• Tidak ada hasil yang ditemukan

ETIKA PESERTA DIDIK DALAM PERSPEKTIF IMAM AL GHAZALI (TELAAH KITAB IHYA’ ULUMUDDIN) SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "ETIKA PESERTA DIDIK DALAM PERSPEKTIF IMAM AL GHAZALI (TELAAH KITAB IHYA’ ULUMUDDIN) SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

ETIKA PESERTA DIDIK DALAM PERSPEKTIF IMAM AL GHAZALI (TELAAH KITAB IHYA’ ULUMUDDIN)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh:

Evi Khusnul Khuluq NIM: 111 12 251

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

(2)
(3)

ETIKA PESERTA DIDIK DALAM PERSPEKTIF IMAM AL GHAZALI (TELAAH KITAB IHYA’ ULUMUDDIN)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh:

Evi Khusnul Khuluq NIM: 111 12 251

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

(4)

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Setelah dikoreksi dan diperbaiki, maka skripsi saudari: Nama : Evi Khusnul Khuluq

Nim : 11112251

Fakultas : Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Jurusan : Pendidikan Agama Islam (PAI)

Judul : ETIKA PESERTA DIDIK DALAM PERSPEKTIF IMAM ALGHAZALI (TELAAH KITAB IHYA’ ULUMUDDIN) Telah kami setujui untuk dimunaqosahkan.

Salatiga, 20 Maret 2017 Pembimbing

(5)

KEMENTERIAN AGAMA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK) Jalan Lingkar salatiga Km. 2 Telepon:(0298) 603136 Salatiga 50716 Website: tarbiyah.iainsalatiga.ac.id Email: tarbiyah. @iainsalatiga.ac.id

SKRIPSI

ETIKA PESERTA DIDIK DALAM PERSPEKTIF IMAM AL GHAZALI (TELAAH KITAB IHYA’ ULUMUDDIN)

DISUSUN OLEH EVI KHUSNUL KHULUQ

NIM : 111 12 251

Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Institut Agama Islam Negeri

(IAIN) Salatiga, pada tanggal 30 Maret 2017 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan.

Susunan Panitia Penguji

Ketua Penguji : Dr. Agus Waluyo, M.Ag. __________________ Sekretaris Penguji : Muh. Hafidz, M.Ag.

Penguji I : Rovi’in, M.Ag. Penguji II : Supardi, S.Ag., MA

Salatiga, 30 Maret 2017 Dekan

(6)

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : EVI KHUSNUL KHULUQ

NIM : 111 12 251

Fakultas : Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) Jurusan : Tarbiyah

Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, buka jiplakan dari hasil karya orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Salatiga, 20 Maret 2017

Yang Menyatakan,

(7)

MOTTO

Jangan pernah menunda-nunda untuk melakukan suatu pekerjaan

Karena tidak ada yang tahu

apakan kita dapat bertemu hari esok atau tidak

(8)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan skripsi ini untuk:

1. Keluarga besarku terutama pada orang tuaku Bapak Widodo dan Ibu Sri Pareng Hastuti, yang telah melahirkan, membesarkanku dengan penuh kasih sayang dan mendidik aku hingga saat ini,

2. Suamiku Muryono, yang selalu menemani, memberi nasihat, kasih sayang, bimbingan dan motivasi serta dukungan untuk menyongsong masa depan, 3. Mertuaku Bapak Subedi dan Ibu Sariyah, yang telah mendukung dan

membantu membiayai sehingga dapat menyelesaikan skripsi sampai saat ini, 4. Sahabat seperjuanganku, yang selalu menemaniku dari awal kuliah sampai

sekarang dan sabar menghadapi segala tingkah lakuku,

(9)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji dan syukur senantiasa penulis haturkan kepada Allah SWT. Atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat diberikan kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah SAW, keluarga, sahabat dan para pengikut setianya.

Dengan selesainya skripsi ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri Salatiga yang telah memberikan kesempatan untuk menuntut ilmu di IAIN Salatiga. 2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN

Salatiga.

3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam IAIN Salatiga yang telah memberikan ijin untuk melaksanakan penelitian dan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Muh. Hafidz, M.Ag. selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah dengan sabarnya memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam penyususnan skripsi ini.

(10)

6. Bapak Widodo dan Ibu Sri Pareng Hastuti, yang telah melahirkan, membesarkan dan senantiasa mendoakan penulis hingga bisa menjadi seperti yang sekarang ini. 7. Muryono, yang telah mendukung, menyemangati dan selalu menemani demi

selesainya skripsi ini.

8. Bapak Subedi dan Ibu Sariyah, yang telah membantu membiayai penulis sehingga mampu menyelesaikan skripsi ini dengan lancar

9. Keluargaku, teman-temanku, sahabat-sahabatku dan semua pihak yang membantu dalam terselesaikannya skripsi ini serta para pembaca yang budiman dan dimuliakan oleh Allah.

Harapan penulis, semoga amal baik dari beliau mendapatkan balasan yang setimpal dan mendapatkan ridho Allah SWT.

Akhirnya dengan tulisan ini semoga bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca umumnya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Salatiga, 20 Februari 2017 Penulis

(11)

ABSTRAK

Khuluq, Evi Khusnul. 2017. Etika Peserta Didik dalam Perspektif Imam Al Ghazali (Telaah Kitab Ihya’ Ulumuddin). Skripsi. Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Pendidikan Agama Islam. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Muh. Hafidz, M.Ag.

Kata Kunci : Etika Peserta Didik

Penelitian ini dilatar belakangi oleh sikap-sikap peserta didik yang mulai melenceng. Beberapa peserta didik kurang mengetahui tugas dan kewajiban mereka sehingga sangat berpengaruh dalam perkembangan peserta didik. Di negara kita, buka rahasia lagi bahwa masyarakat mempunyai harapan yang berlebih terhadap peserta didik atau siswa untuk generasi penerus bangsa.

Berdasarkan permasalahan di atas, maka dilakukan penelitian mengenai etika peserta didik perspektif Al-Ghazali telaah dalam kitab Ihya’ Ulumuddin. Yang membanhas mengenai bagaimana pemikiran Al-Ghazali tentang etika peserta didik telaah kitab ihya’ ulumuddin serta relevansi etika peserta didik perspektif Imam Al-Ghazali dalam konteks kekinian. Dalam mengkaji hal ini peneliti menggunakan penelitia literatur. Sumber data yang digunakan adalah buku terjemah kitab ihya’ ulumuddin dan data-data yang diperoleh dari buku-buku lain yang relevan kemudian dijadikan sebagai alat bantu dalam menganalisis masalah yang muncul. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pengumpulan data dengan mencari dan mengumpulan buku yang menjadi sumber primer yaitu kitab ihya’ ulumuddin berdasarkan tema atau topik permasalahan.

(12)

DAFTAR ISI PENGESAHAN KEASLIAN TULISAN ... MOTTO ... B. Rumusan Masalah ... C. Tujuan Penelitian ... D. Kegunaan Penelitian ... E. Metode Penelitian ... F. Penegasan Istilah ... G. Sistematika Penulisan ...

BAB II KAJIAN TEORI

A. Teori Etika Peserta Didik ... 1. Pengertian Etika ... 2. Pengertian Belajar ... 3. Tujuan Pendidikan Menurut Al-Ghazali... B. Konsep Etika Menurut Pandangan Para Filosof Muslim ...

BAB III BIOGRAFI AL-GHAZALI

A. Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali ... B. Kondisi Sosial Keagamaan Masa Hidup Al-Ghazali ... C. Karya-karya Imam Al-Ghazali ...

(13)

BAB IV: POKOK PEMIKIRAN IMAM AL-GHAZALI (TELAAH KITAB IHYA’ ULUMUDDIN)

A. Etika Peserta Didik dalam Ihya’ Ulumuddin ... B. Relevansi Etika Peserta Didik Perspektif

Imam Al-Ghazali dalam Konteks Kekinian ...

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... B. Saran ...

26 31

36

42

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan pada dasarnya merupakan sebuah sarana yang tepat untuk

meningkatkan dimensi etika yang ada dalam diri manusia khususnya peserta

didik (siswa). Penanaman nilai-nilai etika sejak dini penting untuk dilakukan

guna melahirkan generasi penerus yang baik dan sesuai dengan nilai-nilai

luhur bangsa dan agama (Zuhairini, 1991: 149). Maksudnya adalah mendidik

anak didik agar menjadi manusia dewasa yang cakap dan berguna bagi

agama, masyarakat, nusa, dan bangsa di masa yang akan datang. Proses

belajar mengajar yang penuh dengan nilai etika sudah semestinya menjadi

tujuan utama dalam Sistem Pendidikan Nasional.

Dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional, tentang pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk

mewujudkansuasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik

secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan

spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak

mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan

negara.

Fenomena etika di negara yang mayoritas penduduknya muslim ini

masih cukup nampak jelas. Dapat diamati di dalam kehidupan sehari-hari

(15)

seperti rendah hati, toleransi, kejujuran, kesetiaan, kejujuran, kepedulian,

saling membantu, tenggang rasa, dan etika terhadap guru yang merupakan jati

diri bangsa Indonesia.

