SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I) Pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
OLEH :
MULYADI BATUBARA 104011000189
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1
Eksistensi manusia di dunia tidak terlepas dari tujuan hidupnya.
Tujuan ini begitu beragam dan dipengaruhi karakter fitrah manusia yang
bermuara pada “solusi persuasif” untuk menghasilkan nilai-nilai tertentu.
Sebagai makhluk yang beragama manusia berusaha memperoleh
model-model tujuan hidup yang ternyata ditawarkan agama sebagai bagian primer
dalam ajarannya.
Dalam agama Islam, tujuan ini telah jelas-jelas digariskan dalam kitab
suci Al-Qur’an sebagai sumber momentum terbesar dan teragung, yang tidak
hanya dikenal sebagai kitab suci yang bernilai ibadah tetapi juga kitab suci
dengan mukjizat yang keramat. Bernilai ibadah karena adanya balasan pahala
bagi siapa yang membacanya serta termasuk amal yang utama serta
merupakan mukjizatnya Rasulullah SAW sebagai hujjah tertinggi kerasulan
beliau yang sarat dengan muatan ilmu, hikmah, rahmat dan hidayah.
Dalam kitab suci Al-Qur’an tujuan ini dituangkan pada salah satu
ayat-Nya yaitu pada surat Az-Zariat ayat ke-56:
Artinya:” dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
Ayat ini secara jelas menyatakan kewajiban manusia dalam
menyembah Allah SWT sebagai tujuan penciptaannya. Penyembahan yang
sempurna adalah penyembahan dalam wujud pengenalan dan pengetahuan
kepada yang disembah. Lalu lahirlah konsep “makrifatullah” yang pada
akhirnya diakui sebagai tujuan hakiki dari ibadah.
Selanjutnya “makrifatullah” dijelaskan dalam berbagai ayat lainnya,
Artinya: ”Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. dan Sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan Pertemuan dengan Tuhannya.”
Pada ayat ini terdapat jalan untuk mencapai makrifatullah yang
diisyaratkan dengan kata “memikirkan” atau “yatafakkaru”. Prosesnya meliputi dua tahapan yakni berpikir tentang diri sendiri dan berpikir tentang
alam semesta. Aliansi keduanya akan menempatkan struktur poros tengah
yang mengacu pada tahapan-tahapan mistis menuju gerbang makrifatullah.
Poros tengah di sini dimaksudkan sebagai landasan koherensi untuk
meletakkan proporsi dan komposisi yang tepat dalam memberikan formulasi
tentang Tuhan yang tentu saja berbeda dengan makhluk-Nya yakni manusia
sebagai “citra” Tuhan dan alam semesta sebagai manifestasi pelengkap.
Di kalangan akademisi sendiri, metodologi dalam sintesa – sintesa
ilmu pengetahuan menerapkan dominansi akal teoritis yang menyusun
struktur kerjanya dalam wadah logika yang menitikberatkan pada penyusunan
matriks – matriks kausalitas. Di satu sisi metodologi ini positif karena bisa
mendorong kemajuan ilmu pengetahuan teoritis yang banyak mengakuisisi
metode – metode terapan yang kemudian direduksi dalam metodologi sintetis
yang tepat guna. Namun, di sisi lain metodologi ini gagal dalam integrasi
menyeluruh dalam keselarasan antara aspek spritualitas yang murni yaitu
makrifatullah yang merupakan esensi penciptaan manusia. Ini dikarenakan
metodologi ini dalam aplikasinya merunut akal sebagai domain utama yang
berarti tidak terbukanya akses ke pintu alam malakut yang merupakan media
Setelah memahami supremasi tafakkur sebagai sarana untuk mencapai
tujuan hidup maka perlulah kiranya dirumuskan konsep tafakkur yang
menyangkut disiplin-disiplin formulasinya sehingga dengan tafakkur yang
benar tujuan tadi bisa dicapai. Berdasarkan maksud ini maka penulis tertarik
untuk mengangkat tema sentral ini dengan rujukan buku “Ihya Ulumuddin”
karya Imam Al-Ghazali sebagai bahan skripsi dengan judul ”KONSEP
TAFAKKUR SUFISTIK MENURUT IMAM AL- GHAZALI”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Di muka telah disebutkan bahwa diantara obyek tafakkur adalah
manusia dan alam semesta. Korelasi keduanya dalam setiap aspeknya yang
menyangkut muatan lahir batin serta spritualitas yang mewadahinya tentunya
telah menciptakan sebuah konsepsi pengetahuan tanpa batas. Sebab
penelusuran bagian vital dari topik ini adalah tentang makrifat yang di satu sisi
adalah pembukaan akses ke alam ghaib untuk eksplorasi ilmu-ilmu
ke-Tuhan-an yke-Tuhan-ang mutlak. Pengkajike-Tuhan-an secara global ske-Tuhan-angatlah tidaklah mungkin
mengingat faktor minimnya pengetahuan penulis sendiri.
Atas dasar pertimbangan di atas, maka penulis membatasi penulisan
konsep tafakkur versi Imam Al-Ghazali hanya pada penggambaran sistematika
secara sederhana saja tentang proses tafakkur. Adapun rumusan masalahnya
adalah tentang bagaimana proses tafakkur dalam dunia tasawuf perspektif
Imam Al-Ghazali dan aplikasinya dalam dunia akademis yang saat ini banyak
mengadopsi mekanisme logika terapan murni.
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Memberikan konsep tafakkur sufistik yang dilandasi gagasan, semangat,
dan kreatifitas sufisme yang melahirkan metodologi efektif dalam
2. Sebagai mediator dalam memetakan rancangan penyusunan konsep
perpaduan antara daya akal dan hati sebagai basis keilmuan dalam
pencapaian kebahagiaan hakiki.
3. Mewujudkan analisa formal dalam apresiasi karya – karya ulama Salaf
sehingga didapatkan sebuah petunjuk tentang dinamika pemikiran dan
perkembangan keilmuan secara implisit maupun eksplisit.
4. Mendapatkan sebuah standar kebenaran bagi pengujian ilmu – ilmu teoritis
dengan dasar kitabullah dan hadis yang bisa memberikan solusi bagi
kerancuan pemikiran mutakhir.
5. Mendapatkan gambaran dari model pemikiran Imam Al- Ghazali untuk
diaplikasikan dalam dunia akademis.
6. Sebagai amal jariyah dan ibadah
7. Mengharapkan rahmat Tuhan Yang Maha Mengetahui
D. Metodologi Penelitian
Metode yang dipakai dalam pembahasan skripsi ini adalah metode
deskriptif analitis yaitu prosedur pemecahan masalah dengan mendeskripsikan
atau menjelaskan masalah yang kemudian data disusun dan dianalisa sehingga
mendapatkan sebuah kesimpulan (konklusi).
Model penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan (library
research) dengan akomodasi buku-buku terkait dengan tema yang hendak
dikaji. Penulis berusaha mengutamakan dalil-dali Al-Qur’an sebagai penopang
argumen utamanya. Dengan demikian diharapkan skripsi ini memiliki nilai
argumen yang mumpuni.
