• Tidak ada hasil yang ditemukan

ETIKA PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK DALAM PANDANGAN IMAM AL-GHAZALI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ETIKA PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK DALAM PANDANGAN IMAM AL-GHAZALI"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

ETIKA PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK DALAM PANDANGAN IMAM AL-GHAZALI

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I) Pada Prodi

Pendidikan Agama Islam Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Makassar

MUH. SAAD NIM : 10519178312

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 1437 H / 2016 M

(2)
(3)
(4)

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Dengan penuh kesadaran, penulis yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa skripsi ini benar adalah hasil karya penulis sendiri.

Jika kemudian hari terbukti bahwa ia merupakaa duplikat, tiruan, apa lagi dibuat atau dibantu secara langsung orang lain keseluruhan, maka skripsi dan gelar yang diperoleh karenanya batal demi hukum.

Makassar, 23 Sya’ban 1437 H 30 Mei 2016 M Penulis

MUH. SAAD

(5)

PRAKATA

ﻢﺴﺑ ﷲا ﻦﻤﺣﺮﻟا ﻢﻴﺣﺮﻟا

َﻖـــَﻠَﺧ ْﻦـــﱠِﳑ ٍْﲑـــِﺜَﻛ ﻰـــَﻠَﻋ ُﻪَﻠـــﱠﻀَﻓَو ،ٍْﱘِﻮـــْﻘَـﺗ ِﻦـــَﺴْﺣَأ ِﰲ َنﺎـــَﺴْﻧِْﻹا َﻖـــَﻠَﺧ َْﲔِﻤَﻟﺎـــَﻌْﻟا ﱢبَر ِﻪـــﻠِﻟ ُﺪـــْﻤَْﳊا ِﷲا ِﺔـَﻋﺎَﻃ ﻰـﻠَﻋ َمﺎَﻘَـﺘـْﺳا ِنِﺈـَﻓ ،ِْﱘِﺮـْﻜﱠﺘﻟاَو ِمﺎَﻌْـﻧِْﻹﺎِﺑ ،ِﻢْﻴـِﻌﱠﻨﻟا ِتﺎـﱠﻨَﺟ ِﰲ ُﻞْﻴـِﻀْﻔﱠـﺘﻟا اَﺬـﻫ ُﻪـَﻟ ﱠﺮَﻤَﺘـْﺳا

َو ُﻪــــَﻟ َﻚْﻳِﺮــــَﺷ َﻻ ُﻩَﺪــــْﺣَو ُﷲا ﱠﻻِإ َﻪــــَﻟِإ َﻻ ْنَأ ُﺪَﻬــــْﺷَأَو ،ِﻢْﻴــــِﻟَْﻷا ِباَﺬــــَﻌْﻟاَو ِناَﻮــــَْﳍا ِﰲ ﱠدُر ﱠﻻِإَو َﻮــــُﻫ

َرَو ُﻩُﺪــْﺒَﻋ اًﺪــﱠﻤَُﳏ ﱠنَأ ُﺪَﻬــْﺷَأَو ،ِﻢْﻴــِﻠَﻌْﻟا ُقﱠﻼــَْﳋا ٍﻖــُﻠُﺧ ﻰــﻠَﻌَﻟ َﻚــﱠﻧِإَو} :ِﻪــِﻟْﻮَﻘِﺑ ُﻪــﱡﺑَر ُﻪــَﻟ َﺪِﻬــَﺷ ُﻪُﻟْﻮــُﺳ

ِطاَﺮـــﱢﺼﻟاَو ِْﱘِﻮـــَﻘﻟا ِﺞْﻬﱠـﻨـــﻟا ﻰـــَﻠَﻋ اْوُرﺎـــَﺳ َﻦْﻳِﺬـــﱠﻟا ِﻪِﺑﺎَﺤـــْﺻَأَو ِﻪـــِﻟآ ﻰـــَﻠَﻋَو ِﻪـــْﻴَﻠَﻋ ُﷲا ﻰﱠﻠـــَﺻ {ِﻢْﻴـــِﻈَﻋ اًﺮْـﻴِﺜَﻛ ًﺎﻤْﻴِﻠْﺴَﺗ َﻢﱠﻠَﺳَو ،ِﻢْﻴِﻘَﺘْﺴُﳌا

Segala puji hanya bagi Allah SWT, Penguasa alam semesta, yang telah menurunkan petunjuk untuk manusia sehingga manusia dapat membedakan mana yang hak dan mana yang bathil. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada utusan Allah SWT, Nabi Muhammad saw, yang telah menghibahkan hidupnya di jalan Allah SWT, dan juga kepada orang-orang yang senantiasa berjuang di jalan-Nya hingga akhir zaman.

Syukur alhamdulillah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Etika Pendidik dan Peserta Didik dalam Pandangan Imam Al-Ghazali”, guna memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pedidikan Islam pada prodi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Makassar. Selesainya skripsi ini

(6)

memberikan bimbingan dan bantuan kepada penulis. Oleh karena itu dengan rasa hormat dan terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Kepada kedua orang tua penulis, M. Shaleh dan Nurhidayah T yang selama ini memberikan perhatian dalam setiap langkah dan gerak selama menjalani perkuliahan.

2. Bapak Dr. H. Irwan Akib. M.Pd Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar yang bekerja keras sehingga kampus Universitas Muhammadiyah Makassar menjadi kampus yang terkemuka di Indonesia bagian timur.

3. Bapak Drs. H. Mawardi Pewangi, M. Pd. I. Dekan Fakultas Agama Islam, yang senantiasa melakukan pengembangan Fakultas sehingga Fakultas Agama Islam Menjadi Fakultas yang terakreditasi Baik.

4. Ibu Amirah Mawardi, S.Ag., M. Si. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam, yang senantiasa memberikan pelayanan yang baik bagi mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam termasuk penulis.

5. Ibu Dr. Hj. Maryam., M. Th. I., Sebagai Dosen Pembimbing I dan bapak Dr. H. Abbas Baco Miro., Lc., MA., Sebagai Pembimbing II, dalam penyelesaian skripsi ini, yang telah menyediakan waktunya selama proses, dan sampai pada penyelesaian skripsi ini.

6. Bapak/Ibu Dosen dan Staf Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Makassar, yang senantiasa memberikan pelajaran ilmu dan pelayanan terbaiknya selama perkuliahan

(7)

berlangsung, sehingga saya dapat menyelesaikan study dengan baik.

7. Teman-teman seperjuangan di Pendidikan Ulama Tarjih Universitas Muhammadiyah Makassar yang senantiasa memberi dukungan dan inspirasi pada penulis, serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Teriring do’a semoga jasa-jasa dan kebaikan mereka mendapatkan imbalan yang lebih baik dari Allah SWT. Aamiin.

Makassar, 23 Sya’ban H 30 Mei 2016 M

Penulis

MUH. SAAD

NIM: 10519178312

(8)

ABSTRAK

MUH. SAAD, 10519178312 “Etika Pendidik dan Peserta Didik dalam Pandangan Imam Al-Ghazali” (Dibimbing oleh Dr. Hj. Maryam., M.

Th.I, dan Dr. H. Abbas Baco Miro., Lc., MA).

Skripsi ini membahas tentang etika pendidik dan peserta didik dalam pandangan Imam Al-Ghazali, jadi yang menjadi kajian utama penulis pada penelitian ini adalah etika pendidik, dan peserta didik dalam pandangan Imam Al-Ghazali.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan bentuk penelitian kajian pustaka (library research) dengan pendekatan kualitatif.

Hasil penelitian yang penulis pertama termukan adalah etika pendidik dalam pandangan Imam Al-Ghazali, yaitu ada beberapa etika yang harus dimiliki oleh seorang pendidik, diantaranya, harus mengikuti jejak hidup Rasulullah saw, lemah lembut dan sayang kepada peserta didik, dll.

Hasil penelitian yang penulis kedua termukan adalah etika peserta didik dalam pandangan Imam Al-Ghazali, yaitu ada beberapa etika yang harus dimiliki oleh peserta didik, diantaranya, harus mengutamakan kesucian jiwa, siap berhijrah meninggalkan tanah air dalam rangka mempersiapkan diri untuk menerima ilmu, tawadhu dan jauh dari sifat sombong terhadap ilmu yang dimiliki, tidak meperhatikan perbedaan- perbedaan, tidak meninggalkan satu cabang diantara cabang-cabang ilmu, mengarahkan perhatian kepada ilmu yang paling penting, dan hendaklah tujuan seorang peserta didik adalah apa yang dapat menyampaikannya kepada Allah SWT.