Namun perhatian dari dunia pendidikan Nasional terhadapa akhlak atau

budi pekerti dapat dikatakan masih sangat kurang, karena orientasi

pendidikan masih cenderung mengutamakan pengetahuan. Yaitu

mengutamakan kecerdasan intelektual dan ketrampilan fisik, namun kurang

menekankan nilai-nilai etika dan spiritual, serta kecerdasan emosional.

Akibatnya, banyak pelajar yang terlibat tawuran, tindakan kriminal,

pencurian, penodongan, penyimpangan seksual, penyalah gunaan obat-obat

terlarang dan sebagainya.

Oleh karena itu, dalam proses belajar mengajar jika seorang pendidik

lepas dari nilai-nilai etis yang mengacu pada Al-Qur’an dan Sunnah, maka

hasil yang akan diraih adalah etika yang seperti halnya kita lihat dijaman

sekarang ini.

Tanggung jawab orang tua terhadap anak tidaklah kecil, secara umum

inti tanggung jawab tersebut adalah menyelenggarakan pendidikan bagi

peserta didik (Tafsir,2007:160) guna mengarahkan kepada etika maupun budi

pekerti yang mulia, sehingga dapat memelihara dan mengembangkan fitrah

serta sumber daya insani menuju terbentuknya insan kamil sesuai dengan

norma Islami.

Untuk itu peserta didik harus mempunyai etika atau akhlak yang baik.

(16)

ulama yang mengatakan bahwa akhlak merupakan etika islam. Sedangkan

etika sendiri berasal dari kata Latin ethics yang artinya adalah kebiasaan.

Namun, lambat laun pengertian etika berbah, seperti sekarang. Etika ialah

suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia

(Rahmaniyah, 2010:57).

Etika dalam perkembangan di era modern seperti sekarang menempati

posisi yang sangat penting dalam kehidupan. Apabila anak didik mempunyai

etika yang baik, maka akan sejahtera lahir dan batin. Tetapi apabila etika

tersebut buruk, maka rusak lahir dan batinnya. Dalam hadis Rasulullah

Muhammad SAW. beliau bersabda:

Menceritakan kepada kami Muawiyyah bin Hisyam, dari Hisyam bin

Sa’d, dari Zaid bin Aslama, berkata: bersabda Rasulullah SAW:

Sesunggunya aku diutus untuk menyempurnakan etika yang buruk

Berdasarkan hadis di atas, dapat disimpulkan bahwa Sabda Rasulullah

tersebut mempunyai arti bahwa Rasulullah diutus ke muka bumi ini untuk

memperbaiki etika, yaitu etika yang merupakan komponen penting dalam

ajaran Islam. Karena etika yang baik tidak datang secara tiba-tiba, melainkan

perlu adanya pengamalan dan pembelajaran, agar etika tersebut dapat

menyatu ke dalam jiwa dan pikiran, serta tingkah laku setiap umam Muslim.

Al-Ghazali mengatakan bahwa pokok-pokok pembahasan etika

meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu

(perseorangan) maupun kelompok (masyarakat). Al-Ghazali menulis dalam

(17)

al Abrasyi menyatakan: Anak-anak adalah amanah di tangan ibu-bapaknya,

hatinya masih suci ibarat permata yang mahal harganya, maka apabila ia

dibiasakan pada suatu yang baik dan dididik, maka ia akan besar dengan

sifat-sifat baik serta akan berbahagia dunia akhirat. Sebaliknya jika terbiasa dengan

adat-adat buruk, tidak diperdulikan seperti halnya hewan, ia akan hancur dan

binasa (Al-Abrasyi,1970:144).

Dunia pendidikan merupakan periode penting dalam memberikan budi

pekerti dan pembiasaan akan tingkah laku yang baik khususnya pada anak

usia dini. Karena pembentukan yang utama ialah di waktu kecil, maka apabila

seorang anak dibiarkan melakukan sesuatu (yang tidak baik/kurang baik) dan

kemudian telah menjadi kebiasaan, maka akan susah untuk memperbaikinya.

Penanaman etika sejak dini menjadi penting untuk dilakukan guna

melahirkan generasi penerus yang baik dan sesuai dengan nilai-nilai luhur

bangsa dan agama.

Di era reformasi saat ini, Al-Ghazali merupakan salah satu dari sekian

banyak pemikir dalam Islam yang menyinggung tentang pentingnya etika

dalam pendidikan terutama dalam proses belajar mengajar. Tujuan peserta

didik dalam mempelajari segala ilmu pengetahuan pada masa sekarang adalah

kesempurnaan dan mendahulukan kesucian jiwa dari kerendahan etika dan

sifat-sifat yang tercela. Karena ilmu pengetahuan adalah kebaktian hati,

shalatnya jiwa dan mendekatkan batin kepada Allah SWT.

Oleh karena itu, Al-Ghazali tidak diragukan lagi keilmuannya, dengan

(18)

filsafat seorang sufi, seorang pendidik, serta karya-karyanya yang sangat

banyak.

Dari pemikiran seperti ini, maka penulis tertarik untuk melakukan

kajian sejarah secara lebih mendalam, dalam rangka memperkaya dari

keseluruhan etika peserta didik yang sudah disinggung oleh tokoh yang

berbeda.

Untuk itu penulis tertarik untuk mengkaji tentang “Etika Peserta Didik

Dalam Perspektif Imam Al Ghazali (Telaah Kitab Ihya’ Ulumuddin)”.

B. Rumusan Masalah

Dari paparan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan

dikaji dalam bahasan ini adalah:

1. Bagaimana pemikiran Imam Al-Ghazali tentang etika peserta didik (telaah

kitab Ihya’ Ulumuddin)?

2. Bagaimana relevansi etika peserta didik perspektif Imam Al-Ghazali

dalam konteks kekinian?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini

adalah:

1. Untuk menjelaskan etika peserta didik perspektif Imam Al-Ghazali

(19)

2. Untuk menjelaskan etika peserta didik pemikiran Al-Ghazali (Telaah kitab

Ihya’ Ulumuddin) dalam konteks kekinian.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menambah wawasan dan pegetahuan, khususnya bagi penulis, dan

secara umumnya bagi pembaca, tentang etika peserta didik dalam

perspektif Al-Ghazali.

2. Dengan pembelajaran ini diharapkan masyarakat dapat memahami serta

mengoptimalkan bagaimana etika peserta didik dalam proses penelitian

yang nantinya diharapkan mampu mencetak manusia yang berbudi pekerti

yang luhur.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian pustaka yaitu

penelitian yang difokuskan pada penelusuran dan telaah literature serta

bahan pustaka lainnya. Literature juga merupakan cara untuk

menyelesaikan persoalan dengan menelusuri sumber-sumber tulisan yang

pernah dibuat sebelumnya.

Penelitian kepustakaan adalah penelitian dengan mencari dan

mengumpulkan kepustakaan atau bahan-bahan bacaan untuk mencari dan

(20)

tentang metode pendidikan Islam, kemudian dianalisis untuk mencapai

tujuan penelitian. Penelitian kepustakaan menghasilkan suatu kesimpulan

tentang gaya bahasa buku, kecenderungan isi buku, tata tulis, lay-out,

ilustrasi dan sebagainya (Arikunto, 1998: 11).

2. Sumber Data

Yang dimaksud sumber data adalah subjek di mana data itu diperoleh.

Sementara itu dalam sebuah kajian, sumber data yang dapat dipakai

menurut Mardalis, meliputi catatan atau laporan resmi, barang cetakan,

bukuteks, buku-buku referensi, majalah, koran, bulletin, dokumen, catatan

kisah-kisah sejarah, dan lain-lain.

Dalam melakukan kajian ini, peneliti menggunakan dua sumber data,

yaitu:

a. Sumber primer, yaitu buku yang ada kaitanya langsung dengan judul

skripsi, kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali.

b. Sumber sekunder, yaitu buku-buku yang ditulis pengarang lain (selain

Al-Ghazali) yang masih relevan dengan pokok permasalahan yang

menjadi kaitan dalam skripsi ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang penulis lakukan dalam penelitian ini

adalah dengan mencari dan mengumpulkan buku yang menjadi sumber

primer yaitu kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali, dan sumber

data sekunder yaitu buku-buku yang sesuai dengan penelitian ini. Setelah

(21)

hubungannya dengan masalah yang diteliti, sehingga diperoleh data atau

informasi untuk bahan penelitian.

