• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelahiran dan Pertumbuhannya

BAB III BIOGRAFI IMAM AL-GHAZALI

B. Kelahiran dan Pertumbuhannya

Ali Muhammad Ash-Shallabi, (2015 : 45), menjelaskan sebagaimana berikut :

Imam Al-Ghazali, dilahirkan di Thusia (Thusia adalah sebuah kota di Khurasan yang terletak di timur Iran, sekarang bernama Bashar) pada tahun 450 H. Adapun ayahnya seorang hamba yang shaleh lagi bersahaja dalam kehidupannya. Ia tidak akan makan kecuali dari rezki yang diperolehnya, yakni dengan memintal kain wol kemudian menjualnya di tokohnya di Thusia. Pada saat waktu senggang, ayahnya pergi berkeliling ke majelis taklim para ulama serta melayani mereka sebaik-baiknya, menjalin hubungan baik, serta belajar dengan mereka. Ketika mendengarkan perkataan para ulama ia lantas menangis dan menghibahkan diri kepada Allah SWT agar dianugrahi seorang anak yang cerdas lagi

berilmu. Allah pun mengabulkan permintaannya dengan mengaruniakan dua putra, bernama Abu Hamid dan adiknya bernama Ahmad.

Uraian tersebut menggambarkan bahwa keluarga Imam Al-Ghazali adalah keluarga yang sederhana, namun dalam kesederhanaannya, keluarga Imam Al-Ghazali tetap menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran Islam, yang dinampakkan dengan menjaga keluarga dari makanan-makanan yang haram, karena tentunya hal tersebut berdampak besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan fisik, psikologis, dan akhlak bagi anak.

Suratan nasib berbicara lain, sang ayah tidak dapat melihat harapannya telah terpenuhi dan doanya telah terkabulkan. Ia wafat ketika Abu Hamid masih belia. Sedangkan ibunya dikaruniai oleh Allah SWT umur panjang hingga dapat melihat masa keemasan anaknya dalam singgasana kemuliaan dan menduduki tahta ilmuwan kharismatik pada masa itu.

Menurut, Sunardji Dahri Tiam, (2014 : 121) :

Pertama-tama, ia mempelajari ilmu agama di kota kelahirannya, kemudian pindah ke jurjan dan pindah lagi ke Nisabur. Di kota ini, beliau berguru kepada seorang ulama besar dan masyhur dalam ilmu pengetahuan agama yaitu l-Kharomaini al-Juwaini. Dengan perantaraan gurunya ini, Al-Ghazali berkenalan dengan Perdana Menteri Sultan Saljuk Malik Syah di Baghdad yang bernama Nizamul Mulk (pendiri Madrasah Nizamiyah 1091 M). Al-Ghazali diangkat menjadi pendidik di madrasah tersebut sampai enam tahun lamanya. Selama di Baghdad, setiap setelah mengajar, Al-Ghazali juga memperdalam berbagai disiplin ilmu, termasuk ilmu

kecerdasannya. Buah pikirannya menarik perhatian banyak ulama,sehingga banyak yang menghadir ceramahnya.

Penuturan tersebut memberikan gambaran yang sangat besar terkait dengan perjalanan besar Imam Al-Ghazali dalam menuntut ilmu, dilihat dari sudut pandang pendidikan, penuturan tersebut telah menggambarkan bagaimana perjuangan Imam Al-Ghazali dalam menuntut ilmu, yang rela meninggalkan kampung halamannya dalam rangka menuntut ilmu, dan semua itu demi mempersipakan hati menerima ilmu, dan perjuangan Imam Al-Ghazali tersebut membuahkan hasil yang amat sangat luar biasa, terbukti di usianya yang masih muda Imam Al-Ghazali telah dikenal di kalangan ulama-ulama besar di Baghdad dan dikenal pula oleh perdana menteri, yang merupakan pendiri Madrasah Nizamiyah, dan pada saat yang sama Imam Al-Ghazali juga telah diangkat menjadi pendidik sampai enam tahun lamanya.

Sikap Imam Al-Ghazali yang senantiasa memperdalam berbagai disiplin ilmu setiap selesai mengajar, memberikan keteladanan besar kepada dunia pendidikan bahwa, menjadi seorang pendidik tidak mengharuskan diri untuk menutup diri dari menuntut ilmu, dan ini pula yang menggambarkan bahwa Imam Al-Ghazali adalah sosok pendidik yang tawadhu, tidak pernah merasa cukup dari

ilmu yang dimilikinya, tidak pernah merasa bosan dan harus terus kerja keras dalam menuntut ilmu.

