Pembuktian di era teknologi dan informasi sekarang ini menghadapi tantangan yang Besar dan membutuhkan penanganan yang serius dalam pemberantasan kejahatan dunia, hal ini muncul karena sebagian pihak-pihak jenis alat bukti selama ini dipakai untuk menjerat pelaku tindak pidana tidak lagi mampu dipergunakan dalam menjerat pelaku kejahatan dunia maya. Hambatan klasik sulitnya menghukum pelaku kejahatan komputer (cyber crime) adalah karena belum legkapnnya ketentuan pidana yang mengatur tentang kejahatan komputer, internet dan teknologi informasi (cyber crime) dan belum diterimanya dokumen elektronik (misalnya file komputer) sebagai alat bukti oleh konsep yang dianut KUHAP.
Berdasarkan penelitian dan wawancara penulis dengan responden Ketut Suryana dan Tb. Deni Sandera, menurut keduanya alat bukti elektronik mempunyai kekuatan yang sama dengan alat bukti yang ada pada umumnya, sehingga tidak ada alasan lagi bagi pelaku
Dalam KUHAP memang belum mengatur mengenai alat bukti elektronik, menurut Ketut dalam RUU KUHAP harus atur alat bukti elektronik, karena dalam KUHAP sendiri belum mengatur alat bukti elektronik apabila terjadi permasalahan dibidang ITE, maka akan muncul kesulitan dalam penanganan alat bukti elektronik karena belum dimasukan kedalam KUHAP, sedangkan penyidikannya dan pelaksanaannya mengacu pada KUHAP. Sedangkan menurut I Gede AB., dan Erna dewi pengaturan alat bukti secara otomatis harus mengacu pada KUHAP dan tidak perlu ada perubahan yang signifikan namu hanya ada sedikit revisi dari KUHAP yang telah ada, namun dalam revisi itu juga harus atur alat bukti Elektronik seiring perkembangan zaman.
Di dalam KUHAP mempunyai keterbatasan dalam pembuktian alat bukti yaitu:
a) keterbatasan dalam pengaturan mengenai jenis tindak pidana, hal ini sangaat
wajar terhadap mengenai “ suasana” yang mempengaruhi pada saat penyusunan
KUHP kita jauh bebeda dengan kondisi sekarang yang sarat dengan kemajuan IT. b) Keterbatasan dan pengaturan mengenai pelaku tindak pidana dalam era teknologi
informasi seperti sekarang ini, penentuan siapa yang dapat dikualifikasi sebagai pelaku tindak pidana lebih komplek sifatnya selain keterbatasan jangkauan pada pengaturan dalam KUHP dan cybercrime, system pembuktian juga mengalami keterbatasan bila berkaitan dengan Hukum Pembuktian dalam prosese perdilan baik dalam perkara pidana maupun perkara perdata. Kemajuan teknologi informasi memunculkan persoalan tersendiri mengenai apakah hukum
khususnya catatan/dokumen elektronik masih menjadi perdebatan mengenai bagaimana kedudukannya sebagai alat bukti yang sah dipersidangan.
Pembuktian dalam hukum pidana merupakan sub system kebijakan kriminal sebagai science of response yang mencakup berbagai disiplin ilmu. Hal ini disebabkan oleh luasnya kausa dan motif berkembangnya jenis kejahatan yang berbasis teknologi informasi.
Dalam pengungkapan suatu perkara tindak pidana, paling tidak ada tiga hal yang tidak dapat dipisahkan karena menyangkut keabsahan atau kevalidan suatu putusan pengadilan, yaitu sistem pembuktian yang di anut oleh hukum acara, alat bukti, dan kekuatan pembuktian serta barang bukti yang akan memperkuat alat bukti yang dihadirkan dalam sidang pengadilan. Sehingga membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu. Baik dalam hukum acara perdata maupun hukum acara pidana. Karena pembuktian memegang peranan yang sangat sentral.
