Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
ANALISIS PERBANDINGAN PANDANGAN DAUR HIDUP (TSUKAGIREI)
DALAM MASYARAKAT JEPANG DAN BETAWI (BETAWI NO SHAKAI TO NIHON NO SHAKAI NI TSUKAGIREI NO JINSEIKAN NO HIKAKU NO
BUNSEKI NI TSUITE) SKRIPSI
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam bidang Ilmu Sastra Jepang
Oleh:
ABDUR RAZZAQ PAHLEVI 020708040
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA
PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG MEDAN
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
ANALISIS PERBANDINGAN PANDANGAN DAUR HIDUP (TSUKAGIREI)
DALAM MASYARAKAT JEPANG DAN BETAWI (BETAWI NO SHAKAI TO NIHON NO SHAKAI NI TSUKAGIREI NO JINSEIKAN NO HIKAKU NO
BUNSEKI NI TSUITE) SKRIPSI
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam bidang Ilmu Sastra Jepang
Oleh:
ABDUR RAZZAQ PAHLEVI 020708040
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Nandi S. M. Pujinono,SS. M.Hum
NIP. 131763366 NIP. 132299344
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA
PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG MEDAN
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
Disetujui oleh
Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara
Medan
Program Studi S-1 Sastra Jepang
Ketua Program Studi
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
KATA PENGANTAR
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Segala
Puji milik Allah yang telah menciptakan manusia dan mengajarkan apa-apa yang
tidak diketahui. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah keharibaan
Rasulullah Muhammad SAW.
Atas berkat dan rahmat-NYA, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan judul ANALISA PERBANDINGAN PANDANGAN DAUR HIDUP
(TSUKA GIREI) DALAM MASYARAKAT JEPANG DAN BETAWI, yang merupakan syarat untuk mencapai gelar sarjana di Fakultas Sastra Universitas
Sumatera Utara.
Tidak sedikit hambatan dan rintangan yang penulis hadapi dalam
menyelesaikan skripsi ini, baik dari keterbatasan bahan maupun keterbatasan
penulis sendiri dalam menyelesaikan skripsi ini.
Pada kesempatan ini penulis menghaturkan ucapan terima kasih kepada
orang-orang yang dengan izin Allah telah menjadi perantara untuk membantu
penulis menyelesaikan skripsi ini :
1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A.,Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra
Universitas Sumater Utara.
2. Bapak Drs. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D sebagai Ketua Jurusan Sastra
Jepang.
3. Bapak Drs.Nandi S selaku Pembimbing I.
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
5. Para Dosen dan Staf Pegawai Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara,
khususnya para Dosen dan Staf Pegawai di Jurusan Sastra Jepang
Universitas Sumatera Utara.
6. Seluruh sahabat dan rekan-rekan Mahasiswa/I Sastra Jepang 2002. Friska
NS, Ibeth, Reynold, Erna, Anto, Reza, Wendy, Era, Tiur, Maria, dan
seluruh kerabat Sastra Jepang. Terima kasih untuk doa dan dukungannya.
7. Sahabat terbaikku Citra yang telah banyak membantu dan meluangkan
waktunya untuk penulis. Terima kasih untuk kasih sayangnya.
8. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada kedua orang tuaku (Ida Zuraida Hsb dan Alm. AMS. Iskandar,
M.ed) yang selama ini telah memperhatikanku, mengasihiku dan selalu
mendoakanku sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah dan penulisan
skripsi ini, juga kepada Abang ijal dan Faisal. Terimakasih untuk cinta dan
doanya.
Penulis, Medan 28 maret 2009
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
DAFTAR ISI
HALAMAN
KATA PENGANTAR ………. i
DAFTAR ISI……… …… iii
BAB I. PENDAHULUAN……… 1
1.1. Latar Belakang Masalah……… 1
1.2. Perumusan Masalah………. 6
1.3. Ruang Lingkup Pembahasan……….... 7
1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori………. 7
1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian………. 10
1.6. Metode Penelitian……… 11
BAB II.TINJAUAN UMUM TENTANG DAUR HIDUP DAN KEPERCAYAAN……… 13
2.1. Daur Hidup Dan Kepercayaan Masyarakat Betawi……… 13
2.1.1. Daur Hidup Menurut Masyarakat Betawi……… 13
2.1.2. Sistem Kepercayaan Masyarakat Betawi……… 16
2.2. Daur Hidup Dan Kepercayaan Masyarakat Jepang……… 17
2.2.1. Daur Hidup Menurut Masyarakat Jepang……… 17
2.2.2. Sistem Kepercayaan Masyarakat Jepang……… 19
BAB III. UPACARA DAUR HIDUP DALAM MASYARAKAT JEPANG DAN BETAWI……….. 23
3.1. Kehamilan………. 23
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
3.1.1.1. Doa Ketika Kehamilan……….. 24
3.1.1.2. Tabu Saat Kehamilan……… 25
3.1.2. Kehamilan Dalam Masyarakat Jepang……….. 26
3.1.2.1. Doa Untuk Kehamilan (Ninshin Igan)………… 26
3.1.2.2. Tabu Saat Kehamilan……….. 27
3.2.Kelahiran………. 27
3.2.1. Kelahiran Dalam Masyarakat Betawi………... 28
3.2.2. Kelahiran Dalam Masyarakat Jepang……….. 32
3.3. Masa Anak-Anak……….. 37
3.3.1. Masa Anak-Anak Dalam Masyarakat Betawi… . 37
3.3.2. Masa Anak-Anak Dalam Masyarakat Jepang……. 40
3.4. Perkawinan ………... 41
3.3.1. Perkawinan Dalam Masyarakat Betawi…………... 42
3.3.2. Perkawinan Dalam Masyarakat Jepang …………. 48
3.5. Perbedaan Dan Persamaan Dalam Upacara Daur Hidup Antara Masyarakat Jepang Dan Betawi………... 50
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN……… 51
4.1. Kesimpulan……… .. 51
4.2. Saran……… … 51
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Menurut Soimon (1993: 5), Penyelengaraan upacara daur hidup ini
penting bagi masyarakat untuk pembinaan sosial budaya masyarakat yang
bersangkutan, dalam setiap upacara – upacara tradisional merupakan salah satu
wadah kegiatan mempertahankan dan melestarikan hidup dan kehidupan yang
diwujudkan dalam hubungan sesama manusia dengan lingkungannya. Salah satu
dari negara yang masih mempertahankan nilai dari upacara daur hidup adalah
masyarakat Jepang. Sifat bangsa Jepang adalah menunjukkan naluri yang sangat
kuat untuk menjamin kelangsungan hidupnya serta meneruskan nilai-nilai budaya
bangsa. Banyak sikap dan sifat orang Jepang yang berkaitan erat dengan
nilai-nilai penting yang harus dipertahankan dalam kehidupan masyarakat Jepang.
Misalnya : nilai budaya melaksanakan upacara kedewasaan, nilai budaya
melaksanakan upacara kematian (Reischauer dalam Lisbet, 2009 : 1). Jepang
merupakan negara yang beragam budayanya, diantaranya keberagaman dalam
bentuk tarian, cara makan, budaya malu, dan banyak hal yang bisa ditemukan dari
negara Sakura ini. Dalam hal ini, sifat masyarakat Jepang-lah yang sangat
menonjol memegang peranan kelompok dalam kehidupan bermasyarakat yang
menjadi penyebab utama kelestarian budaya bangsa Jepang. Besarnya peranan
kelompok dalam kehidupan masyarakat, sebenarnya tidak hanya terdapat pada
bangsa Jepang, karena pada umumnya terdapat juga pada umat manusia yang
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
Indonesia, khususnya masyarakat Betawi yang masih mempertahankan kelestarian
budaya adat istiadat sampai saat ini. Sehingga masyarakat Jepang dan Betawi
masih tetap mempertahankan kelestarian budaya daur hidup. Tsuboi dalam
Situmorang (2000 : 30) menyatakan bahwa daur hidup merupakan proses
masuknya roh ke dalam tubuh manusia pada waktu lahir dan meninggalkan tubuh
manusia pada waktu meninggal, melalui proses perjalanan seperti arah jarum jam
terbalik dengan tujuan menghilangkan sifat kekotoran menuju sifat kesucian
dengan bantuan acara-acara dan persembahan. Dalam masyarakat Jepang, daur
hidup (Les Rites The Passage) disebut dengan Tsuka Girei. Tsuka Girei dibagi
dalam dua bagian besar yaitu :
1. Proses Pendewasaan
2. Proses Menjadi Dewa
Proses pendewasaan dan proses menjadi dewa melalui upacara-upacara
tertentu, merupakan salah satu bagian dari perjalanan hidup bagi masyarakat
Jepang . Bagi masyarakat Jepang sendiri mulai dari kelahiran sampai kematian
selalu diikuti dengan norma–norma atau adat–istiadat tradisional yang masih
dipertahankan.
