• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI PASAL 5 UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK MENGENAI PEMBERLAKUAN DOKUMEN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI SAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "IMPLEMENTASI PASAL 5 UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK MENGENAI PEMBERLAKUAN DOKUMEN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI SAH"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

IMPLEMENTASI PASAL 5 UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK MENGENAI

PEMBERLAKUAN DOKUMEN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI SAH

Oleh

Magfiroh

Perkembangan teknologi saat ini sangat pesat dan kejahatan melalui media elektronik atau cybercrime juga merajalela dan sangat merugikan. CyberCrime merupakan bentuk perkembangan kejahatan transnasional yang cukup mengkhawatirkan saat ini. Pesatnya perkembangan di bidang teknologi informasi saat ini merupakan dampak dari semakin kompleksnya kebutuhan manusia akan informasi itu sendiri. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya di sebut UU ITE) dan dengan penerapan Pasal 5 UU ITE diharapkan mampu untuk mencegah perkembangan kejahatan teknologi informasi (TI) khususnya di bidang informasi dan transaksi elektronik dengan menggunakan sistem komputer melalui media internet yang lebih luas dan bisa memperkuat alat bukti yang terdapat dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah implementasi pasal 5 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik mengenai pemberlakuan dokumen elektronik sebagai alat bukti sah dan bagaimanakah kekuatan alat bukti elektronik.

(2)

serta bisa mewakili dari masalah yang diteliti.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, yakni setelah berlakunya UU ITE maka penerapan pasal 5 UU ITE ini di implementasikan dalam hukum positif di Indonesia, dan disosialisasikan ke masyarakat luas, walau belum maksimal dalam penerapannya, pembuktian alat bukti elektronik mempunyai kepastian hukum yang sama dengan alat bukti yang ada dalam KUHAP. Dalam pengungkapan suatu perkara tindak pidana, paling tidak ada tiga hal yang tidak dapat dipisahkan karena menyangkut keabsahan atau kevalidan suatu putusan pengadilan, yaitu sistem pembuktian yang di anut oleh hukum acara, alat bukti, dan kekuatan pembuktian serta barang bukti yang akan memperkuat alat bukti yang dihadirkan dalam sidang pengadilan. Sehingga membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu. Baik dalam hukum acara perdata maupun hukum acara pidana. Karena pembuktian memegang peranan yang sangat sentral. Begitu pula dengan Dokumen Elektronik yang terdapat dalam Pasal 5 UU ITE yang mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan alat bukti lain pada umumnya.

Pada bagian akhir penulisan ini yang menjadi saran penulis adalah melakukan revisi terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan segera dikeluarkannya Peraturan Pemerintah tentang UU ITE, agar UU ITE ini berjalan dengan baik dan berkesinambungan.

(3)

Perkembangan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi seperti internet, maka manusia dapat mengetahui apa yang terjadi didunia dalam hitungan detik, dapat berkomunikasi dan mengenal orang dari penjuru dunia tanpa harus berjalan jauh dan bertatap muka secara langsung. Inilah yang dikenal orang dengan sebutan dunia maya atau Cyber Space. Perkembangan teknologi informasi ini banyak manfaat yang positif dalam memudahkan umat manusia untuk melakukan kegiatan melalui dunia maya atau Cyber Space, seperti: e-travel yang berhubungan dengan pariwisata, e-banking yang berhubungan dengan perbankan electronic mail atau e-mail, e-commerce yang berhubungan dengan perniagaan.

Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi disamping memberi manfaat kemaslahatan bagi masyarakat, disisi lain memiliki peluang digunakan sebagai alat untuk melakukan kejahatan. Kejahatan yang dilakukan dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi dapat terjadi pada kejahatan biasa maupun yang secara khusus menargetkan kepada sesama infrastruktur dan komunikasi sebagai korbannya, dimana dampak dari kejahatan yang muncul dari penggunaan teknologi informasi dan komunikasi secara negatif dapat menyebabkan runtuhnya sistem tatanan sosial, lumpuhnya perekonomian nasional suatu negara, lemahnya sistem pertahanan dan keamanan serta juga dapat memiliki peluang untuk digunakan sebagai alat teror.

(4)

canggih maupun muncul dan berkembangnya kejahatan baru dengan teknologi tersebut.

Kemunculan internet dapat dikatakan merupakan hasil dari revolusi informasi yang sangat mengagumkan, membanggakan oleh karena secara mendasar mengandung ciri praktis dan memudahkan, baik untuk penggunaan secara orang perorangan maupun organisasi atau institusional, dalam berbagai aspek kehidupan.maka patut dicermati bahwa penyalahgunaan internet membawa dampak negatif dalam bentuk munculnya jenis kejahatan baru seperti:

a. hackers membobol komputer milik bank dan memindahkan dana secara melawan hukum;

b. pelaku mendistribusikan gambar pornografi;

c. teroris menggunakan internet untuk merancang dan melaksanakan serangan;

d. penipu menggunakan kartu kredit milik orang lain untuk berbelanja di internet.

(5)

Secara umum yang dimaksud dengan kejahatan komputer atau kejahatan di dunia siber adalah upaya memasuki dan atau menggunakan fasilitas komputer atau jaringan komputer tanpa ijin dan dengan melawan hukum, dengan atau tanpa menyebabkan perubahan dan atau kerusakan pada fasilitas komputer yang dimasuki atau digunakan tersebut ( M. Arief dan Elisatris Gultom, 2005:8).

Pembuktian di era teknologi informasi sekarang ini menghadapi tantangan yang besar yang memerlukan penangan serius, khususnya dalam kaitan pemberantasan kejahatan dunia maya (cyber crime). Hal ini ini muncul karena sebagian pihak jenis-jenis alat bukti yang selama ini dipakai sangat sulit dalam menjerat pelaku-pelaku kejahatan di dunia maya (cyber crime), mengingat bahwa luasnya kausa dan motif berkembangnya jenis kejahatan yang berbasis teknologi informasi.

Pembuktian merupakan satu aspek yang memegang peranan sentral dalam suatu proses peradilan. Pada kasus pidana, nasib terdakwa akan ditentukan pada tahap ini, jika tidak cukup alat bukti, terdakwa akan dinyatakan tidak bersalah dan harus dibebaskan, begitupun sebaliknya. Sedangkan pada kasus perdata, dalam tahap pembuktian ini para pihak diberikan kesempatan untuk menunjukkan kebenaran terhadap fakta-fakta hukum yang merupakan titik pokok sengketa. Sehingga, hakim yang memeriksa dan memutus perkara akan mendasarkan pada alat bukti yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa.

Hukum pidana, Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

(6)

dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Prinsip minimal pembuktian dalam hukum pidana - seperti telah diatur dalam pasal 183 KUHAP - menyatakan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan ia (hakim) memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Pada tataran implementasi, ketentuan ini dapat menyulitkan penyidik jika ternyata alat bukti yang ada sangat minim. Sehingga, seringkali penyidik mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) maupun Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) bahkan putusan bebas jika perkara sudah dimejahijaukan

(7)

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjawab kelemahan ini dengan membentuk Undang-Undang (UU) Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Materi penting dalam UU ITE adalah pengakuan terhadap perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Perluasan yang dimaksud adalah pengakuan terhadap informasi elektronik sebagai alat bukti. Artinya, kini telah bertambah satu lagi alat bukti yang dapat digunakan di pengadilan.