Lanjut, Sunardji Dahri Tiam, (2014 : 121)

Al-Ghazali ditimpa keragu-raguan tentang kegunaan pekerjaannya, sehingga ia jatuh sakit yang tidak bisa diobati dengan obat-obatan lahir. Keragu-raguan itu pada mulanya timbul dari pelajaran ilmu kalam yang dipelajari dari gurunya Al-Juwaini.

Sebagaimana yang diketahui, bahwa dalam ilmu kalam terdapat banyak aliran yang saling bertentangan, sehingga muncul pertanyaan dalam pikirannya, aliran manakah yang benar di antara semua aliran tersebut. Karena keragu-raguan itu, ia akhirnya meninggalkan pekerjaannya sebagai pendidik dan pindah ke Damsyik. Di kota inilah, Al-Ghazali banyak merenung, membaca, dan menulis. Setelah Al-Ghazali puas dengan ilmu kalam dan filsafat yang menjadikannya ditimpa penyakit ragu-ragu, beliau menemukan jalan hidupnya yang dapat menghilangkan keragu-raguan yang telah lama mengganggu dirinya. Akhirnya, beliau yakin bahwa itulah jalan yang selama ini dicari-cari. Jalan itu adalah tasawwuf, dengan tasawwuf Al-Ghazali memperoleh keyakinan kembali.

Setelah Imam Al-Ghazali ditimpa penyakit keragu-raguan akibat dari ilmu kalam yang dipelajarinya, dan menemukan jalan tasawwuf Imam Al-Ghazali kemudian pindah ke Palestine dengan mengambil tempat di Masjid Baitul Maqdis, disanapun, beliau tetap merenung, membaca dan menulis, kemudian tergerak hatinya untuk beribadah haji, sampai beliau melaksanakannya. Setelah melaksanakan ibadah haji, beliau lansung pulang ke tempat kelahirannya (kota Tus).

Sebagaimana biasanya, beliau tetap merenung, membaca dan menulis. Tetapi, atas dasar desakan penguasa pada masa itu, Imam

mengajar, namun tidak berlansung lama, kurang lebih hanya dua tahun. Kemudian, beliau kembali lagi ke kota tempat kelahirannya, dan disana beliau mendirikan sekolah khusus bagi para mutasawwifin.

Kemudian, di kota kelahirannya ini, beliau meninggal dunia dalam usia 54 tahun, tepatnya pada tahun 1111 M atau tahun 505 H.

C. Konstribusi dan Karya-Karyanya

Puluhan ratusan buku telah ditulisnya, yang meliputi bermacam-macam disiplin ilmu pengetahuan, antara lain ilmu kalam, ilmu fiqhi, ilmu tasawwuf, tafsir, akhlak dan filsafat. Karena begitu luasnya ilmu Al-Ghazali, maka selama hidupnya ia berhasil menentang anasir-anasir dari luar (filsafat) yang sangat membahayakan kepercayaan Islam, dan berhasil memberikan tuntunan yang sesuai dengan syari’at agama Islam terhadap perkembangan mistik yang keterlaluan, yang dinilainya sangat membahayakan amal syari’at Islam. Oleh karena itu, setelah wafatnya, Al-Ghazali dijuluki orang sebagai Hujjatul Islam.

Ali Muhammad Ash-Shallabi, (2015 : 55), membagi karya Imam Al-Ghazali ke dalam enam periode, antara lain ;

Periode pertama (465 H – 478 H).

ِﺐِﻫ اَﺬَﻤْﻟا ِعْوُﺮُـﻓ ِﰲ ُﺔَﻘْـﻴِﻠْﻌﱠـﺘﻟا

ُﺦْﻨَﻤْﻟا

ِﰲ

ِلْﻮُﺻُأ

ِﻪْﻘِﻔﻟا

Periode kedua (478 H – 488 H).