Upacara atau ritus-ritus daur hidup dalam masyarakat Jepang dimulai dari
kelahiran. Ada dua istilah yang digunakan oleh masyarakat Jepang ketika sang ibu
melahirkan anaknya, menurut Situmorang, Hamzon (2006 : 54), Shussan adalah
sebuah kata yang dilihat dari kedudukan yang melahirkan, sedangkan Tanjou
adalah kata yang digunakan dilihat dari kedududukan arti yang dilahirkan.
Menurut Situmorang, Hamzon (2006 : 55), apabila seorang wanita di Jepang tidak
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
upacara untuk kehamilan ( Nishin Iga). Dan masyarakat Jepang percaya dengan
hal-hal yang bersifat tabu sebelum dan sesudah melahirkan ( Ubonoimi ).
Bagi masyarakat Jepang prilaku kelahiran tersebut merupakan proses
perjalanan roh manusia yang dimulai pada saat manusia lahir hingga manusia itu
menjadi dewasa dan sampai meninggal, kemudian proses tersebut berlanjut pada
perjalanan di dunia mati. Perjalanan tersebut digambarkan sebagai sebuah
perjalanan jarum jam terbalik dalam sebuah lingkaran ( Yobumi, Tsuboi, 1972:
20).
Menurut Situmorang, Hamzon (2006 : 54-57), dalam masyarakat Jepang
proses yang dilakukan dalam daur hidup (Tsuka Girei) melalui beberapa upacara
atau ritus yakni :
1. Ninshin ( Kehamilan)
2. Shussan iwai (Upacara Kelahiran)
3. Hatsumiya Mairi (Perayaan Usia 32 hari)
4. O Kuizame ( Makan Pertama)
5. Hattanjo Iwai (Selamatan Ulang Tahun Pertama)
6. Youzi (Masa Anak-Anak)
7. Chugakkou, Koukoujidai (Masa Remaja)
8. Kekkon ( Perkawinan)
9. Shibo (Kematian)
Dengan dilakukan dan diperingati upacara-upacara daur hidup tersebut,
memberikan sebuah fenomena bahwa daur hidup dianggap sebagai suatu ciri khas
dalam sebuah negara yang memiliki adat – istiadat. Untuk ini sebagai
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
Betawi sampai saat ini masih melestarikan budaya daur hidup dalam
bermasyarakat. Menurut kepercayaan masyarakat Betawi di kampung Bojong
selama istri sedang hamil berlaku larangan – larangan yang menurut istilah
mereka disebut pamali. Dan ini merupakan salah satu dari bagian kehidupan di
masyarakat ini.
Menurut Soimon (1993 : 2), bahwa pada dasarnya ada dua bentuk upacara
tradisional , yakni upacara yang berkaitan dengan peristiwa – peristiwa alam dan
kepercayaan, dan upacara tradisional daur hidup. Upacara daur hidup dalam suatu
masyarakat dibagi dalam beberapa tingkat yang disebut stage along the life cycle,
yaitu adanya masa bayi, masa penyapihan, masa kanak-kanak, masa remaja, masa
puberteit, dan sebagainya.
Sedangkan daur hidup dalam masyarakat Betawi (Soimon, 1993 : 21-53)
melalui beberapa upacara atau ritus yakni :
1. Kehamilan
2. Upacara kekeba / Nujuh Bulanan
3. Kelahiran
4. Menanam Ari – ari (Placenta )
5. Upacara Puput Puser
6. Cukur Rambut
7. Sampai Pada Perkawinan
Bagi masyarakat Betawi, bahwa pelaksanaan upacara daur hidup adalah
sebagai salah satu media memperkenalkan kegiatan dalam beradat – istiadat.
Salah satunya diawali dengan kehamilan. Ada kepercayaan yang berkenaan
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
Upacara nujuh bulanan dilakukan demi keselamatan sang ibu dan anak yang
dikandungnya, selain itu mereka juga percaya bahwa upacara nujuh bulanan
merupakan penangkal agar anak yang dilahirkan kelak patuh kepada orang tuanya
dan tidak nakal(Soimon, 1993: 21).
Menurut Soimon (1993 : 31), dalam penyambutan kelahiran pun di isi
dengan upacara tradisional, seperti upacara adzan. Tujuannya adalah untuk
memperkenalkan nama Tuhan Allah Subhanahu Wataala yang pertama kali ke
telinga si bayi. Selain itu mereka percaya, bahwa upacara ini juga bertujuan
memperkenalkan bayi kepada kehidupan di atas dunia yang berbeda dengan
kehidupannya di dalam rahim ibu.. Setelah itu dilakukan beberapa acara ritual
seperti menamam palsenta (ari – ari), upacara puput puser, cukur rambut,
khitanan, perkawinan.
Kedua suku ini sangat berbeda, dilihat dari mulai segi penjalanan kedua
adat istiadat ini, dan dilaksanakan dengan landasan kepercayaan dan agama yang
berbeda pula. Dimana Jepang dihadapkan dengan kepercayaan secara Shinto dan
agama Budha, sedangkan untuk masyarakat Betawi dilandasi dengan agama
Islam, yang masih sangat dominan dijadikan sebagai norma pada saat
menjalankan ritual ini.
Oleh karena itu penulis ingin meninjau lebih dalam tentang daur hidup
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
1.2. Perumusan Masalah
Dalam mengidentifikasi suatu masalah, kita harus jelas melihat masalah
tersebut. Dimana kita harus melihat bagaimana dan apa yang akan menjadi
permasalahannya. Seperti dalam penelitian ini adalah membahas perbandingan
dua masyarakat yang memiliki kebudayaan yang majemuk. Dimana masyarakat
Jepang sampai saat ini masih melaksanakan upacara daur hidup ini dalam
kehidupan bermasyarakat. Begitu pula sama halnya dengan masyarakat betawi
yang sampai saat ini masih melaksanakan upacara daur hidup adapt istiadat.
Menurut Ienaga Saburo (1990 : 1), bahwa sejarah kebudayaan Jepang
dimulai setelah Jepang mengenal adanya tulisan. Dan ritus – ritus kelahiran sudah
menjadi bagian adat – istiadat dalam masyarakat Jepang. Dalam masayrakat
Jepang proses – proses kegiatan hidup dilakukan sesuai adat yang telah diakui,
dan cenderung dihadapakan dengan kepercayaan Shinto dan agama Budha.
Sementara Betawi adalah masyarakat yang dominan menganut agama Islam yang
menjadikan media untuk menjalankan bagaimana upacara daur hidup adat istiadat
itu.
Sifat atau karakter Jepang sangat mempertahankan dan melestarikan
kebudayaan yang selalu dijadikan jembatan dari sebuah ciri khas kebudayaan.
Sementara dalam masyarakat betawi, mampu menyumbangkan budaya yang bisa
dijadikan salah satu ciri khas dari negara Indonesia.
Oleh karena itu penulis memberikan rumusan dalam bentuk pertanyaan
sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan daur hidup dalam masyarakat Jepang dan Betawi?
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
3. Bagaimana perbedaan dan persamaan dalam upacara daur hidup antara
Jepang dan Betawi?
1.3. Ruang Lingkup Pembahasan
Mengingat banyaknya upacara tradisonal yang satu sama lain memiliki
kesamaan dan perbedaan serta kemungkinan berkembangnya dalam berbagai
kelompok etnik di Indonesia, oleh karena itu dalam penulisan proposal ini, penulis
membatasi ruang lingkup agar tidak terlalu luas yaitu : ritus – ritus daur hidup (
Tsuka Girei) dari lahir sampai pernikahan bagi kedua kehidupan Masyrakat
Jepang dan Betawi, khususnya difokuskan kepada bagaimana pandangan antara
daur hidup masyarakat Jepang dan Betawi. Untuk mendukung pembahasan akan
diungkapkan pula tentang sistem kepercayaan dan agama masyarakat Betawi dan
masyarakat Jepang.
1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1. Tinjauan Pustaka
Menurut Koentjaraningrat (2002 : 186-187) kebudayaan memiliki tiga
wujud, yaitu :
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Wujud ini merupakan
wujud ideal dari kebudayaan.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan
berpola dari manusia dalam masyarakat.
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
Dalam hal ini, upacara-upacara daur hidup merupakan kebudayaan yang
abstrak, tidak dapat diraba, dan ada dalam pikiran manusia. Sebagai kebudayaan
yang abstrak, upacara-upacara daur hidup yang dilakukan masyarakat Jepang dan
masyarakat Betawi merupakan suatu kebudayaan yang tetap dijaga sampai
sekarang.