Informasi elektronik dapat menjadi alat bukti yang dapat berdiri sendiri sebagaimana ditegaskan di dalam pasal 5 ayat (1) UU ITE, bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Informasi Elektronik merupakan satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, elektronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses,

simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya (pasal 1 angka 1 UU ITE).

(8)

Namun, tidak dinafikan bahwa persepsi umum bentuk tertulis dari suatu informasi menjadi suatu bukti yang lebih kuat dalam suatu hubungan hukum. Hal inilah yang meletakkan bentuk tertulis di atas kertas tersebut seakan-akan menjadi hal yang sangat penting (Edmon Makarim, 2004 : 415).

Di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang lnformasi danTransaksi Elektronik ditegaskan, alat bukti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan termasuk alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Dokumen elektronik dirumuskan, setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau se-jenisnya,yang dapat dilihat,ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik.

Kesulitan mendasar penggunaan alat bukti elektronik dalam proses pembuktian perkara pidana, khususnya mengenai tindak pidana dengan menggunakan komputer yaitu tidak adanya patokan atau dasar penggunaan bukti elektronik ini dalam perundang-undangan kita. Padahal dalam kejahatan dengan menggunakan komputer bukti yang akan mengarahkan suatu peristiwa pidana adalah data-data elektronik baik yang berada di dalam komputer itu sendiri (hardisk/floopy disc) atau yang merupakan hasil print out, atau dalam bentuk lain berupa jejak (path) dari suatu aktivitas penggunaan komputer (Edmon Makarim, 2004 : 423).

(9)

B. Pokok Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah, maka permasalahan yang akan dibahas yaitu: 1. Bagaimanakah Implementasi Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengenai pemberlakuan dokumen elektronik sebagai alat bukti sah?

2. Bagaimanakah kekuatan alat bukti Elektronik?

2. Ruang lingkup

Agar penulisan skripsi ini tidak terlalu luas, maka pokok bahasan hanya dibatasi pada Implementasi Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, lingkup penelitian dibatasi pada wilayah hukum Polda Lampung.

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan

1.Tujuan penulisan

Berdasarkkan permasalahan dan ruang lingkup permasalahan di atas maka penulisan skripsi bertujuan untuk mengetahui : Implementasi Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Mengenai Pemberlakuan Dokumen Elektronik Sebagai Alat Bukti Sah.

2. Kegunaan Penulisan a. Kegunaan Teoritis

(10)

Elektronik dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE).

b. Kegunaan Praktis

Kegunaan Praktis dari penelitian ini adalah sebagai acuan dan referensi bagi pendidikan dan penelitian hukum, sumber bacaan bidang hukum khususnya pemberlakuan alat dokumen eletronik sebagai alat bukti sah pada pasal 5 Undang-Undang Nomor. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

D. Kerangka Teoritis dan konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil-hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi sosial yang di anggap revelan oleh peneliti (Soerjono Soekanto, 1986 : 123).

Saat ini telah lahir suatu hukum baru yang dikenal dengan hukum siber atau hukum telematika. Hukum siber atau cyber law, secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Demikian pula, hukum telematika yang merupakan perwujudan dari konvergensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan hukum informatika. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of information technology), hukum dunia maya (virtual world law), dan hukum

(11)

sistem komputer yang merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat secara virtual. Permasalahan hukum yang seringkali dihadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transaksi secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik.

Dunia hukum sebenarnya sudah sejak lama memperluas penafsiran asas dan normanya ketika menghadapi persoalan yang bersifat tidak berwujud, misalnya dalam kasus pencurian listrik yang pada awalnya sulit dikategorikan sebagai delik pencurian tetapi akhirnya dapat diterima sebagai perbuatan pidana. Kenyataan saat ini yang berkaitan dengan kegiatan siber tidak lagi sesederhana itu, mengingat kegiatannya tidak lagi bisa dibatasi oleh teritori suatu negara, aksesnya dengan mudah dapat dilakukan dari belahan dunia manapun, kerugian dapat terjadi baik pada pelaku internet maupun orang lain yang tidak pernah berhubungan sekalipun misalnya dalam pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di internet.

(12)

Keberadaan alat bukti sangat penting terutama untuk menunjukkan adanya peristiwa hukum yang telah terjadi. Menurut PAF Lamintang, orang dapat mengetahui bahwa adanya dua alat bukti yang sah itu adalah belum cukup bagi hakim untuk menjatuhkan pidana bagi seseorang. Tetapi dari alat-alat bukti yang sah itu hakim juga perlu memperoleh keyakinan, bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi.

Adanya alat bukti yang sah sangat penting bagi hakim pidana dalam meyakinkan dirinya membuat putusan atas suatu perkara. Alat bukti ini harus sah (wettige bewijsmiddelen). Hanya terbatas pada alat-alat bukti sebagaimana di sebut dalam

Undang-undang (KUHAP atau Undang-undang lain). UU ITE melalui pasal 5 ayat (1) dan (2) ternyata memberikan 3 buah alat bukti baru yaitu; Informasi elektornik, dokumen elektronik dan hasil cetak dari keduanya, merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.

Dalam pasal 184 KUHAP hanya mengenal 5 alat bukti yang dapat dipersidangkan dipengadilan yaitu alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Akan tetapi dalam RUU KUHAP alat bukti yang sah dipersidangan berubah menjadi alat bukti barang bukti, surat-surat, alat bukti elektronik, keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa dan pengamatan hakim.

(13)

(global network) merupakan suatu keharusan jika kita tidak ingin menjadi objek didalamnya. Dalam dunia maya (cyberspace) telah terjadi perubahan paradigma, terutama dalam pemanfaatan informasi sebagai suatu aset untuk menguasai dunia. Banyak hal dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi komputer, informasi, dan komunikasi yang bermuara pada jaringan internet sebagai wujud perpaduan tiga bidang teknologi tersebut ( Edmon Makarim, 2005:428).

Perkembangan teknologi dibidang komputer dengan sistem jaringan telah diaplikasikan kedalam berbagai sektor kehidupan manusia. Sistem jaringan yang dibentuk telah menciptakan suatu yang disebut cyber space. Pemanfaatan cyber space ini dalam perkembangananya menuntut regulasi tersendiri, mengingat banyak dijumpai penyalahgunaan terhadap fasilitas yang ada dalam cyber space tersebut.

Kompilasi permasalahan dalam cyber space ini tentu saja memutar pembenahan terhadap sistem hukum secara menyeluruh baik mengenai kultur hukum dan substansi hukum khususnya hukum pidana. Dengan demikian kebijakan hukum pidana (penal pollicy) menduduki posisi yang strategis dalam perkembangan hukum pidana modern (Barda Nawawi Arif, 1996:23-24).

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah yang akan diteliti (Soerjono Soekanto, 1986:32).

(14)

b. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisaan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy, atau sejenisnya, huruf; tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya (Pasal 1 Ayat (2) UU ITE).

c. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya (Pasal 1 Ayat (3) UU ITE).

d. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisa dan menyebarkan informasi (Pasal 1 Ayat (3) UU ITE).

e. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterina, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/ atau Komputer atau sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancanga., foto atau sejeninya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang memiliki makna arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminyaa. (Pasal 1 Ayat (4) UU ITE)

(15)

f. komputer adalah alat untuk memproses data elektronik, magnetik, optik, atau sisitem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan (Pasal 1 Ayat (14) UU ITE).

g. Alat Bukti adalah alat bukti yang terdapat dalam pasal 184 KUHAP yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa.