(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PENGESAHAN SKRIPSI ... ii

BERITA ACARA MUNAQASYAH ……….iii

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ……….. iv

PRAKATA ……...……….. v

ABSTRAK ………...……. viii

DAFTAR ISI... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 9

D. Telaah Pustaka ... 10

E. Landasan Teori ... 12

F. Metode Penelitian ... 24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Etika, Akhlak dan Moral ……….……….. 27

1. Konsep Etika ……….…….….. 27

2. Konsep Akhlak ………...……….…………. 28

3. Konsep Moral ……….………….. 29

B. Etika dan Macam-Macam Etika... 29

1. Pengertian Etika... 29

2. Macam-Macam Etika ... 34

C. Pendidik dan Peserta Didik ... 35

1. Pengertian Pendidik ... 35

2. Pengertian Peserta Didik... 38

BAB III BIOGRAFI IMAM AL-GHAZALI A. Nama dan Nasab ………... 40

B. Kelahiran dan Pertumbuhannya... 40

(10)

BAB IV HASIL PENELITIAN

A. Etika Pendidik dalam Pandangan Imam Al-Ghazali ……… 48 B. Etika Peserta Didik dalam Pandangan Imam Al-Ghazali.……… 67 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ……… 84 B. Saran ……….…. 85 DAFTAR PUSTAKA ………... 87

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan bagian terpenting dalam kehidupan manusia, karena sejalan dengan perkembangannya, manusia tidak mungkin lepas dari proses pendidikan. Melalui pendidikan, manusia dapat menemukan hal baru dalam kehidupan yang akan mengantarkan menuju perkembangan.

Menurut, Sumitro, dkk (2006 : 30) :

Pendidikan mempunyai beberapa komponen yang secara terpadu saling berinteraksi dalam suatu rangkaian keseluruhan kebulatan kesatuan dalam mencapai tujuan. Komponen-komponen pendidikan itu adalah tujuan pendidikan, peserta didik, pendidik (guru), isi pendidikan, metode pendidikan, alat pendidikan, dan lingkungan pendidikan.

Ketujuh komponen pendidikan tersebut, dan pendidik (guru) adalah komponen terpenting yang harus ada dalam proses belajar mengajar. Karena pendidik sangat berperan dalam usaha pembentukan Sumber Daya Manusia (SDM) manusia yang potensial di segala bidang, terkait dengan pendidik telah banyak dijelaskan, diantaranya :

Sinar Grafika / Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 14

(12)

Guru (pendidik) pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Undang-Undang di atas telah menjelaskan dengan rinci apa fungsi dan tugas pendidik di dalam dunia pendidikan, dan juga oleh para pakar memberikan banyak penjelasan dan defenisi terkait seorang pendidik, diantaranya :

Menurut, Mohamad Surya, (2006 : 44):

Siapapun pasti akan berpendapat bahwa pendidik dan peserta didik adalah dua hal yang tak bisa untuk dipisahkan, karena dua hal ini merupakan unsur utama dalam keseluruhan proses pendidikan khususnya di tingkat instutisional dan instruksional.

Tanpa pendidik dan peserta didik, pendidikan hanya akan menjadi slogan muluk, karena segala bentuk kebijakan dan program pada akhirnya akan ditentukan oleh kinerja pihak yang berada di garis terdepan yaitu guru.

Menurut, Sumitro, dkk, (2006 : 71):

Guru sebagai pendidik merupakan komponen sentral dalam sistem pendidikan. Dalam pelaksanaan sistem pendidikan guru dipandang sebagai faktor kunci. Pendidik sebagai faktor kunci, mengandung arti bahwa semua kebijaksanaan, rencana inovasi, dan gagasan pendidikan yang ditetapkan untuk mewujudkan pembaharuan sistem pendidikan, dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan, pada akhirnya terletak di tangan pendidik.

Menurut, Hamdani Ihsan., dan A. Fuad Ihsan, (2001 : 93):

Pada hakikatnya tugas pendidik bukan hanya mengajar, tetapi juga bertanggung jawab memberi bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaannya, mampu melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah, khalifah di permukaan bumi, sebagai makhluk sosial dan sebagai individu yang sanggup berdiri sendiri.

(13)

Begitu juga halnya seorang peserta didik, bahwa seorang peserta didik mestinya tidak hanya belajar dan mengikuti seluruh proses belajar mengajar, hanya dengan tujuan melepaskan kewajiban sebagai seorang peserta didik, sehingga hasil pendidikan dari peserta didik seperti ini tidaklah mungkin dapat memuaskan.

Peran pendidik dalam sejarah peradaban Islam sangatlah dominan dalam mengantarkan peserta didiknya menuju kedewasaan berfikir, dan berperilaku, karena pendidik masa itu benar-benar dapat menjadikan dirinya sebagai panutan dan suri tauladan ummat.

Ketinggian akhlak dan niat yang tulus untuk meninggikan kalimat- kalimat Allah SWT demi menggapai ridha-Nya menjadi bekal utama dalam menyampaikan ilmu yang telah dititipkan padanya. Sehingga muncullah generasi-generasi dan bibit-bitit unggul sebagai penerus perjuangan suci mereka.

Menurut, Zamroni, (2000 : 51) :

Dewasa ini profil pendidik dan peserta didik sedang tajam disoroti masyarakat. Masyarakat banyak menyoroti keberadaan pendidik dan peserta pendidik dengan berbagai pandangan yang negatif, hal ini bukan tanpa alasan. Setiap kali kita berada dalam akhir tahun ajaran sekolah, perhatian masyarakat akan tertuju pada rendahnya skor nilai raport atau hasil NEM anak-anak mereka.

Rendahnya skor tersebut mereka kaitkan dengan rendahnya mutu pendidik atau rendahnya kualitas pendidikan pendidik.

Lebih tragis lagi, kemerosotan moral para peserta didik tersebut mereka anggap karena kegagalan pendidik dalam mendidik dan

(14)

memberi suri tauladan kepada para peserta didik, di dalam dan di luar lingkup sekolah.

Menurut, Azyumardi, (1998 : 165):

Bila pendidik dahulu berarti orang yang berilmu, yang arif, dan bijaksana, kini pendidik dilihat tidak lebih sebagai fungsionaris pendidikan yang mengajar atas dasar kualitas keilmuan dan akademis tertentu. Faktor-faktor lain seperti kearifan dan kebijaksanaan yang merupakan sikap dan tingkah laku moral tidak lagi signifikan. Sebaliknya dalam konsep klasik faktor moral berada dikualifikasi pertama, sedangkan kompetensi keilmuan dan akademis berada di bawah kualifikasi moral.

Kearifan dan kebijaksanaan yang jarang dimiliki oleh pendidik dewasa ini, dengan demikian para pendidik menjadikan para peserta didik kesulitan mencari sosok panutan dan teladan mereka, sedang peserta didik pada masa itu berada dalam usia remaja atau diambang kedewasaan sangat mencari dan merindukan figur keteladanan dan tokoh yang akan diterima dan diikuti langkahnya.

Berbagai kasus yang disebabkan oleh kepribadian pendidik yang kurang mantap, kurang stabil dan kurang dewasa, sering kita dengar dan saksikan di berita-berita eletronik atau kita baca di majalah dan surat kabar. Misalnya, adanya oknum pendidik yang memukul, menendang, bahkan menghamili peserta didiknya, adanya oknum yang terlibat dalam pencurian, penipuan,dan kasus-kasus lain yang amat sangat tidak pantas dilakukan oleh seorang pendidik. Kasus- kasus ini juga merambah kedunia pendidikan Islam, misalnya seorang

(15)

ustadz yang terlibat dalam kasus penipuan emas, berbuat asusila terhadap peserta didiknya, ini merupakan kabar dan keadaan yang amat sangat menyedihkan bagi dunia pendidikan dewasa ini.

Kompetensi kepribadian baik itu berupa etika, kearifan, budi pekerti atau akhlak yang baik harus lebih dulu dimiliki oleh seorang pendidik. Kepribadian yang mantap, sifat-sifat yang luhur dan suri teladan yang baik dapat meningkatkan kewibawaan pendidik dan menumbuhkan kemantapan belajar peserta didik. Sehingga peserta didikpun akan dengan senang hati menerima setiap materi pelajaran yang disampaikan oleh pendidik.

Menurut, Zakiah Daradjat (2014 : 9):

Kepribadian adalah faktor terpenting bagi seorang pendidik.

Kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik yang baik bagi para pesera didiknya, ataukah akan menjadi perusak atau penghancur bagi hari depan peserta didik, terutama bagi peserta didik yang masih kecil (tingkat Sekolah Dasar), dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa (Tingkat Menengah).

Kepribadian yang dimiliki oleh seorang pendidik, dengan ini diharapkan seorang pendidik tidak mengajar hanya dengan tujuan melepaskan kewajiban dan menjadikan dunia pendidikan sebagai wadah penghasilan ekonomi belaka.

Keteladanan seorang pendidik telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Rasulullah saw sebelum berdakwah dalam rangka

(16)

akhlaknya, sehingga hanya dalam kurung kurang lebih dari 20 tahun dakwah Rasulullah saw sudah menyebar di tanah Arab.

Dakwah Rasulullah saw dengan konsep dakwah perkataan dan perbuatan, Rasulullah saw mampu mengubah peradaban Arab yang jahiliyah, menjadi peradaban yang amat sangat maju yang tidak hanya diakui oleh kaum Muslimin, namun diakui oleh peradaban dunia kala itu, dan semua keberhasilan itu tidaklah lepas dari kemuliaan akhlak/etika Rasulullah saw sebagai Nabi dan Rasul Allah.