Menurut Soimon (1993 : 3) “upacara – upacara pada saat peralihan
sepanjang life cycle itu sifatnya universal yang biasanya terdapat di kebudayaan”,
dan kepercayaan yang dianut di masyarakat ini adalah berbeda
Menurut Situmorang, Hamzon (2000: 30-31) menyatakan daur hidup
merupakan perjalanan roh manusia dari masa kelahiran sampai kematian dengan
melaksanakan ritus-ritus daur hidup dengan tujuan mensucikan jiwa dari
kekotoran.
Sedangkan menurut Van Gennep dalam Oktolanda (2005 : 34)
menyatakan bahwa daur hidup merupakan perubahan manusia dari suatu tahap ke
tahap lainnya menuju kedewasaan melalui proses inisiasi
Tsuboi dalam Situmorang (2000 : 30) menyatakan bahwa daur hidup
merupakan proses masuknya roh ke dalam tubuh manusia pada waktu lahir dan
meninggalkan tubuh manusia pada waktu meninggal, melalui proses perjalanan
seperti arah jarum jam terbalik dengan tujuan menghilangkan sifat kekotoran
menuju sifat kesucian dengan bantuan acara-acara dan persembahan
Van Gennep (1909 : 45) , mengatakan bahwa: “Dalam hidupnya manusia itu melalui banyak krisis yang menjadi objek perhatiannya dan amat amat
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
sampai meninggal manusia perlu perbuatan – perbuatan dalam bentuk upacara
untuk memperteguh imannya”.
Menurut Masahiro Kusonoki ( 1994 : 23), kepercayaan masyarakat Jepang
adalah Shomin Shinko. Shomin Shinko menyangkut kepercayaan dunia suci dan
dunia sekuler. Dan kelahiran bagi masyarakat Jepang dianggap kotor.
Menurut Chie, Nakane (1981 : 23), mengatakan bahwa dalam solidaritas
kelompok ada terkandung nilai moral pada hubungan tersebut, yakni
mendahulukan yang tua dari pada yang muda, dan konsep ini sangat nyata dalam
perwujudannya.
1.4.2. Kerangka Teori
Orang Jepang dan Betawi dalam melaksanakan ritual-ritual, ada yang
wajib dikerjakan sebagai pertanggungjawaban moral kepada masyarakat dimana
ia menjadi anggotanya, dan ada pula yang dilaksanakan hanya karena sudah
menjadi kebiasaan dari lingkungan dimana ia tinggal.
Ritual-ritual itu pun dalam pelaksanaannya tidak lepas dari peran agama
dan kepercayaan yang dianut oleh pelaku ritual itu. Maka untuk menganalisis
manusia dalam masyarakat ke individu; menyelidiki bagaimana tata cara
masyarakat, kebudayaan dan pribadi-pribadi mempengaruhi agama, sebagaimana
agama itu sendiri mempengaruhi mereka maka harus dilakukan dengan
pendekatan sosiologis (Suprayogo dalam Lisbet, 2009 : 9). Melalui agama atau
kepercayaan dapat diketahui bagaimana tata cara ritual itu dilaksanakan, dan dari
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
ritual itu. Melalui agama dan kepercayaan yang digunakan dalam tata cara ritual
yang dilaksanakan juga dapat diketahui kedudukan setiap individu dalam suatu
upacara ritual dan bagaimana perlakuan dan sikap setiap individu terhadap
individu lain yang ada dalam ritual itu.
Dimana dalam menjalankan kegiatan keagamaan berdasarkan
kepercayaan, baik masyarakat Jepang maupun Betawi meyakini keberadaan Sang
Pencipta. Keyakinan itulah yang membuat masyarakat Jepang dan Betawi selalu
memelihara ritual-ritual keagamaannya demi mendapatkan perlindungan –Nya
sebagai pencipta alam semesta. Kegiatan ritual yang dilaksanakan merupakan
ungkapan rasa syukur yang ditujukan kepada Yang Maha Agung.
1.5. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1.5.1. Tujuan Penelitian
Tujuan penulis melakukan penelitian ini :
1. Untuk mengetahui pandangan daur hidup dalam masyarakat Jepang dan
Betawi.
2. Untuk mengetahui bagaimana sistem kepercayaan dalam masyarakat
Jepang dan Betawi.
3. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan dalam upacara daur hidup
antara Jepang dan Betawi.
1.5.2.Manfaat Penelitian
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
1. Agar pembaca dapat memahami dengan mudah bagaimana sebenarnya
keadaan masyarakat Jepang dan Betawi dalam berbudaya.
2. Agar para pembelajar bahasa Jepang dapat memperkaya ilmunya dengan
membaca karya tulis ini, karena dalam karya tulis ini terdapat penjelasan
daur hidup masyarakat Jepang dan Betawi.
3. Dan juga agar mempermudah kita bagaimana bisa memahami budaya
secara karakter sifat yang memudahkan kita untuk bisa berkomunikasi
dengan akrab.
1.6. Metode Penelitian
Dalam penyelesaian penyusunan skripsi ini, metode yang digunakan
dalam penelitian ini ada tiga, yakni yang pertama metode deskriptif adalah
prosedur pemecahan masalah yang diteliti dengan menggambarkan atau
melukiskan keadaan objek penelitian pada saat ini berdasarkan fakta atau
data-data yang tampak atau semestinya (Koentjaraningrat, 1976 :29).
Dalam metode deskriptif yang digunakan dalam penulisan ini, yaitu suatu
metode yang diartikan sebagai langkah – langkah dalam penyusunan yakni
dengan cara: mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan, mengkaji,
menginterpretasikan data.
Menurut Koentjaraningrat (1976 : 30) bahwa penelitian yang bersifat
deskriptif yaitu memberikan gambaran yang secermat mungkin mengenai
individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Dan yang kedua dengan studi
kepustakaan, yaitu dengan cara mengumpulkan buku-buku pustaka yang berisi
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
Dan yang ketiga dengan menggunakan studi kasus, yaitu salah satu
metode penelitian ilmu-ilmu sosial. Secara umum, studi kasus merupakan strategi
yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan
“bagaimana” atau “mengapa”, bila peneliti hanya memiliki sedikit peluang
mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki dan bilamana penelitiannya
terletak pada fenomena kontemporer di dalam konteks kehidupan nyata (Robert
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG DAUR HIDUP DAN KEPERCAYAAN
2.1. Daur Hidup Dan Kepercayaan Masyarakat Betawi
Soimon (1993 : 2), menyatakan bahwa masyarakat Indonesia yang terdiri
dari berbagai suku bangsa dapat digolongkan atas dua kelompok, pertama
kelompok dalam masyarakat yang masih sedikit mengalami perubahan sosial, dan
kedua, kelompok masyarakat yang telah banyak mengalami perubahan sosial.
Pada kelompok yang pertama, masih dikenal dan bahkan masih diselenggarakan
upacara-upacara tertentu, baik yang bertahan dengan adat istiadat yang diwariskan
secara turun temurun maupun yang bersifat religius. Dari upacara-upacara yang
diselenggarakan, jika diamati terlihat adanya hubungan antara manusia dengan
kekuatan gaib yang sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia yang ada di
muka bumi ini, oleh sebab itu, hubungan ini senantiasa harus dijaga dengan
sebaik-baiknya, dan biasanya dilakukan melalui upacara-upacara tradisional. Suku
bangsa Betawi adalah suku yang masih memegang unsur tradisional dalam setiap
kegiatan atau acara. Salah satu kegiatan atau acara bersifat tradisional yang
dilakukan adalah upacara daur hidup, yaitu upacara kehamilan hingga upacara
perkawinan / pernikahan. Pengaruh agama Islam dalam upacara daur hidup
masyarakat Betawi masih sangat dominan. Setiap proses penyelenggaraan upacara
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
2.1.1. Daur Hidup Menurut Masyarakat Betawi
Menurut Soimon (1993 : 2-4) menyatakan bahwa pada dasarnya ada dua
bentuk upacara tradisional, yaitu upacara yang berkaitan dengan
peristiwa-peristiwa alam dan kepercayaan, dan upacara tradisional daur hidup. Upacara daur
hidup dalam suatu masyarakat dibagi dalam beberapa tingkat yang disebut
stagealong the life cycle, yaitu adanya masa bayi, masa penyapihan, masa
kanak-kanak, masa remaja, masa puberteit, dan sebagainya. Pada saat-saat peralihan,
waktu para individu beralih dari satu tingkat hidup ke tingkat hidup yang lain,
biasanya diadakan selamatan-selamatan atau upacara sebagai perwujudan sikap
tunduk dan takut terhadap Tuhan maupun takut berdosa apabila tidak
melaksanakannya. Upacara-upacara pada saat peralihan sepanjang life cycle itu
sifatnya uiversal yang biasanya terdapat pada kebudayaan. Demikian pula dengan
adanya perkembangan kebudayaan, tidak semua upacara daur hidup masih
dipertahankan oleh masyarakat. Dalam satu budaya suku bangsa tertentu, saat-saat
peralihan dari masa bayi ke masa penyapihan dianggap amat penting, tetapi pada
suku bangsa yang lain tidak, dalam satu kebudayaan saat peralihan dari masa
kanak-kanak ke masa dewasa/puberteit dianggap penting, tetapi di kebudayaan
lain masa lajang ke masa berumah tangga dianggap sangat penting.
