• Tidak ada hasil yang ditemukan

Etika Pertukaran dalam Islam Menurut Imam al-Ghazali

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Etika Pertukaran dalam Islam Menurut Imam al-Ghazali"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

MENURUT IMAM AL-GHAZALI

Ahmad Majdi Tsabit

Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Guluk-Guluk Sumenep ahmad_majdi86@yahoo.com

Abstrak

Etika sebagai refleksi kritis-sistematik atas perilaku manusia sebagai manusia yang berhubungan dengan norma-norma moral. Para pebisnis akan mendahulukan pertimbangan-pertimbangan rasional. Salah satu tindakan khas manusia adalah di bidang ekonomi atau bisnis adalah meraup keuntungan. Etika bisnis juga merupakan kekhasan manusia di bidang bisnis, yakni para pebisnis dan semua yang terkena dampak bisnis. Etika bisnis merupakan refleksi kritis-sistematik atas moralitas manusia dalam berbisnis. Hal yang direfleksikan adalah perilaku dan tindakan konkret manusia, baik pebisnis atau semua orang yang terjaring dalam bisnis. Sebelum mengenal uang, manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya menggunakan sistem barter. Barter tidak hanya menjadi masalah pokok dalam bidang ekonomi, akan tetapi juga dalam lingkup soisal. Sebab, dalam kehidupan manusia, setiap orang tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Hal ini di dasari bahwa tidak ada seorangpun yang benar-benar mandiri karena satu sama lain saling membutuhkan dan saling mengisi. Pada awalnya, sistem barter tersebut sangat mudah dan sederhana, namun kemudian dalam perkembangan kebutuhan masyarakat membuat sistem barter ini menjadi sulit dan muncul banyak kekurangan. Di antaranya adalah kesulitan mencari keinginan yang sesuai antara orang-orang yang melakukan transaksi serta kesulitan untuk mewujudkan kesepakatan yang mutual, perbedaan ukuran barang, jasa dan sebagian barang yang tidak bisa di bagi-bagi, serta kesulitan untuk mengukur standar harga seluruh barang dan jasa. Dari beberapa kesulitan tersebut, maka manusia lalu mencari alat tukar yang berkembang menjadi uang. Rasullullah SAW menyadari kesulitan-kesulitan dan kelemahan-kelemahan sistem pertukaran dengan cara barter ini, lalu beliau menggantinya atau memperbolehkan menggantinya dengan sistem pertukaran melalui uang. Hal inilah yang melatarbelakangi munculnya teori Uang yang dikemukakan oleh al-Ghazalî.

(2)

Pendahuluan

Kegiatan bisnis merupakan sebuah sistem ekologis yang sangat terkait dengan lingkungan sekitarnya. Sebagai sebuah sistem, kegiatan bisnis yang dilakukan oleh seseorang tidak dapat dilepaskan dari kegiatan masyarakat. Kegiatan bisnis tidak hanya berupaya untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan masyarakat saja, namun juga bertujuan untuk menyediakan sarana-sarana yang dapat menarik minat dan perilaku membeli masyarakat. Secara umum, kegiatan bisnis memiliki maksud dan tujuan yang terkait dengan faktor keuntungan bisnis. Akan tetapi, pengertian keuntungan memiliki makna yang berbeda bagi setiap individu atau kelompok yang menjalankan kegiatan bisnis karena menyangkut perbedaan keyakinan tentang nilai-nilai, normatif, sikap, perilaku dan persepsi pelaku bisnis dalam mengelolanya.

Dalam bisnis, keuntungan bukanlah satu-satunya maksud dan tujuan dari kegiatan bisnis. Oleh karena itu, kegiatan bisnis harus dijalankan dengan berlandaskan pada nilai-nilai etika yang berlaku di masyarakat. Selain itu, kegiatan bisnis juga harus mampu berfungsi sebagai kegiatan sosial yang dilakukan dengan mengindahkan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Nilai dan norma tersebut berada dalam satu makna, yaitu etika. Mengejar keuntungan pribadi tanpa memperdulikan

(3)

pihak lain bahkan dapat merugikan orang lain harus dihindari dalam melakukan kegiatan bisnis.1

Sejalan dengan perkembangan jaman yang semakin maju serta laju perekonomian dunia yang semakin cepat, dan diberlakukannya sistem perdagangan bebas sehingga batas kita dan batas dunia akan semakin "kabur" (borderless) world, membuat semua kegiatan saling berpacu satu sama lain untuk mendapatkan kesempatan (opportunity) dan keuntungan (profit). Kadangkala untuk mendapatkan kesempatan dan keuntungan, memaksa orang untuk menghalalkan segala cara tidak peduli ada pihak yang dirugikan atau tidak.2

Dengan kondisi seperti ini, para pelaku bisnis jelas akan semakin berpacu dengan waktu serta Negara-negara lainnya agar terwujud suatu tatanan perekonomian yang saling menguntungkan. Namun perlu dipertanyakan bagaimana jadinya jika pelaku bisnis dihinggapi kehendak saling "menindas" agar memperoleh tingkat keuntungan yang berlipat ganda. Inilah yang merupakan tantangan bagi etika bisnis.

Etika merupakan pedoman moral bagi suatu tindakan manusia terkait dengan tindakan baik atau buruk. Agama merupakan kepercayaan akan sesuatu kekuatan yang mengatur

1 Annisa Mardatillah, “Etika Bisnis dalam Perspektif Islam” Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Riau, JIS (Vol.6.No.1. April 2013) ISSN : 1979-2840., 89.

2 R. Alessandro, Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Bisnis. dalam

http://ramaalessandro2.multiply.com/journal/item/3/ETIKA_BISNIS_dan_ta nggung_jawab_sosial_bisnis. Diakses pada 25 Oktober 2017.

(4)

serta mengendalikan kehidupan manusia. Praktik ekonomi, bisnis, wirausaha ataupun kegiatan lainnya yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, harus berdasarkan aturan-aturan ekonomi, baik yang bersifat rasional maupun berdasarkan nilai-nilai keagamaan.3

Etika dalam bisnis berfungsi sebagai pedoman dalam memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan moral dalam praktik bisnis. Oleh karena itu, dalam rangka mengembangkan sistem ekonomi Islam, khususnya dalam upaya revitalisasi perdagangan Islam sebagai bentuk jawabant erhadap kegagalan sistem ekonomi yang sudah ada, yaitu kapitalisme dan sosialisme. Oleh sebab itu, menggali serta menerapkan nilai-nilai dasar tentang aturan berbisnis yang terdapat dalam al-qur’an dan hadits merupakan suatu keniscayaan untuk senantiasa dilakukan.4

Ada dua kesan umum yang biasanya muncul ketika orang mewacanakan etika bisnis. Kesan pertama bahwa profesi bisnis itu merupakan sesuatu yang rendah dan hina. Kesan ini muncul dari pengalaman konkret sehubungan dengan proses pencapaian tujuan bisnis, maksimalisasi keuntungan yang kerap menghalalkan berbagai cara. Kesan kedua, bisnis yang didasarkan pada norma-norma moral menghalangi pebisnis

3 Ahmad Hasan Ridwan, “Etika Bisnis dalam Islam” dalam

http://etika_bisnis_dalam_Islam.html. Diakses pada 19 November 2017.

4 Wibowo, “Etika Bisnis dalam Islam”

(5)

untuk mencapai tujuannya, meraup keuntungan sebesar-besarnya dalam waktu sesingkat-singkatnya.