Adapun buku - buku pedoman utama pada penulisan masalah ini
adalah karya – karya Imam Al-Ghazali yang meliputi: kitab Ihya Ulumuddin
(terjemah), kitab ‘Ajaib Al- Qalb (terjemah), kitab Kimya As- Sa’adah
(terjemah), kitab Al- Qisthas Al- Mustaqim (terjemah) dan lain- lain.
Buku – buku pendukung antara lain: Pengetahuan Suci karya Imam
Mistisisme Dalam Islam karya Harun Nasution, The Wisdom Of Al- Hakim
Al- Tirmidzi karya Al- Hakim Al- Tirmidzi dan lain - lain.
6
A.
Pengertian, Ruang Lingkup dan Tujuan
1.
Pengertian Tafakkur
Dalam surat As-Shad ayat ke-29 terdapat firman Allah SWT :
Artinya:”Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh berkah agar
mereka menghayati ayat- ayatnya dan agar orang – orang yang berakal
sehat mendapat pelajaran .
1Dalam ayat ini terdapat dua aktivitas ibadah untuk memahami Al –
Qur’an sebagai sumber ilmu yaitu aktivitas
tadabbur (penghayatan ) dan
aktivitas tadzakkur ( mengingat – ingat ). Keduanya merupakan bagian dari
aktivitas berpikir ( tafakkur ) . Jadi, proses berpikir ( tafakkur ) dalam Al-
Qur’an melibatkan dua faktor esensial yaitu hati sebagai obyek tadabbur dan
akal dalam proses tadzakkur. Dalam kolaborasi keduanya tercipta kesimpulan
dan prosesnya dinamakan tafakkur.
Asal kata tafakkur berasal dari suku kata”fakara”,”fakr” dan “fikr”
yang berarti mempergunakan akal dalam sesuatu.“Fakara”,“afkara” dan
“tafakkara” semua kata tersebut memiliki arti yang sama, yaitu berpikir
atau memikirkan dan “fakara fisy –
sya’i” artinya memikirkan tentang
sesuatu.
Dalam buku mufradat Al- Qur’an disebutkan, “tafakkur adalah
kekuatan yang mampu memicu pengetahuan menjadi yang diketahui,
perguliran kekuatan sesuai dengan pandangan akal”. Itu terjadi pada manusia
dan tidak terjadi pada binatang, serta tidak mungkin dinyatakan kecuali pada
1
apa yang mungkin dapat diperoleh gambarannya di dalam hati. Maka di
dalam sebuah riwayat dikatakan, “ Pikirkanlah tentang nikmat – nikmat
Allah dan jangan memikirkan tentang zat Allah, sebab Allah Maha Suci dari
gambaran yang dapat diungkapkan” .
2Allah SWT berfirman dalam surat Ar-Rum ayat ke-8:
Artimya:“Mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri
mereka? Allah tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di
anatara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan dalam waktu
yang ditentukan. Dan sesungguhnya banyak di antara manusia benar –
benar mengingkari pertemuan dengan Tuhannya”.
3“Rajulun fakir” artinya orang yang banyak pemikiran, kebalikan dari
kata “fakr”(menggosok, menggaruk), tetapi “fakr” digunakan dalam segi
makna yaitu memecahkan dan membahas perkara agar sampai pada
hakikatnya.
4Definisi tafakkur menurut Imam Al- Ghazali adalah “ menghadirkan
dua makrifat dan dalam hati agar dapat membuah dari keduanya akan buah
yang ketiga.
5Imam Al -Ghazali menyebutkan hati sebagai basis kronologis
pengambilan kesimpulan dan mensyaratkan pengetahuan – pengetahuan
elementer sebagai generalisasi makna rasional dan intuisi dalam produksi
kesimpulan – kesimpulan baru. Titik kumulatif tafakkur adalah daya
2
Syekh Abdul Aziz Bin Nashir Al-Jalil,Tidakkah Kalian Berpikir, (Jakarta: Cakrawala, 2008) Cet. І, h.7-8
3
Tim Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 1995) Cet. 1995, h. 642
4
Syekh Abdul Aziz Bin Nashir Al-Jalil, Tidakkah Kalian Berpikir, (Jakarta: Cakrawala, 2008) Cet. І, h.8
5
fungsional hati sebagai obyek sentral dalam wacana – wacana tasawuf
(sufistik ).
Pemikiran juga bisa dinamakan pandangan, karena ia adalah
penelusuran dengan hati terhadap objek yang dipandang. Dinamakan
mengambil pelajaran (i’tibar). “I’tibar” adalah bentuk “ ifti’al” dari kata “
ubur” (menyeberang), karena ia beralih kepada pandangan yang lain, atau
dari hal yang dipikirkan itu beralih kepada yang lain. Lalu dari hal yang
dipikirkannya itu beralih menjadi pengetahuan ketiga , dan itulah yang
dimaksud dengan mengambil pelajaran.
6Adanya variasi pemahaman ini
mengindikasikan bahwa dalam prosesnya tafakkur nantinya akan terlibat
dalam turunan-turunan kualitatif yang disesuaikan dengan bentuk-bentuk
struktural kajian ilmunya. Ini menimbulkan sebuah pemahaman multi-dimensi
yang membentuk sebuah kesimpulan bahwa tafakkur merupakan ritual ibadah
yang terorganisir dalam runtutan mendalam antara wujud partikulariat akal
dengan dimensi “dzauq “yang nantinya akan membentuk sebuah pemahaman
bipolar.
Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa ayat ke-82:
Artinya:“ Maka tidaklah mereka menghayati (mendalam) Al Quran
? Sekiranya (Al Qur’an) itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan
banyak hal yang bertentangan di dalamnya.)
7Dalam ayat di atas tafakkur identik dengan penghayatan (tadabbur)
karena ia memandang pada akhir-akhir perkara dan akibatnya (menghayati
perkataan). Menghayati perkataan itu dengan memperhatikan awal dan
akhirnya. Kemudian mengulang lagi perhatiannya selama beberapa kali.
6
Syekh Abdul Aziz bin Nashir Al-Jalil,Tidakkah Kalian Berpikir, (Jakarta: Cakrawala, 2008) Cet. І, h.6
7
Maka, susunan katanya berdasarkan bentuk “tafa'ul” seperti
“tajaru”
(mengeruk), ”tafahum”(memahami) dan
“tabayun” (mengklarifikasi).
8Maksudnya proses tafakkur adalah aplikasi tadabbur yang merupakan
proses eksplorasi menyeluruh terhadap satu batas kesatuan korelatif yang
bermuara terhadap pemahaman tauhid. Dalam ayat di atas terdapat dua batas
dwi-fungsional yang mengindikasikan dua dimensi pemahaman logika dan
esoterika yang tersurat pada kata Al-Qur’an dan Allah SWT. Al-Qur’an sarat
dengan tafsiran yang menerima aplikasi-aplikasi justifikasi akal dan hati
menuju konsep ketauhidan. Ada tafsiran yang membuka akses dalam proses
berpikir yang memberikan sebuah hierarki global konsep-konsep keesaan
Tuhan yang menerima secara terbuka ruang-ruang pemahaman universal yang
diisyaratkan dengan keanekaragaman kekuatan aqidah, simbolisme ibadah,
corak aplikatif syariat dan sebagainya yang terstruktur dalam firman-firman
suci. Terkadang Al-Qur’an telah menjadi sebuah pintu transendensi dalam
wujud tafsiran mistis yang memberikan sebuah wujud pemahaman esoteris
yang dapat dicapai dengan sebuah metode tertentu yang dalam sufisme
dikenal dengan sebutan tarekat. Al-Qur’an melibatkan proses tafakkur dan
tadabbur secara sekaligus sebagai bentuk struktur formalitas yang selanjutnya
dibawa kepada wujud realitas mutlak melalui intuisi (dzauq).