Menurut Budhisantoso (1984 : 28) mengatakan bahwa fungsi upacara
tradisional yang ideal dapat dilihat pada kehidupan sosial masyarakat
pendukungnya, yaitu adanya pengendalian sosial (sosial contrl), media
sosial(sicial media), norma sosial (social aligment). Mengacu pada pendapat di
atas, maka fungsi upacara tradisional itu dianggap sebagai pedoman dan
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
dalam masyarakat pendukungnya, secara horizontal fungsi upacara tradisional itu
bersifat normatif, yakni untuk menjaga keseimbangan dalam setiap hubungan
sosial. Kemudian secara vertikal fungsi upacara tradisional itu ingin mewujudkan
keseimbangan antara manusia dengan Maha Pencipta maupun alam semesta.
Sebagai sikap tunduk dan takut serta berdosa terhadap Maha Pencipta maupun
manusia. Upacara tradisional adalah kegiatan sosial yang melibatkan seluruh
warga masyarakat dalam usaha mencapai tujuan tertentu, sebagai dorongan yang
mendasar untuk mempertahankan dan melestarikan hidup dan kehidupan yang
diwujudkan dalam hubungannya dengan sesama manusia dengan lingkungannya.
Bahwa setiap kebudayaan memiliki persepsi tersendiri terhadap masalah
masa-masa krisis dalam kehidupan manusia. Demikian pula halnya dengan
masyarakat Betawi, menurut Soimon (1993 : 56) mereka percaya bahwa ada
tahap-tahap tertentu dalam perjalanan hidup manusia yang dipandang sebagai
masa kritis. Pada saat-saat demikian, individu yang bersangkutan dipandang
sangat riskan,dan berada dalam masa transisi dari satu tahap kehidupan ke tahap
berikutnya, sehingga perlu dilakukan aktifitas-aktifitas atau upacara-upacara
tertentu untuk menangkal dan menghindari kemungkinan gangguan yang akan
datang pada individu yang bersangkutan. Aktifitas-aktifitas ini dimanifestasikan
dalam bentuk upacara daur hidup. Di antara masa kritis yang dipandang penting
oleh orang Betawi untuk diantisipasi adalah masa bayi di dalam kandungan,
khususnya pada usia kehamilan tujuh bulan, masa kanak-kanak, dan masa
memasuki jenjang kehidupan rumah tangga. Masa-masa kritis ini selalu
diperingati dengan penyelenggaraan upacara, yang tujuannya bukan saja untuk
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
individu yang bersangkutan, melainkan juga sebagai ungkapan rasa bersyukur dari
individu maupun pihak keluarganya, karena ia telah selamat melampaui tahap
hidup yang telah dilaluinya.
Upacara-upacara daur hidup masyarakat Betawi di antaranya adalah :
upacara kehamilan, upacara kelahiran, upacara kanak-kanak, upacara menjelang
dewasa hingga upacara perkawinan. Arti dan fungsi daur hidup pada masyarakat
Betawi ini erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, karena kegiatan ini
merupakan ritual yang mempunyai tujuan keselamatan dan untuk memohon
perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2.1.2. Sistem Kepercayaan Masyarakat Betawi
Orang betawi yang tinggal di tengah-tengah perkembangan kota Jakarta
yang sangat cepat dan pesat ini, juga dikenal sebagai suku bangsa yang memegang
penuh nilai budayanya. Nilai budaya adalah konsep-konsep mengenai apa yang
mereka anggap bernilai, berharga dan penting dalam hidup, sehingga dapat
berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan oerientasi kepada
kehidupan warga masyarakatnya. Orientasi kerja yang hanya untuk memperoleh
penghasilan agar dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan hari ini saja
membuat mereka tidak ngoyo dalam mengejar rezeki, karena nilai agama yang
mereka yakini mengucapkan bahwa Allh SWT pasti akan memberikan rezeki lagi.
Menurut Soimon (1993 : 12) pengaruh agama Islam pada masyarakat Betawi
demikian kuatnya, sehingga dalam berinteraksi dengan orang lain di luar etnisnya
mereka masih mempertimbangkan dari sudut agama. Pengaruh agama Islam ini
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
pendatang yang menempati wilayah tempat tinggal mereka. Sikap dan pandangan
orang Betawi di kampung Bojong terhadap kaum pendatang nampaknya juga
tidak terlepas dari pengaruh agama Islam. Hal ini disebabkan karena agama Islam
sudah demikian kuatnya tertanam dalam kehidupan mereka. Dalam pelaksanaan
upacara-upacara tradisional daur hidup dalam maasyarakat Betawi, selalu
dilandasi dengan agama Islam dan ajaran-ajaran agama Islam yang telah
mendarah daging dalam tubuh orang Betawi.
2.2. Daur Hidup Dan Kepercayaan Masyarakat Jepang
Situmorang, Hamzon (2006 : 38), dalam kehidupan sehari-hari orang
Jepang banyak berhubungan dengan agama. Misalnya dalam perayaan daur hidup,
misalnya pada waktu bayi baru lahir dilakukan upacara Hatsumiya mairi yaitu
pergi ke kuil ujigami (kuil keluarga) terdekat untuk memperkenalkan bayi. Acara
ini berlatar belakang kepercayaan Shinto.kemudian ketika anak tersebut dewasa
dan hendak menikah, mereka belum tahu menikah di kuil, akhir-akhir ini banyak
pasangan Jepang yang memilih menikah di Gereja.
2.2.1. Daur Hidup Menurut Masyarakat Jepang
Daur hidup dalam masyarakat Jepang disebut dengan Tsuka Girei. Tsuka
yang artinya tahapan atau bertahap sedangkan Girei artinya perayaan atau
upacara-upacara, sehingga bisa disimpulkan pengertian dari Tsuka Girei adalah
perayaan-perayaan yang dilakukan secara bertahap dari kelahiran hingga proses
menjadi dewa. Daur hidup dalam masyarakat jepang berhubungan dengan
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
dipengaruhi oleh Shinto dan Budha. Tsuboi, Yobumi dalam Situmorang (2000 :
30) mengatakan adalah suatu kepercayaan dalam kerangka agama Budha yang
disesuaikan dengan kondisi alam Jepang. Tsuboi menjelaskan pemikiran
pemikiran Yanagita Kunio (1875-1962) yang dikenal sebagai bapak Folklore
Jepang, mengatakan bahwa manusia mempunyai roh. Roh tersebut masuk
kedalam tubuh manusia pada waktu lahir dan meninggalkan tubuh manusia pada
waktu meninggal. Roh tersebut mempunyai proses perjalanan seperti arah jarum
jam terbalik. Dalam setiap kondisi roh tersebut mempunyai perubahan, perubahan
tersebut adalah perubahan dari kekotoran menuju kesucian dengan bantuan
acara-acara dan persembahan (kuyo). Proses perjalanan roh manusia tersebut sesuai
dengan perubahan dalam daur hidup. Dalam teorinya Van Gennep dalam
Situmorang (2000 : 30) dikatakan “Li Rites de passadge” atau dalam bahasa
Jepang disebut Tsuka Girei. Proses perjalanan roh tersebut dimulai pada masa
kelahiran. Pada waktu seseorang lahir penuh dengan kekotoran , yaitu karena
darah ibu yang melahirkan masih penuh berada di dalam badan seseorang
tersebut. Oleh karena berada dalam kondisi kekotoran tersebut, maka rohnya
berada dalam keadaan labil. Keadaan labil ini berlangsung hingga seseorang
tersebut dewasa. Keadaan labil ini akan berlangsung selama seseorang tersebut
masih dalam kondisi kekotoran. Kondisi kekotoran tersebut, akan semakin
berkurang dengan adanya acara-acara daur hidup.
Acara-acara menuju kedewasaan tersebut adalah shussan (acara kelahiran),
nazuke iwai (pemberian nama) setelah anak berusia 7 hari, omiyamairi
(mendatangi kuil) atau disebut juga dengan ubuaki iwai setelah umur 31 atau 32
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
hari, hattanjo (ulang tahun pertama) di sini diadakan pemilihan masa depan si
anak, shichigosan (acara 3 tahun, 5 tahun, 7 tahun) yaitu acara mendatangi kuil
pada tanggal 15 November bagi anak umur 3, 5 dan 7 tahun, dan acara
kedewasaan (20 tahun) pada tanggal 15 januari bagi semua anak yang berusia 20
tahun pada tahun tersebut ( Situmorang, Hamzon, 2000 : 31).