Kesan pertama lebih menyangkut profesi bisnis itu sendiri. Sejak dahulu hingga sekarang, ada sejumlah orang menganggap profesi bisnis sebagai praktik hidup yang rendah karena perhelatannya sering bertentangan dengan norma-norma yang dijunjung tinggi, khususnya norma-norma umum, seperti keadilan, kejujuran, dan tanggung jawab. Akibatnya, para pebisnis atau pedagang seringkali dicurigai. Kecurigaan tersebut barangkali dilatarbelakangi oleh upaya-upaya pebisnis atau pedagang dalam merealisasikan tujuan bisnis, mereaup keuntungan maksimal. Demi tujuan yang satu itu (masyarakat mungkin mengetahui atau mengalaminya sendiri), para pebisnis atau pedagang sering menghalalkan berbagai cara yang berujung pada kerugian di pihak konsumen, misalnya kualitas barang yang tidak sesuai dengan apa yang diiklankan, barang-barang imitasi, harga yang tidak sesuai dengan kualitas barang, dan lain-lain.5

Sesuai dengan sifatnya yang berhubungan dengan perilaku dan sikap, maka penerapan atau keberlakuan etika pada umumnya dan etika bisnis pada khususnya, sangat bergantung pada kehendak para pelaku bisnis sendiri. Bila dalam hukum ekonomi dapat dikatakan penerapan dan penegakannya bisa

5 L. Sinuor Yosephus, Etika Bisnis:Pendekatan Filsafat Moral Terhadap

Perilaku Bisnis Kontemporer (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), 69

(6)

melibatkan orang/ pihak lain (luar), maka dalam penegakan etika bisnis lebih bergantung pada kesadaran diri sendiri, dalam hal ini para pelaku bisnis dan konsumennya. Meski perilaku konsumen turut pula memperlancar dan melanggengkan suatu bisnis, namun yang paling menentukan adalah masyarakat pebisnis itu sendiri. Bila masyarakat bisnis tidak menghormati etika bisnis, maka tidak jarang bisnis yang prospektif sekalipun akan mengalami penurunan atau malah kebangkrutan.6

Dalam etika bisnis tersebut mencakup tatanan nilai moral dan standar-standar perilaku yang harus dihadapi oleh para pelaku bisnis sewaktu mereka membuat keputusan dan memecahkan masalah. Akan tetapi, menentukan apa yang etis/pantas atau tidak bukanlah hal yang selalu mudah dilakukan. Pada beberapa kasus, dilema etika terlihat jelas, implikasi dari perilaku yang tidak etis terlihat jelas, dan panduan untuk menangani situasi tersebut telah ada. Akan tetapi, pada sebagian besar kasus, dilema etika menjadi kurang terlihat, tertutup oleh keputusan bisnis dan rutinitas sehari-hari. Karena mereka dapat dengan mudah menjadikan wirausahawan lepas kendali, masalah-masalah etis ini kemungkinan besar merupakan salah satu masalah yang dapat memikat orang-orang yang tidak waspada. Ethical “sleepers” kadang-kadang menangkap wirausahawan yang tidak siap, biasanya merusak reputasi

6 M. Amin Suma, Menggali Akar Mengurai Serat Ekonomi dan Keuangan

(7)

mereka dan perusahaan mereka. Langkah awal menuju pengelolaan suatu perusahaan agar sesuai dengan etika adalah meningkatkan kesadaran wirausahawan yang berkaitan dengan permasalahan etika.7

Istilah etika mengacu pada prinsip-prinsip moral yang mencerminkan keyakinan masyarakat mengenai tindakan yang benar atau salah dari seorang individu atau kelompok. Tentunya, nilai yang dianut seorang individu, suatu kelompok, atau suatu masyarakat dapat bertentangan dengan nilai dari individu, kelompok, atau masyarakat lain. Oleh karena itu, standar etika tidak mencerminkan prinsip yang diterima secara universal, melainkan produk akhir dari suatu proses yang mendefinisikan dan mengklarifikasi sifat dan lingkup dari interaksi manusia.8

Etika sebagai refleksi kritis-sistematik atas perilaku manusia sebagai manusia atau bahwa dalam menghadapi konflik-konflik yang berhubungan dengan norma-norma moral, para pebisnis akan mendahulukan pertimbangan-pertimbangan rasional. Hal ini identik dengan menegaskan bahwa secara hakiki etika dan etika tentang bisnis memang merupakan kekhasan manusia.

7 Thomas W. Zimmer and Norman M. Scarborough, Essentials Of

Entrepreneurship And Small Business Management, second ed. Yuanto Sidik Pratikyo dan Edina Tjahyaningsih Tarmidzi (Penerjemah), Pengantar Kewirausahaan dan Manajemen Bisnis Kecil (Jakarta: Prenhallindo, 2002), 187.

8 Pearce and Robinson. Manajemen Strategis: Formulasi, Implementasi, dan

(8)

Objek refleksi kritis-sistematik itu adalah tindakan-tindakan manusia dalam keseharian hidup. Salah satu tindakan-tindakan khas manusia adalah di bidang ekonomi atau bisnis yang bertujuan akhir meraup keuntungan. Pada tataran ini, etika bisnis juga merupakan kekhasan manusia di bidang bisnis, yakni para pebisnis dan semua yang terkena dampak bisnis. Dengan demikian, etika bisnis di sisni berarti refleksi kritis-sistematik atas moralitas manusia dalam berbisnis. Hal yang direfleksikan adalah perilaku dan tindakan konkret manusia, baik pebisnis atau semua orang yang terjaring dalam bisnis. Intinya, yang direfleksikan adalah bagaimana tindakan-tindakan atau perilaku-perilaku manusia dalam dunia bisnis bisa menghasilkan kenyamanan dan kesejahteraan hidup bagi semua yang terjaring dalam bisnis.

Sebelum mengenal uang manusia sebagai pelaku ekonomi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya menggunakan sistem barter. Barter adalah pertukaran barang dengan barang atau barang dengan jasa secara langsung tanpa menggunakan uang sebagai perantara dalam proses ini. Syarat utama terjadinya barter adalah, bahwa orang yang akan saling tukar barang, mereka saling membutuhkan.

Pada awalnya, sistem barter tersebut sangat mudah dan sederhana, namun kemudian dalam perkembangan kebutuhan masyarakat membuat sistem barter ini menjadi sulit dan muncul banyak kekurangan. Di antaranya adalah kesulitan mencari

(9)

keinginan yang sesuai antara orangorang yang melakukan transaksi atau kesulitan untuk mewujudkan kesepakatan yang mutual, perbedaan ukuran barang, jasa dan sebagian barang yang tidak bisa dibagi-bagi, kesulitan untuk mengukur standar harga seluruh barang dan jasa.

Dari beberapa kesulitan tersebut, maka manusia lalu mencari alat tukar yang berkembang menjadi uang. Rasullullah SAW menyadari kesulitan-kesulitan dan kelemahan-kelemahan sistem pertukaran dengan cara barter ini, lalu beliau menggantinya atau memperbolehkan menggantinya dengan sistem pertukaran melalui uang. Hal inilah yang melatarbelakangi munculnya teori Uang yang dikemukakan oleh al-Ghazalî.

Dari permasalahan tersebut di atas, maka muncullah konsep evolusi pasar. Menurut Al-Ghazalî, terjadinya evolusi pasar adalah sebuah pemicu manusia untuk berbuat perilaku yang mulia yang dapat membantu sesama dan saling memberi. Menurut Al-Ghazalî , Keselamatan dan kesejahrteraan adalah tujuan akhir. Oleh sebab itu, beliau tidak ingin apabila pencarian keselamatan ini bisa mengabaikan kewajiban-kewajiban duniawi seseorang. Bahkan pencaharian kegiatan-kegiatan ekonomi bukan saja di inginkan tapi merupakan keharusan untuk mencapai keselamatan. Kemudian, Al-Ghazali memandang perkembangan ekonomi sebagai bagian dari tugas-tugas kewajiban sosial, yang telah ditetapkan oleh Allah: jika hal-hal

(10)

ini tidak dipenuhi, maka kehidupan akan runtuh dan kemanusiaan akan binasa. Ia menegaskan bahwa aktivitas ekonomi harus dilakukan secara efesien karena merupakan bagian dari pemenuhan tugas keagamaan seseorang.9

Pembahasan

1. Pertukaran

A. Definisi, Rukun dan Syarat Pertukaran dalam Islam Pertukaran berarti penyerahan suatu komoditi sebagai alat penukar komoditi lain. Bisa juga berarti pertukaran dari satu komoditi dengan komoditi lainnya, atau satu komoditi ditukar dengan uang, ada juga perdagangan secara komersial yang mencakup penyerahan satu barang untuk memperoleh barang lain,yang disebut saling tukar menukar.