Kemuliaan akhlak Rasulullah saw, banyak dijelaskan dalam Alquran dan Hadits, dan kemuliaan akhlak Rasulullah saw tidak hanya diakui oleh kawan dan lawannya, bahkan Allah SWT turut andil dalam memberikan persaksian atas kemuliaan akhlak Rasulullah saw.

Sebagaimana dalam firman-Nya (Q. S al-Ahzab [33] : 21)





































Terjemahnya :

”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (Kementrian Agama RI, 2013 : 320 ).

(17)

Hal ini semakin menyadarkan kita, akan pentingnya seorang pendidik memiliki etika, sesuai yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang Nabi, Rasul dan pendidik, dan kesuksesan ataupun kegagalan seorang pendidik dapat diukur dengan sebesar apa etika yang dimilikinya sebagai seorang pendidik.

Secara umum pendidik itu harus memenuhi dua kategori yaitu memiliki capability dan loyality; yakni, pendidik itu harus memiliki kemampuan dalam bidang ilmu yang diajarkannya, memiliki kemampuan teoritis tentang mengajar yang baik, dari mulai perencanaan, implementasi sampai pada evaluasi, dan memiliki loyalitas sebagai seorang pendidik, yakni loyal terhadap tugas-tugas kependidikan yang tidak semata di dalam kelas, akan tetapi sebelum dan sesudah di kelas, dan pendidik memiliki integritas tinggi apabila dapat memenuhi kedua kategori tersebut, baik capability maupun loyality dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai

seorang pendidik.

Etika pendidik telah banyak dijelaskan olek para pakar muslim, termasuk Imam Al-Ghazali.

Menurut, Imam Al-Ghazali, dalam Abudin Nata, (2000 : 95):

Pendidik yang diberi tugas mengajar adalah pendidik yang selain cerdas dan sempurna akalnya, juga yang baik akhlaknya dan kuat

(18)

pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya yang baik ia menjadi contoh dan teladan bagi peserta didiknya, serta dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar dan mengarahkan peserta didiknya dengan baik dan sesuai terget yang diharapkan.

Setelah mencermati dengan seksama padangan Imam Al- Ghazali mengenai etika seorang pendidik, dengan ini penulis menyimpulkan, bahwa seorang pendidik harus menghias dirinya dengan akhlak yang diharuskan sebagai orang beragama atau sebagai mukmin, dan bagi seorang pendidik harus memiliki etika dan persyaratan yang sesuai dengan tingkatan lapisan orang yang menuntut ilmu tersebut.

Imam Al-Ghazali, yang merupakan salah pemikir Islam, dan tokoh besar Islam, memberi batasan-batasan tertentu, mengenai etika pendidik dan peserta didik, dan inilah yang akan menjadi objek penelitian penulis, yang semoga dapat menjawab realita dan menemukan solusi baru yang ada dalam dunia pendidikan saat ini, yang amat sangat jauh dari harapan dan cita-cita, dan tujuan pendidikan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, terdapat beberapa hal yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini. Antara lain:

(19)

1. Bagaimana etika pendidik dalam pandangan Imam Al-Ghazali?

2. Bagaimana etika peserta didik dalam pandangan Imam Al-Ghazali?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian a. Tujuan Penelitian

Berangkat dari latar belakang pemikiran yang mendasari lahirnya permasalahan pokok dan sub-sub masalah di atas, maka peneliti bertujuan meneliti dan memaparkan masalah ini. Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai, yaitu :

1. Untuk mengetahui etika pendidik dalam pandangan Imam Al- Ghazali.

2. Untuk mengetahui etika peserta didik dalam pandangan Imam Al- Ghazali.

b. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat setelah penelitian dalam penyusunan proposal ini:

1. Mamfaat teoritis, penelitian ini dapat menambah dan memperkaya khasanah pengetahuan mengenai etika pendidik dalam pandang

pandangan Imam Al-Ghazali. .

(20)

2. Mamfaat teoritis, penelitian ini dapat menambah dan memperkaya khasanah pengetahuan mengenai etika peserta didik dalam

pandangan Imam Al-Ghazali. .

D. Telaah Pustaka

Para ahli sejarah dan serjana telah menyaksikan bahwasanya ilmuwan-ilmuwan muslim itu bersih hatinya, jernih jiwanya dan dekat kepada Allah SWT, dan hatinya suci dari pada kejahatan dan dosa, sedangkan jasmani mereka kosong dari pengaruh duniawani dan kelezatannya, lalu memusatkan perhatiannya kepada ilmu, mereka ditunjuki Allah dengan cahaya-Nya kepada cahaya mereka, lalu mereka mengetahui dan mengenal, kemudian mereka memproduksi sebagian apa yang mereka ketahui dari yang dikehendaki Allah SWT oleh karena itu di kalangan ummat Islam, masalah hubungan hidup manusia dengan Tuhan-Nya, hubungan dengan masyarakat dan alam sekitarnya telah dianalisa oleh ahli-ahli pikir muslim, sehingga mereka berhasil membuahkan berbagai ilmu, dan salah satu diantara mereka adalah Imam Al-Ghazali.

Imam Al-Ghazali adalah salah satu ulama yang pemikirannya diterima secara luas di dunia Islam, dan pemikirannya pun telah menjadi objek kajian para peneliti, termasuk mengenai etika pendidik dan peserta didik, yang terdapat dalam kitabnya Ihya Ulumiddin,

(21)

diantara kajian yang terkait dengan hal ini, adalah, Skripsi yang ditulis oleh Ari Aji Astuti, dengan judul “Adab Interaksi Guru dan Murid”

Menurut Imam Al-Ghazali, memberikan penjelasan yang mendalam terkait, tujuan interaksi guru dan murid, dan dasar-dasar interaksi guru dan murid . Penekannya adalah tepat pada hak dan kewajiban seorang pendidik dan peserta didik.

Begitupun, sebuah artikel yang ditulis oleh Hariadi, yang menjelaskan tujuan-tujuan pendidikan dalam Islam, Kurikulum pendidikan Islam, pendidik dan peserta didik dalam pandangan Imam Al-Ghazali. Penekanannya adalah apa esensi, tujuan pendidik dan peserta didik dalam pendidikan Islam.

Sebuah skripsi yang ditulis oleh, Abdul Kadir, dengan judul

“Konsep Pendidikan Akhlak Dalam Islam Menurut Imam Al-Ghazali”, pada tulisan ini dijelaskan, pendidikan Islam, Metode Pendidikan Islam, dan penekanannya adalah bagaimana Akhlak Dalam Pendidikan Islam.

Pada kesempatan lain, masih banyak karya-karya Imam Al- Ghazali yang menjadi fokus kajian para peneliti. Dan pada penelitian ini, penulis mencoba mengkaji etika pendidik dan peserta didik dari sumber yang asli, dan dalam pendekatannya adalah bagaimana implementasi etika pendidik dan peserta didik dalam kehidupan sehari-

(22)

hari, dan penulis beranggapan bahwa inilah perbedaan dari penelitian- penelitian yang sudah ada sebelumnya.

E. Landasan Teori

1. Pendidik dan Kompetensinya a. Pendidik

Menurut Ahmad Tafsir, (2004 : 36) : “Guru adalah pendidik yang memegang mata pelajaran di sekolah.”

Istilah lain yang lazim digunakan untuk pendidik adalah guru.

Kedua istilah tersebut berhampiran artinya, bedanya ialah istilah guru seringkali dipakai di lingkungan pendidikan formal, sedangkan pendidik sering digunakan di lingkungan formal, informal, dan non formal.

Dengan demikian guru dapat disebut pendidik dan begitu pula sebaliknya, begitupun sebaliknya pendidik dapat disebut guru.

Undang-Undang Neraga Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, dalam Rahman Getteng, (2012 : 11), dijelaskan, bahwa:

Guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini, jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Setelah melihat dan mencermati beberapa defenisi tersebut, dengan ini penulis simpulkan bahwa, pendidik ialah setiap dewasa

(23)

yang karena kewajiban agamanya bertanggungjawab atas pendidikan dirinya dan orang lain, yang menyerahkan tanggungjawab dan amanat pendidikan adalah agama, dan wewenang pendidik dilegitimasi oleh agama, sementara yang menerima tanggungjawab dan amanat ialah setiap orang dewasa. Ini berarti bahwa pendidik merupakan sifat yang lekat pada setiap orang karena tanggungjawabnya atas pendidikan dan lingkungannya.

b. Kompetensi

Pendidik membawa amanah Ilahiah untuk mencerdaskan kehidupan umat manusia dan mengarahkannya untuk senantiasa taat beribadah kepada Allah dan berakhlak mulia. Oleh karena tanggung jawabnya, pendidik dituntut untuk memiliki kompetensi, yang sudah menjadi standar dalam dunia pendidikan.

Terkait dengan kompetensi, beberapa pakar memberikan defenisi hal ini, diantaranya:

Menurut , A. Samana, (1994 : 44):

Kompetensi adalah kecakapan, kemampuan dan memiliki wewenang. Pendidik yang dinyatakan kompeten di bidang tertentu adalah pendidik yang menguasai kecakapan dan keahlian selaras dengan tuntutan bidang kerja yang bersangkuatan.

Sedangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2005 Bab I Pasal 1 Ayat (10), dalam Chaeruddin, (2013 : 30).

“Dijelaskan bahwa :”Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan,

(24)

keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen melaksanakan tugas keprofesionalan.

Terkait dengan beberapa pendapat di atas, penulis memberikan kesimpulan bahwa, kompetensi pendidik merupakan perpaduan antara kemampuan personal, keilmuan, teknologi, sosial dan spiritual yang secara kaffah membentuk kompetensi standar profesi pendidik, yang mencakup penguasaan materi, pemahaman terhadap peserta didik, pembelajaran yang mendidik, pengembangan pribadi dan profesionalisme.

Apabila kata kompetensi ini dikaitkan dengan pendidik, maka berarti kemampuan seorang pendidik dalam melaksanakan kewajiban dan tugas-tugasnya sebagai pendidik yang harus bertanggung jawab, dengan pengertian ini dapat dipahami bahwa kompetensi adalah kemampuan dari pendidik dalam melakasanakan profesi keguruan.

Kompetensi pendidik telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2005 Bab IV Pasal 10 Ayat (1), dalam Chaeruddin, (2013 : 33). Dijelaskan bahwa : “Kompetensi pendidik meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesioanal, yang diperoleh melalui pendidikan profesi.”

Keempat bidang kompetensi tersebut tidak dapat berdiri sendiri, melainkan saling berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama

(25)

lain dan mempunyai hubungan yang tidak bisa dipisahkan, artinya saling mendasari kompetensi satu dengan yang lainnya.

Penulis mencoba memberikan uraian dari empat kompetensi yang hendaknya dimiliki oleh seorang pendidik , sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2005 Bab IV Pasal 10 Ayat (1), sebagaimana berikut:

1). Kompetensi Pedagogik

Menurut, Chaeruddin, (2013 : 36) : “Kompetensi pedagogik ialah kemampuan dalam pengelolaan peserta didik.”

Menurut,Munif Chatib, (2011 : 28) :

Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik, yang meliputi pemahaman terhadapat peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya.

Menurut, Ani Setiani, dan Donni Juni Priasa, (2015 : 15) :

“Kompetensi Pedagogik pendidik perlu diiringi dengan kemampuan pendidik untuk memahami karakteristik peserta didik, baik berdasarkan

aspek moral, emosional, dan intelektual. .

Beberapa pengertian tersebut, memberikan kesimpulan bahwa, seorang pendidik harus mampu menguasai teori belajar dan prinsip- prinsip belajar, karena peserta didik memiliki karakter, sifat, dan minat yang berbeda. Pendidik harus memahami bahwa peserta didik unik.

(26)

Dasar pengetahuan tentang keragaman sangat penting, dan termasuk perbedaan dalam potensi peserta didik, dan pendidik harus mampu mengoptimalkan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan kemampuannya untuk mencapai masa depan yang lebih baik.

Saeful Segala, (2009 : 32), mengemukakan kompetensi p e d a go d i, ya n g te rd iri d a r i e m p a t su b ko m p e te n si, ya it u : a. Pemahaman wawasan pendidik akan landasan dan filsafat

pendidikan.

b. Pendidik memahami potensi dan keberagaman peserta didik, sehingga dapat didesain strategis pelayanan belajar sesuai dengan keunikan masing-masing peserta didik.

c. Pendidik mampu mengembangkan kurikulum/ silabus baik dalam bentuk dokumen maupun implementasi dalam bentuk pengalaman belajar.

d. Pendidik mampu menyusun rencana dan strategi pembelajaran berdasarkan standar kompetensi-kompetensi dasar.

2). Kompetensi Kepribadian

Menurut, Supriyadi, (2013 : 38) : “Kepribadian adalah sifat hakiki individu yang tercermin pada sikap dan perbuatannya yang membedakan dirinya dengan orang lain.

Menurut, tinjauan psikologis, dalam, Supriyadi, (2013 : 38) :

“Kepribadian pada prinsipnya adalah susunan atau kesatuan aspek perilaku mental (pikiran, perasaan, dan sebagainya) dengan aspek perilaku behavioral (perbuatan nyata).

(27)

Ternyata tidaklah mudah untuk menjadi seorang pendidik, karena kompotensi kepribadian harus menjadi salah satu sifat yang mutlak dimiliki oleh seorang pendidik.

Kompotensi kepribadian telah banyak dijelaskan oleh para pakar, diantaranya :

Menurut, Novan Ardy Wiyani dan Barnawi, (2012 : 104) :

“Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, dan berakhlak mulia serta menjadi teladan bagi peserta didik.”

Menurut, Munif Chatib, (2011 : 29) : “Kompotensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, yang akan menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.”

Menurut, Ani Setiani, dan Donni Juni Priasa, (2015 : 16) :

“Kompetensi kepribadian adalah sikap kepribadian yang mantap sehingga mampu menjadi sumber intensifikasi bagi subjek dan memiliki kepribadian yang pantas untuk diteladani.

Menurut, Chaeruddin, (2013 : 37) :

Kompetensi kepribadian adalah kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif dan berwibawa serta menjadi teladan bagi peserta didik, yang nampak dari setiap perkataan, tindakan, dan tingkah laku positif akan meningkatkan citra diri dan kepribadian seseorang, selama hal ini dilakukan dengan penuh kesadaran.

(28)

Sudarman Danim, (2010 : 23), mengemukakan kompetensi kepribadian, yang terdiri dari lima sub kompetensi, yaitu :

a. Kepribadian yang mantap, dan stabil, memiliki indicator esensial: bertindak sesuai dengan norma hukum, bertindak sesuai dengan norma social dan konsistem dalam bertindak sesuai hukum.

b. Kepribadian yang dewasa, memiliki indicator esensial, menampilkan kemandirian dalam bertindak sebagai pendidk dan memiliki etos kerja sebagai pendidik.

c. Kepribadian yang arif, memili indicator esensial, menampilkan tindakan yang didasarkan kepada kemanfatan peserta didik, sekolah dan masyarakat, serta menunjukkan keterbukaan dalam bertindak dan berfikir.

d. Kepribadian yang berwibawa, memiliki indicator esensial, menampakkan perilaku positif terhadadap peserta didik dan memiliki perilaku yang disenangi.

e. Memiliki akhlak mulia dan dapat menjadi teladan memiliki indikator esensial, bertindak sesuai dengan norma yang religius (iman dan taqwa, jujur, ikhlas, suka menolong, rendah diri, dll).

3). Kompetensi Sosial

Kompetensi sosial ialah kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dan efesien kepada peserta didik, sesama pendidik. Pendidik di mata masyarakat dan peserta didik merupakan panutan yang perlu dicontoh dan meraupkan suri tauladan dalam kehidupannya sehari-hari, semua itu dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaan proses pembelajaran yang lebih baik.

Menurut, Munif Chatib, (2011 : 29) :

Kompetensi sosial adalah kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif

(29)

diantara peserta didik, sesame pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.

Menurut, Chaeruddin (2013 : 38) :

Kompetensi sosial adalah kemampuan pendidik berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efesien dengan peserta didik, sesame pendidik, masyarakat sekitar sekolah, dan dimana pendidik itu tinggal, dan dengan pihak-pihak yang berkepenitngan dengan sekolah.

Kompetensi sosial terkait dengan kemampuan pendidik sebagai makhluk social dalam berinteraksi dengan orang lain. Sebagai makhluk sosial pendidik berperilaku santun, mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungan secara efektif dan menarik mempunyai rasa empati terhadap orang lain.

Saeful Segala, (2009 : 38), mengemukakan kompetensi sosial, yang terdiri dari tujuh sub kompetensi, yaitu :

a. Memahami dan menghargai perbedaan, serta mempunyai kemampuan mengelolah konflik dan benturan.

b. Melaksanakan kerja sama dengan harmonis dengan kawan sejawat, kepada kepala sekolah, dan pihak-pihak terkait lainnya.

c. Membangun kerja tim yang kompak, cerdas, dinamis, dan lincah.

d. Melaksanakan komunikasi secara efektif dan menyenangkan.

e. Memiliki kemampuan mendudukkan idirinya dalam system nilai yang berlaku dalam masyarakat sekitarnya.

f. Memiliki kemampuan memahami dan menginternalisasikan perubahan lingkungan yang berpengaruh terhadap tugasnya.

g. Memiliki kemampuan melaksanakan tata kelola yang baik.

4). Kompetensi Profesional

(30)

Kompotensi profesional, merupakan salah satu syarat yang mutlak dimiliki oleh seorang pendidik dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang pendidik, karena hal ini, merupakan penunjang dari suksesnya tujuan dan cita-cita pendidikan.

Menurut, Novan Ardy Wiyani, dan Barnawi, (2012 : 102) :

Kompetensi profesional, adalah penguasaan materi pembelajaran secara luas, dan mendalam sehingga pendidik dapat membimbing peserta didik, memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam standar nasional pendidikan.

Menurut, Chaeruddin, (2013 : 40), : “Kompetensi professional adalah kompetensi penguasaan subtansi materi pembelajaran secara meluas dan mendalam.”