Setelah masa kekotoran tersebut berlalu seseorang tersebut memasuki
kehidupan perkawinan. Pada masa ini roh seseorang tersebut berada dalam
keadaan stabil. Kemudian ada acara khusus setelah memasuki hidup dalam
pernikahan misalnya, Yakudoshi yaitu acara bagi orang yang menghadapi usia
bahaya pada tahun tersebut, misalnya usia 42 bagi laki-laki dan usia 33 bagi
wanita. Toshi Iwai bagi orang yang berusia 66 (Gareki), usia 70 ( Kouki), usia 88
(Maiju), dan usia 99 (Hakuju) (Suzuki dalam Situmorang, 2000 : 32)
2.2.2. Kepercayaan Masyarakat Jepang
Menurut Masahiro Kusunoki (1994 : 23), kepercayaan masyarakat Jepang
adalah Shomin Shinko. Shomin Shinko menyangkut kepercayaan dunia suci dan
dunia sekuler. Dan kelahiran bagi masyarakat Jepang dianggap kotor. Menurut
Masahiro dalam Situmorang (2000 : 28) mengatakan bahwa kepercayaan orang
Jepang adalah Functional Good. Pada waktu lahir mereka melakukan acara
selamatan menurut agama Shinto dan pada waktu kematian dilakukan pemakaman
dengan acara Budha, dan pada waktu hari natal mereka juga merayakannya.
Menurut Situmorang, Hamzon (2000 : 28) masyarakat Jepang
berkepercayaan majemuk. Mereka menyembah banyak dewa atau tuhan. Sistem
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam kepercayaan Jepang Kami di bagi atas 3
macam. Yaitu Maki Ujigami (Maki Ujigami adalah kami yang dipuja oleh
douzoku (keluarga besar) orang-orang yang menyembahnya disebut ujibito.
Hubungan antara ujibito dengan ujigami diikat oleh hubungan darah. Ujigami ini
adalah nenek moyang dozoku, atau merupakan keluarga induk), Yashiki Ujigami
(Yashiki Ujigami adalah kami yang dipuja dirumah sendiri (pribadi), yang
disembah di halaman rumah, atau pada waktu-waktu tertentu didirikan
penyembahan), Mura Ujigami (Mura Ujigami adalah kami yang dipuja oleh yang
tinggal disuatu daerah). Dalam kepercayaan tradisional, kami adalah yang tidak
berbentuk dan tidak kelihatan oleh mata. Pemikiran seperti itu dianggap pemikiran
lama, tetapi karena pengaruh budha dibuatlah patung kami, oleh karena itu kami
yang tidak berbentuk menjadi berbentuk (Ikegami 1959 : 21). Penjelmaan kami
bukan hanya dalam bentuk patung, ada juga dalam bentuk benda-benda alam,
dalam hal pemunculan dalam benda alam, muncul dalam berbagai jenis. Misalnya
muncul sebagai petir, angin, air, api, gunung, sungai, laut, hutan, batu, pohon
besar dan bintang (Ikegami 1959 : 22). Menurut Situmorang, Hamzon (2006 :
42-43) dalam kepercayaan tradisional Jepang dibedakan antara roh alam dan roh
manusia. Roh manusia dibedakan anatara roh orang hidup dan roh orang mati.
Roh manusia disebut juga dengan roh orang hidup, sedangkan roh alam disebut
juga dengan animisme dimana semua roh-roh di atas dipercaya memiliki kekuatan
misterius. Dengan misterius tersebut membuat kesusahan atau memberi
pertolongan kepada manusia.
Menurut Suzuki, Iwayumi dalam Situmorang (2000 : 29) mengatakan
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
(lingkaran). Manusia semenjak lahir hingga menikah berada dalam posisi tidak
tenang, atau berada dalam posisi kekotoran. Oleh karena itu perlu diadakan
upacara selamatan (ritus) supaya mereka beroleh selamat. Upacara-upacara
tersebut misalnya, upacara sushan, okuizome, hattanjo, shischigosan, dan
sebagainya. Dalam acara okuizome, atau makan pertama diadakan juga mono
erabi, yaitu memilih benda-benda yang dibuat sebagai simbol masa depan. Jika si
anak memilih benda tersebut, diramalkan bahwa masa depan si anak sesuai
dengan benda yang dipilih tersebut. Oleh karena itu kepercayaan masyarakat
Jepang masih sangat kental dengan unsure-unsur tahayul. Selain itu ada juga
kepercayaan terhadap angka-angka, yaitu angka-angka ganjil. Menurut
masyarakat jepang angka ganjil lebih bagus daripada angka genap.
Dalam pandangan Jepang, pada umumnya kekotoran dibagi atas 2 macam
yaitu akafufuju dan shirofuju. Akafufuju adalah darah dan kurufuju adalah
kematian. Tetapi menurut Ikegami, di Okinawa dikenal 3 macam fuju yaitu shiro
fuju, akafuju, dan kuro fuju. Shiro fuju adalah kelahiran, akafuju adalah haid
(dating bulan) dan kurofuju adalah kematian (Ikegami 1959 : 75). Sesuatu benda
yang bersentuhan dengan yang kotor (tercemar) maka akan tercemar juga, oleh
karena itu apabila ada benda-benda suci maka harus harus dijauhkan dari benda
tercemar.
Menurut Sasaki dalam Situmorang (2006 : 45), dalam kepercayaan rakyat
Jepang , yang tercemar itu adalah mayat, kelahiran dan keluar darah. Oleh karena
itu ibu yang sedang melahirkan juga karena mengeluarkan darah maka berada
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
Menurut Hori, Ichiro dalam Situmorang (2006 : 40) mengatakan bahwa
agama-agama rakyat Jepang sebagai Folk Belief adalah kepercayaan yang sudah
ada sebelum agama-agama melembaga masuk ke Jepang. Agama-Agama rakyat
yang belum melembaga yang ada di Jepang primitive tersebut adalah agama Proto
Shinto. Shinto adalah suatu kepercayaan tradisional yang lahir di Jepang. Kalau
kita melihat dari huruf kanjinya, dapat kita terjemahkan menjadi suatu cara
kehidupan bertuhan. Shin adalah Tuhan atau Dewa, kemudian To adalah jalan,
atau dapat diterjemahkan sebagai konsep cara ber Tuhan. Oleh karena itu dalam
kepercayaan masyarakat Jepang jumlah Kami (dewa) sangat banyak, dikatakan
88.000 atau 880.000 kami-gami di Jepang. Alasan pemakaian angka delapan
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
BAB III
UPACARA DAUR HIDUP DALAM MASYARAKAT BETAWI DAN JEPANG
3.1. Kehamilan
Setiap makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa pasti menginginkan
keturunan, dengan tujuan agar ada penerus/generasi peneus dalam keluarga atau
bangsa. Dalam dunia kedokteran kehamilan adalah pertemuan sel telur dengan
sperma, dan akan membuahi sebuah janin/bayi. Bagi masyarakat Jepang
keturunan merupakan hal paling diinginkan. Hal tersebut dikarenakan oleh,
susahnya wanita Jepang memberikan keturunan dikarenakan kesibukan pekerjaan.
Sedangkan bagi masyarakat Betawi, sangat susah untuk membatasi keturunannya.
Karena bagi masyarakat Betawi, semakin banyak anak semakin banyak rezeki.
3.1.1. Kehamilan Dalam Masyarakat Betawi
Menurut Soimon (1993 : 21-22) upacara kehamilan dilakukan sebagai upaya
memberitahukan kepada masyarakat, tetangga-tetangga dan kerabat keluarga,
bahwa seorang wanita sudah betul-betul hamil dan akan melahirkan keturunan.
Selain itu, juga mengandung harapan agar ibu yang mengandung dan bayi yang
dikandungnya mendapat keselamatan.
Kepercayaan yang berkenaan dengan siklus hidup individu seperti upacara
“nujuh bulanan” ini masih kuat melekat pada orang Betawi di kampung Bojong.
Mereka percaya bahwa upacara “nujuh bulanan” perlu dilakukan demi
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
bahwa upacara nujuh bulanan merupakan penangkal agar anak yang akan
dilahirkan kelak patuh kepada orang tuanya dan tidak nakal.
Upacara nujuh bulanan dilakukan pada saat mengandung kehamilan
pertama, dan usia kandungannya sudah tujuh bulan. Karena itulah upacara ini
disebut dengan “nujuh bulanan”. Pada kehamilan kedua dan seterusnya dilakukan
upacara semacam ini lagi.
Upacara ini selalu menggunakan sajian, dan salah satu sajian yang
terpenting adalah bunga yang berjumlah tujuh macam. Bunga ini bermakna bila
bayi yang lahir kelak laki-laki akan dapat membawa nama yang harum bagi orang
tuanya sebagai harumnya bunga, dan kalau bayi tersebut wanita, supaya cantik
seperti cantiknya bunga. Menurut kepercayaan mereka, sajian terutama bunga
harus lengkap, apabila sajian tidak lengkap kemungkinan besar, bayi akan lahir
dengan sulit atau setelah dewasa nanti, si anak tidak menurut kepada orang tua.