Secara bahasa Pertukaran adalah suatu perbuatan bertukar atau mempertukarkan, pergantian, peralihan. Pertukaran adalah tindakan memperoleh barang yang dikehendaki dari seseorang dengan menawarkan sesuatu sebagai imbalan. Pertukaran dipersepsikan sebagai proses penciptaan nilai karena pertukaran umumnya membuat kedua belah pihak

9 Yahanan, “Evolusi Pasar Menurut Pemikiran Imam Al-Ghazali”

(Universitas Prof Tabarani Rab), Jurnal Hukum Islam, Vol. XIV No. 1 Nopember 2014., 196.

(11)

menjadi lebih baik. Pertukaran harus dilihat sebagai suatu proses, bukan sebagai suatu kejadian.10

Adapun menurut istilah adalah sebagai berikut:

1. Menurut ahli fiqih Islam, pertukaran diartikan sebagai pemindahan barang seseorang dengan cara menukarkan barang-barang tersebut dengan barang lain berdasarkan keikhlasan/kerelaan.11

2. Menurut H. Chairuman Pasaribu, tukar menukar secara istilah adalah kegiatan saling memberikan sesuatu dengan menyerahkan barang. Pengertian ini sama dengan pengertian yang ada dalam jual beli dalam Islam, yaitu saling memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan.12

3. Menurut pasal 1451 KUH Perdata, perjanjian tukar menukar adalah suatu persetujuan, dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara bertimbal balik sebagai suatu ganti barang lainnya.13

10 Muhammad Sharif Chaudry. Sistem Ekonomi Islam Prinsip Dasar. (Jakarta

: Prenada Media Group, 2014), 178.

11 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid II (Yogyakarta: PT. Dana

Bhakti Wakaf, 1995), 71

12 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi, Hukum Perjanjian dalam Hukum

Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 34

13 Salim H.S., Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak,

(12)

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pertukaran adalah merupakan transfer suatu barang dengan barang lainnya atau dengan uang. Jadi, semua transaksi komersial dan bisnis yang melibatkan transfer dari satu barang ke barang lainnya mungkin satu komoditas dengan komoditas lainnya atau komoditas dengan uang disebut pertukaran.

Saat inipun barter masih ada di masyarakat yang terbelakang atau di desa-desa kecil. Akan tetapi pada umumnya pertukaran ini memberi tempat kepada uang sebagai media pertukaran, karena nilai komoditas ataupun jasa dapat dengan mudah dan cepat diterjemahkan dalam arti uang.

Di dalam Agama Islam teori pertukaran dapat dilihat dari beberapa aspek. Di antaranya adalah Obyek pertukaran dan waktu pertukaran. Dalam Islam Objek pertukaran, dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :

1. ‘Ayn (real asset) berupa barang dan jasa.

2. Dayn (financial asset) berupa uang dan surat berharga.

Dari objek pertukaran tersebut, dapat diidentifikasi tiga jenis pertukaran yaitu :

1. Pertukaran real asset (‘Ayn) dengan real asset (‘Ayn), 2. Pertukaran Real asset (‘Ayn) dengan financial asset

(Dayn),

3. Pertukaran financial asset (Dayn) dengan financial asset (Dayn).

(13)

Sedangkan apabila dilihat dari segi waktu pertukaran, dapat dibedakan menjadi dua waktu, yaitu :

1. Naqdan (Immadiate Delivery) yang berarti penyerahan saat itu juga.

2. Ghairu Naqdan (Deferren Delivery) yang berarti penyerahan kemudian.

Adapun dasar hukum yang menjelaskan tentang transaksi tukar-menukar adalah sebagai berikut:

نعو

ةدابع

نب

ثماصلا

ضير

الله

لاق هنع

:

لاق

لوسر

الله

ص

:

ِبَهَّلذبا ُبَهَّلذَا

ِة َّضِفْل ِبا ُة َّضِفْلاَو

,

رُبُْل ِبا ُّ ُبُْلاَو

,

ِْيِْع َّشل ِبا ْيِْع َّشلاَو

,

ِْيِْمَّتل ِبا َرَمَّتلاَو

,

حلِمْل ِبا حْلِمْلاَو

,

لَثَمِب ًلاَثَم

,

ءاَو َس

ءاَو َسِب

,

دَيِب اًدَي

,

دَيِباًدَي َن َكَاَذِا ْ ُتُْئ ِش َفْيَكاْوُعريَبَف فاَن ْصَالا ِهِذه ْتَفِلُتْخاَذِاَف

)

هاور

لمسم

(

Artinya: Dari Ubadah bin Shamith r.a. ia berkata bahwasannya Rasulullah SAW telah bersabda: “emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan biji gandum, jagung centel dengan jagung centel, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama dengan sama, tunai dengan tunai, jika berbeda dari macam-macam ini semua maka juallah sekehendakmu apabila dengan tunai”. (HR. Muslim).14

Hadis tersebut menjelaskan kepada umat Islam mengenai jual beli barter (tukar-menukar), yaitu:

1. Jual beli barter pada enam macam barang (barang ribawi) tersebut di dalam hadits yang sama jenisnya dan sama illatnya, yakni: emas, perak, beras gandum, padi

14 Muhammad bin Ismail al-Amir ash-Shanani, Subulus Salam: Sarakh

(14)

gandum, kurma, dan garam, dilarang oleh Islam, kecuali telah memenuhi beberapa syarat, yaitu:

a. Sama banyaknya dan mutunya (kuantitas dan b. kualitasnya)

c. Secara tunai

d. Serah terima dalam satu majelis.

Tiga syarat tersebut dimaksudkan untuk mencegah adanya unsur riba dalam tukar menukar, sehingga ada pihak yang dirugikan. Jika tukar menukar tersebut tidak sama banyaknya dan mutunya, misalnya 5 gram emas 24 karat ditukar dengan 8 gram emas 21 karat, 10 kg beras kualitas nomor satu ditukar dengan 15 kg beras kualitas nomor tiga, maka tukar menukar samacam ini tidak boleh atau tidak sah, supaya menjadi boleh/sah, maka dijual dulu barang yang kualitasnya rendah, kemudian hasil penjualannya dibelikan barang sejenis yang kualitasnya lebih baik, atau sebaliknya.

2. Tukar menukar antara enam macam barang tersebut, yang berbeda jenisnya tetapi sama illat hukumnya adalah sah, tetapi harus tunai, misalnya 1 gram emas ditukan dengan perak 7 gram.

3. Jual beli barter antara enam macam barang tersebut, yang berbeda jenisnya dan berbeda illat hukumnya adalah sah jual belinya, tanpa syarat harus sama dan tunai, misalnya 1 gram emas ditukar dengan 10 kg kurma, diperbolehkan tanpa harus tunai.

(15)

Adapun Rukun dan syarat tukar menukar sama dengan rukun dan syarat jual beli, karena tukar menukar merupakan definisi yang ada dalam jual beli yaitu:

لةباقلماوه عيبلا

ئشلا

لىع

ئشلا

atau bisa disebut juga saling memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan.15 Rukun dan syarat tukar-menukar adalah sebagai berikut:

a. Rukun tukar-menukar

Rukun yang harus dipenuhi dalam transaksi tukar menukar menurut fuqaha Hanafiyah adalah ijab dan qabul yang menunjuk kepada saling menukarkan, atau dalam bentuk lain yang dapat menggantikannya. Sedangkan menurut jumhur ulama rukun yang harus dipenuhi dalam transaksi tukar menukar yaitu:

1) ‘Aqid (orang yang berakad) 2) Sighat (lafal ijab dan qabul) 3) Ma’qud ‘alaih (obyek akad). b. Syarat tukar-menukar

Tukar menukar dianggap sah jika memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat-syarat tersebut ada yang berkaitan dengan orang yang melakukan akad, obyek akad, maupun sighatnya. Secara terperinci syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:

1) Syarat yang berkaitan dengan ‘aqid:

15 Zainuddin bin Abdul Azis Mulibari, Fathul Mu’in Bisyarah Qurratul ‘Ain,

(16)

a. al-Rusyd, yakni baligh, berakal, dan cakap dalam hukum,

b. Tidak terpaksa, c. Ada kerelaan.