4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan penulis dalam penyusunan skripsi

ini adalah:

a. Deduktif

Metode yang digunakan untuk menjelaskan etika peserta didik

adalah metode deduktif. Yang dimaksud metode deduktif adalah

metode berfikir yang berdasarkan pada pengetahuan umum dimana kita

hendak menilai suatu kejadian yang khusus (Hadi, 1987:42). Teknik ini

digambarkan sebagai pengambilan kesimpulan dari suatu yang umum

menjadi khusus. Berdasarkan data yang telah diperoleh, penulis

menganalisis kepribadian peserta didik secara umum, kemudian

menggolongkannya secara khusus sesuai dalam kitab Ihya’ Ulumuddin

karya Imam Al Ghazali.

b. Induktif

Metode yang digunakan adalah metode induktif guna mengkaji

data yang telah didapat yang terkait dengan etika peserta didik yang

telah dipaparkan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin

dan dikaitkan dengan relevansi kekinian. Metode induktif adalah

metode berfikir yang berangkat dari fakta-fakta peristiwa khusus dan

konkrit, kemudian ditarik generalisasi yang bersifat umum (Hadi,

(22)

F. Penegasan Istilah

Untuk lebih memperjelas dan memberi kemudahan dalam

pembahasan, maka peneliti perlu memperjelas istilah etika peserta didik

perspektif Imam AL-Ghazali (telaah kitab Ihya’ Ulumuddin) yang ada dalam

judul skripsi ini.

a. Etika ialah sopan santun, susila, atau moralitas. Dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia etika berarti ilmu tentang apa yang baik dan apa yang

buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (Achmad, 15)

b. Peserta didik atau siswa menurut Al-Ghazali adalah makhluk yang telah

dibekali dengan potensi atau fitrah untuk beriman kepada Allah SWT.

fitrah itu sengaja disiapkan oleh Allah SWT. sesuai dengan kejadian

manusia yang tabi’at dasarnya adalah kepada agama Islam (Nizar: 87)

c. Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin

Muhammad. Ia seorang ulama besar dan sekaligus seorang ahli pendidik

juga seorang figur ideal yang memiliki pemikiran luas. Sehingga ia

menempati sebagai salah seorang pemikir di antara sederetan

pemikir-pemikir yang paling berpengaruh di sepanjang zaman.

d. Kitab Ihya’ Ulumuddin merupakan salah satu karya monumental yang

menjadi intisari dari dari seluruh karya Al-Ghazali. Secara bahasa Ihya’

Ulumuddin berarti menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama. sebagaimana

judulnya kitab ini berisi tentang ilmu-ilmu agama yang akan menuntut

umat Islam. Tidak berorientasi pada kehidupan dunia , akan tetapi

(23)

G. Sistematika penulisan

Sistematika penulisan skripsi merupakan suatu cara menyusun dan

mengolah hasil penelitian dari data serta bahan-bahan yang disusun menurut

susunan tertentu, sehingga menghasilkan kerangka skripsi yang sistematis

dan mudah dipahami. Sistematika penulisan penelitian ini sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

Bab ini merupakan garis besar dari penyusunan penelitian. Dalam

hal ini akan dibahas sebagai berikut: latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode

penelitian, penegasan istilah dan sistematika penulisan.

BAB II: KAJIAN TEORI

Untuk mengetahui atau memuat teori etika peserta didik, konsep

etika menurut pandangan para filosof Muslim.

BAB III: BIOGRAFI IMAM AL-GHAZALI

Untuk mengetahui dasar pemikiran Imam Al Ghazali, maka harus

mengetahui biografi Imam Al Ghazali, kondisi sosial keagamaan

masa hidup Al-Ghazali.

BAB IV: PEMIKIRAN IMAM AL-GHAZALI TENTANG ETIKA

PESERTA DIDIK (TELAAH KITAB IHYA’ ULUMUDDIN)

Untuk mengetahui pokok-pokok ide gagasan Imam Al-Ghazali

dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, yang mencakup tentang etika

(24)

didik dalam Ihya’ Ulumuddin. Relevansi etika peserta didik

perspektif Imam Al-Ghazali dalam konteks kekinian.

BAB V: PENUTUP

(25)

BAB II

KAJIAN TEORI

ETIKA PESERTA DIDIK

A. Teori Etika Peserta Didik

1. Pengertian Etika

Secara etimologi, kata etika berasal dari bahasa Latin “ethicus”,

yang berarti kesusilaan atau moral. Maksudnya adalah tingkah laku yang

ada kaitannya dengan norma-norma sosial, baik yang sedang berjalan

maupun yang akan terjadi. Kata moral selalu mengacu pada tindakan yang

baik atau buruk yang dilakukan oleh manusia.

Sedangkan secara etimologi, etika ialah suatu ilmu yang

membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, bukan tata

adat tapi tata adab berdasarkan pada baik buruk manusia (Amin, 1995:15)

Firman Allah dalam surat Al-Maidah: 100

Artinya : Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik,

Ada beberapa pendapat mengenai pengertian etika diantaranya:

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika diartikan sebagai ilmu

tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban

(26)

Dalam Kamus Istilah Pendidikan dan Umum, etika adalah bagian

filsafat yang mengajarkan tentang keluhuran budi (baik buruk).

(Rahmaniyah, 2010: 57-59)

Menurut Amin, etika adalah ilmu yang menjelaskan baik dan buruk

dan menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia,

menyatakan tujuan yang harus ditempuh oleh manusia di dalam perbuatan

mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya

diperbuat oleh manusia itu sendiri (Amin, 1995: 3)

Jadi dapat disimpulkan bahwa, etika adalah pada prinsipnya sama

antara satu dengan yang lainnya, yaitu saling melengkapi untuk mencapai

tujuan yang dikehendaki dengan meliputi berbagai aspek, yaitu tentang

baik dan buruk, bagaimana perbuatan dan tujuan manusia, mengandung

nilai-nilai dan norma-norma yang dapat dijadikan peraturan hidup dalam

kehidupan manusia.

Ada dua macam etika yang ditekankan oleh Al Ghazali terhadap

seorang murid, etika terhadap dirinya dan etika terhadap orang lain,

terutama kepada gurunya sendiri.

1. Etika terhadap diri sendiri

Dalam kitabnya beliau mengatakan bahwa:

“suatu kondisi jiwa yang menjadi sumber lahiriyah

perbuatan-perbuatan secara wajar mudah tanpa memerlukan pertimbangan dan

(27)

Jadi untuk menilai baik buruk suatu perbuatan etika belajar siswa

tidak bisa dilihat datri aspek lahiriyahnya saja, namun juga dilihat dari

unsur kejiwaannya. Oleh karena itu perbuatan lahir juga harus dilihat dari

motif dan tujuan melakukannya.

Maksudnya dari pemaparan di atas adalah seorang murid dilarang

untuk berperilaku sombong, iri hati, marah, cepat puas, dan sifat-sifat

tercela lainnya. Serta terbentuknya moral dan jasmani yang baik pada

anak didik sesuai landasan agama.

2. Etika terhadap seorang guru

Seorang siswa wajib berbuat baik kepada guru dalam arti

menghormati, memuliakan dengan ucapan dan perbuatan, sebagai

balas jasa atas kebaikan yang diberikan. Dan juga tidak menentang

perintah gurunya dan tidak berperilaku sombong terhadap gurunya

(al-Ghazali,:47).

2. Pengertian Belajar

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, belajar adalah berusaha

memperoleh kepandaian atau ilmu, berlatih, dan berubah tingkah laku atau

tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman (KBBI : 17)

Secara terminologi, belajar dapat diartikan sebagai suatu proses

perubahan tingkah laku akibat adanya interaksi antara individu dengan

lingkungannya. Sedangkan menurut Mardiyanto, belajar adalah suatu

(28)

diri seseorang yang mencakup perubahan tingkah laku, sikap, kebiasaan,

ilmu pengetahuan, ketrampilan, dan sebagainya (Mardiyanto, 2009: 35)

Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa belajar merupakan

proses penguasaan pengetahuan atau ketrampilan yang diperoleh dari

proses pembelejaran serta perubahan tingkah laku akibat adanya interaksi

antara individu dengan lingkungannya untuk dapat tumbuh dan

berkembang secara baik dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan demikian, yang dimaksud dengan etika belajar adalah

serangkaian upaya pembentukan perilaku yang mengandung nilai-nilai dan

norma-norma yang dapat dijadikan peraturan hidup, terutama dalam proses

belajar baik dalam proses penguasaan, pengetahuan atau ketrampilan serta

tercapainya perubahan tingkah laku akibat adanya interaksi antara individu

dengan lingkungan untuk dapat tumbuh dan berkembang secara baik.

Pada hakikatnya belajar adalah perubahan tingkah laku, maka ada

beberapa perubahan tertentu yang dimasukkan dalam ciri-ciri belajar,

yaitu:

a. Perubahan yang terjadi secara sadar

Hal ini berarti bahwa seseorang yang belajar akan menyadari

terjadinya perubahan itu, atau merasakan telah terjadi adanya suatu

perubahan dalam dirinya. Misalnya ia menyadari bahwa

(29)

b. Perubahan dalam belajar bersifat fungsional

Perubahan yang terjadi dalam diri seseorang berlangsung

terus-menerus. Maksudnya suatu peubahan yang terjadi akan menyebabkan

perubahan berikutnya dan akan berguna bagi kehidupan ataupun proses

belajar berikutnya. Misalnya, jika seorang anak belajar menulis maka ia

akan mengalami perubahan dari tidak menulis menjadi bisa menulis.

c. Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif

Semakin banyak usaha belajar yang dilakukan, semakin banyak

dan semakin baik perubahan yang diperoleh atau didapatkan. Perubahan

yang bersifat aktif ini artinya bahwa perubahan itu tidak terjadi dengan

sendirinya melainkan karena usaha individu sendiri. Misalnya,

perubahan tingkah laku yang dikarenakan proses kematangan yang

terjadi dengan sendirinya.

d. Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara

Ini terjadi hanya untuk beberapa saat saja, seperti berkeringat,

keluar air mata, dan sebagainya. Tetapi ini tidak digolongkan sebagai

perubahan dalam pengertian belajar. Perubahan yang terjadi karena

proses belajar bersifat menetap atau permanen. Misalnya, kecakapan

seorang anak dalam memainkan piano setelah belajar tidak akan hilang

melainkan akan terus dimiliki dan bahkan makin berkembang bila terus

(30)

e. Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah

Dalam hal ini, berarti bahwa perubahan tingkah laku itu terjadi

karena ada tujuan yang akan dicapai. Misalnya, seseorang yang belajar

mengetik sebelumnya sudah menetapkan apa yang akan dicapai.