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam memahami skripsi ini secara keseluruhan maka sistematika penulisan disusun sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang penulisan skripsi dengan judul Implementasi Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengenai Pemberlakuan Dokumen Elektronik sebagai Alat Bukti Sah, kemudian dalam bab ini memuat perumusan masalah dan pembatasan ruang lingkup masalah, tujuan dan kegunaan penulisan, serta uraian mengenai kerangka teoritis dan konseptual serta sistem penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

(16)

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan metode-metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu tentang langkah-langkah yang digunakan penulis dalam melakukan pendekatan masalah, yaitu dalam hal memperoleh dan mengklasifikasikan sumber dan jenis data, serta prosedur pengumpulan dan pengolahan data. Kemudian dari data yang telah terkumpul dilakukan analisis dengan bentuk uraian.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini memuat pembahasan, yaitu mengenai implementasi pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transakasi Elektronik mengenai pemberlakuan dokumen elektronik sebagai alat bukti sah serta pengaturan penggunaan alat bukti sah yang berupa dokumen elektronik dalam hukum acara pidana.

V. PENUTUP

(17)

dicurigai terhadap alat bukti yang dipalsukan, persidangan Acara Perdata akan menunggu diputuskannya dulu kasus pidana tersebut. Dalam Hukum Acara Perdata, pembuktian formil yang dimaksud pada pokoknya adalah untuk cukup membuktikan adanya suatu peristiwa hukum yang memperlihatkan hubungan hukum dari para pihak. Lebih lanjut, sebagaimana tercantum dalam Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti yang dikenal dalam Hukum Acara Pidana adalah: (a) surat; (b) keterangan saksi; (c) petunjuk; (d) keterangan ahli; (e) sumpah. Sementara itu, untuk Hukum Acara Perdata Pasal 164 HIR (Herzien Inlands Reglement) atau RIB (Reglemen Indonesia yang diperbaraui) Staatsblaad 1941 No. 44 dan KUHPerdt adalah: (a) surat; (b) pengakuan; (c) persangkaan; (d) keterangan saksi; dan (e) sumpah.

Hukum pembuktian dalam hukum acara pidana sangat penting karena merupakan bagian yang paling utama serta menyangkut seluruh sistem yang di sebut Criminal justice system, yang di mulai dari penyelidikan. penyidikan, penuntutan, dan puncaknya adalah persidangan, di mana terdapat tiga pihak yang berperan : Jaksa. Hakim, dan Penasihat Hukum. Indonesia mengenal kodifikasi hukum pembuktian yang merupakan dari hukum acara pidana, termuat dalam KUHAP, namun disamping itu pengaturannya juga diluar kodifikasi, yaitu pada Undang-Undang Tindak Pidana diluar kodifikasi-kodifikasi yang sekaligus memuat hukum pidana materiil.

Hukum pembuktian dikenal dengan istilah notoire feiten notorious (generally known)

yang berarti setiap hal yang “sudah umum diketahui” tidak lagi perlu dibuktikan dalam pemeriksaan sidang pengadilan. Hal ini sudah tercantum dalam pasal 184 ayat

(18)

Menurut Yahya Harahap, mengenai pengertian “hal yang secara umum sudah diketahui” ditinjau dari segi hukum, tiada lain daripada “perihal” atau “keadaan

tertentu” atau omstandigheiden atau circumstances, yang sudah sedemikian mestinya atau kesimpulan atau resultan yang menimbulkan akibat yang pasti demikian”.

B. Sistem Pembuktian

Pada hakekatnya, pembuktian dimulai sejak adanya suatu peristiwa hukum. Apabila ada unsur-unsur pidana (bukti awal telah terjadinya tindak pidana) maka barulah dari proses tersebut dilakukan penyelidikan (serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini), dan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dalam pasal 1 angka 13, penyidikan ialah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Sistem Pembuktian bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara untuk meletakan hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diperiksa. Ada empat sistem hukum pembuktian hukum acara pidana, yaitu:

1. Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Belaka (Conviction Intime)

(19)

diwajibkan mengemukakan alasan-alasan hukum yang dipakai sebagai dasar putusannya. Namun apabila hakim dalam putusannya menyebut alat bukti yang dipakai, maka hakim bebas menunjuk alat bukti itu, meskipun alat bukti itu sulit diterima dengan akal. Penilaian dari sistem ini benar-benar tergantung penilaian subjektif hakim tersebut. Dasar-dasar pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan terhadap keputusan yang tidak dikemukakan dan tidak diketahui mengakibatkan sulit sulitnya pengawasan terhadap putusan hakim. Maka dari itu putusan hakim yang berdasarkan sisitem ini sudah tidak diterima lagi dalam kehidupan hukum di Indonesia.

Keyakinan hakim yang dominan atau yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakina hakim semata. Keyakinan hakimlah yang menentukan kebenaran sejati.

Menurut Wirjono Prodjodikoro (Andi Hamzah, 1995:230)

“ Sistem peradilan ini pernah di anut di Indonesia yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini memungkinan hakim menyebut apa saja yang

menjadi dasar keyakinannya, misalnya keterangan medium atau dukun.”

2. Sistem Pembuktian Bebas (Vrije Bewijstheorie)

(20)

atau tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam pembuktian ini faktor keyakinan hakim dibatasi. Keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinnya atas kesalahan terdakwa.Hakim tidak terikat pada penyebutan alat-alat bukti yang terdapat dalam undang-undang, melainkan hakim tersebut secara bebas diperkenankan memakai alat-alat lain.

3. Sistem Pembuktian Undang-Undang Secara Positif (Positief Wettelijk )

Dalam sistem ini undang-undang mengatur jenis alat-alat bukti dan cara-cara mempergunakannya atau menentukan kekuatan pembuktian. Dengan alat yang ditentukan undang-undang dan dipergunakan sesuai undang-undang, maka hakim berwenang untuk menetapkan terbukti atau tidaknya suatu perkara yang diperiksanya, meskipun belum yakin atau bahkan betentangan dengan keyakinan hakim itu sendiri. Sistem ini hanya menurut ketentuan undang-undang yang meninggalkan nilai kepercayaan diri hakim sebagai sumber keyakinanya, hingga akan menggoyahkan kehidupan hukum karena kurangnya dukungan dalam masyarakat sebagai akibat dari putusan–putusan yang tidak dapat mencerminkan kehendak masyarakat yang akan tercermin dalam pribadi hakim.

Hal ini sesuai dengan pendapat Wirjono Prodjodikoro (Andi Hamzah, 1995;230) yang menolak teori pembuktian ini, menurutnya :

(21)

jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan

masyarakat.”

4. Sistem Pembuktian Undang-undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk )

Dalam sistem ini hakim dibatasi dalam mempergunakan alat-alat bukti tertentu yang telah ditentukan oleh undang-undang dan hakim tidak diperkenankan mempergunakan alat bukti yang lain. Cara penilaian dalam mempergunakan alat-alat bukti yang diatur oleh undang-undang dengan adannya keyakinan seorang hakim atas adanya kebenaran.

Pasal 183 KUHAP berbunyi sebagai berikut.

“ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila

dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang

bersalah melakukannya.”

