• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Tabu Saat Kehamilan

3.2.2. Kelahiran Dalam Masyarakat Jepang

Upacara yang dilakukan untuk menyambut kelahiran dalam masyarakat Jepang disebut dengan Shussan Iwai. Ada dua istilah yang digunakan oleh masyarakat Jepang ketika sang ibu melahirkan anaknya, menurut Situmorang, Hamzon (2006 : 54), Shussan adalah sebuah kata yang dilihat dari kedudukan yang melahirkan, sedangkan Tanjou adalah kata yang digunakan dilihat dari kedududukan arti yang dilahirkan. Dalam pemikiran masyarakat Jepang Shussan adalah suatu keadaan sangat rawan bagi perempuan. Karena adanya pendarahan yang mengakibatkan ancaman jiwa bagi yang melahirkan. Oleh karena itu saat melahirkan dianggap saat yang paling rawan bagi wanita sepanjang hidupnya. Antara si ibu dan si anak yang dilahirkan ada perbedaan situasi, tetapi keduanya dianggap sedang melewatkan waktu antara dunia sana dan dunia sini. Si anak

Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.

USU Repository © 2009

yang terikat hubungan dengan ibunya melalui tali pusar putus dan kemudian membentuk hubungan sosial di dunia ini dengan lingkungannya. Upacara kelahiran yang dilakukan di Jepang hanya untuk memberitahukan kepada para tetangga atau kerabat ataupun saudara bahwasa nya di rumah ini telah ada kekotoran. Sehingga para tetangga atau kerabat tersebut tidak akan mengunjung rumah itu, dikarenakan hal kekotoran.

A. Tempat Melahirkan (Ubuya)

Menurut Situmorang, Hamzon (2006 : 56-57) perubahan tempat melahirkan di Jepang nampak sekali pada 50 tahun belakangan ini. Sekarang tempat melahirkan bukan lagi di ubuya, tetapi sudah berubah yaitu di rumah sakit dengan menggunakan alat-alat medis yang mutakhir. Oleh karena itu walaupun seandainya didapati berbagai kelainan dalam kondisi melahirkan, sudah dapat ditangani dengan baik. Demikian juga dengan fasilitas-fasilitas tempat melahirkan banyak yang sudah menyamai fasilitas hotel. Sebelum perang dunia kedua orang Jepang banyak melahirkan di ubuya, tetapi pada akhir perang dunia kedua berubah, kebanyakan wanita melahirkan di rumah bukan lagi di ubuya.

Di dalam cerita kojiki (712) dan nihonsoki (720), juga sudah ditemui tentang adanya ubuya, dimana ubuya pada waktu itu didirikan di tepi pantai. Di ubuya ini ada toriagebasan yang bekerja sebagai penolong orang yang sedang melahirkan. Kemudian dijelaskan bahwa pada zaman dahulu ubuya bukan hanya ditempati oleh orang yang akan melahirkan tetapi juga ditempati oleh orang yang sedang gekkei (datang bulan). Adapun alasan didirikannya ubuya ini adalah karena adanya pemikiran kecemaran dan kesucian dalam pemikiran shintois di Jepang.

Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.

USU Repository © 2009

Darah adalah sesuatu yang kotor, oleh karena itu supaya anggota keluarga jangan tercemar maka orang melahirkan di ubuya. Kemudian api yang dipergunakan untuk memasak di ubuya juga dianggap tercemar, oleh karena itu api tersebut tidak boleh dipergunakan memasak di rumah.

Sampai tahun 1960, kira-kira separuh dari wanita Jepang melahirkan di rumah yang dibantu oleh ibu-ibu tetangga mereka yang berpengalaman.

B. Tabu Pada Saat Kelahiran (Ubunoimi)

Menurut Situmorang, Hamzon (2006 : 57-58) pada saat melahirkan, si ibu dianggap berada dalam keadaan kotor/tercemar oleh karena itu beberapa saat harus hidup terpisah dari masyarakat. Kemudian orang-orang yang dianggap tercemar juga adalah bidan, bayi, suami dan kemudian keluarga yang lainnya. Kemudian pada waktu sebelum melahirkan, ada tabu yang tidak boleh dimakan, misalnya cumi-cumi dan sotong yaitu dianggap berbahaya karena mempersulit kelahiran. Kemudian tabu yang lain yaitu tidak boleh melihat kebakaran.