Dengan demikian, perbuatan belajar yang dilakukan senantiasa terarah

pada tingkah laku yang telah ditetapkan.

f. Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku

Perubahan yang diperoleh seseorang setelah melalui suatu proses

belajar meliputi perubahan keseluruhan tingkah laku. Jika seseorang

belajar sesuatu, sebagai hasilnya ia akan mengalami perubahan tingkah

laku secara menyeluruh dalam sikap kebiasaan, ketrampilan,

pengetahuan dan sebagainya.

3. Tujuan Pendidikan Menurut Al-Ghazali

Yang dimaksud tujuan pendidikan adalah target yang ingin dicapai

suatu proses pendidikan. dengan kata lain, pendidikan dapat

mempengaruhi performance manusia.

Tujuan pendidikan mencakup tiga aspek yaitu :

a. Kognitif, yang meliputi pembinaan nalar, seperti kecerdasan,

kepandaian dan daya pikir.

b. Afektif, yaitu pembinaan hati seperti pengembangan rasa, hati, dan

rohani.

c. Psikomotorik, yaitu pembinaan jasmani, seperti kesehatan badan dan

(31)

Sedangkan saran pokok untuk mencapai tujuan pendidikan terdiri

dari materi pendidikan artinya, anak didik harus disiapkan seperangkat

materi (kurikulum) yang siap untuk dipelajari. Disamping itu

pendidikan juga harus mempunyai metode pengajaran yang dapat

mendukung proses belajar secara baik.

B. Konsep Etika Menurut Menurut Pandangan Para Filosof Muslim

1. Ibnu Maskawaih menerangkan adanya tiga pokok dasar dalam

pembentukan kejiwaan seseorang.

Pertama, daya fikir. Daya berfikir harus dimiliki oleh setiap peserta

didik karena dengan daya tersebut ia akan berusaha untuk mencapai

kebenaran dan ingin terlepas dari semua bentuk kesalahan dan kebodohan.

Kedua, emosi dan sikap berani, dalam arti sikap berani yang dapat

mengendalikan kekuatan amarahnya dengan akal untuk maju. Orang yang

memiliki etika baik biasanya memiliki kecerdasan emosional dan sikap

pemberani, karena dapat menunjang dirinya untuk mewujudkan

sikap-sikap mulia, suka menolong, cerdas, dapat mengendalikan jiwanya, suka

menerima saran dan kritik dari orang lain, dan memiliki perasaan kasih

dan cinta.

Ketiga, kepuasan indera, yaitu sifat dasar manusia yang menginginkan

kebebasan beraktualisasi untuk meraih kepuasan-kepuasan tertentu. Orang

yang memiliki daya tersebut dapat menimbulkan sifat-sifat pemurah,

(32)

rakus. Kepuasan tersebut merupakan suatu potensi yang diberikan oleh

Allah, dibawa manusia sejak lahir (Musa: 85)

Orang yang memiliki etika baik dapat bergaul dengan masyarakat

secara luwes karena dapat melahirkan sifat saling mencintai dan

tolong-menolong.

Jadi dapat disimpulkan bahwa etika baik merupakan sumber dari

segala perbuatan yang sewajarnya, sehingga suatu perbuatan yang terlihat

merupakan gambaran dari sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa.

2. Al Farabi juga menekankan bahwa etika belajar siswa atau etika peserta

didik hendaknya bersendi pada nilai ibadah, mengingat bahwa niat adalah

unsur terpenting dalam aktifitas dan tindakan manusia. Itulah sebabnya

Rasulullah senantiasa mengaitkan amal dengan niat, karena niat adalah

sikap batin yang memberikan nilai dan arti bagi kita.

Pandangan Al Farabi tersebut apabila dilaksanakan dengan

sebaik-baiknya, maka akan terwujud norma-norma dan nilai yang positif yang

akan mempengaruhi keberhasilan di dalam proses pendidikan dan

pengajaran (Syamsyudin, 1990: 140)

3. Azyumardi azra, adalah doktor dan guru besar sejarah namun

pandangannya tentang pendidikan Islam tidak diragukan.

Dalam era globalisai dewasa ini dapat mempengaruhi

perkembangan sosial budaya masyarakat muslim Indonesia pada

(33)

Azra mengungkap bahwa pendidikan Islam adalah salah satu aspek

saja dari ajaran Islam secara keseluruhan. Karenanya tujuan pendidikan

Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam.\

Tujuan hidup manusia dalam Islam inilah yang dapat disebut juga sebagai

tujuan akhir pendidikan Islam. Selain tujuan umum tersebut, tentu terdapat

pula tujuan khusus yang lebih spesifik menjelaskan apa yang ingin dicapai

melalui pendidikan Islam. Sehingga konsep pendidikan Islam jadinya

tidak sekedar seperti ajaran-ajaran Islam dalam pendidikan Islam.

Dasar-dasar pendidikan Islam, secara garis besar diletakkan pada

dasar-dasar ajaran Islam dan seluruh perangkat kebudayaannya, yaitu:

a. Dasar pendidikan Islam pertama adalah, Al-Qur’an dan Sunnah.

b. Nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan

Al-Qur’an dan Sunnah.

c. Warisan pemikiran Islam dalam hal ini hasil pemikiran para ulama,

filosof, cendekiawan muslim, khususnya dalam pendidikan.

Dari dasar-dasar itulah kemudian dikembangkan suatu sistem yang

mempunyai karakteristik berbeda dengan sistem-sistem pendidikan

lainnya. Sercara singkat karakteristik pendidikan Islam adalah sebagai

berikut:

1. Pendidikan Islam adalah penekanan bahwa pencarian ilmu

pengetahuan, penguasaan dan pengembangan atas dasar ibadah kepada

(34)

2. Pengakuan akan potensi dan kemampuan seseorang untuk berkembang

dalam suatu kepribadian.

3. Pengamalan ilmu pengetahuan atas dasar tanggung jawab kepada tuhan

dan masyarakat dalam hal ini pengetahuan bukan hanya untuk diketahui

dan di kembangkan melainkan sekaligus dipraktekkan dalam kehidupan

nyata (Azra: 10)

Sejarah telah mencatat bahwa studi Islam telah berkembang sejak

masa awal dunia Islam. Konsep yang melatar belakangi beragamnya

keberadaan studi Islam di lembaga pendidikan tinggi menimbulkan

perbincangan menyangkut susunan mata kuliah, kurikulum, silabus,

pengadaan staff pengajar yang baik.

Lembaga pendidikan Islam sebagai salah satu pusat kemajuan

manusia harus mengambil peran dalam membangun jalan tersebut demi

kemanusiaan.

Berkaitan dengan perkembangan mutakhir yang dialami

agama-agama di dunia, sebenarnya tidak perlu mengkhawatirkan masa depan

lembaga pendidikan Islam. Namun sistem dan muatan pendidikan itu

sendiri harus di tingkatkan sehingga dapat memenuhi kebutuhan dunia

modern.

Masyarakat muslim tidak bisa menghindarkan diri dari arus

globalisasi tersebut, apalagi jika ingin berjaya ditengah perkembangan

dunia yang kian kompetitif. Hampir menjadi semacam kesepakatan umum

(35)

hal didominasi ilmu (khususnya sains), yang pada tingkat praktis dan

penerapan menjadi tehnologi. Maka dari itu tantangan bagi

masyarakat-masyarakat muslim dibagian dunia manapun untuk mengembangkan sains

dan tehnologi sekarang dan masa dan masa datang tidak lebih ingan (Azra,

2002: 43)

Dengan demikian, pembaruan Islam harus dilakukan seiring

dengan perkembangan zaman termasuk dalam etika atau moral harus

dikembangkan pada diri peserta didik agar menjadi insan yang lebih baik

(36)

BAB III

BIOGRAFI IMAM AL GHAZALI

Imam Al Ghazali merupakan tokoh yang sudah terkenal di seluruh penjuru,

terutama diseluruh cendekiawan Islam. Beliau juga ahli tasawuf dan filsafat yang

terkenal. Untuk mengetahui tentang Imam Al Ghazali, maka penulis mencoba

menjelaskan biografi dan sepak terjang dari Imam Al Ghazali, diantaranya:

A. Biografi Imam Al Ghazali

Imam Al Ghazali adalah ulama besar dalam bidang agama. Nama

lengkap beliau adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Tusi Al

Ghazali (Abudin, 2001:55). Beliau lahir di perkampungan kecil bernama

Ghazalah, daerah Thus, Khurasan, suatu wilayah di Persi (Iran), pada tahun

450H/ 1058M.