Sebelum KUHAP, HIR juga menyebutkan dalam pasal 294 bahwa:

1. Tidak seorangpun dapat dikenakan pidana, kecuali apabila hakim dengan mempergunakan alat bukti yang termuat dalam undang-undang mendapat keyakinan sungguh-sungguh terjadi suatu peristiwa. 2. Tidak seorangpun dapat dikenakan hukum pidana berdasarkan

persangkaan belaka atau suatu pembuktian yang tidak sempurna.

(22)

Mengenai sistem pembuktian mana yang digunakan dalam hukum acara pidana di Indonesia dapat terlihat pada Pasal 183 KUHAP yang menyatakan hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan, suatu tindak pidana terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dengan demikian dapat disimpulkan sistem pembuktian di Indonesia menggunakan teori undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijstheori).

C. Alat Bukti dalam Hukum Acara Pidana

Berdasarkan Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti terdiri dari : 1. Keterngan saksi

2. Keterngan Ahli 3. Surat

4. Petunjuk

5. Keterangan Terdakwa

1. Keterngan Saksi

Pengertian Keterngan saksi tercantum dalam Pasal 1 butir 27 KUHAP yang berbunyi:

“ Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa

keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa yang ia dengar sendiri, lihat sendiri

dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.”

(23)

2. Keterangan Ahli

Pengertian keterangan ahli secara umum dijelaskan dalam Pasal 1 butir 28 KUHAP yang menyatakan bahwa :

“ Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang mempunyai

keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara

pidana guna kepentingan pemeriksaan.”

Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa keterangan seorang ahli adalah apa yang seorang ahli katakan di pengadilan. Pada pasal tersebut tidak dinyatakan siapa yang disebut ahli, dalam penjelasannya pun tidak dijelaskan mengenai hal ini, disebutkan bahwa :

“ Keterangan seorang ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan

oleh penyidik atau penuntut umumyang dituangkan dalam suatu bentuk lapora dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau jaksa penuntut umum maka pemeriksaan di sidang diminta untuk diberikan setelah

mengucap sumpah atau janji di depan hakim.”

Peranan seorang ahli dalam cyber merupakan sesuatu yang tidak bisa di tawar-tawar lagi mengingat pembuktian dengan alat bukti elektronik sangat riskan penggunaannya didepan pengadilan. Disinilah pentingnya kedudukan seorang ahli, yaitu untuk memberikan keyakinan kepada hakim.

3. Alat Bukti Surat

Dalam KUHAP hanya ada satu pasal yang mengatur tentang alat bukti surat yaitu Pasal 187. Surat yang dibuat di atas sumpah jabatan yang dikuatkan dengan sumpah adalah :

(24)

tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu. b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat

yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukan bagi pembuktian sesuatu keadaan;

c. Surat keterngan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi kepadanya.

d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

Dalam hal alat bukti surat yang ini, hanya akte autentik yang dapat dipertimmbangkan, sedangkan surat dibawah tangan seperti dalam hukum perdata tidak dipakai lagi dalam hukum acara pidana.

Ditinjau dari segi formal, alat bukti surat yang disebut pada Pasal 187 huruf a, b, dan c KUHAP merupakan alat bukti yang sempurna karena bentuk surat-surat tersebut didalamnya dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan peraturan perundang-undangan.

Ditinjau dari segi materiil, semua alat bukti yang disebut Pasal 187 KUHAP, bukan merupakan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat. Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat, sama halnya dengan kekuatan pembuktian keterangan saksi dan alat bukti keterangan ahli, sama-sama mempunyai nilai kekuatan

pembuktiannya bersifat bebas. Merujuk pada terminologinya, “ surat” dalam kasus

(25)

Kedua, bukti sertifikasi dari badan yang berwenang tersebut dapat dikategorikan sebagai alat bukti surat, karena dibuat oleh dan pejabat yang berwenang. Meskipun

penggunaan kedua alat bukti surat ini mengalami kendala dari segi pengertian “ pejabat yang berwenang” dimana di dalam perundang-undangan yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang adalah notaris.

4. Alat Bukti Petunjuk

Petunjuk disebut dalam Pasal 184 KUHAP sebagai alat bukti, mengikuti Pasal 295 HIR. Ini berbeda dengan Ned. Sv. Yang baru maupun Undang-Undang Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1950 yang menghapus petunjuk sebagai bukti. Pasal 188 ayat (1) KUHAP memberi definisi petunjuk sebagai berikut:

“ Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya,

baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri,

menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”.

(26)

lebih kuat dan memberatkan terdakwa dibandingkan dengan petunjuk-petunjuk lainnya.

5. Keterangan Terdakwa

Pasal 184 KUHAP menyebutkan keterangan terdakwa sebagai alat bukti, berbeda dengan peraturan lama yaitu HIR. Disayangkan bahwa KUHAP tidak menjelaskan

apa perbedaan antara “ keterangan terdakwa” sebagai alat bukti dengan “ pengakuan Terdakwa” sebagai alat bukti.

Pengertian keterangan terdakwa menjelaskan dalam Pasal 189 ayat (1) yang berbunyi:

“ Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.”

Jadi, keterangan terdakwa sebagai alat bukti harus dinyatakan dalam sidang pengadilan. Keterangan terdakwa yang diberikan di ruang sidang tersebut dapat dipergunakan untuk membantu sebagai alat bukti di sidang, dengan syarat keterangan itu di dukung oleh suatu alat bukti yang sah mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadannya, melainkan harus dengan alat bukti yang lain.

(27)

dalam kasus cyber, hakim harus mempunyai kemampuan dalam ilmu teknologi informasi dan pandangan yang luas dalam penafsiran hukum.

D. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

1. Dokumen Elektronik sebagai alat bukti

Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode Akses, simbolatau porforasi yang memiliki makna dan arti atau dapat dipahami oleh semua orang yang mampu memahaminya (Pasal 1 ayat (4) UU ITE). Pasal 5 (1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

(28)

acara di atas yang dibuat dalam bentuk informasi elektronik/dokumen elektronik, dan informasi elektronik/dokumen elektronik itu sendiri, merupakan alat bukti yang sah menurut UU ITE. Tidak sembarang informasi elektronik/dokumen elektronik dapat dijadikan alat bukti yang sah. Menurut UU ITE, suatu informasi elektronik/dokumen elektronik dinyatakan sah untuk dijadikan alat bukti apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU ITE, yaitu sistem elektronik yang andal dan aman, serta memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut:

1. dapat menampilkan kembali informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan;

2. dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;

3. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;

4. dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; dan

(29)

Kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini sedemikian pesatnya. Perkembangan akhir-akhir ini menunjukan adannya korelasi adanya kemajuan teknologi dan modus operandi dalam melakukan kejahatan, yakni berupa penggunaan sarana teknologi canggih dibidang kejahatan. Umpamanya penggunaan komputer dalam tindak pidana dibidang perbankan. Pembajakan hak cipta dengan reproduksi secara elektronik, pembajakan hak buku-buku dengan sarana grafika modern dan sebagainya. Ditinjau dari segi hukum pembuktian, apakah KUHAP telah mempersiapkan sarana Pembuktian bagi tindak pidana bermodus operandi teknologi canggih tersebut. Seiring dengan kemajuan di bidang teknologi, terlihat pula perkembangan pada modus operandi dalam melakukan kejahatan dengan melibatkan sarana berteknologi tersebut. Karena itu A. Hamzah mengatakan bahwa kejahatan-kejahatan yang memakai sarana teknologi canggih termasuk komputer telah melanda negara-negara maju, dan pada tahun-tahun terakhir ini telah menampakkan dirinya di negara-negara berkembang di Indonesia (A. Hamzah, 1987:5)