2) Syarat yang berkaitan dengan sighat:

a. Berupa percakapan dua belah pihak (khithobah), b. Berlangsung dalam satu majlis,

c. Antara ijab dan qabul tidak terputus,

d. Sighat akad tidak digantungkan dengan sesuatu yang lain,

e. Akadnya tidak dibatasi dengan periode waktu tertentu.

3) Syarat yang berkaitan dengan ma’qud ‘alaih: a. Harus suci,

b. Dapat diserahterimakan,

c. Dapat dimanfaatkan secara syara‟,

d. Hak milik sendiri atau milik orang laindengan kuasa atasnya,

e. Dinyatakan secara jelas oleh para pihak, f. Jika barangnya sejenis harus seimbang.16

B. Definisi Pertukaran dalam Ilmu Antropologi dan Sosiologi

16 Ghufran A. Masadi, Fiqih Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT Raja

(17)

Pengertian lain terkait dengan pertukaran juga di bahas dalam studi antropologi dan sosiologi.Dalam studi tersebut, Teori pertukaran merupakan suatu contoh dari teori yang memusatkan perhatiannya pada tingkat analisis mikro. Teori pertukaran ini relevan dengan kenyataan sosial antar pribadi (interpersonal) dalam setiap masyarakat di mana dan kapan pun mereka berada. Teori pertukaran ini memfokuskan perhatian pada prilaku nyata manusia, bukan pada proses-proses yang bersifat subyektif. Teori pertukaran tersebut cenderung mencerminkan suatu orientasi yang bersifat individualistik, namun bukan berarti teori ini menolak eksistensi kelompok dan struktur sosial sama sekali. Maksudnya, di dalam perspektif teori pertukaran individu dianggap sebagai sesuatu yang primer, sedangkan masyarakat (struktur sosial) dilihat sebagai sesuatu yang sekunder, yakni muncul dnri pertukaran yang bersifat interpersonal yang dilandasi oleh kepentingan-kepentingan individu terkait.17

Menurut Mauss dalam teorinya, Pemberian (The Gift) berpendapat bahwa tukar menukar benda dan jasa bukanlah sesuatu yang mekanik, melainkan lebih merupakan suatu transaksi moral guna memupuk hubungan-hubungan antar individu maupun kelompok. Lebih jauh Mauss menegaskan,

17 Drs. Emizal Amri, M.Pd., Perkembangan Teori Pertukaran, Struktural

Pungsional, dan Ekologi Budaya: Implementasi dan Sumbangmya dalam Stud1 Antropologl Budaya, Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Institut Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Padang, 1997, 7.

(18)

bahwa pada dasarnya tidak ada pemberian yang bersifat cuma-cuma, tetapi secara implisit ia menuntut "pemberian kembali" (imbalan). Biasanya imbalan tersebut memang tidak langsung diserahkan pada saat yang sama, melainkan 'pemberian kembali' itu diadakan secara khusus pada waktu berbeda. Dengan demikian proses pertukaran itu menghasilkan lingkaran kegiatan yang berlangsung terus menerus dari suatu periode ke periode berikut, bahkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.18

Berbeda halnya dengan pendapat Muss, Homans dalam teori pertukran sosialnya menggambarkan prilaku manusia dengan cara meminjam konsep pertukaran ekonomi. Homans membangun proposisi bahwa prilaku sosial manusia sebagai suatu kegiatan pertukaran setidak-tidaknya akan melibatkan dua orang, baik secara nyata ataupun tersembunyi. Interaksi yang berlangsung antara mereka mengandung unsur memberikan reward dan mengeluarkan cost.19

Menurut Homans pola-pola pertukaran (exchange) harus dianalisis dengan memperhatikan motif-motif dan perasaan individu yang terlibat dalam transaksi tersebut. Tanpa memahami motif-motif dimaksud, terlalu riskan untuk dapat memahami hakikat dari suatu pertukaran yang dilakukan masyarakat terkait.

18 Marcel Mauss, Pemberian Bentuk dan Fungsi Pertukaran di Masyarakat

Kuno, (Yayasan Obor Indoensia, 1992).

19GeorgeRitzer, Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan

(19)

Lebih lanjut untuk menjelaskan proposisi yang dirumuskannya, Homans mengembangkan konsep deprivasi20

dan kepuasan (satiation), investasi, dan keadilan distributif. Yang dimaksud dengan deprivasi oleh Homans adalah jangka waktu sejak seseorang menerima suatu reward tertentu; dan kepuasan diartikan sebagai kuantitas reward yang baru saja diterima seseorang dapat memenuhi/ mencapai titik kepuasannya,sehingga untuk sementara waktu dia tidak mengharapkannya lagi. Sementara investasi adalah total kuantitas dan pengalaman individu yang relevan dengan peristiwa sosial tertentu; dan keadilan distributif mengandung makna suatu perbandingan yang setara antara investasi dan keuntungan atau rasio antara cost 'dan reward .

Pendapat lain terkait dengan pertukaran juga dikemukakan oleh Peter M. Blau. Secara eksplisit Blau memandang bahwa pertukaran memperlihatkan saling ketergantungan antara pertukaran sosial pada tingkat mikro dan munculnya struktur sosial yang lebih besar (makro). Meskipun Blau mengakui, bahwa "proses-proses psikologi yang sadar" menjadi landasan penting bagi hubungan sosial, namun dia hanya menitikberatkan perhatian pada asosiasi yang muncul dari transaksi pertukaran tersebut. Dalam penjelasan teoritisnya, Balau menegaskan bahwa proses pertukaran dasar melahirkan

20 Sebuah situasi di mana kualitas hidup di bawah dari apa yang bisa

(20)

gejala yang muncul dalam bentuk struktur sosial makro yang lebih kompleks.

Prilaku sosial yang dimaksud Blau berhubungan dengan tindakan-tindakan yang tergantung pada reaksi-reaksi penghargaan dari orang lain, dan ia akan berhenti jika reaksi-reaksi yang diharapkan tidak kunjung datang. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa dalam perspektif Blau, manusia menekankan pentingnya dukungan sosial sebagai suatu imbalan, dan prilaku altruistik bisa didorong oleh keinginan untuk memperoleh pujian sosial.21

C. Sejarah Pertukaran, Barter dan Uang

Dari beberapa pengertian terkait dengan pertukaran di atas menunjukkan bahwa pertukaran bukan hanya menjadi masalah pokok dalam bidang ekonomi, akan tetapi juga dalam lingkup soisal. Sebab,dalam kehidupan manusia, setiap orang tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri yang semakin kompleks. Hal ini di dasari bahwa tidak ada seorangpun yang benar-benar mandiri karena satu sama lain saling membutuhkan dan saling mengisi.

Metode pertukaran telah berubah sesuai kebutuhan dan masalah waktu dan tempat. Metode-metode pertukaran telah

21 Peter M. Blau, Exchange and Power in Social Life, Chicago: John Willey

& Son, INC (1964), dalam Irving M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi, Yogyakarta : UGM Press, 1995, 121.

(21)

digunakan dalam berbagai Negara dan dalam masa yang berlainan.

Sebelum mengenal uang manusia sebagai pelaku ekonomi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya menggunakan sistem barter. Barter adalah pertukaran barang dengan barang atau barang dengan jasa secara langsung tanpa menggunakan uang sebagai perantara dalam proses ini.22 Bentuk seperti ini juga umum dalam masyarakat Arab Kuno. Pada masa awal peradaban, manusia memenuhi kebutuhannya secara mandiri. Mereka memperoleh makanan dari berburu atau memakan berbagai buah-buahan. Hal tersebut disebabkan karena kebutuhannya yang masih sederhana sehingga mereka belum membutukan orang lain. Sehingga masing-masing individu memenuhi kebutuhan makannya secara mandiri.23

Seiring dengan perkembangan zaman, dalam periode yang dikenal sebagai periode pra-barter, manusia belum mengenal transaksi perdagangan atau kegiatan jual beli. Perdagangan yang dilakukan dengan cara langsung menukarkan barang dengan barang. Cara tersebut bisa berlangsung selama tukar menukar masih terbatas pada beberapa jenis barang saja.