Al Ghazali tumbuh dan berkembang dalam keluarga sederhana yang

saleh. Ayahnya bernama Muhammad seorang buta huruf yang kesehariannya

sebagai penenun wol dengan penghasilan yang paspasan (Rahmaniyah,

2010). Dia adalah seorang yang mempunyai tipe pecinta ilmu, sehingga di

samping menekuni pekerjaannya, ia juga sering mengunjungi majelis-majelis

pengajian. Dari sinilah beliau berkeinginan dan berdo’a supaya dikaruniai

anak yang kelak menjadi orang besar dan berpengetahuan luas seperti

(37)

Al Ghazali mempunyai seorang saudara laki-laki yang bernama Abu al

Futuh Ahmad bin Muhammad bin Ahmad at Tusi Al Ghazali yang bergelar

Majduddin. Keduanya menjadi ulama besar. Hanya saja Majduddin lebih

berprofesi pada kegiatan dakwah sedangkan Imam Al Ghazali menjadi

penulis dan pemikir. Pendidikan Imam Al Ghazali pada masa kecil

berlangsung di kampung halamannya. Setelah ayahnya meninggal dunia,

beliau dan saudaranya dididik oleh seorang sufi yang mendapat wasiat dari

ayah keduanya untuk mengasuh mereka, yaitu Ahmad bin Muhammad ar

Razikani at Tusi, ahli tasawuf dan Fiqh dari Thus. Mula-mula sufi ini

mendidik keduanya secara langsung. Tetapi, setelah harta keduanya habis,

sementara sufi itu seorang yang miskin, mereka dimasukkan ke sebuah

madrasah di Thus.

Setelah itu Imam Al Ghazali menuju ke Naisabur dan belajar kepada

Imam al Juwaini yang terkenal dengan sebutan Imam al-Haramain, seorang

teolog Asy’ariyah. Meskipun Imam al-Haramain bukan seorang filosof, tetapi

ia mengajarkan studi filsafat kepada Imam Al Ghazali. Disinilah pertama kali

Imam Al Ghazali mengenal ilmu kalam dan filsafat. Kecerdasan Al Ghazali

sempat mengundang decak kagum Imam al-Haramain, maka tidak lama

berselang beliau pun diangkat menjadi asisten pengajar oleh Imam al

Haramain. Imam Al Ghazali resmi menjadi guru di Madrasah Nidzamiyyah

Naisabur ketika Imam al-Haramain meninggal pada tahun 479 H (Sholeh,

2006:26). Dari Naisabur Al Ghazali merasa tidak puas. Akhirnya beliau

(38)

menemui dan berkenalan dengan Nidzam al-Mulk, seorang Perdana Menteri

Kerajaan Saljuq. Nidzamul Mulk menjadikan Al Ghazali sebagai guru pada

tahun 1091 M di Madrasah al Nidzamiyyah Baghdad yang telah didirikan

oleh Nidzamul Mulk sendiri. Di kota Baghdad ini Al Ghazali menjadi

terkenal. Pengajian halaqohnya semakin ramai. Ia pun telah menulis banyak

karya ilmiah. Pada tahun 1095 M, Al Ghazali meninggalkan jabatanya yang

terhormat di Bahgdad, kemudian menuju kota Makkah (Zuhri, 1997:131),

guna menunaikan ibadah haji. Kemudian melanjutkan perjalanan ke Syam

dan tinggal sementara di kota Baitul Maqdis. Selanjutnya Imam Al Ghazali

pergi ke Damaskus dan ber’uzlah di sebuah Zawwiyah di dalam masjid raya

Al Umawi Zawiyah tempat Imam Al Ghazali uzlah tersebut sampai sekarang

masih ada dan terkenal dengan sebutan Az Zawiyat Al Ghazaliyah. Di tempat

ini beliau menggunakan waktunya untuk menulis kitab Ihya’ Ulumuddin.

Akhirnya Imam Al Ghazali kembali ke Thus, sampai di sana beliau

mendirikan lembaga pendidikan. Di lembaga pendidikan tersebut beliau

mengajar dan beribadah. Kemudian di akhir kehidupanya tepatnya pada

tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H/1111 M, setelah ia selesai berwudhu

dengan sempurna, lalu berbaring meluruskan badan dan kakinya, kemudian

menghadap ke arah kiblat dan tidak lama setelah itu beliau meninggal dunia.

Jenazahnya dimakamkan di makam at-Thabron (1997:130).

Bertolak dari perjalanan hidupnya, lebih dari 70 karya Imam Al Ghazali

meliputi berbagai ilmu pengetahuan, beberapa di antaranya yang termasyhur

(39)

mengenai ilmu kalam, tasawuf dan akhlak atau etika. Di samping itu beliau

juga menjelaskan tentang arti penting kedudukan, keikhlasan di antara ilmu

dan amal. Beliau meninggalkan pusaka yang tidak dapat dilupakan oleh umat

muslimin pada khususnya dan dunia pada umumnya dengan

karangan-karangannya yang berjumlah banyak.

B. Kondisi Sosial Politik Imam Al Ghazali

Imam Al Ghazali merupakan salah satu dari sekian banyak tokoh yang

telah mewarnai hazanah pemikiran Islam dan beliau termasuk tokoh yang

sangat disegani. Dalam memahami pemikiran Imam Al Ghazali, tentunya

harus dilakukan banyak kajian terhadap riwayat hidupnya maupun

karya-karyanya dalam berbagai disiplin ilmu. Berkaitan dengan profesinya sebagai

sebagai pemikir, Imam Al Ghazali telah mengkaji secara mendalam dan

kronologis minimal empat disiplin ilmu sehingga ia menjadi ahli ilmu kalam

atau teolog, filosof, seorang sufi karena ilmu tasawufnya.

Imam Al Ghazali dilahirkan di keluarga yang amat seerhana dan bisa

dikatakan warisan nilai dari seorang ayah Imam Al Ghazali kepada beliau

tentang nilai-nilai kesederhanaan, kejujuran, dan semangat dalam mencari

ilmu-ilmu agama. Itulah salah satu yang mempengaruhi pemikiran beliau

untuk senantiasa, menuntut ilmu.

Selain itu, beliau hidup di masa klasik yaitu 1250 M. namun pada masa

itu juga sudah memasuki tahun kemunduran Islam. Pada masa itu,

(40)

Abbasiyyah mulai mengalami kemunduran yang dipengaruhi oleh terjadinya

konflik internal. Meskipun pemerintahan yang dipimpin Dinasti Abasiyyah,

pemerintah sangat memperhatikan masalah ilmu pengetahuan. Di masa itu

banyak muncul ilmu pengetahuan dari ilmuan Islam dan Yunani. Kekuatan

Dinasti Abasiyyah mulai melemah karena konflik internal yang tidak kunjung

selesai. Sebelumnya pemerintahan atau kekuasaan dipegang oleh bangsa Arab

dan Persia, namun dari kemunduran tersebut pemerintah banyak dipegang

oleh bani Saljuk dari Turki (Ya’kup, 1979:26).

Periode Imam Al Ghazali juga dapat dikatakan sebagai masa tampilnya

berbagai aliran keagamaan, dan tren-tren pemikiran yang saling berlawanan.

Munculnya banyak aliran-aliran dalam pemahaman ilmu agama pada masa

Imam Al Ghazali yang berpijak pada berkembangnya kehidupan umat Islam

pada masa itu. Berbagai permasalahan muncul dan persoalan pertama yang

muncul adalah persoalan politik karena mempengaruhi aqidah pada masa itu.

Pengaruh persoalan tersebut adalah dengan munculnya aliran Khawarij.

Pemahaman masalah aqidah terus berkembang menyebabkan timbulnya

aliran-aliran lain seperti Qadariyah, Jabriyah, Murji’ah, dan yang lebih

dominan adalah Mu’tazilah dan Asy’ariyah.

Namun demikian, banyak aliran baru yang muncul sebagai reaksi dari

kedua aliran tersebut. Di antaranya yaitu aliran bathiniyah. Sangat sulit untuk

mempengaruhi masyarakat di kala itu, karena notabenenya mu’tazilah

berdasarkan pada dalil naqli dan juga memasukkan aqli (rasio) dalam aliran

(41)

teologi, logika, dan bathiniyah. Dari semua aliran tersebut banyak

mempengaruhi pemikiran Imam Al Ghazali yang pada masa iu beliau haus

akan ilmu tentang salah satu aliran tersebut, sehingga beliau mendalami

semua supaya tidak muncul keraguan di antara semuanya (Amin, 1995:180).

Dalam pandangan Imam Al Ghazali ada empat golongan yang

menimbulkan krisis dalam bidang pemikiran dan intelektual yang disebabkan

oleh pertentangan pendapat mereka, yaitu ahli kalam (mutakallimin), kaum

bathiniyah, para filosof dan kaum sufi. Imam Al Ghazali pada masa

kecemerlangan intelektualnya merasa prihatin dan resah terhadap kondisi

umat Islam waktu itu. Keresahannya terutama disebabkan oleh merajalelanya

pemikiran yang berorientasi kuat pada Hellenisme yaitu suatu paham yang

dipengaruhi oleh filsafat Yunani, seperti Mu’tazilah. Kelompok yang suka

mengembangkan rasio ini juga dilapisi beberapa filusuf muslim, seperti Ibnu

Sina dan Al-Farabi (Hanafi, 1990: 138).