2. Pengaturan Alat Bukti Elektronik Menurut Undang-Undang

Dalam hukum Acara Perdata dan Pidana tidak mengenal pengaturan mengenai bukti elektronik. Namun dalam aturan materiil ternyata ditemukan pengaturan bukti elektronik yang dapat dijadikan alat bukti hanya saja peraturan itu tersebar dibeberapa Undang-Undang.

a.Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan

(30)

tingkat pengamanan yang dapat menjamin keaslian dokumen atau ditranformasikan) dapat dijadikan sebagai alat bukti.

b. Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Berdasarkan Undang-undang ini, ada perluasan mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah berupa petunjuk. Berdasarkan KUHAP, alat bukti petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat keterangan terdakwa tetapi menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2001 bukti petunjuk dapat diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, ataupun disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa denga itu tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronik data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, faksimil dan dari dokumen, yakni setiap rekaman atau informasi yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan suara, gambar, peta, foto, huruf, tanda, angka, atau porforasi yang memiliki makna.

c. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Pasal 27 Alat bukti pemeriksaan Tindak Pidana Terorisme meliputi: 1. alat bukti sebagaimana di atur dalam Hukum Acara Pidana;

(31)

3. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu saran, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada : (a) tulisan, suara, atau gambar (b) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya, (d) huruf, tanda, angka, simbol, atau porforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh semua orang yang mampu membaca atau memahaminya.

d. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang

Pasal 38 huruf (b), yaitu “alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang

serupa dengan itu”.

e. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Pasal 29 mengatur mengenai alat bukti selain sebagaimana ditentukan dalam KUHAP, dapat pula berupa :

a. Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau serupa dengan itu dan

(32)

foto atau sejenisnya (3) Huruf, tanda, angka, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

f. Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 Tentang Telekomunikasi Dalam undang-undang ini juga di atur mengenai alat bukti

a. tanpa hak, tidak sah, memanipulasi akses kejaringan telekomunikasi (Pasal 22 jo Pasal 50).

b. Menimbulakan gangguan fisik elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi (Pasal 38 jo. Pasal 55).

c. Menyadap informasi melalui jaringan telekomunikasi (Pasal 40 jo Pasal 56).

(33)

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari studi lapangan melalui wawancara dengan pihak yang mengetahui persoalan yang sedang diteliti, yaitu dengan mengadakan wawancara terhadap pihak yang terkait langsung yaitu Penyidik Polisi Daerah Lampung dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dengan cara, membaca, mengutip dan menelaah peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen, kamus dan literatur lain yang berkenaan dengan permasalahan yang akan dibahas (Rianto Andi, 2004: 57) yang terdiri dari:

a. Data sekunder berupa bahan hukum primer, yaitu terdiri dari:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata.

3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan 5. Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas

(34)

6. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

7. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang.

8. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

b. Data sekunder berupa bahan hukum sekunder anatara lain meliputi peraturan pelaksanaan, Rancangan Undang-Undang, Keputusan Menteri dan Peraturan Pemerintah.

c. Data tersier berupa bahan bacaan lain berupa karya ilmiah, literatur-literatur, hasil penelitian yang akan berkaitan dengan masalah yang akan dibahas atau diteliti dalam skripsi ini.

C. Penentuan Populasi dan sampel

Populasi yaitu jumlah keseluruhan dari unit analisa yang dapat diduga-diduga. Populasi adalah sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri dan karakteristik yang sama (Soerjono Soekanto, 1986:172). Populasi dalam penelitian ini adalah Penyidik Polisi Daerah Lampung dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Sampel merupakan sejumlah objek yang jumlahnya kurang dari populasi. Pada sampel penelitiannya diambil dari beberapa orang populasi secara purposive sampling atau penarikan sampel yang bertujuan dilakukan dengan cara mengambil

(35)

Dalam penelitian ini responden sebanyak 4 orang, yaitu:

1. Penyidik Polisi Daerah Lampung : 2 orang

2. Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung : 2 orang +

4 Orang

D. Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data yang dilakukan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan

Metode ini dilakukan dengan cara melakukan serangkaian kegiatan seperti membaca, mencatat dan membuat ulasan bahan-bahan pustaka yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti.

b. Studi Lapangan

(36)

2. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul maka dilakukan pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut (Abdulkadir Muhammad, 2004:126).

a. Pemeriksaan data (editing), yaitu mengoreksi apakah data yang terkumpul sudah cukup lengkap, sudah benar, dan sudah sesuai/relevan dengan masalah. b. Penandaan data (coding), yaitu memberi catatan atau tanda yang menyatakan

jenis sumber data (responden, buku, literatur, perundang-undangan, atau dokumen).

c. Rekonstruksi data (reconstructing), yaitu menyususn ulang data secara teratur, berurutan, logis, sehingga mudah dipahami dan dinterpretasikan.

d. Sistematisasi data (sistematizing), yaitu menempatkan data menurut kerangka, sistematika bahasan berdasarkan urutan masalah, sehingga memudahkan analisis data.

E. Analisis Data

(37)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden

Sebelum penulis menguraikan hasil penelitian dan pembahasan, dan untuk menjawab permasalahan dalam penulisan skripsi ini, maka penulis melakukan studi pustaka dan wawancara kepada responden yaitu 4 (empat) orang yang dianggap mengerti dan dapat mencapai tujuan dari penulisan skripsi ini, adapun responden dalam penelitian adalah:

1. Nama : Ketut Suryana, S.H. Umur : 28 tahun

Pendidikan : SI

Pekerjaan/Pangkat : Polisi/Briptu

Alamat : Teluk Betung, Bandar Lampung

2. Nama :Tb. Beni Sandera Umur : 47 tahun

Pendidikan : SMA

Pekerjaan/Pangkat : Polisi/ Briptu

(38)

Umur : 48 Tahun Pendidikan : S2

Pekerjaan : PNS/Dosen Unila

Alamat : Fakultas Hukum Unila, Jl. Prof. Dr. Soemantri Brodjonegoro Nomor 1 Bandar Lampung

4. Nama : Dr I Gede AB. Wiranata, S.H., M.H Umur : 47 Tahun

Pendidikan : S3

Pekerjaan : PNS/Dosen Unila

Alamat : BTN III Jl. Damar Nomor 11 Bandar Lampung

B. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Dan Informasi Elektronik mengenai Pemberlakuan Dokumen Elektronik sebagai Alat Bukti Sah

(39)

sehingga apabila terjadi permasalahan dibidang IT masyarakat akan bingung dan bertanya karena mereka belum pernah mendengar sebelumnya. Informasi elektronik dapat menjadi alat bukti yang dapat berdiri sendiri sebagaimana ditegaskan di dalam pasal 5 ayat (1) UU ITE bahwa Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik dana/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, sedangkan menurut Tb. Beni Sandera sudah diterapkan namun Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang ITE belum keluar, dan kasus yang ada di kepolisiian Daerah lampung tentang alat bukti elektronik belum begitu banyak, dikarenakan masih sulit dalam mengungkap identitas pelaku kejahatan dunia maya,serta mengingat belum lengkapnya ketentuan pidana yang mengatur tentang kejahatan komputer, internet, dan teknologi informasi. Berhadapan dengan kasus cybercime pembuktian menjadi masalah pelik, seringkali penegak hukum di Indonesia mengalami kesulitan saat menjerat pelaku cybercrime karena masalah pembuktian.