Pada masa tersebut untuk memenuhi kebutuhan,

orang/kelompok orang sudah membutuhkan pihak

22 Ahmad Hasan, Mata Uang Islami Telaah Komprehensif Sistem Keuangan

Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), 23

23 Jacka Susyla, Pertukaran dalam Islam,

dalamhttps://jokosusilosite.wordpress.com/28-2/pertukaran dalam Islam, diakses pada 20 November 2017.

(22)

lain/dihasilkan oleh pihak lain, karena jumlah orang sudah semakin meningkat dan bertambah, maka munculah pertukaran barang, karena pada masa dulu orang belum mengenal produksi barang. Syarat utama terjadinya barter adalah, bahwa orang yang akan saling tukar barang, mereka saling membutuhkan.24

Pada awalnya, sistem barter tersebut sangat mudah dan sederhana, namun kemudian dalam perkembangan kebutuhan masyarakat membuat sistem barter ini menjadi sulit dan muncul banyak kekurangan. Di antaranya adalah kesulitan mencari keinginan yang sesuai antara orangorang yang melakukan transaksi atau kesulitan untuk mewujudkan kesepakatan yang mutual, perbedaan ukuran barang, jasa dan sebagian barang yang tidak bisa dibagi-bagi, kesulitan untuk mengukur standar harga seluruh barang dan jasa.

Dari beberapa kesulitan tersebut, maka manusia lalu mencari alat tukar yang berkembang menjadi uang. Rasullullah SAW menyadari kesulitan-kesulitan dan kelemahan-kelemahan sistem pertukaran dengan cara barter ini, lalu beliau menggantinya atau memperbolehkan menggantinya dengan sistem pertukaran melalui uang.25

Menurut Al-Ghazalî dalam kitabnya Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, uang merupakan inovasi yang menjadi solusi dari permasalahan jual beli dengan cara pertukaran barang dengan barang atau

24 Mustafa Edwin Nasution, dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam

(Jakarta: Kencana. 2007), 29.

(23)

yang lebih dikenal dengan barter. Menurutnya sangat sulit menyatukan kehendak dan ukuran suatu benda yang memiliki karakter yang berbeda. Seperti orang yang memiliki za’farân misalnya ia membutuhkan unta untuk tunggangan, begitu pula orang yang memiliki unta membutuhkan za’farân, meskipun keduanya memiliki kehendak yang selaras namun sangat sulit ditentukan berat dan ukuran yang adil diantara kedua benda tersebut, terlebih kedua pihak memiliki kebutuhan yang tidak selaras, maka sangat sulit adanya pertukaran.26

Selain itu, Al-Ghazalî juga menyebutkan

beberapapermasalahan yang terdapat dalam sistem barter, yaitu; 1)Kurang memiliki angka penyebut yang sama (Lack of common denominator), 2)Barang tidak dapat dibagi-bagi (Indivisibility of goods), dan 3)Keharusan adanya dua keinginan yang sama (double coincidence of wants). Dari ketiga permasalahan tersebut pertukaran barter menjadi tidak efisien diterapkan karena adanya perbedaan karakteristik barang-barang. Oleh sebab itu, Al-Ghazali menegaskan bahwa evolusi uang terjadi hanya karena kesepakatan dan kebiasaan (konvensi) yakni tidak akan ada masyarakat tanpa pertukaran barang dan tidak ada pertukaran yang efektif tanpa ekuivalensi, dan ekuivalensi demikian hanya dapat ditentukan dengan tepat bila ada ukuran

26 Abu Hamid al-Ghazalî, Ihya al-‘Ulûmuddîn (Semarang: Toha Putera. t.th),

(24)

yang sama.27Hal itulah yang melatarbelakangi munculnya evolusi uang.

Dalam perkembangannya, ada beberapa fungsi uang yang sangat penting yaitu suatu benda yang dinamakan uang yang dipergunakan oleh masyarakat sebagai alat bantu di dalam penukaran, di dalam pembayaran, dan sebagainya. Oleh karenaitu, fungsi dari uang tersebut perlu dibedakan. Ada empat fungsi dari uang, yaitu yang pertama uang sebagaistandar ukuran harga dan unit hitungan, yang kedua uang sebagaimedia pertukaran, yang ketiga sebagai media penyimpanan nilai,danyang keempat sebagai standart pembayaran tunda.28

Dalam ekonomi Islam, fungsi uang yang diakui hanya sebagai alat tukar (medium of exchange) dan kesatuan hitung (unit of account). Uang itu sendiri tidak memberikan kegunaan/manfaat, akan tetapi fungsi uanglah yang memberikan kegunaan. Uang menjadi berguna jika ditukar dengan benda yang nyata atau jika digunakan untuk membeli jasa. Oleh karena itu uang tidak bisa menjadi komoditi/barang yang dapat diperdagangkan.29 Sebab, uang dipandang sebagai alat tukar, bukan suatu komoditi.Diterimanya peranan uang ini secara

27Adiwarman Azwar Karim.. Ekonomi Mikro Islami. (Jakarta:PT.

RajaGrafindo Persada, 2012), 335

28 Ahmad Hasan, Mata Uang Islami, (Jakarta: PT. Rajasa Grafindo Persada,

2008), 12-20.

29Muhaimin, Fungsi Uang Dalam Perspektif Ekonomi Islam, dalam:

http://muhaiminkhair.wordpress.com/2010/04/29)., diakses pada tanggal 25 November 2017.

(25)

meluas dengan maksudmelenyapkan ketidakadilan, ketidakjujuran, dan eksploitasi dalamekonomi tukar menukar.30

Uang dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang secara umumditerima didalam pembayaran untuk pembelian barang-barang dan jasa-jasa serta untuk pembayaran hutang. Dan juga seringdipandang sebagai kekayaan yang dimiliki yang dapat digunakanuntuk membayar sejumlah hutang tertentu dengan kepastian dantanpa penundaan.31

Munculnya uang merupakan inovasi besar dalam peradaban perekonomian dunia, posisinya sangat strategis dalam sistem ekonomi, dan sulit untuk diganti dengan media lainnya. Sepanjang sejarah keberadaannya, uang memainkan peran penting dalam perjalanan kehidupan manusia. Uang berhasil memudahkan dan mempersingkat waktu transaksi pertukaran barang dan jasa. Uang dalam sistem ekonomi memungkinkan perdagangan berjalan secara efektif dan efisien. Keberadaan uang menyediakan alternatif transaksi yang lebih mudah daripada barter yang lebih kompleks, tidak efisien, dan kurang cocok digunakan dalam sistem ekonomi modern karena membutuhkan orang yang memiliki keinginan yang sama untuk melakukan pertukaran dan juga kesulitan dalam penentuan

30 Muhammad Abdul Manan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Jakarta:

Internusa, 1992), 162

31 Iswardono, Uang dan Bank, (Jakarta: PT. Rajasa Grafindo Persada, 2008),

(26)

nilai.32 Efisiensi yang didapatkan dengan menggunakan uang pada akhirnya akan mendorong perdagangan dan pembagian tenaga kerja yang kemudian akan meningkatkan produktifitas dan kemakmuran.

Menurut Al-Ghazalî, uang adalah nikmat Allah yang digunakan masyarakat sebagai mediasi atau alat untuk mendapatkan bermacam-macam kebutuhan hidupnya, yang secara substansial tidak memiliki nilai apa-apa, tetapi sangat dibutuhkan manusia dalam upaya memenuhi berbagai macam kebutuhan hidupnya.33

Menurut beliau uang berfungsi sebagai sarana untuk mendapatkan barang-barang lain dan tujuan-tujuan tertentu. Beliau mengibaratkan uang dengan sebuah cermin, ia tidak mempunyai warna sendiri tapi mampu merefleksikan semua jenis warna. Beliau mendefiniskan uang sebagai;

a. Barang atau benda yang berfungsi sebagai sarana mendapatkan barang lain. Dengan kata lain uang adalah barang yang disepakati fungsinya sebagai media pertukaran (medium of exchange),

b. Benda tersebut tidak memiliki nilai sebagai barang (nilai intrinsik),

c. Nilai benda yang berfungsi sebagai uang ditentukan terkait dengan funsinya sebagai alat tukar. Dengan

32 Wikipedia, Uang, dalam (http://id.wikipedia.org), diakses pada tanggal 25

November 2017.