Setelah mempelajari semua aliran-aliran tersebut, beliau mulai berfikir

secara mendalam tentang pemahaman aliran-aliran tersebut. Imam Al Ghazali

berfikir bahwasannya ilmu pengetahuan tentang aliran-aliran tersebut bersifat

indrawi yang kadang tidak ada kebenarannya dan bahkan menyesatkan. Oleh

karenanya, beliau memutuskan untuk meninggalkan ilmu pengetahuan yang

bersifat indrawi tersebut dan mulai menekuni di bidang tasawuf yang selalu

menggunakan hati.

Pandangan Imam Al Ghazali yang sangat terkenal adalah pandangannya

(42)

jiwanya yang bersifat kekal dan tidak hancur. Ada empat istilah yang sangat

populer dekemukakan oleh Imam Al Ghazali dalam pembahasannya yang

begitu mendalam tentang esensi manusia, yaitu tentang hati (qalb), ruh, jiwa

(nafs), dan akal (aql) (http://bkpp.acehprov.go.id/simpegbrr/article.html).

Dari pemaparan diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa kelahiran

Imam Al Ghazali sebagaimana dijelaskan di atas adalah bersamaan engan

menghangatnya perbedaan dalam berbagai dimensi kehidupan beragama, baik

dalam konteks normatif maupun dalam wacana deskriptif akadaemik yang

menyeret pada menajamnya pandangan yang berbeda-beda bersamaan dengan

munculnya mazhab dan kelompok aliran berbagai karakteristik yang khas.

Kondisi di atas adalah latar belakang Imam Al Ghazali untuk secara tajam

mengkritik aliran-aliran dalam pemikiran islam, karena terdorong oleh gejala

pemikiran bebas waktu itu yang membuat orang meninggalkan ibadah.

Pengaruh filsafat dalam diri beliau juga begitu kentalnya. Beliau

menyusun buku yang berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitab At-Tahafut

yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi beliau menyetujui mereka

dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja kehebatan beliau ini

tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang

dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush

Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu

Taimiyah berkata,” Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At

(43)

Hal ini terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul

Islam Ibnu Taimiyah berkata, ”Perkataannya di Ihya’ Ulumuddin pada

umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang rusak, berupa

filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadis-hadis palsu (1997:55).”

Demikianlah Imam Al Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya

dalam fiqh, tasawuf, dan ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang

ilmu hadits dan sunah Rasulullah SAW yang seharusnya menjadi pengarah

dan penentu kebenaran. Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke

dalamnya dengan meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang

sejenisnya, walaupun beliau memiliki bantahan terhadapnya. Membuat beliau

semakin jauh dari ajaran Islam yang hakiki.

Dalam bidang pendidikan dan pengajaran, Imam Al Ghazali banyak

mencurahkan perhatiannya. Analisisnya terhadap esensi manusia mendasari

pemikirannya pada kedua bidang ini. Menurut Al Ghazali, manusia dapat

memperoleh derajat atau kedudukan yang paling terhormat di antara sekian

banyak makhluk di permukaan bumi dan langit karena ilmu dan amalnya.

Sesuai dengan pandangan Imam Al Ghazali terhadap manusia amaliahnya,

yaitu bahwa yang amaliah itu tidak akan muncul dan kemunculannya hanya

akan bermakna kecuali setelah ada pengetahuan. Sehingga wajar dalam

karyanya yang sangat monumental, Ihya’ Ulumuddin, Imam Al Ghazali

mengupas ilmu pengetahuan secara panjang lebar dalam sebuah bab

tersendiri. Dalam pembahasannya tentang ilmu, Imam Al Ghazali

(44)

ilmu saja namun juga membagi ilmu yang telah ia dapat dalam tatanan sosial

masyarakat (Asrori, 1996:6).

Dilihat dari Ihya’ Ulumuddin bab pertama, Imam Al Ghazali adalah

penganut kesetaraan dalam dunia pendidikan, beliau tidak membedakan

gender siswanya, juga tidak dari golongan mana mereka berbeda, selama dia

Islam maka hukumnya wajib, tidak terkecuali siapapun.

C. Karya-karya Imam Al Ghazali

Imam Al Ghazali adalah seorang ulama yang produktif dalam

menyampaikan pemikirannya lewat tulisan-tulisan (karya ilmiah) yang

banyak jumlahnya. Diantara karya-karyanya yaitu (Al-Qardawi, 189-199):

1. Bidang falsafah

a. Maqasid al-Falasifah,

b. Tahafut al- Falasifah

Diterbitkan di Kairo tahun 1302 H. 1320 H.. 1321 H. dan tahun 1995

M. juga telah diterbitkan di Bombay pada tahun 1304 H.

c. Al-Ma’arij ul-Aqaliyah

2. Bidang pembangunan agama dan akhlak

a. Ihya’ Ulumuddin

Kitab ini telah diterbitkan ribuan kali, diantaranya di Bulaq tahun

1269, 1279, 1282, 1289 H. juga diterbitkan di Istambul tahun 1321 H.

di Teheran 1293 H.dan diterbitkan Darul Qolam Beirut tanpa

(45)

b. Al-Munqis Min al-Dhalal,

c. Minaz al-Amal,

d. Kimiya al-Sa’adah

Diterbitkan oleh Hijr di Luctenaw tahun 1279 H. dan di Bombay

tahun 1883 M.

e. Minhaj al-Abidin,

f. Kitabul al-Arbain,

g. At-Tabbarrul Masbuk fi Nasihat al-Muluk,

h. Al-Mustashfa fi al-usul

Diterbitkan di Bulaq tahun 1322 dalam bentuk 2 juz

i. Misyikatul Anwar

j. Al-Munqid min al-Dhalal

Telah dicetak di Istambul tahun 1286 H dan 1303 H. kemudian di

Kairo tahun 1209 H.

k. Ayyuhal Walad

Terbit dalam satu kumpulan edisi di Kairo tahun 1328 H. Di Istambul

juga terbit pada tahun 1305 H. dan di Qazam tahun 1905 M. dengan

terjemah bahasa Turki oleh Muhammad Rasyid. Diterjemahkan juga

ke dalam bahasa Jerman oleh Hammer Y di Wina tahun 1837 M.

diterjemahkan pula kedalam bahasa Perancis dalam publikasi edisi

khusus UNESCO tahun 1951 M. dengan judul Traite du Disciple.

(46)

Kitab ini diterbitkan satu edisi dengan kumpulan risalah Al Ghazali

(Maimu’ur Rasa’il) di Kairo tahun 1328/1910M.

m.Ar-Risalah al-Laduniyah

3. Bidang politik yang berkaitan dengan kenegaraan

a. Mustazh-hiri,

b. Al- Munqiz min al-Dhalal,

c. At-Tibru-Masbuk fi-Nasihat at-Muluk,

d. Sirr al-Alamain,

e. Fatihat,

f. Al-Iqtishad fi al- I’tiqad

Diterbitkan oleh Musthafa al Qabbany, Kairo tahun 1320 H.

g. Al-Wajiez

h. Suluk al-Sultaniyyah,

i. Bidayat al-Hidayah:

Diterbitkan oleh Buluq tahun 1287 H. Kairo 1277 H. dan 1303 H.

Dalam terbitan yang disertai catatan-catatan Muhammad an Nawawi

al Jary, terbit di Kairo tahun 1308 H. Lucknow 1893. Kairo 1306,

1326 H. terbit di Madabay 1326 H. Kairo 1353 H. Maktabatul Qur’an

juga menerbitkan pada tahun 1985.

j. Nasihat al-Muluk

4. Bidang ushuluddin dan akidah

(47)

Yang merupakan juz kedua dari kitab beliau Jawahirul Qur’an. Terbit

di Kairo tahun 1328 H/ 1910 M. dan diterbitkan pula oleh Maktabah

at Tijariyah tanpa tahun.

b. Qawa’idul Aqa’id yang beliau satukan dengan Ihya’ Ulumuddin pada

jilid pertama,

c. Al Iqtishad fil I’tiqad, dan

d. Faisal at-Tafriqah Bainal Islam wa Zanadiqah.

Masih banyak lagi karya Al Ghazali lainnya, baik yang sudah di

cetak dan diterbitkan, maupun yang masih berbentuk manuskrip.

Sedangkan di sisi lain ada ratusan karya yang dikategorikan hasil karya

Al Ghazali, dan tentunya hal ini masih diperdebatkan (Sholeh,

2006:43-45).

Dari sekian banyak karya beliau, penulis mengambil kesimpulan

bahwa antara karya yang satu dengan yang lain memiliki

ketersinambungan pesan dan nasihat dari Imam al-Ghazali yaitu mencari

kebenaran yang hakiki berdasarkan pada keyakinan kepada Sang Maha

Esa dan menggapai hidayah Allah swt, dimana seorang hamba selalu

membutuhkan pertolongan dan bimbingan bagi dirinya sendiri.