Ketujuh macam bunga tadi di masukkan ke dalam sebuah ember yang beisi air,
kemudian air tersebut digunakan oleh sang ibu yang sedang hamil untuk mandi.
Upacara nujuh bulanan ini dilaksanakan di rumah yang punya hajad, apabila
mereka telah memiliki rumah. Bila tempatnya kurang mengijinkan, adakalanya
diselenggarakan di rumah orang tuanya atau di rumah mertuanya. Dukun beranak
serta pembaca doa /kelompok pengajian ibu-ibu dipanggil supaya hadir pada hari
yang telah ditetapkan.
A. Doa Ketika Kehamilan
Sang ibu yang mengandung akan didoakan dengan tujuan si ibu dan si
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
dibaca ketika upacara nujuh bulanan. Adapun doa nya yaitu, pembacaan ayat-ayat
suci Al Quran terutama Surat Yusuf, serta memanjatkan doa kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Pembacaan ayat Surat Yusuf dimaksudkan agar bayi yang akan lahir
kelak dapat meneladani sifat-sifat Nabi Yusuf serta mempunyai paras yang
rupawan (Soimon 1993 : 27)
B. Tabu Saat Kehamilan
Menurut Soimon (1993 : 29-30) berdasarkan kepercayaan masyarakat
Betawi selama istri sedang hamil berlaku larangan-larangan yang menurut istilah
mereka disebut “pamali”. Pantangan ini tidak boleh dilanggar kalau ingin
persalinan berlangsung dengan lancar dan selamat kelak. Dengan demikian, maka
suami istri harus saling mengingatkan untuk tidak melakukan perbuatan yang
terlarang. Bagi suami dan istrinya yang sedang hamil berlaku
pantangan-pantangan antara lain :
a. Tidak boleh keluar rumah pada waktu magrib.
b. Tidak boleh duduk di ambang pintu.
c. Tidak boleh mandi setelah dan pada waktu magrib.
d. Tidak boleh mengisi kapuk dalam bantal / guling.
e. Tidak boleh membunuh binatang.
f. Tidak boleh menyembelih hewan, misalnya ayam, kambing, dan lain-lain.
g. Tidak boleh mencela bentuk-bentuk yang aneh, terutama apabila hal ini
terdapat pada seseorang, misalnya kaki pincang, mata buta, bibir sumbing,
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
Suami dan istri yang hamil selama bayi di dalam kandungan diharapkan agar
selalu berbuat kebajikan, dermawan, selalu beribadah dan mencari kegemaran
yang bermanfaat, seperti membersihkan rumah / pekarangan, memperbaiki rumah,
dan lain-lain.
3.1.2. Kehamilan Dalam Masyarakat Jepang
Menurut Situmorang, Hamzon (2000 : 30) kehamilan bagi orang jepang
merupakan masuknya roh ke dalam tubuh manusia dan akan meninggalkan tubuh
manusia waktu meninggal nanti. Kehamilan dan kelahiran merupakan kekotoran
yang harus dibersihkan dari tubuh sang ibu dan si anak, dengan melalui beberapa
upacara yang bertahap-tahap sesuai dengan kepercayaan orang Jepang. Pada akhir
perang dunia ke II system Ie (system keluarga tradisional Jepang) secara hukum
sudah diakhiri. Tetapi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, masalah
pewarisan dan penyembahan leluhur masih mengikuti system Ie. Oleh karena itu
perempuan tidak akan mempunyai harga diri di masyarakat jikalau tidak dapat
melahirkan, wanita yang tidak dapat melahirkan dijuluki dengan umezume.
Ketidakbiasaan melahirkan anak menjadi alasan perceraian bagi suami istri.
Dalam kepercayaan Jepang masalah kehamilan dianggap sebagai yang
supra alami Choushizenteki, mereka memohonkan kehamilan ke kuil Shinto
seperti ke kuil Shiogama, kuil Suitenggu, atau kuil Awashimasawa.
A. Doa Untuk Kehamilan (Ninshin Igan)
Menurut Situmorang, Hamzon (2006 : 55) perempuan yang sudah
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
Masalah kehamilan menjadi masalah keluarga luas, karena anak yang akan lahir
tersebut diharapkan akan menjadi pelanjut keturunan. Terutama dalam keluarga
tradisional Jepang, pelanjut keturunan untuk menyembah roh-roh anggota
keluarga sangat dibutuhkan.
B. Tabu Saat Kehamilan
Menurut Kuraishi, Atsuko dalam Situmorang (2006 : 57-58) tabu untuk
kehamilan berlaku sejak kehamilan berusia 5 bulan. Dimana pada saat kehamilan 5
bulan diadakan obiiwai (acara makan stagen). Sementara tabu berakhir dianggap
setelah anak dibawa ke dalam acara hatsumiyamairi yaitu sibayi pertama kali di
bawa ke kuil. Hatsumiya mairi ini dilakukan pada bayi laki-laki ketika berusia 32
hari dan bagi anak perempuan ketika anak tersebut berusia 33 hari. Kemudian pada
waktu sebelum melahirkan, ada tabu yang tidak boleh dimakan, misalnya
cumi-cumi dan sotong yaitu dianggap berbahaya karena mempersulit kelahiran.
Kemudian tabu yang lain yaitu tidak boleh melihat kebakaran.
3.2. Kelahiran
Kelahiran merupakan peristiwa yang sangat ditunggu-tunggu oeh sang ibu
dan suami serta seluruh keluarga. Namun dalam kelahiran jiwa sang ibu terancam.
Kelahiran dalam masyarakat Jepang merupakan hal yang sangat kotor. Namun
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
3.2.1. Kelahiran Dalam Masyarakat Betawi
Menurut Soimon (1993 : 31-33) pada saat kelahirannya, bayi disambut
oleh keluarga dengan mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
keselamatan bayi dan ibunya yang telah melalui masa-masa krisis persalinan.
Event ini diisi dengan upacara-upacara sederhana, yakni pembacaan azan untuk
bayi lelaki, dan azan keil untuk bayi perempuan. Persalinan di dalam masyarakat
Betawi dilakukan oleh dukun beranak. Tujuannya adalah untuk memperkenalkan
nama Tuhan Allah Subahanahu Wataala yang pertama kali ke telinga si bayi.
Selain itu mereka percaya, bahwa upacara ini juga bertujuan memperkenalkan
bayi kepada kehidupan di atas dunia yang berbeda dengan kehidupannya di dalam
rahim ibu. Biasanya tujuan terakhir ini diwujudkan dengan mempekenalkan bayi
kepada berbagai peralatan hidup, seperti bahan-bahan pangan, pakaian dan
peralatan lain serta berbagai simbol petunjuk tentang kebenaran, pengorbanan dan
pengabdian menurut bimbingan ajaran agama Islam.
Bagi masyarakat Betawi, masa kelahiran bayi ini di sambut dengan
mengadakan upacara sederhana, karena menurut kepercayaan mereka, seorang
bayi yang baru lahir amat memerlukan perlindungan, jadi dengan
memperkenalkannya kepada kekuatan sakral diharapkan dapat terhindar dari
gangguan roh halus.
Menurut ajaran Islam, seorang ibu yang melahirkan bayinya harus diiringi
dengan pembacaan doa-doa. Maksudnya untuk menjauhkan si bayi dari
marabahaya dan penyakit. Dengan kata lain, diharapkan agar jiwa si bayi terbina
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
Kepercayaan ini berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan fisik dan
batin ibu yang baru melahirkan serta bayinya sendiri, baik untuk saat sekarang
maupun untuk masa depannya. Oleh sebab itu, mereka menyambut kelahiran ini
dengan mengadakan upacara-upacara pada setiap tahap dalam proses yang
dialaminya. Upacara ini oleh sebagian ahli dipandang sebagai salah satu cara
masyararakat manusia menghadapi dan menanggulangi krisis yang terjadi. Setiap
manusia menapaki tahap-tahap perkembangan kepribadiannya yang sejalan
dengan perkembangan usianya.
A. Tempat Melahirkan
Soimon (1993 : 33) bagi masyarakat Betawi kelahiran dilakukan di rumah
apabila sang ibu sudah mendekati kelahiran si bayi. Kadangkala juga dilakukan di
rumah dukun beranak (pada zaman dahulu). Tetapi pada zaman modern sekarang
ini kelahiran dilakukan di rumah bersalin atau rumah sakit. Upacara kelahiran
dilakukan di rumah atau rumah orang tua.