(40)

cybercrime serta sulit untuk mengungkap pelaku kejahatan dunia maya (cybercrime).

Lebih lanjut dalam konteks pidana, maka perihal pembuktian merupakan bagian yang paling esensial untuk membuktikan atau menyatakan bahwa seseorang telah melakukan suatu tindak pidana. Pada hakekatnya dalam pembuktian suatu perkara pidana telah dilakukan semenjak diketahuinya ada peristiwa, peristiwa yang dimaksud adalah peristiwa hukum, suatu peristiwa hukum mengandung unsur pidana, untuk itu perlu dibuktikan bahwa suatu peristiwa hukum dinyatakan sebagai tindak pidana, setelah diketemukan bukti awal bahwa suatu peristiwa dinyatakan sebagai suatu tindak pidana barulah dapat dilakukan penyelidikan.

Pembuktian dokumen elektronik adalah salah satu penyelesaian yang menguatkan seorang hakim untuk menguatkan argumentnya untuk memberikan sangsi kepada pelaku kejahatan dunia maya. Menurut Ketut Suryana dalam KUHAP yang dikatakan sebagai alat bukti yang sah apabila alat bukti tersebut berkaitan dengan suatu perkara atau tindak pidana, begitu juga dengan UU ITE, apabila bukti dokumen elektronik berkaitan dengan tindak pidana, maka dokumen tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti sah dalam pembuktian maupun di persidangan nanti, sedangkan menurut Tb. Sandera jika suatu alat bukti berkaitan dengan elektronik bisa dijadikan alat bukti yang kuat dalam persidangan. Menurutnya dengan kasus di atas untuk pembuktiannya yaitu dengan melacak data

(41)

UU ITE mengenai alat bukti elektronik, menurutnya KUHAP dan ITE sangat erat kaitannya dalam pembuktian alat bukti. Erna Dewi menyatakan alat bukti elektronik bisa dihubungkan dengan surat atau petunjuk yang terdapat dalam KUHAP, sehingga sangat berkaitan satu sama lain. Didalam lapangan hukum Pidana sebenarnya pengakuan data elektronik sebagai alat bukti yang sah sudah diakui walaupun tidak secara seluruhnya dipahami, sebagai contoh Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, di mana surat termasuk dalam salah satu alat bukti; didalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang no 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan bahwa alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat berupa alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronis; serta didalam Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang menegaskan bahwa alat bukti pemeriksaan tindak pidana pencucian uang berupa informasi yang disimpan secara elektronis atau yang terekam secara elektronis; hal ini menunjukan bahwa sesungguhnya data elektronik telah diterima sebagai alat bukti yang sah didalam pengadilan di Indonesia walaupun dalam hal pencarian pembuktiannya di perlukan keterangan ahli yang ahli dalam bidang tersebut untuk menguatkan suatu pembuktian yang menggunakan data elektronik tersebut.

Alat bukti yang di atur oleh Hukum Acara Pidana terdapat dalam pasal 184 KUHAP yaitu:

(42)

d. petunjuk

e. keterangan terdakwa

Kelima alat bukti tersebut tidak selamanya harus ada, dalam suatu tindak pidana, karena berdasarkan Pasal 184 KUHAP, minimal alat bukti yang diperlukan dalam menentukan nasib seorang terdakwa bersalah terhadap suatu tindak pidana adalah dua alat bukti, dan dari dua alat bukti tersebut hakim dapat memperoleh keyakinan benar terdakwa yang melakukan tindak pidana tersebut. Sedangkan pasal 5 Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menjelaskan bahwa:

(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila

menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:

a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam

bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

(43)

Pidana, menurut Ketut UU ITE masih mengacu pada KUHAP, karena jika terjadi suatu tindak pidana maka alat bukti akan mengarah kepada KUHAP, namun jika terjadi dalam suatu tindak pidana yang terkait dengan Elektronik, maka alat bukti mengacu pada UU ITE dan harus disesuaikan dengan KUHAP, karena sampai saat ini KUHAP belum di rubah. Dalam RUU KUHAP tahun 2008 (selanjutnya disebut RUU KUHAP) yaitu dalam hal alat bukti yang dipakai dalam persidangan. Saat ini, pasal 184 KUHAP mengenal 5 macam alat bukti yang dapat dipergunakan di persidangan, yaitu alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Akan tetapi dalam RUU KUHAP 2008 alat bukti yang sah di persidangan berubah menjadi alat bukti barang bukti, surat-surat, alat bukti elektronik, keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa dan pengamatan hakim.

Menurut Ketut bukti elektronik yang dapat dijadika alat bukti yang sah antara lain:

a) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

(44)

berupa Tampilan Situs yang Terkena Deface (yang dirubah tampilan website-nya) dan Log-log File (waktu terjadinya perbuatan tersebut) serta Internet Protocol (IP) yang dijadikan “Tanda Bukti Diri” yang dapat mendeteksi pelaku Kejahatan Dunia Maya dan dapat menunjukkan keberadaan pengguna komputer itu sendiri. Dengan meneliti dan memeriksa pemilik nomor IP akan dapat diketahui lokasi pengguna IP tersebut.

Menurut I Gede AB. Wiranata dan Erna Dewi untuk bisa dijadikan alat bukti dalam sidang pengadilan antara lain:

a. apa yang dikeluarkan dari produk elektronik tersebut dapat dijadikan alat bukti b. print out

c. hasil penyadapan ( rekaman )

d. semua pemaknaan yang dihasilkan secara prinsipil dari produk elektronik e. email

(45)

peranan yang sangat penting. Hukum Pembuktian mengenal salah satu alat ukur yang menjadi teori pembuktian, yaitu penguraian bagaimana cara menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di sidang pengadilan (bewijsvoering). Dalam persidangan, bukti digital akan diuji keotentikannya dengan cara mempresentasikan bukti digital tersebut untuk menunjukkan hubungan bukti digital yang diketemukan tersebut dengan kasus kejahatan dunia maya yang terjadi. Dikarenakan proses penyidikan, penuntutan sampai dengan proses pemeriksaan di pengadilan memerlukan waktu yang relatif cukup panjang, maka sedapat mungkin bukti digital tersebut masih asli dan sepenuhnya sama (origin) dengan pada saat pertama kalinya diidentifikasi dan dianalisa oleh penyidik. Untuk menangani kejahatan dunia maya (cybercrime) di Indonesia, Polisi telah melakukan tindakan-tindakan penegakan hukum, pendekatan, dan telah menyusun strategi penanggulangan dan penanganan kejahatan dunia maya tersebut, yakni melaksanakan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana mayantara (cybercrime) terutama kegiatan yang berhubungan dengan teknologi informasi : teknologi komputer, teknologi komunikasi, teknologi elektronika, dan teknologi penyiaran dan menyelenggarakan fungsi laboratorium komputer forensik dalam rangka memberikan dukungan teknis proses penyidikan kejahatan dunia maya.