Kitab-kitab beliau ini bertujuan untuk memerangi kebobrokan moral pada diri

manusia menuju insan kamil yang siap menghadap kepada Sang

(48)

Seperti kitab Ihya’ Ulumuddin yang berisikan ajaran tentang adab,

ibadah, tauhid, akidah, dan tasawuf. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa ciri khas dalam karya beliau adalah membangkitkan kesadaran

diri untuk menjadi insan kamil yang taat pada Sang Pencipta serta

(49)

BAB IV

POKOK PEMIKIRAN IMAM AL-GHAZALI

(TELAAH KITAB IHYA’ ULUMUDDIN)

A. Etika Peserta Didik dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin

Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin telah penyampaikan

tentang etika peserta didik. Dalam hal ini beliau menjelaskan keutamaan

tentang pentingnya ilmu (Al-Ghazali: 77)

Beliau menjelaskan bahwa puncak ilmu berada pada pengamalan

terhadap ilmu. Dalam hal ini pengamalan dianggap buah ilmu untuk bekal

menuju akhirat.

Berdasarkan uraian di atas, maka beberapa tugas peserta didik yang

dimaksudkan dalam kitab Ihya’ Ulumuddin sebagai berikut:

Pertama, Seorang peserta didik harus membersihkan / mensucikan

jiwanya dari akhlak yang buruk / kotor dan sifat-sifat tercela. Hal ini

mengingatkan bahwa ilmu adalah ibadahnya hati, shalatnya nurani dan

mendekatkan batin manusia pada Allah SWT (Al-Ghazali, 2014: 28).

Sebagaimana tidak sah shalatnya yang menjadi tugas anggota dhohir kecuali

dengan mensucikannya dari segala hadas dan najis. Maka tidahlah sah apabila

batin dan kemakmuran hati dengan ilmu pengetahuan, kecuali dengan

(50)

Al-Ghazali menggambarkan tentang ilmu yaitu dengan

mengumpamakan antara malaikat dengan anjing. Malaikat tidak akan masuk

pada rumah apabila terdapat anjing di dalam rumah tersebut. Padahal ilmu

pengetahuan tidak akan dicurahkan pada manusia selain selain dengan

perantara malaikat (Al-Ghazali: 62).

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa menurut Al-Ghazali

yang pertama yaitu mendahulukan kesucian jiwa (mensucikan hati dari

perilaku yang buruk dan sifat-sifat yang tercela) sebagaimana sabda nabi:

Artinya: agama itu dibangun diatas kebersihan.

Pengertian kebersihan bukan hanya berkaitan dengan pakaian, tetapi

juga berkaitan dengan kebersihan hati.

Hal ini ditunjukkan oleh firmanNya yang menyebutkan dalam surat

At-Taubah:28





Artinya: “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis”.

Maksudnya: jiwa musyrikin itu dianggap kotor, Karena

menyekutukan Allah. Bahkan najispun tidak hanya berkaitan dengan

berpakaian saja, apa yang tidak dapat membersihkan batin dari kotoran, maka

ia tidak dapat menerima ilmu yang bermanfaat dalam agama dan tidak dapat

(51)

Bahkan najispun tidak hanya berkaitan dengan berpakaian saja, apa

yang tidak dapat membersihkan batin dari kotoran, maka ia tidak dapat

menerima ilmu yang bermanfaat dalam agama dan tidak dapat memperoleh

penerangan dari cahaya ilmu (Abu Bakar dkk, 2014: 28).

Kedua, seorang peserta didik atau siswa hendaknya tidak banyak

melibatkan diri dalam urusan duniawi, ia harus bersungguh-sungguh dan

bekerja keras dalam menuntut ilmu, bahkan ia harus menjauh dari keluarga

dan kampung halamannya. Hal ini karena banyak berhubungan dengan yang

menyibukkan hari dan pikiran (Al-Ghazali: 63)

Apabila pikiran peserta didik atau siswa itu telah terbagi, maka

kurang untuk mendalami ilmu pengetahuan. Karena ilmu itu tidak akan

menyerahkan sebagian kepadamu sebelum kamu menyerahkan seluruh jiwa

ragamu (Al-Baqir, 1996: 169) Seperti ungkapan bahwa “Ilmu takkan

memberikan kepadamu walau hanya sebagian darinya, sampai engkau

memberikan kepadanya keseluruhan dirimu”. Sedangkan pikiran yang

terbagi-bagi, sama seperti saluran yang airnya terbagi kebeberapa arah,

sebagiannya terserap oleh tanah, dan sebagiannya lagi menguap diudara,

sehingga tidak akan tersisa lagi sekedar yang cukup dapat dimanfaatkan leh

para petani (Al-Zabidi, 2002: 504)

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa orang yang mencari

ilmu hendaknya meminimalkan kesibukan duniawi. Dan berusaha fokus

(52)

Ketiga, hendaknya seorang peserta didik jangan menyombongkan

diri dengan ilmu yang dimilikinya dan jangan pula menentang guru atau

pengajar, tetapi menyerahkan seluruhnya kepada guru dengan menaruh

keyakinan penuh terhadap segala hal yang dinasihatkan terhadap kita.

Nabi bersabda:

Artinya:“bukanlah termasuk akhlak orang mukmin bersikap basa basi

kecuali dalam menuntut ilmu”.

Perihalnya sama dengan seorang yang sakit keras. Dia harus

menyerahkan pilihanya kepada dokter yang menanganinya.

Karena manusia di samping memiliki akal, ia juga memiliki hawa

nafsu. Jika dalam proses pendidikan akal yang didahulukan dan sifat terpuji

yang disandang, maka peserta didik akan mendapatkan keselamatan dan

kesuksesan. Tetapi apabila seorang peserta didik yang masih berpegang teguh

pada pendapatnya sendiri dan menhiraukan petunjuk dari guru atau pengajar

maka hukumlah mereka dengan keteledoran dan kerugian. Dalam hal ini

dimaksudkan bahwa peserta didik dalam belajar mempunyai hak untuk

bertanya, tetapi atas izin dan petunjuk pengajar atau guru (Al-Zabidi, 2002:

514)

Maksudnya, seorang murid yang baik hendaknya bersikap rendah hati

atau tawadlu. Sifat ini sungguh sangat ditekankan oleh Al-Ghazali. Beliau

(53)

gurunya, atau merasa ilmunya lebih hebat dari pada ilmu gurunya. Murid

yang baik harus menyerahkan persoalan ilmu kepada guru, mendengarkan

nasehat dan arahannya sebagaimana pasien yang mendengarkan nasehat

dokternya.

Keempat, hendaknya seorang peserta didik menghindarkan diri dari

mendengar perselisihan-perselisihan pendapat dikalangan orang lain, karena

sesungguhnya hal itu mendatangkan kebimbangan dan kebingungan

(Al-Ghazali: 66)

Tidak diperbolehkan para pemula mengikuti perbuatan yang dilakukan

oleh para seniornya, sehingga sebagian dari mereka ada yang mengatakan,

bahwa barang siapa yang mengunjungi kami sebsgsi pemula maka dia

menjadi teman. Sedangkan orang yang lalai menganggapnya sebagai sikap

pemalas:

Artinya: “Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di

tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan”(An-Naml:28)

Dan sesunggunya diawali dengan kecenderungan hatinya terhadap

segala yang diberikan kepadanya, khususnya hal-hal yang menghambat

seperti malas dan patah semangat.

Khusus terhadap murid yang baru hendaknya jangan mempelajari

ilmu-ilmu yang saling berlawanan, atau pendapat yang saling berlawanan

atau bertentangan. Seorang murid yang baru hendaknya tidak mempelajari

aliran-aliran yang berbeda-beda, atau terlibat dalam berbagai perdebatan yang

(54)

Kelima, hendaknya seorang peserta didik jangan menolak suatu

cabang-cabang ilmu yang terpuji melainkan ia harus menyelaminya sampai

mengetahui tujuannya (Al-Ghazali: 67)

Seorang murid atau peserta didik yang baik hendaknya mendahulukan

mempelajari yang wajib. Pengetahuan yang menyangkut berbagai segi

(aspek) lebih baik daripada pengetahuan yang menyangkut hanya satu segi

saja.

Mempelajari Al-Qur’an misalnya harus didahulukan, karena dengan

menguasai Al-Qur’an dapat mendukung pelaksanaan ibadah, serta memahami

ajaran agama Islam secara keseluruhan, mengingat Al-Qur’an adalah sumber

utama ajaran Islam.

Hal ini sejalan dengan pendapat Al-Ghazali yang mengatakan bahwa

ilmu-ilmu yang ada itu saling berkaitan dan berhubungan satu dengan yang

lainnya, di mana bisa terjadi keawaman terhadap salah satunya lebih ringan

dibandingkan terhadap ilmu lainnya.

Keenam, Hendaknya ia memusatkan perhatian terhadap ilmu yang

terpenting, yaitu ilmu mengenai akhirat (al Ghazali : 69)

Perlu diketahui bahwa ilmu yang paling mulia dan mempunyai tujuan

utama yaitu makrifah kepada Allah (mengenal allah) merupakan lautan yang

kedalamannya tak dapat diselami, dan tingkatan yang paling tinggi bagi

manusia dalam hal ini adalah tingkatan para nabi lalu para wali kemudian

(55)

Maksudnya, seorang murid yang baik hendaknya mempelajari ilmu

secara bertahap. Seorang murid dinasehatkan agar tidak mendalami ilmu

secara sekaligus, tetapi memulai dari ilmu-ilmu agama dan menguasainya

dengan sempurna. Setelah itu, barulah ia melangkah kepada ilmu-ilmu

lainnya, sesuai dengan tingkat kepentingannya. Jika ia tidak mempunyai

waktu untuk mendalaminya secara sempurna, maka seharusnya ia pelajari

saja rangkumannya.