ِﻖِﻄْﻨﳌا ِﰲ ِرﺎَﻈﱠﻨﻟا ﱡﻚََﳏ

ِﻞْﻘَﻌﻟا ُناَﺰِﻣ

Periode ketiga (488 H – 499 H)

Karya yang ditorehkan oleh Imam Al-Ghazali di periode ini banyak sekali, dan yang fenomenal salah satu di antaranya, yaitu ;

ِﻦْﻳﱢﺪﻟا ِمْﻮُﻠُﻋ ُءﺎَﻴْﺣِا

-Periode keempat (499 H – 503 H)

ِﻞَﻠَﻈﻟا َﻦِﻣ ُﻆِﻘْﻨﳌا

ِلْﻮُﺼُﻌﻟا ِﻢْﻠِﻋ ِﰲ َﻒْﺸَﺘْﺴﳌا

Periode keenam (503 H – 505 H)

ِتاَدﺎَﺒِﻌﻟا َو ِق َﻼْﺧَﻷا َو ِﺪْﺣﱡﺰﻟا ِﰲ َﻦْﻳِﺪِﺑﺎَﻌﻟا ُجﺎَﺤْﻨِﻣ

ِم َﻼَﻜﻟا ِﻢْﻠِﻋ ْﻦَﻋ ِماﱠﻮَﻌﻟا ُمﺎَﺠْﻠِﻋ

Buku ini termasuk karya terakhir, yang ditulis Imam Al-Ghazali pada tahun 505 H, beberapa hari sebelum kematiannya, dan masih banyak lagi karya Imam Al-Ghazali yang penulis tidak sebutkan.

Beberapa judul karya Imam Al-Ghazali yang telah disebutkan di atas, memberikan gambaran besar, bahwa sosok Imam Al-Ghazali adalah ulama besar yang telah mewariskan karya besarnya untuk

dunia pendidikan di berbagai disiplin ilmu, terbukti dari pemikiran dan karya-karyanya melahirkan banyak penelian hingga saat ini, semua itu berkat kerja keras sosok Imam Al-Ghazali.

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Etika Pendidik dalam Pandangan Imam Al-Ghazali

Pendidikan merupakan bagian terpenting dalam kehidupan manusia. Karena sejalan dengan perkembangannya, manusia tidak mungkin lepas dari proses pendidikan. Melalui pendidikan, manusia dapat menemukan hal baru dalam kehidupan yang akan mengantarkan menuju perkembangan.

Pendidik merupakan salah penentu keberhasilan di dalam dunia pendidikan melalui kinerjanya pada tingkat intitusional dan intruksional.

Peran strategis tersebut sejalan dengan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang pendidik (guru dan dosen), yang menempatkan kedudukan pendidik sebagai tenaga professional sekaligus sebagai agen pembelajaran . Sebagai tenaga professional, pekerjaan pendidik hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik sesuai dengan persyaratan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan tertentu.

Kedudukan pendidik sebagai agen pembelajaran berkaitan dengan peran pendidik dalam pembelajaran, antara lain sebagai fasilitaor, motivator, pemacu, perekayasa pembelajaran, dan memberi inspirasi belajar bagi peserta didik. Peran tersebut menuntut pendidik

untuk mampu meningkatkan kinerja, seiring dengan perubahan dan tuntutan yang muncul terhadapat dunia pendidikan dewasa ini.

Dunia pendidikan saat ini, sedang tajam disoroti masyarakat.

Masyarakat banyak menyoroti keberadaan pendidik dengan berbagai cara pandang yang amat sangat negatif, hal ini bukan tanpa alasan.

Rendahnya skor tersebut mereka kaitkan dengan rendahnya mutu pendidik atau rendahnya kualitas pendidikan pendidik. Lebih lanjut, masyarakat menganggap, bahwa kemerosotan moral para peserta didik tersebut akibat dari kegagalan pendidik dalam mendidik dan memberi suri tauladan yang terbaik kepada para peserta didik, semua ini akibat dari kemerosotan etika di dalam dunia pendidikan, baik merosotnya etika para pendidik, tak luput juga dari kemerosotan etika para peserta didik.

Imam Al-Ghazali, yang merupakan salah satu pemikir Islam, dan tokoh besar Islam, menyebutkan beberapa batasan-batasan tertentu, mengenai etika pendidik.

Etika pendidik telah banyak dijelaskan oleh pakar muslim, termasuk Imam Al-Ghazali.