Uzer Usman, (1999 : 17), mengemukakan lima sub kompetensi professional, yaitu :

a. Mengetahi landasan pendidikan b. Menguasai bahan pembelajaran

c. Mampu menyusun program pembelajaran d. Terampil melaksanakan program pembelajaran e. Mampu menilai proses dan hasil pembelajaran

Dari empat kompetensi di atas, harus dimiliki oleh seorang pendidik secara utuh, jika tujuan pendidikan ingin kita capai dengan maksimal.

2. Tugas dan Kedudukan Pendidik a. Tugas Pendidik

(31)

Menurut, ‘Abdullah ‘Ulwan, (1978 : 1019) : “Tugas pendidik ialah melaksanakan pendidikan ilmiah, karena ilmu mempunyai pengaruh yang besar terhadap pembentukan kepribadian harkat manusia.”

Menurut, Rahman Getteng, (2012 : 24) :

Tugas pendidik ialah mendidik, melatih, mengajar. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan teknologi. Sedangkan melatih berarti mengambangkan keterampilan-keterampilan peserta didik.

Beberapa defenisi tersebut, memberikan gambaran bahwa, tugas pendidik tidaklah terbatas didalam lingkungan sekolah, dan masyarakat kecil, bahkan pendidik pada hakikatnya merupakan komponen strategis yang memilih tugas yang penting dalam menentukan gerak maju kehiduapan bangsa, ini berarti bahwa, pendidik berkewajiban mencerdaskan bangsa menuju pembentukan manusia Indonesia seutuhnya.

b. Kedudukan Pendidik

Kedudukan pendidik yang demikian itu, senantiasa relevan dengan zaman dan sampai kapan pun dihajatkan oleh masyarakat.

Kedudukan seperti itu merupakan penghargaan masyarakat yang tidak kecil artinya bagi para pendidik.

Agama Islam, juga amat sangat menghargai orang-orang yang berilmu pengetahuan (pendidik/ulama), sehingga mereka amat sangat

(32)

Sebagaimana firman Allah SWT dalam (Q.S al-Mujadilah [58] : 11) :

 . . .



























Terjemahnya :

”. . . Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Alquran Kementrian Agama RI, 2013 : 543).

Ayat ini memberikan gambaran, bagaimana kemuliaan dan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu disisi Allah SWT, yang tentunya hal ini lebih dekat kepada seorang pendidik.

3. Kepribadian Pendidik

Kepribadian (seorang pendidik) yang sesungguhnya adalah abstrak (maknawi), sukar diketahui secara nyata, yang dapat diketahui adalah penampilan atau bekasnya dalam segala segi dan aspek kehidupan. Misalnya dalam tindakannya, ucapan, cara berbagaul, berpakaian dan dalam menghadapi berbagai persoalan atau masalah, baik yang ringan maupun yang berat., (Zakiah Daradjat : 9).

Rahman Getteng, (2012 : 38), menyebutkan beberapa kepribadian yang harus dimiliki oleh seorang pendidik, untuk menjadi pendidik yang menyenangkan dan dicintai oleh pesera didiknya, sebagai berikut :

(33)

a. Menjadi orang tua yang penuh kasih sayang pada peserta didiknya.

b. Menjadi teman, tempat mengadu, dan mengnutarakan perasaan peserta didiknya.

c. Menjadi fasilitator, yang selalu siap memberikan kemudahan, melayani peserta didik sesuai minat peserta didiknya.

d. Memiliki kemampuan dan bakat yang memadai.

e. Memberikan sumbangan pemikiran kepada orang tua untuk dapat mengetahui permasalahan yang dihadapi anak dan memberikan saran pemecahannya.

f. Memupuk rasa percaya diri, berani dan bertanggung jawab kepada peserta didik.

g. Mampu menjadi wadah untuk membiasakan peserta didik saling bersilathurrahim.

h. Menjadi solusi ketika diperlukan .

Setelah penulis mencermati beberapa kepribadian tersebut, yang harus dimiliki oleh seorang pendidik, penulis mengambil kesimpulan bahwa, ternyata tidaklah mudah untuk menjadi seorang pendidik. Kepribadian seorang pendidik harus merupakan refleksi dari nilai-nilai Islam yang dianutnya. Pendidik yang baik tetap harus terus berproses untuk meningkatkan kualitas ilmu, trategis pembelajaran, maupun kepribadiannya, karena seorang pendidik yang merasa sudah baik berarti ia bukan pendidik yang baik karena hal tersebut merupakan pertanda bahwa ia enggan berproses untuk menjadi lebih baik.

Pendidik yang ideal adalah pendidik yang pada saat yang bersamaan siap menjadi peserta didik yang baik, yang senantiasa menuntut ilmu dan keterampilan sundul langit, dan merupakan sikap

(34)

mandiri dalam belajar, yaitu tetap terus belajar, meskipun ia telah menjadi pengajar.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam penelitian library research, yaitu serangkaian kegiatan penelitian yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca serta mengolah bahan penelitian., (Mestika Zed, 2008 : 3).

2. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi. Istilah dokumentasi berasal dari kata document yang artinya barang-barang tertulis di dalam melaksanakan

sebuah penelitian., (Ridwan, 2005 : 77). Disini penulis bermaksud mencari data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, dan lain-lain yang terkait dengan penelitian.

a. Sumber Data

Karena penelitian ini merupakan studi terhadap pemikiran seorang tokoh, maka data-data yang dipergunakan lebih merupakan data pustaka.

(35)

Ada dua macam data yang dipergunakan, yakni data primer dan data sekunder.

1). Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari objek yang diteliti.

Jadi data primer dalam penelitian ini adalah buah pikiran Imam Al- Ghazali yang dituangkan dalam bentuk buku ditulis oleh Imam Al- Ghazali sendiri.

2). Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang sudah tersedia sehingga peneliti tinggal mencari dan mengumpulkan untuk digunakan sebagai pendukung data primer. Pada umumnya, data sekunder ini sebagai penunjang data primer. Dalam hal ini seluruh karya buku, artikel, yang berkaitan dengan pokok penelitian serta interpretasi pihak lain terhadap pemikiran Imam Al-Ghazali termasuk ke dalam data sekunder.

3. Metode Analisis Data

Berdasarkan data yang diperoleh untuk menyusun dan menganalisa data yang terkumpul maka penulis memakai metode Deskriptif Analitik. Kerja dari metode deskriptif analitik adalah dengan cara menganalisis data yang diteliti dengan memaparkan data tersebut kemudian diperoleh kesimpulan. Metode deskriptif analitik ini penulis

(36)

biografi dan kerangka metodologis pemikiran Imam Al-Ghazali. Selain itu metode ini juga akan penulis gunakan ketika menggambarkan dan menganalisa pemikiran Imam Al-Ghazali tentang esensi etika pendidik dan peserta didik dalam pendidikan Islam.

Untuk mempertajam analisis, metode content analysis (analisis isi) juga penulis gunakan. Content analysis (analisis isi) digunakan melalui proses mengkaji data yang diteliti.

4. Teknik Pengelolaan Data

Seluruh data yang dihimpun melalui riset kepustakaan semua data bersifat kualitatif, yaitu mengungkapan data melalui deskripsi (pemaparan), sehingga pengelolaannya yaitu mengadakan dan mengemukakan sifat data yang diperoleh kemudian dianalisa lebih lanjut guna mendapatkan kesimpulan.

(37)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Etika, Moral dan Akhlak 1. Konsep Etika

Menyebut kata etika kebanyakan orang memandangnya sama saja dengan istilah akhlak, Moral, dan Nilai.

Menurut, Manpan Drajat dan M. Ridwan Effendi (2014 : 7) : Secara etimologi, etika adalah ajaran tentang baik buruk, yang diterima umum tentang sikap, perbuatan, kewajiban dan sebagainya. Pada hakikatnya moral menunjuk pada ukuran- ukuran yang telah diterima oleh suatu komuitas, sementara etika umumnya lebih dikaitkan dengan prinsip-prinsip yang dikembangkan di berbagai wacana etika.

Akhir-akhir ini istilah etika mulai digunakan secara bergantian dengan filsafat moral sebab dalam banyak hal, filsafat moral juga mengkaji secara cermat prinsip-prinsip etika.

Zaim Elmubarok, (2008 : 27)

Bagi para sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu.

Etika berkaitan dengan pemikiran dan cara bersikap dalam kerangka pemikiran, dan sementara dalam pengertian perilaku, etika erat hubungannya dengan keputusan yang sejalan dengan seperangkat pedoman yang menyangkut perolehan yang mungkin dan akibat yang merugikan orang lain.

(38)

Dari penjelasan di atas dapat dipahami makna etika yang secara garis besar merupakan perbuatan-perbuatan atau sikap yang dilakukan manusia bukan berdasarkan ego pribadi yang bersumber pada kebudayaan. Dan etika adalah salah satu kaidah untuk menjaga terjadinya interaksi antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnnya secara wajar.

2. Konsep Akhlak

Akhlak tidak hanya sekedar the art of living yang mengajarkan bagaimana cara hidup bahagia, atau bagaimana memperoleh kebahagiaan tetapi juga merupakan ilmu yang harus dipelajari dan dipraktikkan sebelum ilmu yang lainnya.