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, tentang implementasi Pasal 5 Undang- Undang Nomor 11 tahun 2008, maka dapat disimpulkan dalam skripsi ini bahwa penerapan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 telah diimplementasikan dan di sosialisasikan kepada masyarakat luas tentang alat bukti elektronik, Undang- Undang ITE ini sudah berjalan dengan baik walau belum memberikan hasil yang maksimal dalam hal pembuktian karena dikarenakan masih sulit dalam mengungkap identitas pelaku kejahatan dunia maya. Berhadapan dengan kasus cybercime pembuktian menjadi masalah pelik, seringkali penegak hukum di Indonesia mengalami kesulitan saat menjerat pelaku cybercrime karena masalah pembuktian. Kelemahan perangkat hukum dalam penegakan hukum pidana khususnya perkara Cyber Crime banyak memiliki keterbatasan. Hal demikian dapat dirasakan seperti apabila kejahatan yang terjadi aparat penegak hukumnya belum siap bahkan tidak mampu (gagap teknologi) untuk mengusut pelakunya dan alat-alat bukti yang dipergunakan dalam hubungannya dengan bentuk kejahatan yang sulit terdeteksi seperti cybercrime.
B. Saran
Melakukan revisi terhadap Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, khususnya mengenai alat bukti yang digunakan dalam persidangan. Diharapkan dalam revisi KUHAP tersebut, bukti elektronik akan dimasukkan sebagai alat bukti yang dapat dipergunakan dalam persidangan, dengan adanya Undang-undang ITE diharapkan dari pihak penyelenggara sistem elektronik untuk selalu menjaga agar sistemnya senantiasa andal, aman, dan berfungsi sebagaimana mestinya. Sehingga apabila suatu waktu diperlukan bukti yang diperoleh dari sistem elektronik, bukti tersebut bernilai sebagai alat bukti yang sah, dengan UU ITE ini bisa lebih baik lagi dan bisa diterima oleh masyarakat luas dan segera dikeluarkan Peraturan Pemerintah untuk melengkapi UU ITE ini serta Undang-Undang yang khusus mengatur mengenai kejahatan cyber crime dengan ketentuan mengenai pembuktian dalam upaya penjeratan terhadap pelaku kejahatan tindak pidana cybercrime.
dicurigai terhadap alat bukti yang dipalsukan, persidangan Acara Perdata akan menunggu diputuskannya dulu kasus pidana tersebut. Dalam Hukum Acara Perdata, pembuktian formil yang dimaksud pada pokoknya adalah untuk cukup membuktikan adanya suatu peristiwa hukum yang memperlihatkan hubungan hukum dari para pihak. Lebih lanjut, sebagaimana tercantum dalam Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti yang dikenal dalam Hukum Acara Pidana adalah: (a) surat; (b) keterangan saksi; (c) petunjuk; (d) keterangan ahli; (e) sumpah. Sementara itu, untuk Hukum Acara Perdata Pasal 164 HIR (Herzien Inlands Reglement) atau RIB (Reglemen Indonesia yang diperbaraui) Staatsblaad 1941 No. 44 dan KUHPerdt adalah: (a) surat; (b) pengakuan; (c) persangkaan; (d) keterangan saksi; dan (e) sumpah.
Hukum pembuktian dalam hukum acara pidana sangat penting karena merupakan bagian yang paling utama serta menyangkut seluruh sistem yang di sebut Criminal justice system, yang di mulai dari penyelidikan. penyidikan, penuntutan, dan puncaknya adalah persidangan, di mana terdapat tiga pihak yang berperan : Jaksa. Hakim, dan Penasihat Hukum. Indonesia mengenal kodifikasi hukum pembuktian yang merupakan dari hukum acara pidana, termuat dalam KUHAP, namun disamping itu pengaturannya juga diluar kodifikasi, yaitu pada Undang-Undang Tindak Pidana diluar kodifikasi-kodifikasi yang sekaligus memuat hukum pidana materiil.
Hukum pembuktian dikenal dengan istilah notoire feiten notorious (generally known)
yang berarti setiap hal yang “sudah umum diketahui” tidak lagi perlu dibuktikan dalam pemeriksaan sidang pengadilan. Hal ini sudah tercantum dalam pasal 184 ayat
Menurut Yahya Harahap, mengenai pengertian “hal yang secara umum sudah diketahui” ditinjau dari segi hukum, tiada lain daripada “perihal” atau “keadaan
tertentu” atau omstandigheiden atau circumstances, yang sudah sedemikian mestinya atau kesimpulan atau resultan yang menimbulkan akibat yang pasti demikian”.