Imam Al-Ghazali menyatakan sebagaimana yang dikutip Abudin Nata (2000:95), bahwa :

Pendidik yang diberi tugas mengajar adalah pendidik yang selain

(akhlaknya) dan kuat fisiknya, dengan kesempurnaan akal ia dapat memiliki ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan etikanya yang baik ia menjadi contoh dan teladan bagi para peserta didiknya serta dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar dan mengarahkan peserta didiknya dengan baik.

Setelah mencermati dengan seksama padangan Imam Al-Ghazali mengenai etika seorang pendidik, dengan ini penulis menyimpulkan, bahwa seorang pendidik harus menghiasi dirinya dengan etika yang diharuskan sebagai orang beragama atau sebagai mukmin, dan bagi seorang pendidik harus memiliki etika dan persyaratan yang sesuai dengan tingkatan lapisan orang yang menuntut ilmu tersebut.

Menurut, Imam Al-Ghazali, dalam Abu Madyan Al-Qurtubi (penerjemah kitab Mukhtashar Ihya’ ‘Ulumiddin), (2014 : 18) :

Kondisi (pendidik) yang terbaik adalah seperti perkataan, “Barang siapa yang mengetahui, mengamalkan, dan mengajarkan sesuatu, itulah orang yang namanya diserukan dikerajaan langit. Dia (pendidik) tidak boleh seperti jarum yang memberi pakaian kepada orang yang lain, sedang dia sendiri telanjang. Dia (pendidik) juga tidak boleh seperti sumbu lampu yang menerangi sesuatu selainnya, sedang dia sendiri terbakar, sebagaimana pepatah,

“Kamu telah seperti sumbu lampu yang menerangi manusia, sedang dia sendiri terbakar.

Terkait dengan hal tersebut, Allah SWT telah menjelaskan dalam Alquran di beberapa ayat, di antaranya (Q.S al-Baqarah [2] : 44).



“Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Kitab (Taurat)? Tidakkah kamu mengerti?., (Alquran Kementrian Agama RI, 2013 : 8).

Bahkan Allah SWT dengan tegas, sekaligus mengancam keras, sebagaimana firman-Nya dalam (Q. S As-Shaf [61] :3) :



“Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?. (Itu) sangatlah dibenci disisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan., (Alquran Kementrian Agama RI, 2013 : 551).

Terkait dengan dua ayat di atas maka sudah amat sangat jelas bahwa seorang pendidik harus senantiasa menghiasi dirinya dengan etika yang terbaik, dan juga senantiasa menyesuaikan setiap perkataan dengan perbuatannya, di luar dan di dalam lingkungan sekolah.

Menurut, Imam Al-Ghazali, dalam Abu Madyan Al-Qurtubi, (2014 : 18). “Karena barang siapa yang menyandang gelar sebagai

pendidik, dia telah menyandang sesuatu yang agung. Karena itu, hendaklah dia menjaga etika dan tugas dia sebagaimana berikut :

1. Bersikap Lemah Lembut dan Kasih Sayang

Kasih sayang adalah pola hubungan yang unik diantara dua orang manusia atau lebih. Kasih sayang adalah kebutuhan asasi setiap orang. Anak-anak yang dibesarkan dalam limpahan kasih sayang, akan tumbuh menjadi anak yang mandiri dan kuat. Kasih sayang mempengaruhi kesehatan fisik. Anak-anak yang dibesarkan dalam limpahan kasih sayang orang tuanya, tubuhnya lebih sehat dari anak-anak yang kurang kasih mendapatkan kasih sayang. Kasih sayang juga akan menyelamatkan anak-anak dari sifat kerdil.

Anak-anak yang kurang atau tidak mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya akan tumbuh sebagai anak yang merasa terkucilkan.

Anak tersebut akan membenci orang tuanya sendiri, orang lain dan kemungkinan besar akan menjadi anak-anak yang suka melakukan hal-hal yang berbahaya. Dalam proses pendidikan di sekolah yaitu peran orang tua digantikan oleh pendidik, pola hubungan mendidik perlu dilandasi oleh kasih sayang dari pendidik kepada peserta didik agar terjalin ikatan perasaan yang dapat mendukung tercapainya tujuan pendidikan.

Kasih sayang memiliki peranan yang amat sangat penting dalam pengembangan ruh dan keseimbangan jiwa peserta didik. Kondisi keluarga dan dunia pendidikan yang penuh dengan kasih sayang dapat menimbulkan kelembutan sikap peserta didik.