(27)

kata lain yang lebih berperan dalam benda yang ber-fungsi sebagai uang adalah nilai tukar dan nilai nominalnya.34

Menurut al-Ghazalî motif seseorang memegang uang tunai (money demand) adalah motif untuk transaksi (money demand for transaction) dan berkaitan dengan fungsi uang itu sendiri. Dalam ekonomi Islam ada dua motivasi dalam memegang uang, yaitu motivasi transaksi (money demand for transactions) dan motivasi berjaga-jaga (money demand for precautionary).

Oleh karena motif seseorang akan uang hanya sebatas untuk transaksi dan berjaga-jaga, maka uang tidak diharapkan pada nilai guna pada bendanya secara langsung. Atau lebih tepatnya nilai intrinsik suatu mata uang yang ditunjukkan oleh real existence-nya dianggap tidak pernah ada.

Al-Ghazalî menyadari bahwa uang tidak ditemukan dengan begitu saja, penggunaannya dalam sistem ekonomi melalui proses yang cukup panjang. Dalam teorinya, Teorievolusi uang, al-Ghazalî mengemukakan pandanganannya tentang uang, yaitu:

“kebutuhan yang paling penting adalah makanan, tempat tinggal, dan tempat vital lainnya, seperti pasar dan lahan pertanian sebagai sumber penghidupan. Serta materi lain,

34 Ahmad Dimyati, Teori Keuangan Islam Rekontruksi Metodologis

(28)

diantaranya ialah seperti pakaian, alat rumah tangga, alat transportasi, peralatan berburu, alat pertanian, dan perlengkapan perang. Dari situlah kemudian timbul kebutuhan terhadap jual beli, sebab terkadang sorang petani yang tinggal di desa tidak menyediakan peralatan pertanian, disisi lain seorang pandai besi dan tukang kayu tidak memungkinkan untuk bercocok tanam. Maka mau tidak mau petani membutuhkan tukang pandai besi, dan begitu juga sebaliknya. Sehingga harus ada “hakim yang adil” (hâkim mutawasith) sebagai perantara antara dua orang yang bertransaksi tersebut, yang dapat membandingkan kebutuhan yang satu dengan yang lainnya. Dengan demikian dibutuhkan suatu benda yang tahan lama karena transaksi akan berlangsung selamanya. Dan benda yang tahan lama antaranya adalah bahan-bahan yang berbentuk logam. Maka dibutlah uang dari bahan emas, perak, dan tembaga”.35

Meskipun dalam pernyataan tersebut al-Ghazalî dalam memberikan definisi tentang uang tidak menyebutkan harus disahkan oleh pemerintah/penguasa, tetapi pada bagian lain beliau mengharuskan pencetakan uang, pengesahan, dan penetapan harganya yang hanya boleh dilakukan oleh pemerintah atau institusi resmi yang di tunjuk untuk itu. Berikutpenjelasaan al-Ghazalî tentang pernyataan tersebut:

(29)

“... kemudian kebutuhan terhadap harta yang tahan lama sebagai bahan mata uang dari barang tambang, yaitu emas, perak, dan tembaga, untuk selanjutnya diperlukan percetakan, pemberian cap, serta penentuan nilai tukarnya. Untuk itulah diperlukan tempat percetakan uang...”.

Al-Ghazalî beranggapan bahwa uang hanya dibuat sebagi standar harga dan alat tukar.Oleh karena itu, menurut beliau uang tidak memiliki nilai intrinsik, atau lebih tepatnya nilai intrinsik suatu mata uang yang ditunjukan oleh real existencenya dianggap tidak pernah ada. Uang yang terbuat dari emas dengan nilai satu Rp. 10.000,- sama nilainya dengan uang kertas dengan nilai nominal yang sama. Menurut Al-Ghazalî, apabila uang memiliki nilai intrinsik, maka ia tidak dapat berfungsi sebagai alat tukar, karena nilainya akan berbeda-beda tergantung dari bahan pembuatannya.36

Pemikiran al-Ghazalî mengenai uang berawal dari pendapatnya mengenai barter, beliau memberikan contoh pemisalandengan menukar seekor unta senilai 100 dinar dengan kain sekian dinar. Menurut beliau,jika uang tersebut dijadikan sebagai ukuran nilai barang, maka uang juga dapat berfungsi sebagai media pertukaran. Akan tetapi uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri, uang diciptakan untuk melancarkan

36 Murthada Muthahari, Pandangan Islam Tentang Asuransi dan Riba

(30)

pertukaran dan penetapan nilai yang wajar dari pertukaran tersebut.37

Lebih lanjut, beliau berpendapat bahwa uang tersebut tidak memiliki harga, tetapi merefleksikan harga terhadap semua barang, atau dalam istilah ekonomi klasik uang tidak memberi kegunaan langsung (direct utility function), hanya apabila uang tersebut digunakan untuk memberi barang, maka akan memberi kegunaan. Sebagaimana disebutkan dalam teori ekonomi neo-klasik bahwa kegunaan uang timbul dari daya belinya, maka dari itu uang tersebut dapat memberikan kegunaan secara tidak langsung (indi-rect utility function).38

Landasan pemikiran al-Ghazalî mengenai konsep uang berawal dari pemahaman beliau terhadap Quran dan al-Hadits, yaitu sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Taubah ayat 34:































































































37 Abu Hamid al-Ghazalî, Ihya al-‘Ulûmuddîn, Jilid IV, 89.

38 Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer (Jakarta:

(31)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguh-nya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyim-pan emas dan perak dan tidak menafkahkan-nya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan men-dapat) siksa yang pedih.”

Jadi, larangan dalam ayat tersebut ditunjukan kepada alat tukar (medium of exchange) yang berupa uang. Oleh karena itu, menimbun emas dan perak sebagai barang hukumnya adalah haram, baik yang sudah dicetak maupun belum. Dan barang siapa yang menggunakan emas dan perak sebagai barang-barang peralatan rumah tangga, maka sesungguhnya ia telah berbuat sesuatu yang bertentangan dengan penciptaannya tersebut (emas dan perak), dan itu dilarang oleh Allah SWT. dan hal tersebut lebih buruk daripada orang yang menimbunnya.39Sebagaimana sabda Rasullah SAW dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, yaitu:

“Barangsiapa meminum dalam bejana emas dan perak, maka seolah-olah ia menuangkan sebongkah api neraka ke dalam perutnya”. (HR. Bukhari dan Muslim)

39 Abu Hamid al-Ghazalî, Ihya` ’Ulûmuddîn. Murâ-za‘ah: Purwanto

(32)

Menurut al-Ghazalî, Uang memiliki beberapafungsi, diantaranya adalah sebagai qiwam al-Dunya (satuan hitung), hâkim mutawasith (pengukur nilai barang), dan al-mu‘awwidlah (alat tukar/medium of exchange).

Fungsi uang sebagai qiwam al-dunya memiliki arti bahwa uang merupakan alat yang dapat digunakan untuk menilai barang sekaligus dan membandingkannya dengan barang lain, sebagaimana ilustrasi beliau yang menganalogikan uang dengan cermin. Adapun uang sebagai Hâkim mutawasith, artinya adalah uang dapat dijadikan sebagai standar yang jelas dalam menentukan barang yang berbeda. Sedangkan makna uang sebagai al-mu‘awwidlah memiliki arti bahwa uang merupakan sarana pertukaran barang dan sebuah transaksi atau sering disebut dengan medium of exchange.40

Fungsi uang sebagaimana disebutkan di atas tidak lepas dari konsep yang beliau kemukakan mengenai konsep dasar uang itu sendiri, yaitu uang hanya sekedar alat tukar dalam transaksi.

Dalam sistem ekonomi konvensional, selain dari fungsi-fungsi yang telah dijelasakan oleh al-Ghazalî, uang memiliki fungsi lain, yaitu fungsi tambahan/turunan (derivative function) atau fungsi sebagai alat penyimpanan kekayaan (store of value) dan fungsi sebagai alat pembayaran tangguh (standard of

(33)

defereded payment).41 Kedua fungsi tambahan ini tidak dikenal dalam fungsi yang dikatakan al-Ghazalî dan sistem ekonomi Islam.