Tabu setelah melahirkan, adalah berupa larangan untuk mendekati tempat-tempat suci seperti ujigamisama, kamidana, dan sebagainya. Kemudian api dianggap sebagai perantara pembawa kekotoran, oleh karena itu api yang dipergunakan untuk memasak makanan ibu yang sedang melahirkan tidak boleh dipergunakan untuk memasak di tempat lain. Kemudian bagi ibu yang baru melahirkan tidak boleh menyentuh air di sumur. Bagi suami, dalam waktu sementara tidak boleh bekerja di ladang atau menangkap ikan.

Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.

USU Repository © 2009

C. Syukuran Kelahiran (Shussan Iwai)

Menurut Situmorang, Hamzon (2006 : 59) shussan iwai adalah acara selamatan yang pertama yang ditujukan kepada si bayi. Dimana kedua orang tua sibayi ingin memperkenalkan bayinya kepada keluarga, kenalan, dan juga pada tetangga-tetangga mereka. Orang-orang yang menerima pemberitahuan datang berkunjung dengan membawa bingkisan ucapan selamat atas kelahiran.

C.1. Hari Ketiga Setelah Hari Kelahiran (Mikka Iwai)

Menurut situmorang, Hamzon (2006 : 59) tetangga-tetangga atau kerabat yang melihat kelahiran pada hari ketiga disebut dengan Mikkaiwai. Pada hari ketiga diundang orang yang membantu proses kelahiran dan juga famili-famili yang lainnya. Kemudian orang yang membantu melahirkan tersebut pada hari ketiga ini pula pertama sekali memandikan bayi tersebut, sehingga dinamai Yuzome, pada hari ketiga ini pula diadakan pemberian nama (nazuke) dan pertama kali pakai baju. Kemudian pada hari ketiga ini sibayi pertama kali dibawa ke kamar mandi untuk diperkenalkan pada dewa yang ada di sana. Tetapi karena pemikiran kekotoran, pada zaman dahulu suami tidak ikut melihat acara mikkaiwai. Bagi keluarga yang mendapat kelahiran, mereka mendapatkan kekotoran, bagi anggota keluarga selama 3 hari bagi ayah selama 3 sampai 7 hari mereka tidak boleh pergi ke tinja atau melakukan pekerjaan di luar rumah.

C.2. Hari Ketujuh Setelah Hari Kelahiran (Oshichiya)

Menurut Situmorang, Hamzon (2006 : 60) hari ketujuh setelah kelahiran disebut dengan “Oshichiya”, pada hari ketujuh ini dilakukan berbagai upacara.

Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.

USU Repository © 2009

Bagi ibu yang melahirkan, hari ketujuh ini merupakan suatu tahapan kekotoran telah terlewatkan, disebut dengan “akabiake”. Si ibu yang melahirkan sudah dapat keluar dari ubuya di berbagai daerah. Kekotoran ayah pun dianggap sudah hilang. Bagi bayi pada hari ketujuh ini pertama kali dipakaikan baju yang berlengan. Hal ini pula menunjukkan bahwa si bayi sudah dianggap sebagai manusia dan diberikan nama bayi tersebut.

Ada beberapa cara pemberian nama bayi di Jepang :

a. Supaya bayi menjadi orang hebat, maka namanya dimohonkan dari orang yang terhormat, seperti pendeta budha, atau Shinto, atau orang yang dihormati di daerah tersebut.

b. Memilih nama dengan cara omikuji (kertas di gulung) diambil dari kuil Shinto.

c. Memohonkan nama dari anak yang sehat dan kuat.

d. Mengambil suatu nama huruf kanji dari nama kakek/nenek atau dari nama orang tua nya.

e. Mengambil nama dengan mencocokkan dengan situasi anak tersebut dilahirkan.

Zaman sekarang nama anak sebagian besar diberikan oleh orang tuanya atau kakek neneknya. Kemudian pada hari ketujuh kelahiran ini nama anak ditempelkan di kamidana (rak pemujaan leluhur).

C.3. Perayaan Usia 32 Hari (Hatsumiya Mairi)

Menurut Situmorang, Hamzon (2006 : 61) anak laki-laki pada usia 32 hari dan anak perempuan usia 33 hari di adakan hatsumiya mairi, yaitu pertama sekali

Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.

USU Repository © 2009

mengunjungi omiya atau ujigami. Pada hatsumiya mairi ini biasanya bayi digendong oleh neneknya, atau yang membantu melahirkan datang ke kuil. Pada saat hatsumiya mairi ini si bayi mendapat kiriman dari keluarga ibu yang disebut Inuhariko, yaitu berupa barang-barang mainan si bayi. Pada zaman dahulu inu hariko mempunyai nilai magis yaitu untuk menangkal penyakit atau sebagai sasaran penyakit yang datang untuk mengganggu si bayi.

Dokumen terkait