Akhlak juga merupakan salah satu bahasan yang menjadi perhatian Ibnu Qayyim. Beliau terkenal sebagai ahli sufi dan ahli ushul fiqh, tetapi beliau juga seorang pendidik.

Fariq Gasim Anus (2009 : 12)

Secara etimologis kata akhlak berasal dari bahasa Arab

khuluq

bentuk jamak dari mufradnya

khuluq

yang berarti budi pekerti.

Menurut Muslim Nurdin (dikutip dari Manpan Drajat, 2014 : 18) Akhlak adalah system nilai yang mengatur pola sikap dan tindakan mausia di atas muka bumi. Sistem nilai yang dimaksud adalah ajaran Islam yang berpedoman kepada al-Qur’an danas-Sunnah Nabi Muhammad saw sebagai sumber utama, ijtihad sebagai sumber berfikir Islami.

(39)

Dengan demikian dapat dipahami bahwa akhlak yang telah dijelaskan di awal merupakan bagian dari dari pendidikan. Dan asal dari akhlak adalah bahasa Arab sperti yang telah dijelaskan di atas.

3. Konsep Moral

Rachmat Djatnika, (1996 : 26) :

Kata moral dalam bahasa Indonesia berasal dari kata bahasa latin mores yang berarti adat kebiasaan. Kata mores ini mempunyai sinonim mos, moris, manner mores, manners, morals. Kata moral berarti akhlak atau kesusilaan yang menyandung makna tata tertib batin atau tata terbit hati nurani yang menjadi pembimbing tingkah laku batin dalam hidup.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa moral merupakan suatu perbuatan praktikal dari penjabaran tentang etis, oleh karenanya kata moral selalu didekatkan dengan pemaknaan susila atau perbuatan manusai.

B. Etika dan Macam-Macam Etika 1. Pengertian Etika

Etika berkaitan dengan pemikiran dan cara bersikap dalam kerangka pemikiran, sementara dalam pengertian perilaku, etika erat hubungannya dengan keputusan yang sejalan dengan seperangkat pedoman yang menyangkut perolehan yang mungkin dan akibat yang merugikan orang lain.

(40)

Para pakar, berbeda dalam memberikan defenisi etika, antara lain :

Menurut, Nurcholis Madjid, (2008 : 461) :

Etika berasal dari ethos yang merupakan bentuk tunggal yang bisa memiliki banyak arti, baik tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak, perasaan, sikap, dan cara berpikir yang sebanding dengan moral dari kata mos. Bentuk jamaknya adalah ta etha yang berarti adat kebiasaan.

Menurut, Manpan Drajat dan M. Ridwan Effendi (2014 : 7) : Secara etimologi, etika adalah ajaran tentang baik buruk, yang diterima umum tentang sikap, perbuatan, kewajiban dan sebagainya. Pada hakikatnya moral menunjuk pada ukuran- ukuran yang telah diterima oleh suatu komuitas, sementara etika umumnya lebih dikaitkan dengan prinsip-prinsip yang dikembangkan di berbagai wacana etika.

Menurut, Black, dalam, Sjarkawi, (2014 : 27) : “Etika adalah ilmu yang mempelajari cara manusia memperlakukan sesamanya dan apa arti hidup yang baik.

Menurut, Zainuddin Ali, (2014 : 29) : “Kata etika berasal dari bahasa Yunani yang berarti adat kebiasaan. Hal ini berarti sebuah tatanan perilaku berdasarkan suatu system nilai dalam masyarakat tertentu.”

Menurut, Sjarkawi, (2014 : 27) :

Etika adalah sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma yang menentukan dan terwujud dalam sikap serta pola perilaku hidup manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota kelompok.

Menurut, R. Waine Pace (2000 : 542) :

(41)

Etika berkaitan dengan pemikiran dan cara bersikap dalam kerangka pemikiran, etika terdiri dari evaluasi masalah dan keputusan yang diprioritaskan seseorang, misalnya anggota organisasi untuk menghindari akibat yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain, sementara dalam pengertian perilaku, etika erat hubungannya dengan keputusan yang sejalan dengan seperangkat pedoman yang menyangkut perolehan yang mungkin akibat yang merugikan orang lain.

Menurut, Zaim Elmubarok (2008 : 27) : “Etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental, bagaimana manusia harus hidup dan bertindak.”

Menurut, Ondi Saondi, dan Aris Suherman, (2012 : 90) : “Etika adalah aturan perilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan manusia antara sesamanya dan menegaskan mana ayang benar dan mana yang buruk.”

Menurut, Manpan Drajat dan M. Ridwan Effendi (2014 : 9) : Bagi filosof barat bahwa etika adalah perbuatan-perbuatan yang berdasarkan pada akal atau rasio. Orang yang berakhlak berarti orang yang sering menggunakan control rasio, dan bukan emosi atau hawa nafsunya.

Berbagai pendapat semacam ini pun tidak dapat dijadikan standar tentang defenisi etika yang sesungguhnya, karena hanya menekankan pada standar etika adalah akal. Dengan demikian dalam pengertiannya ini, etika berarti suatu perbuatan rasional yang berdasarkan akal, bukan berdasarkan hawa nafsu, emosi atau

(42)

Defenisi etika menurut para ahli tersebut, penulis memberikan kesimpulkan bahwa, etika adalah sebuah ilmu bukan sebuah ajaran, yang memberi kita norma tentang bagaimana kita harus hidup adalah moralitas. Sedangkan etika justru melakukan refleksi kritis atau norma atau ajaran moral tertentu. Atau kita bisa juga mengatakan bahwa moralitas adalah petunjuk konkret yang siap pakai tentang bagaimana kita harus hidup. Sedangkan etika adalah perwujudan dan pengejawantahan secara kritis dan rasional ajaran moral yang siap pakai itu. Keduanya mempunyai fungsi yang sama, yaitu memberi kita orientasi bagaimana dan kemana kita harus melangkah dalam hidup ini.

Etika dalam perkembangannya sangat memengaruhi kehidupan manusia. Etika memberi manusia bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan sehari-hari, dalam rangka membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat dalam menjalani hidup ini, yang pada akhirnya etika membantu untuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu dilakukan dan yang perlu untuk ditinggalkan.

Etika tidak lansung membuat manusia menjadi lebih baik, melainkan etika merupakan sarana untuk memperoleh orientasi kritis berhadapan dengan berbagai moralitas yang membingungkan.

(43)

Etika ingin menampilkan keterampilan intelektual, yaitu kemampuan untuk berargumentasi secara rasional dan kritis, dengan demikian, namun etika juga dapat dijadikan sebagai sarana untuk membentuk kepribadian yang baik, berakhlak mulia, dan budi pekerti yang luhur.

Etika dilihat dari sudut pandang arti, mempunyai tiga bagian, yaitu :

1. Etika dalam arti nilai-nilai atau norma-norma.

Menurut, Sjarkawi, (2014 : 27), bahwa :

Etika dalam arti nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok yang dalam mengatur tingkah laku. Pengertian ini bisa dirumuskan juga sebagai suatu sistem nilai yang dapat berfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun pada tataran sosial.

2. Etika dalam arti kumpulan asas

Menurut, Sjarkawi, (2014 : 27) : “Etika dalam kumpulan asas, dalam artian ini, etika dimaksudkan sebagai kode etik.”

3. Etika dalam arti ilmu

Menurut, Sjarkawi, (2014 : 27) :

Etika dalam arti ilmu, adalah tentang yang baik atau buruk. Etika baru menjadi ilmu apabila kemungkinan-kemungkinan etis (asas dan nilai yang dianggap baik atau buruk) yang begitu saja diterima oleh masyarakat seringkali tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis.

(44)

2. Macam-Macam Etika

Ada dua macam etika yang harus dipahami dalam menentukan baik dan buruknya perilaku manusia, yaitu :

a. Etika Deskriftif

Menurut, Ondi Saondi, dan Aris Suherman, (2012 : 91) : “Etika deskriftif adalah etika yang berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan perilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai.”

Etika deskriftif, pada dasarnya memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang perilaku atau sikap yang ingin diambil.

b. Etika Normatif

Menurut, Ondi Saondi, dan Aris Suherman, (2012 : 91) : “Etika normative adalah etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola perilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai.”

Etika normatif, pada akhirnya akan memberikan penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan.

(45)

C. Pendidik, dan Peserta Didik 1. Pengertian Pendidik a. Pengertian Pendidik

Undang-Undang Guru dan Dosen RI No. 14 Tahun 2005 Pasal 1 Ayat 1 (Sinar Grafika, 2014 : 3)

Guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.

Pengertian pendidik dari defenisi yang dikemukakan oleh Undang-Undang Guru dan Dosen RI No. 14 Tahun 2005 di atas, sudah memberikan penjelasan yang sangat jelas dan mendalam terkait tugas dan fungsi pendidik dalam dunia pendidikan.

Para pakar pendidikan juga memberikan beberapa defenisi pendidik, namun berbeda dalam memberikan defenisi pendidik, karena menggunakan pendekatan dan penekanan yang berbeda, antara lain:

Menurut, Bukhari Umar, (2014 : 68) :

Pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap upaya perkembangan jasmani dan rohani peserta peserta didik agar mencapai tingkat kedewasaan sehingga ia mampu menunaikan tugas-tugas kemanusiaannya (baik sebagai khalifah maupun abid) sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.