B. Syukuran Kelahiran
Menurut soimon (1993 : 31) dalam adat masyarakat Betawi syukuran
kelahiran hanya dilakukan pembacaan doa-doa kepada Allah SWT dan
pembacaan surat Yusuf. Hal ini dimaksudkan agar mendapatkan keberkatan
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
B.1. Upacara Menanam Ari-Ari (Placenta)
Setelah bayi lahir, dukun mengurus bayi terlebih dahulu, bayi dibersihkan
dari segala kotoran dan darah. Kira-kira dua ruas jari dari lubang pusar, ari-ari
diikat dengan benang bersih, dipotong di luar ikatan dengan weled (pisau yang
berasal dari kulit bembu tipis). Dewasa ini banyak yang mempergunakan gunting.
Ari-ari dianggap sebagai “saudara tua” si bayi, karena itu tidak boleh dibuang
sembarangan, namun harus dipelihara, dengan cara mengubur atau dihanyutkan ke
sungai/laut.
Kebiasaan masyarakat Betawi, jika bayi perempuan ari-arinya ditanam di
samping rumah atau dekat pedaringan (tempat menyimpan beras) dengan maksud
agar anak perempuan nantinya tidak sering ke luar rumah, juga supaya kelak
hidupnya tidak kekurangan makan.
Sebagaian masyarakat Betawi ada yang membuang ari-arinya ke sungai
atau ke laut bila yang lahir itu bayi laki-laki setelah terlebih dahulu mengikatnya
di atas batang pisang. Maksudnya agar si anak kelak dapat berlayar seperti
saudara tuanya. Akhir-akhir ini banyak ibu-ibu yang melahirkan dibantu oleh
seorang bidan dan ari-ari diurus oleh nenek si bayi.
B.2. Upacara Puput Puser (Lepas Tali Pusar)
Menurut Soimon (1993 : 33-34) upacara puput puser diisi dengan
pembacaan doa dan ayat-ayat suci Al Quran dan sedekah alakadarnya. Puput
puser biasanya terjadi antara 7-10 hari usia si bayi, di mana tali puser terlepas
dengan sendirinya. Tali pusat itu dibungkus dengan kain putih, lalu disimpan
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
Bayi dan ibunya berada dalam perawatan dukun beranak sampai bayi berumur 40
hari. Setelah masa perawatan berlalu, dukun beranak menerima : beras, ayam atau
bahan makanan lainnya, dan uang. Semua itu imbalan atas jasa-jasanya membantu
bayi beserta ibunya.
B.3. Upacara Cukur Rambut
Setelah bayi berusia 40 hari, maka dilakukan Upacara Cukur Rambut.
Maksud dan tujuan diselenggarakannya upacara ini adalah untuk membuang
rambut bawaan bayi dari dalam kandungan ibunya atau membuang “bulu haram”.
Bagi masyarakat Betawi bisa membuang “sawan”, artinya bayi yang digunting
rambutnya nanti tumbuh sehat dan dijauhkan dari berbagai macam penyakit.
Upacara ini tidak sekedar mencukur rambut bayi melainkan juga disertai dengan
marhaban, yaitu pembacaan kitab Maulid Nabi, berupa rangkaian kalimat puitis
dalam bahasa Arab yang berisikan kisah tentang Nabi Besar Muhammad SAW.
Dalam pelaksanaan upacara ini, tuan rumah yitu kakek dari si bayi yang
akan digunting rambutnya, menyambut tamu-tamu yang diundang yang terdiri
dari Bapak Kyai setempat dan beberapa undangan bapak-bapak yang berpakaian
muslim, setelah semuanya berkumpul, tuan rumah mengucapkan sedikit sambutan
dan ucapan terima kasih atas kedatangan para tamu untuk ikut memberikan doa
restu pada si bayi.
Beberapa hari kemudian barulah rambut bayi dicukur habis. Potongan
rambut sawan tadi dikumpulkan, lalu dimasukkan bersama ke dalam kelapa muda
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
dinilai seharga dengan emas yang nantinya akan disumbangkan kepada fakir
miskin sebagai sedekah.
Maksud sedekah ini mengandung harapan agar si bayi kelak menjadi
orang yang bermanfaat bagi masyarakat, nusa, bangsa dan agama, serta berbakti
kepada orang tuanya. Ini mengingatkan, bahwa kelapa (yang dipakai menyimpan
potongan rambut bayi), merupakan salah satu tanaman yang seluruh bagian
pohonnya berguna bagi manusia. Dari akar hingga pucuk daunnya, apalagi
buahnya berguna bagi manusia.
Setelah acara cukur rambut selesai, dilanjutkan dengan acara makan
bersama. Setelah acara makan-makan, para undangan kembali pulang ke
rumahnya masing-masing.
3.2.2. Kelahiran Dalam Masyarakat Jepang
Upacara yang dilakukan untuk menyambut kelahiran dalam masyarakat
Jepang disebut dengan Shussan Iwai. Ada dua istilah yang digunakan oleh
masyarakat Jepang ketika sang ibu melahirkan anaknya, menurut Situmorang,
Hamzon (2006 : 54), Shussan adalah sebuah kata yang dilihat dari kedudukan
yang melahirkan, sedangkan Tanjou adalah kata yang digunakan dilihat dari
kedududukan arti yang dilahirkan. Dalam pemikiran masyarakat Jepang Shussan
adalah suatu keadaan sangat rawan bagi perempuan. Karena adanya pendarahan
yang mengakibatkan ancaman jiwa bagi yang melahirkan. Oleh karena itu saat
melahirkan dianggap saat yang paling rawan bagi wanita sepanjang hidupnya.
Antara si ibu dan si anak yang dilahirkan ada perbedaan situasi, tetapi keduanya
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
yang terikat hubungan dengan ibunya melalui tali pusar putus dan kemudian
membentuk hubungan sosial di dunia ini dengan lingkungannya. Upacara
kelahiran yang dilakukan di Jepang hanya untuk memberitahukan kepada para
tetangga atau kerabat ataupun saudara bahwasa nya di rumah ini telah ada
kekotoran. Sehingga para tetangga atau kerabat tersebut tidak akan mengunjung
rumah itu, dikarenakan hal kekotoran.
A. Tempat Melahirkan (Ubuya)
Menurut Situmorang, Hamzon (2006 : 56-57) perubahan tempat
melahirkan di Jepang nampak sekali pada 50 tahun belakangan ini. Sekarang
tempat melahirkan bukan lagi di ubuya, tetapi sudah berubah yaitu di rumah sakit
dengan menggunakan alat-alat medis yang mutakhir. Oleh karena itu walaupun
seandainya didapati berbagai kelainan dalam kondisi melahirkan, sudah dapat
ditangani dengan baik. Demikian juga dengan fasilitas-fasilitas tempat melahirkan
banyak yang sudah menyamai fasilitas hotel. Sebelum perang dunia kedua orang
Jepang banyak melahirkan di ubuya, tetapi pada akhir perang dunia kedua
berubah, kebanyakan wanita melahirkan di rumah bukan lagi di ubuya.
Di dalam cerita kojiki (712) dan nihonsoki (720), juga sudah ditemui
tentang adanya ubuya, dimana ubuya pada waktu itu didirikan di tepi pantai. Di
ubuya ini ada toriagebasan yang bekerja sebagai penolong orang yang sedang
melahirkan. Kemudian dijelaskan bahwa pada zaman dahulu ubuya bukan hanya
ditempati oleh orang yang akan melahirkan tetapi juga ditempati oleh orang yang
sedang gekkei (datang bulan). Adapun alasan didirikannya ubuya ini adalah karena
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
Darah adalah sesuatu yang kotor, oleh karena itu supaya anggota keluarga jangan
tercemar maka orang melahirkan di ubuya. Kemudian api yang dipergunakan
untuk memasak di ubuya juga dianggap tercemar, oleh karena itu api tersebut tidak
boleh dipergunakan memasak di rumah.
Sampai tahun 1960, kira-kira separuh dari wanita Jepang melahirkan di rumah
yang dibantu oleh ibu-ibu tetangga mereka yang berpengalaman.
B. Tabu Pada Saat Kelahiran (Ubunoimi)
Menurut Situmorang, Hamzon (2006 : 57-58) pada saat melahirkan, si ibu
dianggap berada dalam keadaan kotor/tercemar oleh karena itu beberapa saat
harus hidup terpisah dari masyarakat. Kemudian orang-orang yang dianggap
tercemar juga adalah bidan, bayi, suami dan kemudian keluarga yang lainnya.
Kemudian pada waktu sebelum melahirkan, ada tabu yang tidak boleh dimakan,
misalnya cumi-cumi dan sotong yaitu dianggap berbahaya karena mempersulit
kelahiran. Kemudian tabu yang lain yaitu tidak boleh melihat kebakaran.
Tabu setelah melahirkan, adalah berupa larangan untuk mendekati
tempat-tempat suci seperti ujigamisama, kamidana, dan sebagainya. Kemudian api
dianggap sebagai perantara pembawa kekotoran, oleh karena itu api yang
dipergunakan untuk memasak makanan ibu yang sedang melahirkan tidak boleh
dipergunakan untuk memasak di tempat lain. Kemudian bagi ibu yang baru
melahirkan tidak boleh menyentuh air di sumur. Bagi suami, dalam waktu
sementara tidak boleh bekerja di ladang atau menangkap ikan.
