan pengadilan tidak
boleh direvisi. Pasal 5 menyatakan setiap orang mempunyai hak untuk diselidiki
dan diputus oleh pengadilan biasa atau pengadilan yang menggunakan
prosedur-prosedur hukum yang telah ditetapkan. Pasal 6 menyatakan prinsip kemerdekaan
kekuasaan kehakiman membutuhkan pengadilan yang dapat menjamin bahwa
proses peradilan dilaksanakan secara jujur dan hak-hak dari para pihak dihormati.
Pasal 7 menyatakan negara anggota mempunyai tugas untuk menyediakan sumber
daya-sumber daya yang memadai untuk memungkinkan kekuasaan kehakiman
commit to user
dapat melakukan fungsi-fungsinya secara sebagaimana mestinya. (Ahsin Thohari,
2004: 16)
Kemudian dalam Vienna Declaration and Programme of Action diatur
bahwa administrasi pengadilan, termasuk penegakan hukum dan lembaga
penuntutan, khususya kekuasaan kehakiman yang merdeka dan profesi hukum
yang sepenuhnya sesuai dengan dengan ukuran-ukuran yang dapat dilaksanakan
yang terdapat dalam instrumen HAM internasional adalah suatu hal yang
mendasar untuk memenuhi dan merealisasikan HAM tanpa diskriminasi dan
sangat diperlukan dalam proses demokrasi dan pembangunan yang berkelanjutan.
Lembaga-lembaga yang berkaitan dengan administrasi pengadilan harus dibiayai
secara memadai, serta bantuan finansial dan teknik yang meningkat harus
disediakan oleh masyarakat internasional. Hal ini merupakan kewajiban PBB
untuk membuat bergunanya program-program pelayanan laporan dalam
memprioritaskan dasar untuk mencapai administrasi pengadilan yang merdeka dan
kuat. (Ahsin Thohari, 2004: 17)
Lebih lanjut dikatakan bahwa independensi harus diikat dengan
pertanggungjawaban atau akuntabilitas, dimana keduanyanya pada dasarnya
merupakan dua sisi koin mata uang yang sama.(Ahsin Thohari, 2010:72) Hal ini
seperti apa yang dikemukakan oleh Stephen B. Burbank, Bahwa independesi
peradilan adalah sebuah koin dua sisi yang tidak dapat dipisahkan dengan
akuntabilitas peradilan. “Judicial independence is merely the other side of the coin
from judicial account ability..”. (Stephen B. Burbank, 2007: 911)
John Ferejohn, menyatakan bahwa independensi adalah sebuah konsep
yang relatif dan bukan absolut. Ferejohn mengatakan bahwa one definitonal
problem is that judicial independence is a relative, not an absolute concept. The
following definiton of ‘dependency’ highlights the relative nature of judicial
independence: in a person or institution is...dependent...if unable to do its job
commit to user
adalah keadaan dimana peradilan dapat menjalankan tugasnya tanpa memiliki
ketergantungan dengan pihak lain. (Ahsin Thohari, 2007: 71)
Sebagai badan peradilan yang independen kekuasaan kehakiman dalam
menjalankan sifat independenya harus dapat dikontrol oleh publik atau melalui
lembaga khusus. Harus disadari bahwa independensi diikat pula dengan
pertanggungjawaban atau akuntabilitas. Tidak ada kebebasan mutlak tanpa
tanggung jawab. Dengan perkataan lain dipahami bahwa dalam konteks kebebasan
hakim haruslah diimbangi dengan pasanganya yaitu akuntabilitas peradilan
(judicial accountability). (Ahsin Thohari, 2010: 72)
Ahsin Thohari menyimpulkan ada lima syarat dari kekuasaan kehakiman
yaitu pengangkatan terhadap pejabat lembaga peradilan yang tidak bersifat politik,
masa jabatan dan gaji yang terjamin, tidak ada intenvensi dari kekuasaan eksekutif
dan legislatif terhadap proses peradilan dan pengadilan, dan adanya otonomi
secara administratif, dan anggaran belanja. Kelima hal tersebut menjadi semacam
tonggak yang dapat dijadikan parameter kemerdekaan kekuasaan kehakiman.
(Ahsin Thohari, 2004: 11)
Jadi berdasarkan penjelasan diatas pengertian prinsip kekuasaan
kehakiman yang merdeka adalah kebebasan hakim dalam menjalankan tugasnya
baik secara individual maupun kelembagaan dengan memiliki patokan bahwa
adanya prinsip ketidakberpihakan kepada pihak manapun dalam sebuah perkara
(impartiality) dan keterputusan relasi dengan para aktor politik atau kepentingan
apapun (political indularity).
Dalam dokumen
Bentuk pengawasan hakim oleh komisi yudisial dan implikasinya terhadap prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka
(Halaman 39-47)