Al-Ghazalî dalam teorinya juga menegaskan larangan terhadap tindakan riba. Secara sederhana riba adalah tambahan atas modal pokok yang diperoleh dengan cara yang bâtil. Alasan mendasar al-Ghazalîdalam mengharamkan riba adalah karena riba merupakan perbuatan dhalim dan tidak mensyukuri nikmat Allah. Hal ini didasarkan pada motif dicetaknya uang itu sendiri, yakni hanya sebagai alat tukar dan standar nilai barang semata, bukan sebagai komoditas. Karena itu, perbuatan riba adalah tindakan yang keluar dari tujuan awal penciptaan uang dan dilarang secara jelas dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits.

Salah satu contoh yang termasuk dalam kategori riba adalah jual beli mata uang. Dalam hal ini, al-Ghazalîmelarang praktik tersebut. Baginya, jika praktik jual beli mata uang diperbolehkan maka sama saja dengan membiarkan orang lain melakukan praktik penimbunan uang yang akan berakibat pada kelangkaan uang dalam masyarakat. Karena diperjualbelikan, uang hanya akan beredar pada kalangan tertentu, yaitu orang-orang kaya. Sama halnya dengan riba, memperjual belikan uang dan menimbun uang (money hoarding) adalah suatu kedhaliman.

41 Indra Darmawan, Pengantar Uang dan Perban-kan (Jakarta: Rineka Cipta.

(34)

Menurut al-Ghazalîalasan dasar pelarangan menimbun uang karena tindakan tersebut akan menghilangkan fungsi yang melekat pada uang itu. Sebagaimana disebutkannya, tujuan dibuat uang adalah agar beredar di masyarakat sebagai sarana transaksi dan bukan untuk dimonopoli oleh golongan tertentu. Teori ini sesuai dalam teori ekonomi Islam saat ini, dimana uang adalah benda publik bersifat mengalir (flow concept) yang sirkulasinya memiliki peran signifikan dalam perekonomian masyarakat. Karena itu, ketika uang ditarik dari sirkulasinya (ditimbun), akan hilang fungsi penting di dalamnya. Untuk itu, praktik menimbun uang dalam Islam dilarang keras sebab akan berdampak sistemik pada perekonomian suatu negara.

Teori ekonomi menjelaskan bahwa antara jumlah uang yang beredar dan jumlah barang yang tersedia mempunyai hubungan erat sekaligus berbanding terbalik. Jika jumlah uang beredar melebihi jumlah barang yang tersedia, akan terjadi inflasi. Sebaliknya, jika jumlah uang yang beredar lebih sedikit dari barang yang tersedia maka akan terjadi deflasi. Keduanya sama-sama penyakit ekonomi yang harus dihindari sehingga antara jumlah uang beredar dengan barang yang tersedia harus selalu seimbang di pasar.

Berbeda halnya dengan ekonomi modern. Dalam ilmu ekonomi modern, fungsi uang dijadikan sebagai sarana penyimpan nilai barang atau kekayaan. Sehingga hal tersebut akan mendorong orang untuk melakukan praktek spekulasi

(35)

dengan uang. Dalam ekonomi konvensional praktek tersebut tidak dilarang dan dianggap sebagai bagian dari keuntungan dari bisnis yang memberikan keuntungan, namun pada sisi lain mengandung unsur gamling yang sangat besar.42

Keynes dalamteori Liquidity Preference nya memaparkan bahwa ada tiga motif seseorang untuk memegang uang tunai, yaitu motif transaksi (transaction motive), motif berjaga-jaga (precautionary motive), dan motif spekulasi (Speculative motive).

Pertama, motif transaksi. Menurut Keynes, Permintaan akan uang dari masyarakat untuk tujuan ini dipengaruhi oleh tingkat national income dan tingkat suku bunga. Semakin tinggi national income semakin besar volume transaksi dan semakin besar pula kebutuhan uang untuk memenuhi tujuan transaksi. Demikian pula keynes berpendapat bahwa permintaan akan uang untuk tujuan transaksi inipun tidak merupakan suatu proporsi yang selalu konstan, tetapi dipengaruhi pula oleh tinggi rendahnya tingkat bunga.

Kedua, motif berjaga-jaga. Keynes mengemukakan pengeluaran diluar rencana transaksi normal, misalnya untuk pembayaran keadaan-keadaan darurat seperti kecelakaan, sakit, dan pembayaran yang tak terduga lain. Menurut keynes permintaan uang untuk tujuan berjaga-jaga ini dipengaruhi oleh

42 Umar Chapra, Sistem Moneter Islam (Jakarta: Gema Insani Press. 2000),

(36)

faktor-faktor yang sama dengan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan akan uang untuk bertransaksi, yaitu terutama dipengaruhi oleh tingkat penghasilan orang tersebut, dan mungkin dipengaruhi pula oleh tingkat bunga.

Ketiga, motif spekulasi. Sesuai dengan namanya, motif dari pemegang uang ini adalah terutama bertujuan untuk memperoleh “keuntungan” yang bisa diperoleh, seandainya si pemegang uang tersebut meramal apa yang akan terjadi dengan betul.

Konsep teori keynes secara garis besar, menganggap bahwa uang tidak memberi penghasilan, sedang obligasi dianggap memberikan penghasilan berupa sejumlah uang tertentu setiap periode yaitu berupa bunga. Dengan kehadiran bunga ini, motif seseorang tidak lagi hanya atas alasan transaksi dan berjaga- jaga, tetapi juga berdasarkan motif spekulasi. Motif spekulasi ini terbentuk akibat bunga mendorong uang menjadi komoditi, dimana sejumlah uang memiliki harganya sendiri yaitu bunga. Dan mau tidak mau terbentuklah pasar bagi komoditi uang ini.Orang bisa berspekulasi mengenai perubahan tingkat bunga diwaktu mendatang yang berarti juga perubahan harga pasar obligasi diwaktu mendatang dengan membeli obligasi dan menjualnya diharapkan akan memperoleh keuntungan.

Oleh karena itu, menurut keynes bila tingkat bunga diperkirakan turun maka orang lebih suka memegang kekayaan

(37)

dalam bentuk obligasi daripada uang tunai, karena bukan hanya obligasi memberikan penghasilan tertentu per periode tapi juga bisa memberikan penghasilan capital gain berupa kenaikan harga obligasi. Dan bila tingkat bunga diperkirakan akan naik, maka orang akan memilih memegang uang tunai daripada obligasi.

Pendapat Keynes ini menunjukan bahwa seseorang dihadapkan kepada dua keadaan dan dua pilihan dalam memegang kekayaan dalam bentuk uang tunai atau aset non riil berupa obligasi. Uang tunai dianggap tidak memberikan penghasilan, sedangkan obligasi dianggap memberikan penghasilan berupa sejumlah uang tertentu yang merupakan harga setiap periode dari uang tersebut.

Motif spekulasi ini sesuai dengan konsep teori modern konvensional yaitu time value of money yang berarti nilai uang yang dimiliki saat ini lebih berharga dibandingkan nilai uang masa yang akan datang. Uang yang dipegang saat ini lebih bernilai karena dapat berinvestasi dan bisa mendapatkan bunga, atau nilai uang yang berubah (cenderung menurun) dengan berjalannya waktu. Dan dalam konsep ini harga uang yang harus dibayar untuk penggunaan uang adalah tingkat bunga. Dalam Islam, konsep spekulasi yang dikemukakan oleh Keynes merupakan kegiatan yang dilarang dalam Islam. Sebab hal tersebut merupakan perbuatan yang mengandung unsure gharar.

(38)

Selain itu praktek spekulasi dengan uang juga berakibat buruk pada perekonomian yang lebih luas.

Simpulan

Pertukaran tidak hanya menjadi masalah pokok dalam bidang ekonomi, akan tetapi juga dalam lingkup soisal. Sebab, dalam kehidupan manusia, setiap orang tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri yang semakin kompleks. Hal ini di dasari bahwa tidak ada seorangpun yang benar-benar mandiri karena satu sama lain saling membutuhkan dan saling mengisi.