Kompromitas kata
Allah
merupakan sandaran mutlak bahwa tafakkur
dan tadabbur pada esensinya hanya merupakan jalan atau bentuk pemahaman
terstruktur yang tergeneralisasi dalam batasan-batasan definitif dan bukan
merupakan tujuan final dalam spritualitas, sekalipun dalam bidang-bidang
mutual mendapat korelasi yang differensial secara random. Kata
Allah dalam
ayat di atas merupakan standar dan variabel bagi aktivitas tafakkur. Sebagai
standar dikarenakan daya fungsional tafakkur secara esensial diarahkan untuk
tujuan-tujuan mistis seperti pencapaian makrifat dan hakikat terhadap Allah
8
SWT. Sebagai variabel dikarenakan aktivitas tafakkur ternyata memberi nilai
bagi sebuah pencapaian tingkatan spritual tertentu. Ketika kedua aspek ini
disinergikan terlihatlah bahwa tafakkur hanya ruang peralihan bagi sebuah
wujud manifestasi agung Allah SWT dengan strukturalisasi Al-Qur’an.
Ayat di atas secara tersirat juga memberikan pemahaman baru tentang
fungsi tadabbur sebagai penjelas bagi hal-hal yang kontradiktif sebagaimana
tersebut pada petikan “....pastilah mereka menemukan banyak hal yang
bertentangan di dalamnya”. Kontradiksi memuat ragam definisi dan sejatinya
selalu bersifat kontroversi sebagai wujud kausalitas dari alam ciptaan. Ketika
tadabbur dihadapkan kepada hal-hal yang kontradiktif maka struktur bipolar
akan terwujud. Struktur polar pertama adalah rekonstruksi daya akal yang
secara induktif dan deduktif akan memberikan pola-pola solusi yang
melibatkan segenap afiliasi wujud partikulariat dalam sebuah sistem terpadu
yang dikenal dengan ilmu. Ilmu inilah yang menjadi sumber pengetahuan
pertama dalam basis kausalitas yang mandiri dalam wujudnya. Kemandirian
wujud ilmu didasarkan pada pandangan bahwa ilmu bebas dalam ekspresi
orientasinya dan cenderung impulsif seakan-akan memiliki tatanan sumber
otonom. Akibat kemandirian wujud inilah yang terkadang disalahtafsirkan
sebagai pencapaian tujuan padahal fase ini baru langkah awal sebagaimana
adanya istilah-istilah
ilmul yaqin,’ainal yaqin dan
haqqul yaqin dalam
terminologi sufi yang mengisyaratkan hal ini.
memberikan pengaruh positif dalam meningkatkan kualitas ibadah dan dzauq
yang merupakan tahapan pertama dalam pendakian spritual kaum Salikin.
Dari argumen-argumen di atas, kita bisa memberikan definisi tafakkur
adalah proses pemaduan antara dua ilmu konektif dengan subyek ilmu yang
sedang dipelajari (diteliti) dengan syarat, tidak terjadi kontradiksi yang
meragukan kebenaran kedua ilmu tersebut, disamping hati harus
konsentrasai terhadap keduanya dan benar- benar meneliti dengan sungguh-
sungguh. Dengan demikian hati yang semula kosong akan menjadi penuh
dengan kedua ilmu tersebut. Proses tafakkur akan memberikan nilai afektif
bagi hati. Nilai ini terkait erat dengan kaidah, pendapat, aktifitas, yang
memberikan solusi-solusi persuasif bagi pelaksanaan syariat sehingga kondisi
spritual dapat diidentifikasikan. Tafakur adalah wajib hukumnya bila
berhadapan dengan sesuatu yang masih meragukan dan syubhat (belum jelas
persoalannya) atau disaat ingin mengobati penyakit jiwa yang susah
disembuhkan. Sedangkan ilmu berpikir ini terbagi dalam lima macam :
a.
Ilmu yang wajib, seperti ilmu ushul ( dasar – dasar ) keimanan, baik
tentang Allah, malaikat, kitab – kitabNya, rasul – rasulNya dan hari akhir.
b.
Ilmu ibadah yang terkait dengan aktifitas jasmani dan harta benda.
c.
Ilmu yang terkait dengan panca indra, seperti : lisan, alat kelamin, perut,
pendengaran dan penglihatan .
d.
Ilmu tentang akhlaq tercela yang wajib dihilangkan dari hati.
e.
Ilmu tentang akhlaq terpuji yang wajib dilakukan hati terhadap Allah.
92.
Ruang Lingkup Tafakkur
Dalam menjelaskan ruang lingkup tafakkur di dalam Al- Qur’an
Surat Ar- Rum ayat ke- 8 telah diisyaratkan tentang hal ini :
9
Artinya:“Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang diri
mereka ? Tuhan tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada
diantara keduanya melainkan dengan ( tujuan ) yang benar dalam waktu
yang ditentukan. Dan sesungguhnya banyak diantara manusia benar- benar
mengingkari pertemuan dengan Tuhannya”.
10Aplikasi utama ayat ini adalah pencarian hikmah pada tatanan
koneksi manusia dengan Tuhan dan alam semesta. Koneksi ini bersifat
mutlak dan termasuk komposisi sentral dalam ritus-ritus keagamaan Islam
yang diistilahkan dengan aspek ubudiyah dan uluhiyyah. Pada akhirnya
ruang lingkup ini akan bermuara pada dua tema sentral yaitu relasi dengan
Tuhan
(habluminallah)
dan
relasi
dengan
masyarakat
Islam
(hablumminannas).
Berbicara tentang Habluminallah adalah refleksi aplikasi akidah yang
tentunya bersifat pribadi dan merupakan buah dari tafakkur. Kita hanya bisa
memasukkan proses tafakkur hanya pada tataran konsep – konsep keilmuan
Islam, seperti : aqidah , syariat , tasawuf dan lain – lain yang menjadi suatu
tolak ukur keimanan kita dan terkait dengan integrasinya dengan
“maqamat-ahwal” sebagai basis reproduksi dan afiliasi ilmu sebagaimana yang diklaim
oleh kaum sufi. Jadi , ruang lingkup tafakkur sungguh luas karena proses
interaksinya dengan ilmu dan sumber ilmu (hati) itu sendiri. Beberapa contoh
ruang lingkup terkait dengan aplikasi tafakkur antara lain:
10
a. Ruang Lingkup Teologis
Ruang lingkup teologis secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya
memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu – ilmu ketuhanan
yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu
keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan yang
lainnya.
11Ruang lingkup teologis memberikan akses dalam pengembangan
kualitas keimanan kaum muslimin. Para ulama dan fuqaha sejak generasi salaf
telah berupaya memberikan konsep-konsep kontemporer dalam rangka
mereformasi nilai-nilai Islam yang dimulai dengan metode, bentuk aplikatif,
wacana dan sebagainya agar susunan totalitas ajaran Islam senantiasa
mendapatkan varian-varian konstruktif dalam setiap masa dan peradaban.