(46)

keresahan sosial bagi masyarakat luas, implementasi hukum di dalam kehidupan masyarakat modern yang memakai teknologi tinggi harus mampu untuk mengurangi perilaku yang dapat merugikan kepentingan bagi orang atau pihak lain, meskipun adanya hak dan kebebasan individu dalam mengekspresikan ilmu atau teknologinya dalam kehidupan sosial yang semakin kompleks.

(47)

dibuat sedang disusun dan dibahas draft perubahan baik KUHP maupun KUHAP. Rangkaian proses beracara dalam hukum pidana telah dimulai ketika ada suatu peristiwa hukum yang terjadi, adapun rangkaian proses acara pidana setelah diketahui adanya suatu tindak pidana yaitu dimulainya proses penyelidikan sebagai suatu cara atau metode yang mendahului tindakan lain. Proses beracara dalam hukum pidana, pengaturannya secara umum telah ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

C. Kekuatan Alat Bukti Elektronik

Pembuktian di era teknologi dan informasi sekarang ini menghadapi tantangan yang Besar dan membutuhkan penanganan yang serius dalam pemberantasan kejahatan dunia, hal ini muncul karena sebagian pihak-pihak jenis alat bukti selama ini dipakai untuk menjerat pelaku tindak pidana tidak lagi mampu dipergunakan dalam menjerat pelaku kejahatan dunia maya. Hambatan klasik sulitnya menghukum pelaku kejahatan komputer (cyber crime) adalah karena belum legkapnnya ketentuan pidana yang mengatur tentang kejahatan komputer, internet dan teknologi informasi (cyber crime) dan belum diterimanya dokumen elektronik (misalnya file komputer) sebagai alat bukti oleh konsep yang dianut KUHAP.

(48)

Dalam KUHAP memang belum mengatur mengenai alat bukti elektronik, menurut Ketut dalam RUU KUHAP harus atur alat bukti elektronik, karena dalam KUHAP sendiri belum mengatur alat bukti elektronik apabila terjadi permasalahan dibidang ITE, maka akan muncul kesulitan dalam penanganan alat bukti elektronik karena belum dimasukan kedalam KUHAP, sedangkan penyidikannya dan pelaksanaannya mengacu pada KUHAP. Sedangkan menurut I Gede AB., dan Erna dewi pengaturan alat bukti secara otomatis harus mengacu pada KUHAP dan tidak perlu ada perubahan yang signifikan namu hanya ada sedikit revisi dari KUHAP yang telah ada, namun dalam revisi itu juga harus atur alat bukti Elektronik seiring perkembangan zaman.

Di dalam KUHAP mempunyai keterbatasan dalam pembuktian alat bukti yaitu:

a) keterbatasan dalam pengaturan mengenai jenis tindak pidana, hal ini sangaat

wajar terhadap mengenai “ suasana” yang mempengaruhi pada saat penyusunan

KUHP kita jauh bebeda dengan kondisi sekarang yang sarat dengan kemajuan IT. b) Keterbatasan dan pengaturan mengenai pelaku tindak pidana dalam era teknologi

(49)

khususnya catatan/dokumen elektronik masih menjadi perdebatan mengenai bagaimana kedudukannya sebagai alat bukti yang sah dipersidangan.

Pembuktian dalam hukum pidana merupakan sub system kebijakan kriminal sebagai science of response yang mencakup berbagai disiplin ilmu. Hal ini disebabkan oleh

luasnya kausa dan motif berkembangnya jenis kejahatan yang berbasis teknologi informasi.

(50)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

(51)

B. Saran

(52)

dicurigai terhadap alat bukti yang dipalsukan, persidangan Acara Perdata akan menunggu diputuskannya dulu kasus pidana tersebut. Dalam Hukum Acara Perdata, pembuktian formil yang dimaksud pada pokoknya adalah untuk cukup membuktikan adanya suatu peristiwa hukum yang memperlihatkan hubungan hukum dari para pihak. Lebih lanjut, sebagaimana tercantum dalam Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti yang dikenal dalam Hukum Acara Pidana adalah: (a) surat; (b) keterangan saksi; (c) petunjuk; (d) keterangan ahli; (e) sumpah. Sementara itu, untuk Hukum Acara Perdata Pasal 164 HIR (Herzien Inlands Reglement) atau RIB (Reglemen Indonesia yang diperbaraui) Staatsblaad 1941 No. 44 dan KUHPerdt adalah: (a) surat; (b) pengakuan; (c) persangkaan; (d) keterangan saksi; dan (e) sumpah.

Hukum pembuktian dalam hukum acara pidana sangat penting karena merupakan bagian yang paling utama serta menyangkut seluruh sistem yang di sebut Criminal justice system, yang di mulai dari penyelidikan. penyidikan, penuntutan, dan puncaknya adalah persidangan, di mana terdapat tiga pihak yang berperan : Jaksa. Hakim, dan Penasihat Hukum. Indonesia mengenal kodifikasi hukum pembuktian yang merupakan dari hukum acara pidana, termuat dalam KUHAP, namun disamping itu pengaturannya juga diluar kodifikasi, yaitu pada Undang-Undang Tindak Pidana diluar kodifikasi-kodifikasi yang sekaligus memuat hukum pidana materiil.

Hukum pembuktian dikenal dengan istilah notoire feiten notorious (generally known)

yang berarti setiap hal yang “sudah umum diketahui” tidak lagi perlu dibuktikan dalam pemeriksaan sidang pengadilan. Hal ini sudah tercantum dalam pasal 184 ayat

(53)

Menurut Yahya Harahap, mengenai pengertian “hal yang secara umum sudah diketahui” ditinjau dari segi hukum, tiada lain daripada “perihal” atau “keadaan

tertentu” atau omstandigheiden atau circumstances, yang sudah sedemikian mestinya atau kesimpulan atau resultan yang menimbulkan akibat yang pasti demikian”.

B. Sistem Pembuktian

Pada hakekatnya, pembuktian dimulai sejak adanya suatu peristiwa hukum. Apabila ada unsur-unsur pidana (bukti awal telah terjadinya tindak pidana) maka barulah dari proses tersebut dilakukan penyelidikan (serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini), dan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dalam pasal 1 angka 13, penyidikan ialah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Sistem Pembuktian bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara untuk meletakan hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diperiksa. Ada empat sistem hukum pembuktian hukum acara pidana, yaitu:

1. Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Belaka (Conviction Intime)

(54)

untuk mencari dasar putusannya itu berdasarkan keyakinan hakim belaka dan tidak diwajibkan mengemukakan alasan-alasan hukum yang dipakai sebagai dasar putusannya. Namun apabila hakim dalam putusannya menyebut alat bukti yang dipakai, maka hakim bebas menunjuk alat bukti itu, meskipun alat bukti itu sulit diterima dengan akal. Penilaian dari sistem ini benar-benar tergantung penilaian subjektif hakim tersebut. Dasar-dasar pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan terhadap keputusan yang tidak dikemukakan dan tidak diketahui mengakibatkan sulit sulitnya pengawasan terhadap putusan hakim. Maka dari itu putusan hakim yang berdasarkan sisitem ini sudah tidak diterima lagi dalam kehidupan hukum di Indonesia.

Keyakinan hakim yang dominan atau yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakina hakim semata. Keyakinan hakimlah yang menentukan kebenaran sejati.