Ketujuh, menuntut ilmu bertujuan menghiasi batinya dengan hal-hal

yang mengantarkan untuk mengenal Allah dan mendukungnya didekat

golongan tertinggi dari kaum Muqorrobiin, dan bukan bertujuan untuk

mencari kepemimpinan dan harta benda dan kedudukan (al Ghazali: 31)

Maksudnya, seorang murid hendaknya tidak mempelajari satu disiplin

ilmu sebelum menguasai disiplin ilmu sebelumnya. Sebab ilmu-ilmu itu

tersusun dalam urutan tertentu secara alami, di mana sebagiannya merupakan

jalan menuju kepada sebagian yang lain. Murid yang baik dalam belajarnya

adalah yang tetap memelihara urutan dan pentahapan tersebut.

B. Relevansi Etika Peserta Didik Perspektif Imam Al-Ghazali dalam

Konteks Kekinian

Inti masalah yang dihadapi umat islam dewasa ini adalah masalah

pendidikan dan tugas beratnya adalah memecahkan masalah tersebut.

Keberhasilan dan kegagalan suatu proses pendidikan secara umum dapat

(56)

Apabila sebuah proses pendidikan menghasilkan orang-orang yang

bertanggung jawab atas tugas-tugas kemanusiaan dan tugasnya kepada

Tuhan, bertindak lebih bermanfaat baik bagi dirinya maupun bagi orang lain,

pendidikan tersebut dapat dikatakan berhasil. Sebaliknya, bila outputnya

adalah orang-orang yang tidak mampu melaksanakan tugas hidupnya,

pendidikan tersebut dianggap gagal.

Ciri-ciri utama dari kegagalan proses pendidikan ialah

manusia-manusia produk pendidikan itu lebih cenderung mencari kerja daripada

menciptakan menciptakan lapangan kerja sendiri. Kondisi demikian, lahirlah

berbagai budaya yang tidak sehat bagi masyarakat luas. Di berbagai media

masa telah banyak diungkapkan mengenai rendahnya mutu pendidikan

nasional kita. Oleh karena itu dapat disadari bahwa peningkatan mutu

pendidikan tidak dapat lepas dari proses perubahan siswa di dalam dirinya.

Perubahan yang dimaksud adalah mencakup dalam pengetahuan, sikap, dan

psikomotor.

Keadaan ini mengundang para cendekiawan mengadakan penelitian

yang berkaitan dengan mutu pendidikan. Mengenai mutu pendidikan

masalahnya menjadi sangat kompleks. Oleh karena itu, dapat disadari bahwa

peningkatan mutu pendidikan tidak dapat lepas dari proses perubahan siswa

di dalam dirinya. Perubahan yang di maksud mencakup dalam pengetahuan,

(57)

Seperti telah dikemukakan di atas, tampak pemikiran Al-Ghazali

sangat relevan untuk diterapkan di Indonesia, yang secara jelas menawarkan

pendidikan Akhlak yang paling diutamakan.

Untuk lebih jelasnya, sehubungan pemikiran Al-Ghazali bagi

pengembangan dunia pendidikan Islam khususnya, dan pendidikan pada

umumnya. Untuk mencapai tujuan yang diinginkan ada beberapa sifat,

tugas, tanggung jawab dan langkah-langkah yang harus dipenuhi dan

dilaksanakan dalam proses pembelajaran. Dapat dikemukakan sebagai

berikut:

1. Tujuan Pendidikan

Dari hasil studi terhadap pemikiran Al Ghazali, diketahui dengan

jelas bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan

pendidikan yaitu:

a. Tercapainya kesempurnaan insan yang bermuara pada pendekatan

diri kepada Allah

b. Kesempurnaan insan yang bermuara pada kebahagiaan dunia

akhirat.

Jadi manusia akan sampai kepada tingkat kesempurnaan itu hanya

dengan menguasai sifat keutamaan melalui ilmu. Dengan demikian, modal

keabahagiaan dunia dan akhirat adalah ilmu.

Al Ghazali menekankan bahwa tujuan pendidikan adalah

(58)

baik sebagai hamba Allah maupun sebagai sesama manusia (Sulaiman,

2000: 12).

2. Materi Pendidikan Islam

Imam Al Ghazali telah menyusun materi ilmu dengan kebutuhan

anak didik. Hanya saja Al Ghazali tidak merincinya sesuai dengan

jenjang dan tingkatan anak didik.

Yang menarik adalah hingga saat ini pendidikan Islam di negara

kta masih jauh terbelakang, dalam arti bahwa pendidikan masih

membedakan antara Ilmu agama Islam dan ilmu umum.

Hal tersebutlah yang akhirnya menimbulkan masalah yang

kemudian memunculkan upaya-upaya untuk melakukan Islamisasi

ilmu pengetahuan atau modernisasi Islam yang pada prinsipnya hendak

membangun kembali semangat umat Islam untuk selalu modern, maju,

dan terus melakukan perbaikan bagi diri sendiri dan masyarakatnya

tanpa harus mengabaikan sisi ketakwaan kepada Allah SWT

(Zainuddin : 68-74)

3. Metode pendidikan Islam

Metode pendidikan agama menurut Al Ghazali pada prinsipnya

dimulai dengan hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan

keyakinan dan pembenaran. Setelah itu, penegasan dalil-dalil dan

keterangan yang menunjang penguatan akidah (Rusn, 1998: 75).

Pendidikan agama kenyataannya lebih sulit dibandingkan dengan

(59)

perasaan dan menitik beratkan pada pembentukan kepribadian murid

atau peserta didik. Oleh karen itu, usaha Al Ghazali untuk menerapkan

konsep pendidikannya dalam bidang agama dengan menanamkan

akidah sedini mungkin dinilai tepat.

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya dari

metode pendidikan pendidikan lebih luas dari pada apa yang telah

dikemukakan di atas. mengaplikasi metode pendidikan secara tepat,

tidak hanya dilakukan pada saat berlangsung proses pendidikan atau

proses belajar mengajar saja, dan melatih fisik dan psikis peserta didik

itu sendiri sebagai pengguna metode pendidikan. Nilai-nilai

kependidikan yang digunakan oleh Imam Al Ghazali dapat diterapkan

dalam dunia pendidikan global.

Hal ini bahwa nilai-nilai kependidikan yang digunakan oleh imam

Al Ghazali dapat diterapkan dalam pendidikan dunia global.

Berdasarkan uraian di atas, berikut ini akan dikemukakan kesimpulan:

1. Keutuhan pribadi Al Ghazali dapat diketahui dengan memahami

hasil karyanya disemua bidang dan disiplin ilmu yang telah

diselaminya dan bukan pada satu segi saja misalnya segi tasawauf,

dengan demikian kesan Al Ghazali hanya sebagai sufi yang hanya

bergerak dibidang ruhani dan perasaan jiwa.

2. Pendidikan Islam menurut Al Ghazali adalah sarana perekayasaan

sosial bagi umat Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah

(60)

insan kamil yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah dan

kesempurnaan manusia yang bertujuan meraih kebahagiaan di

dunia dan di akhirat kelak.

3. Materi pendidikan Islam menurut Al Ghazali yang berdasarkan

Al-Qur’an dan As-Sunnah ialah berasaskan berbagai ilmu

pengetahuan sebagai sarana yang menghubungkan hamba dengan

Tuhannya, sehingga ia mendekatkan diri secara kualitatif

kepada-Nya. Dan dengan begitu peserta didik dapat mencapai kebahagiaan

di dunia dan di akhirat kelak.

Memang sarjana muslim tidak menolak ilmu intelektual tetapi

kemunduran Islam, salah satu sebabnya adalah pengabaian ilmu

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan: (1) Konsep kurikulum pendidikan Islam menurut Imam Al-ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumiddin ialah bahwa bagi beliau kurikulum pendidikan

Imam Al- Ghazali secara tersirat dalam kitab Ihya Ulumuddin telah menggagas konsep tentang hubungan kausalitas ilmu teoritis dengan daya jiwa (dzauq) dalam

Dengan adanya beberapa sifat yang harus dimiliki dari seorang pendidik ataupun dari seorang peserta didik yang sudah dijelas- kan oleh Imam Al-Ghazali maka akan tercipta

Artikel ini hanya membahas tentang bagian-bagian sabar menurut Imam al-Ghazali jadi tentunya beda dengan yang peneliti teliti karena yang peneliti teliti adalah

Hasil penelitian menunjukkan etika peserta didik terhadap pendidik menurut Al Ghazali dalam kitab Bidayatul Hidayah mencakup 13 macam etika, yaitu memberi salam kepada guru

tazkiyatun nafs adalah proses penyucian jiwa dari perbuatan dosa, proses pembinaan akhlakul karimah (prilaku mulia) dalam diri dan kehidupan manusia.. Adapun

Lebih lanjut, Kitab Ihya’ Ulumuddin disusun ketika umat Islam teledor terhadap ilmu-ilmu Islam, yaitu setelah al-Ghazali kembali dari rasa keragu- raguan dengan tujuan utama

Konsep pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan anak yang dikaji terutama dalam karyanya yang terkenal yakni; “Ihya’ Ulum al-Dhin” belum dibahas secara sistematis,