Bukhari Umar, dalam defenisinya tersebut terkait pendidik, memberikan penekanan kepada fungsi dan fitrah manusia yang harus dibangun oleh pendidik terhadap peserta didik.

(46)

Menurut, Ahmad Tafsir, (2004 : 36) : “Guru adalah pendidik yang memegang mata pelajaran di sekolah.

Menurut, Ahmad D. Marimba, (1980 : 37) : “Pendidik sebagai orang yang memikul pertanggung jawaban untuk mendidik, yaitu manusia dewasa yang karena hak dan kewajibannya bertanggungjawab tentang pendidikan peserta didik.

Istilah lain yang lazim dipergunakan untuk pendidik adalah guru.

Kedua istilah tersebut berhampiran artinya, bedanya ialah istilah guru seringkali dipakai di lingkungan pendidikan formal, sedangkan pendidik sering digunakan di lingkungan formal, informal, dan non formal.

Dengan demikian guru dapat disebut pendidik dan begitu pula sebaliknya, begitupun sebaliknya pendidik dapat disebut guru.

Pendidik dalam pendidikan Islam ialah setiap dewasa yang karena kewajiban agamanya bertanggung jawab atas pendidikan dirinya dan orang lain, yang menyerahkan tanggung jawab dan amanat pendidikan adalah agama, dan wewenang pendidik dilegitimasi oleh agama, sementara yang menerima tanggung jawab dan amanat ialah setiap orang dewasa, ini berarti bahwa pendidik merupakan sifat yang lekat pada setiap orang karena tanggungjawabnya atas pendidikan.

Penulis mencoba menarik kesimpulan setelah melihat dan menelaah beberapa defenisi pendidik yang telah diungkapkan oleh pakar-pakar pendidikan. Bahwa pada dasarnya pendidik adalah

(47)

seorang yang bertugas menghilangkan kebodohan terhadap peserta didik, membimbing, mengarahkan, dan mengubah pola hidup dari ketidak dewasaan menuju kedewasaan peserta didik.

Pada prinsipnya, dalam konteks ini seorang pendidik bukan hanya terbatas pada orang yang bertugas di sekolah, dan juga bukan pendidik yang sebatas transformasi ilmu kepada peserta didik, namun melalaikan perubahan.

b. Syarat-Syarat Pendidik

Guru adalah pendidik professional, karenanya secara implicit ia telah merelakan dirinya menerima dan memikul sebagian tanggung jawab pendidikan yang terpikul di puncak para orang tua. Mereka ini, tatkala menyerahkan anaknya ke sekolah, itu berarti sekaligus mereka melimpahkan sebagian tanggung jawab pendidikan anaknya kepada guru/pendidik. Hal itupun menunjukkan pula bahwa orang tua tidak mungkin menyerahkan anaknya kepada sembarang pendidik/sekolah karena tidak sembarang orang dapat menjabat guru.

Menurut, Zakiah Daradjat, (2014 : 40) :

Pendidik yang baik dan diperkirakan dapat memenuhi tanggung jawab yang dibebankan kepadanya hendaknya bertaqwa kepada Allah, berilmu, sehat jasmaninya, baik akhlaknya, bertanggung jawab dan berjiwa sosial.

Lanjut, Zakiah Daradjat, (2014 : 41) :

Untuk menjadi seorang pendidik yang dapat mempengaruhi

(48)

sesungguhnya tidak ringan, artinya ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu ;

1. Taqwa kepada Allah sebagai syarat menjadi pendidik.

2. Berilmu sebagai syarat untuk menjadi pendidik.

3. Sehat jasmani sebagai syarat menjadi penjadi pendidik.

4. Berkelakuan baik sebagai syarat menjadi pendidik, meliputi:

a. Mencintai jabatannya sebagai pendidik.

b. Bersikap adil terhadap semua murid.

c. Berlaku sabar dan tenang.

d. Pendidik harus berwibawa.

e. Pendidik harus gembira

f. Pendidik harus bersikap manusia

g. Bekerja sama dengan pendidik-pendidik yang lain.

h. Bekerja sama dengan masyarakat.

2. Pengertian Peserta Didik

Salah satu komponen penting dalam system pendidikan adalah adanya peserta didik, sebab seseorang tidak bisa dikatakan sebagai pendidik apabila tidak ada peserta didik yang dididiknya. Peserta didik merupakan masukan dalam proses pendidikan.

Para pakar telah banyak memberikan pengertian mengenai peserta didik, dan para pakar berbeda dalam memberikan defenisi, antara lain, sebagaimana berikut :

Menurut, Samsul Nizar, (2002 : 25). “Peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memilki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan.”

Menurut, Ani Setiani, dan Donni Juni Priansa, (2015 : 47) : Peserta didik adalah individu yang membutuhkan bimbingan individual, dan perlakuan manusiawi, sehingga ia akan

(49)

membutuhkan untuk berinteraksi dan bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan yang ada di sekitarnya.

Sedangkan, Undang-Undang Republik Indonesia, No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam Pasal 1 Ayat 4, di dalam, Ani Setiani, dan Donni Juni Priansa, (2015 : 46).

“Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur jenjang dan jenis pendidikan tertentu.

Beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa peserta didik adalah orang yang mempunyai fitrah (potensi) dasar, baik secara fisik maupun psikis, yang perlu dikembangkan, untuk mengembangkan potensi tersebut sangat membutuhkan pendidikan dari pendidik yang tentunya professional.

(50)

BAB III

BIOGRAFI IMAM AL-GHAZALI A. Nama, dan Nasab

Menurut, Sunardji Dahri Tiam, (2014 : 121) :

Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Nama Al-Ghazali diambil dari nama sebuah tempat beliau dilahirkan. Beliau lahir pada tahun 1059 M/ 450 H di Gazaleh, suatu kota kecil yang terletak di dekat kota Thusia di Kurasan, Iran. Di kota yang sama, beliau wafat setelah lebih dahulu mengembara, pada tahun 1111 M/ 505 M.

Menurut, Ali Muhammad Ash-Shallabi, (2015 : 45) :

Mengenai nasabnya, sebagian ulama berpendapat bahwa ia bernasab “ghazalah”-huruf za’ tanpa di tasydid, yaitu nama tempat ia dilahirkan, Mengenai nama nasabnya dapat dibenarkan dari tinjauan bahasa (linguistik). Tapi sebagian ulama lainnya menasabkannya pada “al-ghazzali”-huruf za’ bertasydid, dari kata

“ghazzal” (pemintal) berkaitan erat dengan profesi ayahnya.

Pendapat kedua pun dibenarkan dari sisi bahasa (linguistik).

B. Kelahiran dan Pertumbuhannya

Ali Muhammad Ash-Shallabi, (2015 : 45), menjelaskan sebagaimana berikut :

Imam Al-Ghazali, dilahirkan di Thusia (Thusia adalah sebuah kota di Khurasan yang terletak di timur Iran, sekarang bernama Bashar) pada tahun 450 H. Adapun ayahnya seorang hamba yang shaleh lagi bersahaja dalam kehidupannya. Ia tidak akan makan kecuali dari rezki yang diperolehnya, yakni dengan memintal kain wol kemudian menjualnya di tokohnya di Thusia. Pada saat waktu senggang, ayahnya pergi berkeliling ke majelis taklim para ulama serta melayani mereka sebaik-baiknya, menjalin hubungan baik, serta belajar dengan mereka. Ketika mendengarkan perkataan para ulama ia lantas menangis dan menghibahkan diri kepada Allah SWT agar dianugrahi seorang anak yang cerdas lagi

(51)

berilmu. Allah pun mengabulkan permintaannya dengan mengaruniakan dua putra, bernama Abu Hamid dan adiknya bernama Ahmad.

Uraian tersebut menggambarkan bahwa keluarga Imam Al- Ghazali adalah keluarga yang sederhana, namun dalam kesederhanaannya, keluarga Imam Al-Ghazali tetap menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran Islam, yang dinampakkan dengan menjaga keluarga dari makanan-makanan yang haram, karena tentunya hal tersebut berdampak besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan fisik, psikologis, dan akhlak bagi anak.

Suratan nasib berbicara lain, sang ayah tidak dapat melihat harapannya telah terpenuhi dan doanya telah terkabulkan. Ia wafat ketika Abu Hamid masih belia. Sedangkan ibunya dikaruniai oleh Allah SWT umur panjang hingga dapat melihat masa keemasan anaknya dalam singgasana kemuliaan dan menduduki tahta ilmuwan kharismatik pada masa itu.