Sebelum mengenal uang manusia sebagai pelaku ekonomi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya menggunakan sistem barter. Barter adalah pertukaran barang dengan barang atau barang dengan jasa secara langsung tanpa menggunakan uang sebagai perantara dalam proses ini. Syarat utama terjadinya barter adalah, bahwa orang yang akan saling tukar barang, mereka saling membutuhkan.

Pada awalnya, sistem barter tersebut sangat mudah dan sederhana, namun kemudian dalam perkembangan kebutuhan masyarakat membuat sistem barter ini menjadi sulit dan muncul banyak kekurangan. Di antaranya adalah kesulitan mencari keinginan yang sesuai antara orangorang yang melakukan transaksi atau kesulitan untuk mewujudkan kesepakatan yang mutual, perbedaan ukuran barang, jasa dan sebagian barang

(39)

yang tidak bisa dibagi-bagi, kesulitan untuk mengukur standar harga seluruh barang dan jasa.

Dari beberapa kesulitan tersebut, maka manusia lalu mencari alat tukar yang berkembang menjadi uang. Rasullullah SAW menyadari kesulitan-kesulitan dan kelemahan-kelemahan sistem pertukaran dengan cara barter ini, lalu beliau menggantinya atau memperbolehkan menggantinya dengan sistem pertukaran melalui uang. Hal inilah yang melatarbelakangi munculnya teori Uang yang dikemukakan oleh al-Ghazalî.

Daftar Pustaka

Alessandro, R.,Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Bisnis. dalam

http://ramaalessandro2.multiply.com/journal/item/3/ET IKA_BISNIS_dan_tanggung_jawab_sosial_bisnis.Diak ses pada 25Oktober 2017.

al-Ghazalî, Abu Hamid,Ihya al-‘Ulûmuddîn, (Semarang: Toha Putera. t.th), Jilid III.

___________________,Ihya al-‘Ulûmuddîn (Semarang: Toha Putera. t.th), Jilid IV.

___________________, Ihya` ’Ulûmuddîn. Murâ-za‘ah: Purwanto (Bandung: Marja, 2006).

Amri, M.Pd., Drs. Emizal,Perkembangan Teori Pertukaran, Struktural Pungsional, dan Ekologi Budaya:

(40)

Implementasi dan Sumbangmya dalam Stud1 Antropologl Budaya, Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Institut Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Padang, 1997.

ash-Shan‟ani, Muhammad bin Ismailal-Amir,Subulus Salam: Sarakh Bulughul Maram, Jilid 2.

Chaudry, Muhammad Sharif,Sistem Ekonomi Islam Prinsip Dasar. (Jakarta : Prenada Media Group, 2014).

Chapra, Umar,Sistem Moneter Islam (Jakarta: Gema Insani Press. 2000.

Darmawan, Indra,Pengantar Uang dan Perban-kan (Jakarta: Rineka Cipta. 1992).

Dimyati, Ahmad,Teori Keuangan Islam Rekontruksi Metodologis Terhadap Teori Keuangan al-Ghazali. (Yogyakarta: UII Press) 2008.

Hasan, Ahmad,Mata Uang Islami Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005).

Iswardono, Uang dan Bank, (Jakarta: PT. Rajasa Grafindo Persada, 2008).

Karim, Adiwarman A.,Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer (Jakarta: Gema Insani Press. 2003). ___________________.,Ekonomi Mikro Islami. (Jakarta:PT.

(41)

M. Blau, Peter,Exchange and Power in Social Life, Chicago: John Willey & Son, INC (1964), dalam Irving M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi, Yogyakarta : UGM Press, 1995.

Manan, Muhammad Abdul,Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Jakarta: Internusa, 1992).

Mardatillah, Annisa,Etika Bisnis dalam Perspektif Islam, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Riau, JIS (Vol.6.No.1. April 2013) ISSN : 1979-2840.

Mas‟adi, Ghufran A.,Fiqih Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002).

Mauss, Marcel,Pemberian Bentuk dan Fungsi Pertukaran di Masyarakat Kuno, (Yayasan Obor Indoensia, 1992). Muhaimin, Fungsi Uang Dalam Perspektif Ekonomi Islam,

dalam:

http://muhaiminkhair.wordpress.com/2010/04/29)., diakses pada tanggal 25 November 2017.

Mulibari, Zainuddin bin Abdul Azis,Fathul Mu’in Bisyarah Qurratul ‘Ain, (Bandung: al-Ma‟arif, T.t).

Muthahari, Murthada,Pandangan Islam Tentang Asuransi dan Riba (Bandung: Pustaka Hidayah. 1995).

Nasution, Mustafa Edwin, dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta: Kencana. 2007).

(42)

Pasaribu, Chairuman dan Suhrawardi, Hukum Perjanjian dalam Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004).

Rahman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid II, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995).

Ridwan. Ahmad Hasan,Etika Bisnis dalam Islam, dalam http://etika_bisnis_dalam_Islam.html. Diakses pada 19 November 2017.

Ritzer, George. Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Post Modern. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2012).

Robinson., Pearce and,Manajemen Strategis: Formulasi, Implementasi, dan Pengendalian, (Jakarta: Salemba Empat, 2008). Edisi 10.

Salim H.S., Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008).

Sinungan, Muchdarsyah, Uang dan Bank, (Jakarta: Rineka Cipta, 1999).

Suma, M. Amin,Menggali Akar Mengurai Serat Ekonomi dan Keuangan Islam. (Ciputat, Tangerang: Kholam Publishing. 2008). Cetakan I.

Susyla, Jacka,Pertukaran dalam Islam,

dalam

https://jokosusilosite.wordpress.com/28-2/pertukaran dalam Islam, diakses pada 20 November 2017.

(43)

Wibowo, Etika Bisnis dalam Islam, dalamhttp://etika_bisnis_dalam_Islam.html.Diakses pada 21 November 2017.

Wikipedia, Uang, dalam (http://id.wikipedia.org), diakses pada tanggal 25 November 2017.

Yahanan, Evolusi Pasar Menurut Pemikiran Imam Al-Ghazali, (Universitas Prof Tabarani Rab), Jurnal Hukum Islam, Vol. XIV No. 1 Nopember 2014.

Yosephus, L. Sinuor,Etika Bisnis:Pendekatan Filsafat Moral Terhadap Perilaku Bisnis Kontemporer, (Jakarta; Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010). Cetakan I. Zimmer Thomas W., and Norman M. Scarborough, Essentials

Of Entrepreneurship And Small Business Management, second ed. Yuanto Sidik Pratikyo dan Edina Tjahyaningsih Tarmidzi (Penerjemah), Pengantar Kewirausahaan dan Manajemen Bisnis Kecil. (Jakarta: Prenhallindo, 2002).

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis data menunjukkan bahwa setelah digunakan metode diskusi kelompok pada subjek penelitian, terdapat peningkatan aktivitas dalam pembelajaran

Pertanggungjawaban pidana produsen terhadap produk makanan yang mengandung bahan kimia yang membahayakan kesehatan dan keselamatan konsumen dikategorikan sengaja atau

Pada tataran Teori Aset Tetap Hidup (Biological Fixed Assets), aset biologis memiliki karakteristik alamiah berbentuk tumbuhan atau hewan hidup yang selalu

Sokobanah Kawasan Strategis Kepentingan Sosial Budaya PLP 2016 400,000 Entitas Lingkungan/Komunitas Sistem Pengolahan Air Limbah. Skala Kawasan berbasis masyarakat

Habitat tropis dengan ketersediaan tanaman inang sepanjang tahun dan penggunaan insektisida kimia yang kurang bijaksana memungkinkan lalat pengorok daun menjadi

Pasaman Barat, hasil wawancara dengan Jainul Abidin selaku Kepala Kantor bahwa dalam melaksanakan apa yang menjadi tujuan dari Unit Layanan Modal Mikro (ULaMM) Syariah adalah

Secara parsial, implementasi pembelajaran berbasis multimedia memang menunujukkan peningkatan prestasi belajar pada mata kuliah yang menerapkannya, tetapi jika

Murid- murid nakal yang suka melanggar disiplin lebih berani dan bebas melakukan perbuatan yang melanggar peraturan dan undang-undang kerana mereka tahu guru-guru tidak