Sejak dulu, bagian-bagian dari ruang lingkup ini telah menghadirkan
klaim-klaim perbedaan yang dilihat dari banyaknya penganut aliran-aliran
(sekte-sekte) yang merupakan bukti nyata bahwa pola rekonstruktif dari tafakkur
senantiasa memberikan propaganda tertentu yang diisyaratkan dengan sabda
Nabi yang terkenal tentang perpecahan umat Islam menjadi 73 golongan.
Ruang lingkup teologis adalah wujud cerminan tatanan kerangka segenap
aspek aqidah diekspresikan untuk senantiasa dicari wujud haqiqinya bagi para
pencari kebenaran dari seluruh golongan dari agama ini.
Dalam
ruang
lingkup
teologis,
dalam
memahami
agama
menggunakan cara berpikir deduktif yaitu cara berpikir yang berawal dari
keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya karena ajaran yang
berasal dari Tuhan, sudah pasti benar, sehingga tidak perlu dipertanyakan
lebih dahulu melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat
dengan dalil dan argumentasi. Sementara ruang lingkup normatif, cara
berpikirnya lebih ditekankan kepada pemahaman bahwa agama dari segi
11
ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang didalamnya belum terdapat
penalaran pemikiran manusia.
12b. Ruang Lingkup Antropologis
Ruang lingkup antropologis dapat diartikan sebagai salah satu upaya
memahami agama dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yag
tumbuh dan berkembang di masyarakat. Sifatnya langsung, bahkan sifatnya
partisipatif.Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang bersifat induktif
yang mengimbangi pendekatan deduktif dalam pengamatan sosiologis.
13Ruang lingkup ini mencoba membagi wujud nilai-nilai Islam pada setiap
corak kebudayaan yang pada akhirnya membentuk pola sosialisasi yang
cenderung akomodatif. Seringkali terjadi konflik internal dan eksternal yang
justru dijadikan refererensi justifikasi dalam penyusunan argumen-argumen
keseimbangan atas dasar toleransi inheren dalam berbagai aspek.
c. Ruang Lingkup Sosiologis
Dalam ruang lingkup sosiologis digunakan pola – pola tafakkur yang
mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan –
ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya, memahami sifat dan
maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya
perserikatan-perserikatan hidup serta kepercayaannya, keyakinan yang
memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama dalam organisasi.
14Dalam ruang lingkup ini ada beberapa faktor landasan pentingnya
eksplorasi tafakkur, diantaranya :
Pertama, bahwa syariat Islam memberikan ruang bagi aspek-aspek
muamalah yang nyatanya banyak membutuhkan pola-pola pengembangan
struktural yang terkait dengan pengembangan kualitas kehidupan keduniawian
12
Prof.Dr.H.Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2004) Cet. IX, h. 34
13
M.Dawam Raharjo, Pendekatan Ilmiah Terhadap Fenomena Keagamaan, (Jakarta: Rajawali Press, 2004) Cet. II, h .19
14
sebagai aspek yang selaras dengan masalah akhirat. Pengembangan ini
mendorong terciptanya sebuah kajian referensif yang terbuka dengan
metode-metode simulatif yang selanjutnya memberikan solusi-solusi verbal bagi
wacana-wacana kausalitas yang rentan dan mendorong partisipasi aktif dalam
pemecahannya secara general.
Kedua, bahwa dalil-dalil naqli menunjukkan secara jelas bahwa dalam
soal-soal muamalah, syariat tetap mengacu kepada bentuk ”mashlahah” dari
suatu perbuatan hukum yang substansinya dapat ditangkap oleh nalar.
Keterangan ini menunjukkan perbedaan yang nyata antara ibadah dan
muamalah sekalipun ada korelasi antara keduanya. Makna yang terkandung
dalam semua ibadah tidak dapat diketahui kecuali dengan informasi wahyu
yang harus diterima dan dilaksanakan oleh manusia dengan penuh kepatuhan.
Di sisi lain,akal bisa mengetahui makna dalam muamalah.
Ketiga, bahwa syariat berbeda fungsi dalam aspek ibadah dan
muamalah. Dalam hal ibadah, syariat berfungsi sebagai pembentuk dan
pencipta hukum.Di lain pihak, syariat berfungsi sebagai penyempurna bagi
pengetahuan akal yang terlebih dahulu telah memahami substansi muamalah.
Hal ini dikarenakan karena akal manusia tidak berwenang dalam menentukan
bentuk-bentuk ibadah.
Keempat adanya aspek-aspek komplementer dalam Islam. Contohnya
dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna
atau batal, karma melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya (tebusannya)
ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial . Bila
puasa tidak mampu dilakukan misalnya, jalan keluarnya adalah dengan
membayar fidyah dalam bentuk memberi makan bagi orang miskin. Bila
suami istri bercampur siang hari di bulan ramadhan atau ketika istri dalam
keadaan haid, tebusannya adalah memberi makan kepada orang miskin.
d. Ruang Lingkup Filosofis
Ini bertujuan dalam memberikan penafsiran-penafsiran agama secara
komprehensif dalam tataran tertentu yang disesuaikan dengan kapasitas
seseorang dalam pemahamannya tentang agama. Ini penting dikarenakan
agama bersifat universal yang berarti diperlukan sebuah skema tertentu untuk
mengkomunikasikannya dengan pemahaman umat dalam berbagai aspek yang
diyakini bisa memberikan kontribusi solutif. Ruang lingkup filosofis
menyediakan akses bagi pengembangan metode-metode baru tentang tafsiran
Islam terutama yang terkait dengan wacana-wacana transendental melalui
filsafat Iluminasi.
e. Ruang Lingkup Historis.
Tafakkur historis mencoba menghadirkan hikmah-hikmah dari
berbagi peristiwa dengan memperhatikan unsur, tempat, waktu, objek, latar,
dan pelaku dari perisriwa tersebut. Dalam Al-Qur’an sendiri banyak
konsep-konsep yang membentuk pemahaman yang komprehensif mengenai nilai-nilai
islam, seperti kisah-kisah historis yang secara langsung membuka perenungan
untuk memperoleh hikmah,
Melalui kontemplasi terhadap kejadian-kejadian atau
peristiwa-peristiwa historis dan juga melalui kiasan-kiasan yang berisi hikmah
tersembunyi, manusia di ajak merenungkan hakikat dan makna kehidupan
banyak sekali ayat yang berisi ajakan semacam ini, tersirat maupun tersurat,
baik menyangkut hikmah historis atau pun menyangkut simbol-simbol.
15f. Ruang Lingkup Psikologis
Tafakkur psikologis berusaha mempelajari jiwa seseorang melalui
gejala perilaku yang dapat diamatinya. Menurut Zakiyah Darajat, perilaku
seseorang yang tampak lahiriah dipengaruhi oleh keyakinan yang
dianutnya.
16Dengan adanya tafakkur bagi seorang muslim akan amat
15
Kantowijoyo, Paramadina Islam Interupsi Untuk Aksi. (Bandung: Mizan, 1991) Cet .I, h. 328
16
mempengaruhi kehidupannya, sehingga setiap apa yang dia lakukan adalah
tak lepas dari apa yang dia yakini. Dengan bertafakur, kehidupan seorang
muslim baik lahir maupun lahir tidak akan terlepas dari sikap beriman dan
bertakwa kepada Allah SWT.