Menurut, Sunardji Dahri Tiam, (2014 : 121) :

Pertama-tama, ia mempelajari ilmu agama di kota kelahirannya, kemudian pindah ke jurjan dan pindah lagi ke Nisabur. Di kota ini, beliau berguru kepada seorang ulama besar dan masyhur dalam ilmu pengetahuan agama yaitu l-Kharomaini al-Juwaini. Dengan perantaraan gurunya ini, Al-Ghazali berkenalan dengan Perdana Menteri Sultan Saljuk Malik Syah di Baghdad yang bernama Nizamul Mulk (pendiri Madrasah Nizamiyah 1091 M). Al-Ghazali diangkat menjadi pendidik di madrasah tersebut sampai enam tahun lamanya. Selama di Baghdad, setiap setelah mengajar, Al- Ghazali juga memperdalam berbagai disiplin ilmu, termasuk ilmu

(52)

kecerdasannya. Buah pikirannya menarik perhatian banyak ulama,sehingga banyak yang menghadir ceramahnya.

Penuturan tersebut memberikan gambaran yang sangat besar terkait dengan perjalanan besar Imam Al-Ghazali dalam menuntut ilmu, dilihat dari sudut pandang pendidikan, penuturan tersebut telah menggambarkan bagaimana perjuangan Imam Al-Ghazali dalam menuntut ilmu, yang rela meninggalkan kampung halamannya dalam rangka menuntut ilmu, dan semua itu demi mempersipakan hati menerima ilmu, dan perjuangan Imam Al-Ghazali tersebut membuahkan hasil yang amat sangat luar biasa, terbukti di usianya yang masih muda Imam Al-Ghazali telah dikenal di kalangan ulama- ulama besar di Baghdad dan dikenal pula oleh perdana menteri, yang merupakan pendiri Madrasah Nizamiyah, dan pada saat yang sama Imam Al-Ghazali juga telah diangkat menjadi pendidik sampai enam tahun lamanya.

Sikap Imam Al-Ghazali yang senantiasa memperdalam berbagai disiplin ilmu setiap selesai mengajar, memberikan keteladanan besar kepada dunia pendidikan bahwa, menjadi seorang pendidik tidak mengharuskan diri untuk menutup diri dari menuntut ilmu, dan ini pula yang menggambarkan bahwa Imam Al-Ghazali adalah sosok pendidik yang tawadhu, tidak pernah merasa cukup dari

(53)

ilmu yang dimilikinya, tidak pernah merasa bosan dan harus terus kerja keras dalam menuntut ilmu.

Lanjut, Sunardji Dahri Tiam, (2014 : 121)

Al-Ghazali ditimpa keragu-raguan tentang kegunaan pekerjaannya, sehingga ia jatuh sakit yang tidak bisa diobati dengan obat-obatan lahir. Keragu-raguan itu pada mulanya timbul dari pelajaran ilmu kalam yang dipelajari dari gurunya Al-Juwaini.

Sebagaimana yang diketahui, bahwa dalam ilmu kalam terdapat banyak aliran yang saling bertentangan, sehingga muncul pertanyaan dalam pikirannya, aliran manakah yang benar di antara semua aliran tersebut. Karena keragu-raguan itu, ia akhirnya meninggalkan pekerjaannya sebagai pendidik dan pindah ke Damsyik. Di kota inilah, Al-Ghazali banyak merenung, membaca, dan menulis. Setelah Al-Ghazali puas dengan ilmu kalam dan filsafat yang menjadikannya ditimpa penyakit ragu-ragu, beliau menemukan jalan hidupnya yang dapat menghilangkan keragu-raguan yang telah lama mengganggu dirinya. Akhirnya, beliau yakin bahwa itulah jalan yang selama ini dicari-cari. Jalan itu adalah tasawwuf, dengan tasawwuf Al-Ghazali memperoleh keyakinan kembali.

Setelah Imam Al-Ghazali ditimpa penyakit keragu-raguan akibat dari ilmu kalam yang dipelajarinya, dan menemukan jalan tasawwuf Imam Al-Ghazali kemudian pindah ke Palestine dengan mengambil tempat di Masjid Baitul Maqdis, disanapun, beliau tetap merenung, membaca dan menulis, kemudian tergerak hatinya untuk beribadah haji, sampai beliau melaksanakannya. Setelah melaksanakan ibadah haji, beliau lansung pulang ke tempat kelahirannya (kota Tus).

Sebagaimana biasanya, beliau tetap merenung, membaca dan menulis. Tetapi, atas dasar desakan penguasa pada masa itu, Imam

(54)

mengajar, namun tidak berlansung lama, kurang lebih hanya dua tahun. Kemudian, beliau kembali lagi ke kota tempat kelahirannya, dan disana beliau mendirikan sekolah khusus bagi para mutasawwifin.

Kemudian, di kota kelahirannya ini, beliau meninggal dunia dalam usia 54 tahun, tepatnya pada tahun 1111 M atau tahun 505 H.

C. Konstribusi dan Karya-Karyanya

Puluhan ratusan buku telah ditulisnya, yang meliputi bermacam- macam disiplin ilmu pengetahuan, antara lain ilmu kalam, ilmu fiqhi, ilmu tasawwuf, tafsir, akhlak dan filsafat. Karena begitu luasnya ilmu Al-Ghazali, maka selama hidupnya ia berhasil menentang anasir- anasir dari luar (filsafat) yang sangat membahayakan kepercayaan Islam, dan berhasil memberikan tuntunan yang sesuai dengan syari’at agama Islam terhadap perkembangan mistik yang keterlaluan, yang dinilainya sangat membahayakan amal syari’at Islam. Oleh karena itu, setelah wafatnya, Al-Ghazali dijuluki orang sebagai Hujjatul Islam.

Ali Muhammad Ash-Shallabi, (2015 : 55), membagi karya Imam Al-Ghazali ke dalam enam periode, antara lain ;

Periode pertama (465 H – 478 H).

- ِﺐِﻫ اَﺬَﻤْﻟا ِعْوُﺮُـﻓ ِﰲ ُﺔَﻘْـﻴِﻠْﻌﱠـﺘﻟا

-

ُﺦْﻨَﻤْﻟا

ِﰲ

ِلْﻮُﺻُأ

ِﻪْﻘِﻔﻟا

(55)

Periode kedua (478 H – 488 H).

- ِﺐِﻫاَﺬَﻤْﻟا ِعْوُﺮُـﻓ ِﰲ ُﻂِﺳﺎَﺒْﻟا

- ِﺐِﻫاَﺬﳌا ِعْوُﺮُـﻓ ِﰲ ُﻂِﺳاَﻮْﻟا

- ُﺰ ِﺟاَﻮْﻟا

- ِﺮَﺼَﺘْﺌﳌا ُةَﻮَﻘَـﻧ َو ِﺮَﺼَﺘْﺨُﻤْﻟا ُﺔَﺻ َﻼُﺧ

- ِلَﺪْﳉا ِﻢْﻠِﻋ ِﰲ ُﻞِﺤْﺘْﻨﳌا

- ِف َﻼِْﳋا ُﺬِﺧﺎَﻌَﻣ

- ُﺾِﻛ ﺎَﻌﳌا ُْﲔِﺴَْﲢ

- ُﺔَﻳﺎَﻐﻟا َو ُئِدﺎَﺒﳌا

- ُﻞِﻟﺎِﻐﻟا ُعﺎَﻔِﺷ

- ُْﲔِﻔْﺸَﺗ ِﻦْﺑِإ ِل ٌةَﻮْـﺘَـﻓ

- ُﺔﱠﻳِﺪْﻳِﺰَﻴﻟا ُةَﻮْـﺘَﻔﻟا

- ُﺔَﻔِﺻ َﻼَﻔﻟا ُﺪِﺻﺎَﻘَﻣ

- ُﺔَﻔِﺻ َﻼَﻔﻟا ُفﺎََﲢ

- ِﻢْﻠِﻌﻟا ُرﺎَﻴْﻌِﻣ

-

ِلْﻮُﻘُﻌﻟا ُرﺎَﻴْﻌِﻣ

Referensi

Dokumen terkait

Ketiga, relevansi teori Imām An -Nawaw ῑ tentang etika pendidik dan peserta didik terhadap pendidikan modern yang dibandingkan dengan empat kompetensi yang harus dimiliki

Dengan adanya beberapa sifat yang harus dimiliki dari seorang pendidik ataupun dari seorang peserta didik yang sudah dijelas- kan oleh Imam Al-Ghazali maka akan tercipta

4) Bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar. 156 Dengan demikian pendidik tidak hanya menjadi contoh yang baik di madrasah, tetapi pendidik harus menjadikan

Konsep etika pembelajaran menurut Imam Al Ghazali diklasifikasikan menjadi sebelas poin, yaitu: Mendahulukan kebersihan jiwa dari akhlak yang rendah, mengurangi

§  Notifikasi WhatsApp ke PIC satuan pendidikan untuk skrining masuk warga internal (pendidik, tenaga kependidikan, peserta didik). §  Tidak klaster satuan

Sama banyaknya dan mutunya (kuantitas dan b. Serah terima dalam satu majelis. Tiga syarat tersebut dimaksudkan untuk mencegah adanya unsur riba dalam tukar menukar,

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa etika peserta didik perspektif imam al ghazali terlah dalam kitab ihya’ ulumuddin yaitu, Seorang peserta didik harus membersihkan /

Oleh sebab itu, instrumen integrated science test ini menjadi salah salah satu alternatif bagi pendidik untuk mengukur dan melatihkan HOTs peserta didik