Peserta didik yang tumbuh dalam lingkungan pendidikan yang penuh dengan kasih sayang dan perhatian akan memiliki kepribadian yang mulia, senang mencintai orang lain dan berperilaku baik dalam masyarakat.

Pendidik yang dapat memberikan kasih sayang yang tulus kepada para peserta didik, maka hal tersebut dapat menjadikan potensi peserta didik akan berkembang dengan lebih baik dan maksimal, dan tanpa kasih sayang dari pendidik kepada peserta didik, tentu pendidikan tidak akan dapat berjalan dengan baik dan maksimal, dengan ini, sudah seharusnya bagi seorang pendidik menyayangi peserta didik seperti ia menyayangi anaknya sendiri. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw:

نﺎّﺒﺣ ﻦﺑا و ﻪﺟﺎَﻣ ﻦﺑا و ﻲﺋﺎﺴﻨﻟا و دوادﻮﺑا ﻪﺟﺮﺧا) ِﻩِﺪَﻟَﻮِﻟ ِﺪِﻟاَﻮْﻟ ُﻞْﺜِﻣ ﺎَﻧَأ ﺎَﱠﳕِإ

(ةﺮﻳﺮُﻫ ﰊأ ﺚﻳﺪﺣ ﻦﻣ

،ﱄاﺰﻐﻟا ﺪﻣﺎﺣ ﻮﺑا مﺎﻣﻹا : ﻒﻟﺆﳌا ،.ﻦﻳﺪﻟا مﻮﻠﻋ ءﺎﻴﺣإ : بﺎﺘﻜﻟا) ٥٠٥

: ﺔﻋﺎﺒﻄﻟا ﺔﻨﺳ ،.توﲑﺑ ﺔﻴﻤﻠﻌﻟا ﺐﺘﻜﻟراد : ﺮﺷﺎﻨﻟا ،.ه ١٤٣٣

ﺪﻠﺑ ،.ه

: ﺢﻔﺼﻟا ،.نﺎﻨﺒﻟ : ﺔﻋﺎﺒﻄﻟا ٧٨

.(

Artinya :

“Aku bagi kalian adalah ibarat ayah bagi anaknya. (HR. Abu Dawud, An-Sa’I, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban, hadits dari Abi Hurairah).

(Di kutip dari, Kitab : Ihya’ ‘Ulumiddin., Penulis : Al-Imam abu Hamid Al-Ghazali, 505 H., Penerbit : Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah Beirut., Diterbitkan : 1433 H., Kota terbit : Lebanon., Halaman : 78).

Dan sabda Rasulullah saw :

ْﻢَﺣْﺮَ ْﻢَﻟ ْﻦَﻣ ﺎ ِﻣ َﺲْ َﻟ َﲅ َﺳ َو ِﻪْﯿَﻠَ ُﷲ ﲆ َﺻ ِﷲ ُلْﻮ ُﺳَر َلﺎَﻗ َلﺎَﻗ ٍسﺎﺒَﻋ ِﻦْا ِﻦَﻋ ِﺮَﻜْﻨُﻤْﻟا ِﻦَﻋ َﻪْﻨَﯾ َو ِف ْو ُﺮْﻌَﻤْﻟ ِ ْﺮُﻣ َﯾ َو َ َ ْﲑِﺒَﻛ ْﺮِّﻗَﻮُﯾ َو َ َ ْﲑِﻐ َﺻ

Artinya :

“Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda,

“Bukanlah termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi yang lebih muda, tidak memuliakan yang lebih tua, tidak menyuruh berbuat ma’ruf, dan tidak mencegah perbuatan mungkar., (HR. Tirmidzi/ dikutip dari Hadits Tarbawi, Bukhari Umar, 2012 : 89).

Terkait dengan dua hadits tersebut, maka sudah amat sangat jelas, bahwa kasih sayang di dalam dunia pendidikan sangatlah dibutuhkan, lebih khusus kasih sayang diantara pendidik dan peserta didik.

Menurut, Imam Al-Ghazali, dalam Abu Madyan Al-Qurtubi, (2014 : 18).