Secara global ruang lingkup tafakkur terkait dengan obyek kajian ilmu
itu sendiri. Ini berarti bisa kita bagi ke dalam dua kelompok besar yakni yang
bersifat rohani (keagamaan Islam) dan keduniawian. Ruang lingkup
kerohanian Islam bersifat absolut dari berbagai sisi dikarenakan intensitas
tujuannya sedangkan ruang lingkup keduniawian bersifat terbatas dikarenakan
aspek temporalitas.
3.
Tujuan Tafakkur
Secara global, tujuan tafakkur adalah upaya mendapatkan kebahagiaan
(kimia kebahagiaan) dengan cara mendayagunakan potensi-potensi internal
dan eksternal manusia. Potensi internal meliputi daya-daya batin yang terkait
dengan alam ghaib (malakut) sementara potensi eksternal meliputi daya-daya
lahir yang terkait dengan alam indera (syahadah).“Kimia kehabagiaan” ini
hanya ada di perbendaharaan Allah SWT, melalui cahaya kenabian
(nubuwwah). Ini tersirat pada firman-Nya surat Al-Qaf ayat ke-22:
Artinya:”
Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini,
Maka kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi)matamu,maka
penglihatanmu pada hari itu amat tajam”
17.
Penyingkapan tutup pada ayat tersebut adalah realisasi dari mujahadah
yaitu membersihkan diri pekerti-pekerti yang tercela dan dari sifat-sifat
kebinatangan, serta menjadikan sifat-sifat malaikat sebagai sifat utama.
17
Posisi tafakkur adalah penyempurnaan kebahagiaan manusia sebab
esensi kebahagiaan tidak lain dari makrifat kepada Allah SWT. Makrifat
kepada Allah SWT tidak akan sempurna tanpa tafakkur. Sementara kunci
makrifat adalah pengenalan diri yang juga merupakan bagian dari tafakkur
sebagaimana tercermin pada firman-Nya surat Al-Fushilat ayat ke-53:
Artinya:”Kami
akan
memperlihatkan
kepada
mereka
tanda-tanda
(kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka
sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar.
Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas
segala sesuatu?”
18Sabda Nabi Muhammad SAW yang terkenal : “Barang siapa telah
mengenal dirinya, maka benar-benar dia telah mengenal Tuhannya”. Melalui
tafakkur, kita harus mengenali diri kita, darimana dan untuk apa kita
diciptakan. Dengan apa kita bahagia dan hal-hal apa saja yang akan membuat
kita sengsara.
Tafakkur adalah makanan bagi ruh yakni hakikat elemen diri
sedangkan yang lain adalah asing dan sekedar pinjaman yang ada pada diri
kita. Kita harus mengerti bahwa bagi masing-masing karakter ciptaan
memiliki unsur kebahagiaan yang berbeda. Kebahagiaan tertinggi adalah
kebahagian para malaikat yang fitrahnya adalah kebahagiaan dalam makrifat
kepada Allah SWT. Kalau kita termasuk dari anasir-anasir malaikat, maka
18
kita harus bersungguh-sungguh dalam mengenali asal penciptaan kita,
sehingga mampu mengenal jalan menuju hadlirat Ilahi, mencapai tingkat
musyahadah (penyaksian) terhadap Zat yang Maha Agung dan Maha Indah,
melepaskan diri dari belenggu nafsu dan angkara murka.
19Tafakkur membuka pengembangan pengetahuan inderawi (fisik),
rasional dan keagamaan, secara fitrah, manusia diciptakan secara sederhana
tidak mengetahui apapun, kemudian dia meningkat dengan kekuatan
memahami (al-idrak). Pertama kali dia mengetahui hal-hal iderawi melalui
bantuan panca indera, seperti pendengaran, penglihatan, peraba, perasa dan
penciuman. Kemudian menapaki tahapan berikutnya, memahami alam yang
berbeda dari wujud-wujud inderawi (fisik), dengan akalnya, seperti
pengetahuan yang bersifat keharusan (dlaruriyat), pengetahuan tentang yang
wajib, yang
jaiz (mungkin) dan yang mustahil serta pengetahuan terhadap
makna-makna universal selain yang dipahami indera dan terhadap sejumlah
hakikat rasional yang merupakan persoalan metafisika. Puncaknya adalah
makrifatullah.
Lalu bagaimana hubungan tafakkur dengan makrifat sebagai tujuan
utamanya? Untuk menjelaskan hal ini, kita perlu tahu konsep makrifat sufistik
yang merupakan syarat mutlak dalam mencapai kebahagiaan tadi.
Makrifat adalah kedekatan, yaitu gerakan hati dengan segala
pengaruhnya yang dapat mempengaruhi seluruh anggota tubuh. Kalau ilmu
bisa dicontohkan sebagai melihat api, maka makrifat adalah rasa panas yang
ditimbulkannya. Makrifat dalam pengertian bahasa adalah ilmu yang tidak
lagi diragukan. Sementara istilah ilmu dalam pengertian konversional adalah
istilah untuk pengetahuan yang diawali dari ketidaktahuan. Makrifat dalam
19
pengertian kaum sufi adalah ilmu yang tidak menerima keraguan lagi jika
yang diketahui itu zat Allah dan sifat-sifatNya.
20Jadi, makrifat bukanlah medan akal rasional, tapi merupakan peran
fungsional
qalbu (hati), serta
dzauq. Yang dimaksud dengan kata
dzauq
adalah daya hati bagi jalan kepada pengetahuan metafisika dan meta-rasional.
Dzauq semacam itu berada di atas ilmu, sebab dzauq bersumber kepada rasa
bathin sedangkan ilmu bersumber dari analogi. Rasa batin ini (dzauq) tersebut
tidak akan mantap kecuali bagi orang yang mengalaminya dan melatihnya
secara aktual dalam olah spiritual. Prosesnya terjadi di
qalbu (hati) yang
laksana cermin memantulkan persoalan-persoalan meta-inderawi, serta hal-hal
yang ada di
Lauh Mahfud dengan syarat tabir telah tersingkap darinya.
Produknya disebut ilham (ilmu ladumi) yang merupakan keutamaan yang
diberikan Allah bagi kita serta merupakan cahaya yang bersinar pada qalbu
kita dari sisi-Nya.
Jadi, tafakkur berada pada tatanan ilmu dalam rangka pencapaian
makrifat. Kesimpulannya tafakkur berperan sebagai proses data yang
diperoleh melalui sumber-sumber ilmu pengetahuan. Sumber-sumber ini bisa
berupa dengan belajar dan tanpa belajar, seperti intuisi (dzauq) dan perubahan
sifat-sifat yang diindikasikan dengan maqamat-ahwal.
B.
Komponen-Komponen Tafakkur
Berbicara tentang komponen-komponen tafakkur tidak terlepas dari
dasar-dasar tasawuf itu sendiri. Sebab komponen-komponen tafakkur yang dibahas
disini adalah juga merupakan perluasan difinitif dari tema-tema sentral tasawuf,
seperti hati (Al-qalb), nafsu (An-nafs) dan akal (Al-aql). Komponen-komponen ini
mempengaruhi setiap kondisi spiritual kaum sufi dalam setiap tahapan perjalanan
batinnya menuju Allah SWT.