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
C. Syukuran Kelahiran (Shussan Iwai)
Menurut Situmorang, Hamzon (2006 : 59) shussan iwai adalah acara
selamatan yang pertama yang ditujukan kepada si bayi. Dimana kedua orang tua
sibayi ingin memperkenalkan bayinya kepada keluarga, kenalan, dan juga pada
tetangga-tetangga mereka. Orang-orang yang menerima pemberitahuan datang
berkunjung dengan membawa bingkisan ucapan selamat atas kelahiran.
C.1. Hari Ketiga Setelah Hari Kelahiran (Mikka Iwai)
Menurut situmorang, Hamzon (2006 : 59) tetangga-tetangga atau kerabat
yang melihat kelahiran pada hari ketiga disebut dengan Mikkaiwai. Pada hari
ketiga diundang orang yang membantu proses kelahiran dan juga famili-famili
yang lainnya. Kemudian orang yang membantu melahirkan tersebut pada hari
ketiga ini pula pertama sekali memandikan bayi tersebut, sehingga dinamai
Yuzome, pada hari ketiga ini pula diadakan pemberian nama (nazuke) dan
pertama kali pakai baju. Kemudian pada hari ketiga ini sibayi pertama kali
dibawa ke kamar mandi untuk diperkenalkan pada dewa yang ada di sana. Tetapi
karena pemikiran kekotoran, pada zaman dahulu suami tidak ikut melihat acara
mikkaiwai. Bagi keluarga yang mendapat kelahiran, mereka mendapatkan
kekotoran, bagi anggota keluarga selama 3 hari bagi ayah selama 3 sampai 7 hari
mereka tidak boleh pergi ke tinja atau melakukan pekerjaan di luar rumah.
C.2. Hari Ketujuh Setelah Hari Kelahiran (Oshichiya)
Menurut Situmorang, Hamzon (2006 : 60) hari ketujuh setelah kelahiran
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
Bagi ibu yang melahirkan, hari ketujuh ini merupakan suatu tahapan kekotoran
telah terlewatkan, disebut dengan “akabiake”. Si ibu yang melahirkan sudah dapat
keluar dari ubuya di berbagai daerah. Kekotoran ayah pun dianggap sudah hilang.
Bagi bayi pada hari ketujuh ini pertama kali dipakaikan baju yang berlengan. Hal
ini pula menunjukkan bahwa si bayi sudah dianggap sebagai manusia dan
diberikan nama bayi tersebut.
Ada beberapa cara pemberian nama bayi di Jepang :
a. Supaya bayi menjadi orang hebat, maka namanya dimohonkan dari orang
yang terhormat, seperti pendeta budha, atau Shinto, atau orang yang
dihormati di daerah tersebut.
b. Memilih nama dengan cara omikuji (kertas di gulung) diambil dari kuil
Shinto.
c. Memohonkan nama dari anak yang sehat dan kuat.
d. Mengambil suatu nama huruf kanji dari nama kakek/nenek atau dari nama
orang tua nya.
e. Mengambil nama dengan mencocokkan dengan situasi anak tersebut
dilahirkan.
Zaman sekarang nama anak sebagian besar diberikan oleh orang tuanya atau
kakek neneknya. Kemudian pada hari ketujuh kelahiran ini nama anak
ditempelkan di kamidana (rak pemujaan leluhur).
C.3. Perayaan Usia 32 Hari (Hatsumiya Mairi)
Menurut Situmorang, Hamzon (2006 : 61) anak laki-laki pada usia 32 hari
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
mengunjungi omiya atau ujigami. Pada hatsumiya mairi ini biasanya bayi
digendong oleh neneknya, atau yang membantu melahirkan datang ke kuil. Pada
saat hatsumiya mairi ini si bayi mendapat kiriman dari keluarga ibu yang disebut
Inuhariko, yaitu berupa barang-barang mainan si bayi. Pada zaman dahulu inu
hariko mempunyai nilai magis yaitu untuk menangkal penyakit atau sebagai
sasaran penyakit yang datang untuk mengganggu si bayi.
3.3. Masa Anak-Anak
Masa anak-anak merupakan masa peralihan dari masa bayi untuk
menjadi dewasa dan menikah. Upacara daur hidup pada masa anak-anak dalam
masyarakat Jepang melalui beberapa tahap. Begitu juga upacara daur hidup pada
masa anak-anak dalam masyarakat Betawi dilakukan melalui beberapa tahapan.
3.3.1. Masa Anak-Anak Dalam Masyarakat Betawi
Masa anak-anak dalam masyarakat Betawi di antaranya yaitu upacara
khatam Al Quran dan upacara sunatan/khitanan.
A. Upacara Khatam Al Quran
Dalam ajaran agama Islam ada kebiasaan untuk melakukan upacara
khusus bagi anak-anak yang sedang menjelang dewasa, yaitu upacara “khatam Al
Quran”, yakni upacara menyambut tamatnya seorang anak mempelajari cara-cara
membaca Al Quran dengan selamat. Demikian pula halnya dengan masyarakat
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
Khatam Al Quran yang biasa juga disebut “Tamat Al Quran”, adalah
upacara yang diselenggarakan untuk menandai selesainya seorang anak belajar
mengaji. Dalam upacara ini pesertanya terdiri dari anak-anak yang telah
menyelesaikan Juz Amma. Upacara ini berlangsung dengan dilengkapi
serangkaian acara yang sifatnya tradisional.
Upacara Khataman Al Quran diselenggarakan dengan maksud
menunjukkan rasa syukur ke Hadirat Illahi serta rasa bangga dan bahagia, karena
anak-anak telah berhasil menyelesaikan pelajaran membaca kitab Juz Amma.
Pemberitahuan disampaikan oleh guru mengaji kepada orang tuanya, lalu
diteruskan ke masyarakat melalui upacara. Dengan diadakannya upacara ini,
diharapkan anak-anak bias mengubah sikap dan sifat dari kanak-kanak menjadi
dewasa, berbuat baik dan mengamalkan ilmu yang dimilikinya, menjadi suri
tauladan di masyarakatnya. Upacara ini diselenggarakan sebagai tanda hormat dan
kepatuhan masyarakat terhadap ajaran Islam. Penyelenggaraan Khatam Al Quran
biasanya diselenggarakan semenjak sore hari hingga malam hari. Acara ini biasa
juga diselingi ceramah oleh seorang ulama, misalnya tentang sejarah Al Quran
yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW, atau kadang-kadang
diisi acara Qasidah. Sesuai dengan sifatnya, yaitu upacara keagamaan, maka
upacara Khatam Al Quran selain diselenggarakan di masjid, juga bisa
diselenggarakan di rumah si anak yang bersangkutan.
Dalam penyelenggaraan upacara Khataman AlQuran tidak banyak
pantangan yang berlaku khusus. Hanya saja sebagaimana halnya penganut agama
Islam, dan oleh karena upacara ini berkaitan dengan keagamaan, maka yang patut
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup (Tsukagirei) Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
makanan yang dilarang dan diharamkan oleh agama islam, seperti makan daging
babi, dan segala jenis makanan yang diragukan haram tidaknya. Demikian pula
halnya dengan perbuatan dan ucapan yang bertolak belakang dengan hokum
agama Islam.
B. Upacara Sunat/Khitanan
Menurut Soimon (1993 : 40-43) bagi orang Betawi seorang anak
laki-laki yang telah berusia sekitar 7 tahun atau lebih harus dikhitan. Khitanan
merupakan daur hidup yang dianggap penting, karena setelah dikhitan seorang
anak baru boleh disebut muslim. Menurut adat bersunat, bahwa :
“Orang-orang yang beragama Islam, haruslah disunat, masuk Rukun
Islam,agar suci dalam menunaikan ibadah sembahyang”.
Khitanan secara tradisional dilakukan oleh seorang “tukang sunat” atau
disebut “bengkong”. Kini tidak jarang orang Betawi yang menggunakan tenaga
mantra atau dokter untuk mengkhitan anaknya. Untuk melaksanakan khitanan,
tukang sunat biasanya dipanggil ke rumah yang punya hajat.
Sesajian yang disiapkan dalam upacara khitan, yaitu : beras, pisang raja
bulu satu sisir, sebutir kelapa, kue-kue tradisional, biasanya berupa dodol, wajik,
uli, serta seekor ayam jantan.
Dahulu, masyarakat Betawi jika mempunyai hajat sunatan, biasa
menyelenggarakan hiburan kesenian antara lain: lenong topeng, tanjidor, tari
sambrah, dan lain-lain.
Sebelum dikhitan, selepas waktu ashar, anak yang akan di khitan terlebih