Seorang pendidik dibandingkan dengan orang tua anak, maka pendidik lebih utama dari orang tua tersebut. Menurutnya orang tua berperan sebagai penyebab adanya si anak di dunia yang sementara ini, sedangkan pendidik menjadi penyebab bagi keberadaan kehidupan yang kekal di akhirat. Karena itu, hak pendidik diutamakan atas hak kedua orang tua.

Pandangan Imam Al-Ghazali tersebut, penulis memberikan kesimpulan, bahwa apabila seorang pendidik mengajar peserta didiknya dengan tujuan untuk mendapatkan dunia, ia merupakan kehancuran dan penghancuran. Akan tetapi, apabila seorang pendidik mengajar peserta didiknya demi mendapat ridha Allah, hendaklah peserta didiknya mencintainya.

Setelah penulis melihat dengan cermat kondisi pendidikan saat ini, yang dimana banyak penulis jumpai problem yang terjadi di dalam dunia pendidikan akibat dari ketidakharmonisan antara pendidik dengan peserta didik, dan akibat dari ketidakharmonisan itu, maka sudah menjadi kepastian bahwa transformasi ilmu tidak akan mungkin dapat berjalan dengan baik dan maksimal, dengan demikian tujuan dari pendidikan tidaklah mungkin dapat tercapai.

Mewujudkan kembali tujuan pendidikan, maka saling mencintai dan menyayangi diantara pendidik dengan peserta didik harus terus menerus dibangun dan ditumbuh suburkan, karena sangat tidak

mungkin tujuan pendidikan dapat tercapai jika sikap saling mencintai dan menyayangi belum juga tumbuh di dalam tubuh para pendidik dan peserta didik.

Tumbuh suburnya rasa saling mencintai dan menyayangi di dalam tubuh para pendidik dan peserta didik haruslah selalu dibangun, karena hal ini dapat menjadi salah satu faktor dan kunci terbesar suksesnya proses transformasi ilmu pengetahuan dari pendidik kepada peserta didik, khususnya di dalam dunia pendidikan Islam.

Terkait dengan lemah lembut dan kasih sayang kepada peserta didik, juga telah dijelaskan oleh Allah SWT dalam kitab suci-Nya, sebagaimana dalam (Q. S Ali-Imran [3] : 159) :



“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.

karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.

kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai

orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Alquran Kementrian Agama, 2013 : 71).

Ahmad Musthafa Maraghi menjelaskan, dalam (Tafsir Al-Maraghi, jilid II, juz IV, hlm. 113, yang diterjemahkan oleh : Bukhari Umar, (2014 : 88) :

Andaikan engkau (Muhammad) bersikap kasar dan galak dalam muamalah dengan mereka (kaum muslimin), niscaya mereka akan bercerai (bubar) meninggalkan engkau dan tidak menyenangimu, dengan demikian, engkau tidak dapat menyampaikan hidayah dan bimbingan kepada mereka ke jalan yang lurus.

Berdasarka tafsir ini, seorang pendidik harus memiliki rasa lemah lembut kepada setiap peserta didiknya, karena jika tidak, maka sikap kasar itu akan menjadi penghalang baginya untuk mencapai tujuan pendidikan. Karena jika seorang pendidik memiliki sifat lemah lembut dan kasih sayang kepada peserta didik, hal tersebut dapat menerima pendidikan dan pengajaran dengan hati yang senang dan nyaman.

2. Mengikuti Jejak Rasulullah saw.

Rasulullah saw diutus oleh Allah SWT sebagai pendidik yang besar yang telah dibuktikan dan diakui oleh sejarah dan peradaban dunia, dan tidak ada pendidik yang lebih besar daripada Rasulullah saw, keberhasilah Rasulullah saw sebagai pendidik, tidak hanya diakui oleh ummat Islam, namun juga diakui dan diagungkan oleh kelompok

Menurut, Abdul Fattah Abu Ghuddah, dalam Umar Husein Assegaf (penerjemah kitab Ar-Rasul Al-Mu’allim Wa Asaalibuhu fii At-Ta’lim / Judul Indonesi : Mendidik dan Mengajar Ala Rasulullah saw), (2015 : 5) :

Sesungguhnya Alquran telah menyatakan bahwa Rasulullah saw adalah seorang pengajar serta pendidik bagi masyarakat dan manusia secara keseluruhan, walaupun beliau saw sendiri seorang yang buta huruf dan berada di lingkungan padang pasir.