20
Terkait dengan tafakkur, komponen-komponen ini juga saling
mempengaruhi dengan akal sebagai basis utamanya. Harus diketahui, bahwa pada
awalnya tasawuf adalah ilmu, lalu pada tahap pertengahannya menjadi awal
perbuatan dan pada tahap akhirnya berubah menjadi penerimaan karunia dari
Allah SWT fungsi ilmu dalam dunia tasawuf adalah untuk menyibak cita-cita,
amal perbuatan untuk membantu “permohonan” untuk mengantarkan kepada
tujuan akhir (ma’rifatullah). Sufi mempunyai tiga tingkatan tingkatan: “Muridun
Thalibun” yakni seorang yang memiliki kehendak untuk mencapai sesuatu,
”Sairun”, yakni orang yang menempuh suatu perjalanan, dan “Al-Washil” yakni
mereka yang sampai.
21Dalam setiap tingkatan ini, ketiga komponen ini saling
mepengaruhi dan pada setiap tingkatan ini pula tafakkur berperan dalam
pengaturan dan pengembangan keilmuan sufi, yang nantinya akan menjadi
referensi bagi perjalanan spiritualnya serta menjadi tolak ukur tingkatan batinnya
(maqam). Pada tingkatan “Muridun Thalibun” tafakkur terkait dengan proses
belajar, tingkatan “Sairun” tafakkur terkait afiliasi ilmu dengan dzauq sedangkan
pada tahapan “Al-Washil” tafakkur terlibat dengan ilmu-ilmu kasyaf (penyingkan
mistis) yang terkenal dengan sebutan ilmu ladunni. Ringkasnya tafakkur terkait
erat dengan maqam spiritual kaum sufi.
Pembahasan komponen ini dimaksudkan untuk mengetahui definisi, daya
kerja, aplikasi sehingga dapat dipahami kondisi tafakkur sesuai keadaan spiritual
komponen-komponen ini.Hal ini penting mengingat karakteristik ilmu dan adanya
tingkatan jiwa.
Karena pada dasarnya ilmu-ilmu itu dapat dimiliki oleh setiap jiwa
manusia. Setiap jiwa dapat menerima semua ilmu. Ilmu itu luput dari suatu jiwa
semata-mata karena sesuatu yang asing dan baru datang dari kepadanya. Sabda
Rasulullah: “Manusia diciptakan lurus. Setan-setanlah membuat mereka bersikap
sombong.” Dalam hadis yang lain Rasulullah bersabda, “Setiap anak dilahirkan
21
dalam keadaan suci.” Karena itu, jiwa mansuia yang berpikir berhak mendapat
pancaran jiwa universal dan siap menerima gambaran akal dengan kekuatan
kesucian dan sifat-sifatnya yang asli.
22Dengan demikian, bagi jiwa-jiwa yang “sakit” jelas-jelas memerlukan
pendidikan dan pengajaran. Agar jiwa dikembalikan kepada fitrahnya yang suci
dan akan mencari ilmu asli naluri (ilmu ladunni) serta hilangnya
penyakit-penyakit batin yang dipicu oleh kerakusan jiwa pada kebutuhan-kebutuhan jasad
alamiah. Dengan pengertian lain, dibutuhkan upaya mengembalikan jiwa itu
keadaan substansinya dan mengeluarkan apa-apa yang ada di dalam batinnya
menuju kesempurnaan dan kebahagiaan. Dalam tradisi sufi, seseorang guru
spiritual mutlak dibutuhkan dalam kasus ini. Jadi, hakikat dan substansi jiwa yang
meliputi akal (Al-Aql), hati (Al-Qalb) dan nafsu (An-Nafs) perlu diketahui dan
diobati dengan belajar demi kebahagiaan jiwa itu sendiri. Karena pemahaman
yang baik adalah salah satu syarat dalam mengidentifikasi penyakit sebagai
orientasi positif dalam tindak lanjut berikutnya.
1.
Akal (Al-Aql)
Imam al-Ghazali memberikan dua pengertian bagi akal. Pertama kata
“Aql”
diartikan sebagai pengetahuan tentang hakikat sesuatu, dimana ia
sebagai sifat dari ilmu yang bertempat di hati. Makna kedua adalah bagian
dari manusia yang memiliki kemampuan untuk menyerap ilmu pengetahuan,
dan ini adalah hati (Al-qalb) itu sendiri. Setiap diri seseorang terdapat unsur
pengetahuan yang menempai sebuah “wadah” dan ilmu itu merupakan sifat
yang melekat pada wadah tersebut, walaupun ilmu pengetahuan itu tidak
identik dengan “wadah” yang menampungnya. Istilah “Al-aql” bisa juga
dimaksudkan sebagai sifat yang melekat dalam diri orang yang
22
berpengetahuan dan bisa juga dimaksudkan untuk menyebut wadah yang
menjadi tempat pengetahuan itu.
23Syekh Syihabuddin ‘Umar As-Suhrawardi memberikan penjelasan
akal sebagai berikut: “Akal adalah cahaya fitrah yang digunakan untuk
membedakan kebaikan dan keburukan. Akal yang membedakan kebaikan dan
keburukan: a) di dunia adalah akal yang dimiliki oleh orang-orang kafir dan
orang yang beriman; b) di akhirat adalah akal yang dimiliki oleh
orang-orang beriman. Ilmu dikhususkan untuk orang-orang-orang-orang beriman; ilmu dan akal
diperlukan oleh semua orang.
24Imam Al-Ghazali dalam uraiannya lebih lanjut tentang akal
mengemukakan konsep tentang macam-macam akal. Menurut beliau akal
terbagi dua macam yakni akal
Gharizi (akal naluri) dan akal
Muktasab (akal
yang dapat diusahakan untuk memperolehnya).
Akal
Gharizi adalah potensi yang mampu menerima ilmu. Akal
Gharizi
dalam diri seorang akan kecil ibarat cikal bakal pohon kurma yang
terdapat di dalam biji kurma, sedangkan akal
Muktasab
adalah akal yang
dapat menghasilkan berbagai ilmu dengan cara yang tidak diketahui,
sebagaimana ilmu yang datang tanpa pemikiran bagi anak-anak kecil setelah
mereka mencapai usia tamyiz, walaupun tanpa belajar. Adakalanya dari arah
yang diketahui sumbernya, yaitu belajar.
25Di dalam penjelasan-penjelasan di atas, dituntut konsep tentang
hubungan akal dalam pencapaian kebahagiaan (kimia kebahagiaan). Untuk
menjelaskan hal ini kita berpedoman pada Al-Qur’an surat Al-Hajj ayat 46 :
23
Imam Al-Ghazali, Manajemen Hati, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002) Cet. II, h. 89
24
Syekh Syihabuddin ‘Umar As-Suhrawardi, ’Awarif Al-Ma’arif, (Bandung:Pustaka Hidayah, 1998) Cet.I, h.101
25
Artinya: “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi,lalu mereka
mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau
mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar?
Karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang
buta, ialah hati yang di dalam dada”.