Menurut Wirjono Prodjodikoro (Andi Hamzah, 1995:230)

“ Sistem peradilan ini pernah di anut di Indonesia yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini memungkinan hakim menyebut apa saja yang

menjadi dasar keyakinannya, misalnya keterangan medium atau dukun.”

2. Sistem Pembuktian Bebas (Vrije Bewijstheorie)

(55)

atau tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam pembuktian ini faktor keyakinan hakim dibatasi. Keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinnya atas kesalahan terdakwa.Hakim tidak terikat pada penyebutan alat-alat bukti yang terdapat dalam undang-undang, melainkan hakim tersebut secara bebas diperkenankan memakai alat-alat lain.

3. Sistem Pembuktian Undang-Undang Secara Positif (Positief Wettelijk )

Dalam sistem ini undang-undang mengatur jenis alat-alat bukti dan cara-cara mempergunakannya atau menentukan kekuatan pembuktian. Dengan alat yang ditentukan undang-undang dan dipergunakan sesuai undang-undang, maka hakim berwenang untuk menetapkan terbukti atau tidaknya suatu perkara yang diperiksanya, meskipun belum yakin atau bahkan betentangan dengan keyakinan hakim itu sendiri. Sistem ini hanya menurut ketentuan undang-undang yang meninggalkan nilai kepercayaan diri hakim sebagai sumber keyakinanya, hingga akan menggoyahkan kehidupan hukum karena kurangnya dukungan dalam masyarakat sebagai akibat dari putusan–putusan yang tidak dapat mencerminkan kehendak masyarakat yang akan tercermin dalam pribadi hakim.

Hal ini sesuai dengan pendapat Wirjono Prodjodikoro (Andi Hamzah, 1995;230) yang menolak teori pembuktian ini, menurutnya :

(56)

jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan

masyarakat.”

4. Sistem Pembuktian Undang-undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk )

Dalam sistem ini hakim dibatasi dalam mempergunakan alat-alat bukti tertentu yang telah ditentukan oleh undang-undang dan hakim tidak diperkenankan mempergunakan alat bukti yang lain. Cara penilaian dalam mempergunakan alat-alat bukti yang diatur oleh undang-undang dengan adannya keyakinan seorang hakim atas adanya kebenaran.

Pasal 183 KUHAP berbunyi sebagai berikut.

“ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang

bersalah melakukannya.”

Sebelum KUHAP, HIR juga menyebutkan dalam pasal 294 bahwa:

1. Tidak seorangpun dapat dikenakan pidana, kecuali apabila hakim dengan mempergunakan alat bukti yang termuat dalam undang-undang mendapat keyakinan sungguh-sungguh terjadi suatu peristiwa.

2. Tidak seorangpun dapat dikenakan hukum pidana berdasarkan persangkaan belaka atau suatu pembuktian yang tidak sempurna.

(57)

Mengenai sistem pembuktian mana yang digunakan dalam hukum acara pidana di Indonesia dapat terlihat pada Pasal 183 KUHAP yang menyatakan hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan, suatu tindak pidana terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dengan demikian dapat disimpulkan sistem pembuktian di Indonesia menggunakan teori undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijstheori).

C. Alat Bukti dalam Hukum Acara Pidana

Berdasarkan Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti terdiri dari : 1. Keterngan saksi

2. Keterngan Ahli 3. Surat

4. Petunjuk

5. Keterangan Terdakwa

1. Keterngan Saksi

Pengertian Keterngan saksi tercantum dalam Pasal 1 butir 27 KUHAP yang berbunyi:

“ Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa

keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa yang ia dengar sendiri, lihat sendiri

dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.”

(58)

2. Keterangan Ahli

Pengertian keterangan ahli secara umum dijelaskan dalam Pasal 1 butir 28 KUHAP yang menyatakan bahwa :

“ Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang mempunyai

keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara

pidana guna kepentingan pemeriksaan.”

Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa keterangan seorang ahli adalah apa yang seorang ahli katakan di pengadilan. Pada pasal tersebut tidak dinyatakan siapa yang disebut ahli, dalam penjelasannya pun tidak dijelaskan mengenai hal ini, disebutkan bahwa :

“ Keterangan seorang ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan

oleh penyidik atau penuntut umumyang dituangkan dalam suatu bentuk lapora dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau jaksa penuntut umum maka pemeriksaan di sidang diminta untuk diberikan setelah

mengucap sumpah atau janji di depan hakim.”

Peranan seorang ahli dalam cyber merupakan sesuatu yang tidak bisa di tawar-tawar lagi mengingat pembuktian dengan alat bukti elektronik sangat riskan penggunaannya didepan pengadilan. Disinilah pentingnya kedudukan seorang ahli, yaitu untuk memberikan keyakinan kepada hakim.

3. Alat Bukti Surat

Dalam KUHAP hanya ada satu pasal yang mengatur tentang alat bukti surat yaitu Pasal 187. Surat yang dibuat di atas sumpah jabatan yang dikuatkan dengan sumpah adalah :

(59)

tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu. b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat

yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukan bagi pembuktian sesuatu keadaan;

c. Surat keterngan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi kepadanya.

d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

Dalam hal alat bukti surat yang ini, hanya akte autentik yang dapat dipertimmbangkan, sedangkan surat dibawah tangan seperti dalam hukum perdata tidak dipakai lagi dalam hukum acara pidana.

Ditinjau dari segi formal, alat bukti surat yang disebut pada Pasal 187 huruf a, b, dan c KUHAP merupakan alat bukti yang sempurna karena bentuk surat-surat tersebut didalamnya dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan peraturan perundang-undangan.

(60)

Kedua, bukti sertifikasi dari badan yang berwenang tersebut dapat dikategorikan sebagai alat bukti surat, karena dibuat oleh dan pejabat yang berwenang. Meskipun

penggunaan kedua alat bukti surat ini mengalami kendala dari segi pengertian “ pejabat yang berwenang” dimana di dalam perundang-undangan yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang adalah notaris.

4. Alat Bukti Petunjuk

Petunjuk disebut dalam Pasal 184 KUHAP sebagai alat bukti, mengikuti Pasal 295 HIR. Ini berbeda dengan Ned. Sv. Yang baru maupun Unda

Referensi

Dokumen terkait

A feedforward control based on the relationships between stack current, I st , and the corresponding control input voltage, v cm , that gives an optimal oxygen

Untuk merumuskan strategi pengelolaan wilayah pesisir yang akan dikembangkan dalam bentuk poinpoin untuk selanjutnya dianalisa proses hirarki AHP, setelah itu perkiraan dampak

Dengan melakukan pengolahan data hasil monitoring bibit pada persemaian permanen dengan sistematis, disiplin dan penuh tanggungjawab maka didapat data akurat

Demikian Berita Acara ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

Serta didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Micheli & Marzoni,(2010) Keputusan strategis yang diberikan oleh sistem pengukuran kinerja akan memberikan

Dari hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa aksi kolektif yang dilakukan oleh petani dalam bentuk asosiasi belum mampu meningkatkan kinerja produksi,

Hasil ekstraksi kadar klorofil daun tanaman pakchoy menunjukkan bahwa tanaman yang diberi perlakuan A1P1 mampu mengakumulasi kadar klorofil daun lebih tinggi daripada

Kesimpulannya suami dan istri, masing-masing dari keduanya bercampur dengan yang lain dan saling pegang serta tidur-meniduri, maka amatlah sesuai bila diringankan bagi