Maka Rasulullah saw adalah suri tauladan bagi ummatnya dalam akhlak, perbuatan dam keadaannya.

Lebih lanjut, Abdul Fattah Abu Ghuddah, dalam Umar Husein Assegaf (penerjemah kitab Ar-Rasul Al-Mu’allim Wa Asaalibuhu fii At-Ta’lim / Judul Indonesi : Mendidik dan Mengajar Ala Rasulullah saw), (2015 : 29) :

Mengikuti jejak hidup Rasulullah saw, tidak hanya diperintahkan kepada seorang pendidik, akan tetapi mengikuti jejak hidup Rasulullah saw, diperintahkan kepada semua manusia.

Terkait dengan hal ini, Allah SWT telah berfirman dalam (Q. S

“Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Katakanlah (Muhammad) "Ta'atilah Allah dan Rasul. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir"., (al-Qur’an Kementrian Agama, 2013 : 54).

Keyakinan umat Islam adalah bahwa, Nabi Muhammad saw adalah Nabi dan Rasulullah, yang harus diteladani, sifat dan perilaku kehidupannya disuruh untuk ditiru, diikuti dan dipedomani, karena kemuliaan akhlaknya, tidak hanya diakui oleh kawan, dan lawannya, tapi pengakuan kemuliaan akhlak Rasulullah saw juga diakui lansung oleh Allah SWT.

Terkait dengan hal ini, Allah SWT berfirman, sebagaimana yang terdapat dalam (Q. S al-Ahzab [33] : 21);

 baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan banyak mengingat Allah., (al-Qur’an Kementrian Agama, 2013 : 240).

Ayat ini secara jelas menyatakan bahwa kehidupan Rasululah harus dijadikan teladan dan contoh untuk ditiru dan dipedomani. Sifat dan perilaku baik yang dipraktekkan Rasulullah saw dalam kehidupannya yang patut bahkan perlu untuk ditiru banyak sekali, seperti jujur, kerja keras, belajar dan berfikir secara terus menerus,

teliti dan tidak gegabah, tidak suka berhutang, suka menolong, suka memaafkan, mendengarkan pembicaraan orang dengan baik, menganjurkan hormat kepada yang lebih tua, menghargai yang muda, santun dalam perilaku dan pembicaraan, mencatat utang (transaksi keuangan), suka tersenyum dan tidak suka bermuka masam, memusyawarahkan pekerjaan yang akan dilakukan dan banyak lagi sifat dan kebiasaan baik yang lain, yang akan sangat panjang sekiranya disebutkan satu persatu. Salah satu daripadanya adalah keteladanan Rasulullah saw dalam mendidik, yang terkait dengan meminta atau menerima upah (gaji) dalam mendidik (mengajar dan berdakwah), dan keteladanan Rasulullah saw dalam mendidik.

Seorang pendidik tidak diperbolehkan untuk meminta upah atas ilmu yang diajarkannya.

Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam (Q. S al-Insan [76] : 9).

. . .















Terjemahnya :

“. . . Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih., (Alquran Kementrian Agama, 2013 :579).

Imam Ghazali menjelaskan, di dalam, Abu Madyan Al-Qurtubi, (2014 : 19) :

Bahwa seorang pendidik tidak meminta imbalannya atas tugas mengajarnya. Hal yang demikian karena mengikuti apa yang dilakukan Allah dan Rasul-Nya yang mengajar manusia tanpa meminta imbalan, dan tanpa meminta ucapan terima kasih semata-mata karena Allah.

Lebih lanjut, IImam Al-Ghazali menjelaskan, di dalam, Abu Madyan Al-Qurtubi, (2014 : 19) :

Meskipun pendidik memiliki jasa terhadap para peserta didik, tapi jasa tersebut sebanding dengan keberadaan mereka sebagai penyebab kedekatannya kepada Allah SWT., yaitu melalui penanaman ilmu dan iman di dalam hati mereka.

Pandangan Imam Al-Ghazali tersebut, dapat disimpulkan bahwa, seorang pendidik harus melaksanakan tugas mengajarnya sebagaimana anugrah dan kasih sayang kepada orang yang

Pandangan Imam Al-Ghazali tersebut, dapat disimpulkan bahwa, seorang pendidik harus melaksanakan tugas mengajarnya sebagaimana anugrah dan kasih sayang kepada orang yang

Dokumen terkait