26Demikian juga dalam surat Al-Isra’ ayat 72 :
Artinya: “Dan barang siapa yang buta mata (hatinya) di dunia ini, niscaya di
akhirat ia akan buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan yang
benar”.
27Pada surat Al- Hajj ayat ke-46, dituntut keharmonisan mutlak antara
dua potensi jiwa manusia, yang berbagi kepada potensi lahir dan
batin.Al-Qur’an menyebut dua “mata” yang berarti dua pola pengetahuan yang
tergeneralisasi menuju kesatuan tujuan yang terpusat di hati. Kita tahu dalam
literatur sufistik dua pola pengetahuan itu merupakan jalan-jalan mendapatkan
kebenaran (makrifat) melalui ilham dan interpretasinya. Ilham adalah lambang
supremasi “kesucian” hati yang diwujudkan dalam penerimaan ilmu-ilmu
kasyaf (penyingkapan mistis). Inilah puncak pengetahuan karena pengetahuan
ini bersifat universal dalam tatanan kosmik. Kaum sufi menyebutnya ilmu
ladunni. Pada tahapan inilah akal Gharizi berperan dominan. Akal Gharizi
26
Tim Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang:Toha Putra,1995) Cet.1995,h.519
27
berada dalam “inti” jiwa yang memungkinkan dan membutuhkan “kesucian ”
dalam hakikatnya. Di sinilah tersirat dua proses bagi dua “mata”. Proses
pertama adalah penyucian diri bagi akal Gharizi sedangkan proses kedua
adalah tindakan edukasi bagi akal Muktasab. Pada surat Al-Isra’ telah
diperjelas tentang interaksi keduanya dan adanya “interpretasi” merupakan
produk setelah interaksi keduanya berjalan harmonis. Dalam “interpretasi”
inilah tafakur memainkan peranan dalam memproduksi produk-produk
pengetahuan yang dihasilkan kedua akal tadi secara kontinu. Sasarannya
adalah pengetahuan yang paling utama, tinggi, mulia dan agung yakni Allah
sang pencipta, dengan kata lain ilmu tauhid, yang diisyaratkan dengan
“kebutuhan di akhirat”. Inilah disiplin ilmu dlaruri yang wajib dipelajari oleh
segenap orang yang berakal sebagaimana sabda Nabi yang terkenal: “
Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim”.
Secara samar, surat Al-Hajj ayat ke-46 sebenarnya berbicara tentang
konsep “manusia berakal”. Manusia berakal berarti manusia berilmu. Ilmu
merupakan persepsi jiwa berbicara yang tenang tentang fakta-fakta sesuatu
dan gambarannya yang abstrak dan terlepas dari materi dengan bentuk-bentuk
formalnya, kualitas, analogi, substansi dan esensinya. Sementara orang alim
adalah orang yang mengetahui dan berpersepsi. Sedangkan
“ma’lum”
(pengetahuan) adalah esensi sesuatu yang terlukiskan oleh ilmu di dalam jiwa.
Dengan demikian keutamaan ilmu tergantung kadar keutamaan
ma’lum
(pengetahuan), dan tingkat orang alim tergantung tingkat keilmuanya.
28Kita juga mendapatkan gambaran bahwa akal adalah medan apresiasi
ilmu sedangkan hikmah adalah medan apresiasi hati .Keduanya saling terkait
dan saling mendukung, seperti dua sisi koin.Ketika Allah SWT memberikan
hikmah tertinggi kepada hamba-hamba-Nya, mereka dapat melihat langsung
28
apa yang ada di alam malaikat dengan pandangan hati mereka. Penglihatan
hati secara langsung itu kemudian menjadi “bashirah” (hujjah yang nyata).
Dari penjelasan ini dapat diketahui bahwa posisi akal adalah seperti
seorang perdana menteri yang arif dan bijaksana dari sorang raja (hati).
Analogi ini bisa kita kita kompromikan mengingat karakteristik dasar ilmu
yang terbatas pada aplikasi-aplikasi logika elementer sebagai wujud interaksi
dlarurinya, yang kemudian dijadikan parameter-parameter konklusif sesuai
tingkatan usaha edukasinya. Berlainan dengan hikmah yang membuka
aksesnya ke alam malakut, hikmah ternyata lebih proporsional dalam
mendiktekan hakikat-hakikat gaib yang terkait dengan
maqam
sufistik yang
disebut fana.
Makna
fana dijelaskan sebagai ketenggelaman hati kepada Zat
AllahTa’ala, yang juga berarti tidak berfungsinya daya akal.
Kita telah mendapatkan gambaran singkat tentang akal dan demi
kepentingan skripsi ini, penulis merasa pembahasannya tidak diperpanjang
lagi. Sebagai penutup, penulis mencantumkan “pasukan akal” sebagai
implementasi tolak ukur kekuatan akal. Ini penting diktahui agar kita bisa
mawas diri (muhasabah) sampai dimana taraf keimanan kita. “Pasukan akal”
yang merupakan cerminan “cahaya” hati ini adalah sebagaimana yang
terdapat pada kitab Ghawr al-Umur karya Imam Tirmidzi: “Ilmu, kesabaran,
keyakinan, kebenaran, penglihatan, kecerdasan, pemahaman, kewibawaan,
ketenangan, malu, petunjuk, hafalan, keberanian, ketajaman, ketaqwaan,
pemikiran, ampunan, kebijakan, kasih sayang, kelembutan, kedermawaan,
keagungan, pujian, kejujuran, keikhlasan, niat tekad, kesetiaan, keadilan,
keselamatan, kelurusan, ihsan, kerinduan, kebijaksanaan, pengabdian, ridha,
hati-hati, pengaturan, tawakkal, kemenangan, pertolongan, ketulusan,
kelapangan, pengampunan, penutupan, takut, harap, diam, cinta, ilham,
pengawasan, tobat, zuhud.
2929
2.
Nafsu (An-Nafs)
Nafsu dikaitkan dengan definisi etimologi merupakan organ ruhani
manusia yang berpengaruh terhadap daya-daya indera dalam kaitannya
dengan proses alamiah biologis. Rupanya definisi ini terkait dengan aspek
mutual mengingat peran nafsu dalam penunjang kehidupan dan dalam aspek
non- mutual atau esensialnya nafsu memiliki definisi lain. Imam Al-Ghazali
memberikan definisi nafsu sebagai daya yang mengandung kekuatan marah
dan syahwat dalam diri manusia. Nafsu selalu dikaitkan dengan sumber
sifat-sifat buruk dan ini terkait dengan adab sufi “jihad an-nafs”.
Definisi kedua
adalah mengandung makna
lathifah yakni hakikat manusia dan jati dirinya.
30Dua definisi ini sebenarnya bisa dikompromikan karena definisi pertama
adalah definisi aktif yakni terlibat dalam proses-proses daya kerja unsur-unsur
biologis sementara definisi kedua disebut definisi pasif karena aktivasi
definisi ini adalah ke-pasif-an definisi pertama.
Definisi pertama adalah “penjelas” atau faktor bagi kualitas final
(definisi kedua). Hal ini terkait dengan “maqamat ahwal” kaum sufi yang
dalam pencapaiannya dipengaruhi oleh daya-daya nafsu, suatu ketika, bila
nafsu dalam kondisi tenang dan mampu menyingkirkan kegaluannya dalam
menentang kehendak syahwatnya, maka nafsu demikian dinamakan dengan
nafsu yang tenang (al-mutmainnah). Apabila nafsu belum dapat tenang, tetapi
sudah berupaya menolak syahwat dan amarah disebut nafsu
“al-lawwamah”.
Bila tidak ada upaya penentangan dan bahkan tunduk kepada syahwat dan
amarah dinamakan nafsu “al-ammarah”.
Nafsu dengan daya syahwat dan amarahnya bisa menguasai daya akal
yang
berarti
melemahkan
daya
kreatifitas
tafakkur.Ini
termasuk
kecenderungan jiwa manusia secara global sebagai hikmah penciptaan
manusia dari tanah. Nafsu adalah sumber sifat-sifat tercela sedangkan
30
antagonisnya adalah ruh (ar-ruh). Kaitan antara nafsu dan ruh sangat erat dan
merupakan pasangan kehidupan. Syekh Suhrawardi menjelaskan bahwa
semua makhluk adalah hasil dari nafsu (an-nafs) dan ruh (ar-ruh). Nafsu
adalah hasil dari ruh, sedangkan ruh adalah hasil dari perintah Tuhan. Sebab,
dengan diri-Nya sendiri tanpa sebab lain apapun, Tuhan menciptakan ruh,
dengan ruh dia menciptakan segenap makhluk lainnya.Nafsu sendiri
menciptakan sepuluh sifat tercela yaitu : hasrat (hawa), nifaq, riya, kufur,
takabur, kikir, tamak, tergesa-gesa, bosan, lalai.
31Karakter nafsu yang merusak menghalangi esensi nafsu itu sendiri
untuk makrifat kepada Tuhan, kaidah ini berlaku mengingat ilmu sebagai
syarat makrifat sebenarnya adalah “makanan” bermanfaat yang menyebabkan
nafsu, akal dan hati berkembang. Nafsu bersifat positif bagi proses tafakkur
dengan syarat-syarat tertentu yang merupakan kualitas hati yang bersih
(akhlaqul karimah). Teori ini relevan dengan daya fungsional hati yang
berpengaruh pada nafsu. Bukankah jika hati sudah tenggelam dalam cinta
kepada dunia maka ilmu meningkatkan gejolak nafsu? Maka tafakkur telah
gagal yang berarti terbelenggu dalam perangkap hawa nafsu.
Firman Tuhan pada surat Al-Qaf ayat ke-22 :
Artinya:’Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini,
Maka kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu,
Maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam”.
32Ayat ini ditakhsis oleh sabda Nabi yang terkenal: “Barang siapa telah
mengenal dirinya, maka benar-benar dia telah mengenal Tuhannya. ”Kedua
dalil ini menjelaskan tentang keterkaitan potensi-potensi jiwa dalam
31
Syekh Syihabuddin ‘Umar As-Suhrawardi, Awarif al-Ma’arif,(Bandung:Pustaka Hidayah, 1998) Cet.I,h.138
32
pencapaian makrifat. “Tutup” pada ayat di atas adalah nafsu dan “pandangan
tajam” adalah keterbebasan hati dari pengaruh nafsu. Ada sifat antagonis
dalam merealisasikan kualitas esensial hati sebagai syarat mutlak
makrifatullah. Sementara kita tahu, salah satu kualitas hati adalah tafakkur
sebagai wujud kolaborasi dengan akal. Sebagai contoh, ketakaburan sebagai
wujud nafsu bergejolak dalam jiwa, dan kita menyebutnya faktor negatif. Lalu
dengan kualitas ilmu pada akal (tafakkur) yang mengakibatkan pengetahuan
terhadap sifat ini (tercela), sehingga didapat kualitas nafsu yang tidak
mungkin dihinggapi ketakaburan tadi. Ini adalah isyarat lain dari sabda Nabi
tadi dan dalam hal ini taffakur bersifat dominan positif.
Jika sebaliknya, maka ketakaburan akan dominan dan tafakkur bersifat
negatif. Inilah kualitas jiwa yang rendah (nauzubillah). Dibutuhkan upaya
keras dalam mengendalikan nafsu (riyadhah).
Dalam tasawuf, riyadhah
dianggap sebagai bagian dari tharekat, sebagaimana firman Allah SWT dalam
surat Al-Ankabut ayat ke-69:
Artinya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami,
benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami.
dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang
berbuat baik.”
33Maka seyogyanya bagi orang yang berakal, mengekang keinginan
nafsunya dengan lapar karena kelaparan (puasa) adalah pengekangan terhadap
musuh Tuhan (setan) dan kesuburan setan adalah kesenangan nafsu,makanan
dan minuman. Nabi bersabda,“Sesungguhnya setan berjalan dalam diri anak
Adam bersama peredaran darah, maka persempit jalannya dalam lapar”.
3433
Tim Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya,(Semarang:Toha Putra, 1995),h.638
34
Keterangan di atas mengisyaratkan tujuan mujahadah dan riyadhah
adalah penyempurnaan dan penyucian hati. Antara hati dan
potensi-potensinya terdapat relasi tertentu dan antara hati dan tubuh bersifat saling
mempengaruhinya. Jika hati telah dikuasai oleh daya syahwat dan amarah
(nafsu) maka perbuatan tubuh menjadi tidak baik yang mengakibatkan akal
sebagai sarana tafakkur tidak berfungsi, untuk mengembalikan fungsi hati dan
akal diperlukan mujahadah dan riyadhah; seperti: bangun malam, puasa, diam
(uzlah) dan awal-awal lainnya secara konsisten demi mengendalikan nafsu.
Jadi, cara untuk menyucikan hati adalah dengan membiasakan diri melakukan
perbuatan-perbuatan taat sehingga nafsu menjadi terbiasa dan selalu terdorong
untuk melakukan perbuatan tersebut.
Antara jiwa dan tubuh terdapat hubungan yang erat karena
perbuatan-perbuatan yang terus dipaksa untuk dilakukan oleh tubuh dapat menjadi sifat
bagi nafsu. Jika karakter ini dapat dipertahankan maka daya akal dan hati akan
berkembang dan membantu proses kesinambungannya, salah satunya melalui
tafakkur.Kondisi ini bersifat terus menerus sepanjang hayat dan inilah jihad
akbar itu.
3.
Hati (Al-Qalb)
Imam Al-Ghazali dalam bukunya “Kimia As-Sa’adah” memberikan
dua definisi bagi hati. Satu bermakna fisik yaitu daging yang berbentuk
sanubar, yang terdapat di bagian kiri dada, dimana di dalamnya terdapat
rongga yang berisi darah hitam. Makna kedua adalah sesuatu yang amat halus
(lathifah), tidak kasat mata dan tidak dapat diraba, dimana hati mempunyai
potensi untuk mengenal dan mengetahui sesuatu.Ia juga sebagai pihak yang
diajak bicara yang dikenakan sangsi, cercaan dan obyek yang akan diminta
pertanggungjawaban.
35Imam Al-Ghazali juga menyamakan definisi hati
dengan ruh
(Ar-ruh) dari sisi makna batin, sementara dari makna lahir, ruh
35
merupakan jenis