KONSEP ILMU LADUNNI MENURUT AL-GHAZALI
(Tela’ah atas Kitab “al-Risa>lah al-Ladunniyyah”)
Tesis
Diajukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Magister dalam program Konsentrasi Pemikiran Islam
Oleh:
IMAM SHOLIHIN
NIM: F1.1.2.12.127
PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Imam Sholihin NIM : F1.1.2.12.127 Program : Magister (S-2)
Institusi : Program Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya
Dengan sungguh-sungguh menyatakan bahwa TESIS ini secara keseluruhan adalah hasil penelitian atau karya saya sendiri, kecuali pada bagian-bagian yang dirujuk sumbernya.
Surabaya, 29 Juni 2016 Saya yang menyatakan,
PERSETUJUAN
Tesis Imam Sholihin ini telah disetujui Pada tanggal 29 Juni 2016
Oleh Pembimbing,
PENGESAHAN TIM PENGUJI
Tesis Imam Sholihin ini telah diuji Pada tanggal 25 Agustus 2016
Tim Penguji:
1. Prof. Dr. H. Husein Aziz, M.Ag. (Ketua) ...
2. Dr. Muhid, M.Ag. (Penguji Utama) ...
3. Dr. H. Abd Kadir Riyadi, M.Sc. (Pembimbing/Penguji) ...
Surabaya, 25 Agustus 2016 Direktur,
ABSTRAK
Sholihin, Imam. 2016. Konsep Ilmu Ladunni menurut al-Ghazali (Tela’ah atas
Kitab ar-Risa>lah al-Ladunniyah). Tesis. Program Studi Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Pembimbing: Dr. H. Abd Kadir Riyadi, M.Sc.
Kata-kata kunci: Ilmu Ladunni, Al-Ghazali, ar-Risa>lah al-Ladunniyah.
Sains telah berkembang begitu pesat, dengan sains seolah-olah manusia telah mampu menaklukkan dunia. Paham demikian didominasi oleh Sains Barat. August Comte, sebagai salah satu dari tokoh sains Barat menyatakan bahwa fase pertama manusia adalah Agama, kemudian metafisika, dan terakhir adalah positivistik. Positivistik adalah kesempurnaan dari fase manusia modern. Kaum Positivistik melupakan sisi pembentuk manusia yaitu unsur material dan
immaterial (metafisika).
Dari fenomena yang terjadi tersebut, peneliti fokus pada tiga hal, yaitu: mengetahui konsep Ilmu menurut al-Ghazali, mengetahui konsep Ilmu Laduni menurut Ghazali, dan mengetahui tahapan-tahapan Ilmu Laduni menurut al-Ghazali.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan analisis teks. Analisis teks bertujuan menggambarkan struktur dan konten untuk memahami teks dari kitab yang diteliti. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis inter-teks. Analisis inter-teks dihadirkan dalam rangka
menggambarkan ide-ide yang memiliki hubungan antara satu teks dengan teks yang lain dalam kitab yang sama.
Setelah menelaah konsep ilmu ladunni dari kitab ar-Risa>lah
al-Ladunniyah karya al-Ghazali kemudian dibandingkan dengan beberapa konsep yang relevan dengan pembahasan ini, akhirnya peneliti mengambil beberapa kesimpulan:
Pertama, Konsep ilmu menurut al-Ghazali adalah persepsi (penyaksian) yang sama-sama aktif antara subjek dan objek. Hal itu serupa dengan konsep penyaksian yang ditawarkan oleh Suhrawardi. Suhrawardi menambahkan ungkapan “sadar”, sedangkan al-Ghazali mengistilahkan dengan “tenang”.
Kedua, konsep ilmu ladunni menurut al-Ghazali adalah pengajaran Tuhan bagi jiwa yang bersih, sedangkan jiwa bersih adalah fitrah manusia. Dalam konsep ilmu ladunni yang ditawarkan oleh al-Ghazali terdapat tiga hal yang harus
diperhatikan, yaitu: Al-Muka>syafah (penyaksian), An-Nu>r (cahaya), dan
Al-Ta’li>m (pengajaran).
Ketiga, tahapan-tahapan dalam memperoleh ilmu ladunni ada tiga, yaitu: Tahapan pertama, yaitu perolehan seluruh ilmu dan pengambilan bagian paling
sempurna dari yang ada. Tahapan kedua, yaitu hendaknya selalu memperbanyak
latihan yang benar dan introspeksi yang benar pula. Dan Tahapan ketiga, yaitu
UCAPAN TERIMAKASIH ... viii
DAFTAR ISI ... ix
H. Sistematika Pembahasan ... 15
BAB II BIOGRAFI TOKOH A. Zaman al-Ghazali ... .17
B. Biografi Singkat al-Ghazali ... 18
C. Pendidikan dan Gairah al-Ghazali terhadap Ilmu Pengetahuan ... 20
D. Metode Kajian (analisa) al-Ghazali ... 21
E. Interaksi al-Ghazali dengan Ilmu Pengetahuan ... 24
G. Interaksi al-Ghazali dengan Tasawuf ... 26
H. Karya-karya Tokoh ... 27
BAB III ILMU LADUNNI DALAM TASAWUF A. Pengetahuan, Ilmu dan Sain ... 30
BAB IV ILMU LADUNNI MENURUT AL-GHAZALI A. Pengetahuan Diri ... 51
C. Landasan Historis Ilmu Ladunni ... 72
1. Teori Penyaksian ... 72
2. Teori Cahaya ... 76
D. Tahapan Memperoleh Ilmu Ladunni ... 86 E. Kegunaan Ilmu Ladunni ... 88
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 94 B. Saran ... 95
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan sains begitu pesat, sehingga seolah tiada pemisah antara
dunia nyata dan dunia ghaib. Dunia nyata memiliki pengertian dunia yang
dapat diindera. Sedangkan dunia ghaib adalah dunia yang tidak dapat diindera.
Berbicara tentang sains tentunya tidak akan terlepas dari pembahasan
tentang ilmu. Ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun
secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan
untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.1
Dalam istilah ilmu dikenal pula istilah pengetahuan. Pengetahuan adalah
ilmu.2 Jadi pengetahuan adalah ilmu dan ilmu adalah pengetahuan. Hal
tersebut dipertegas dengan pengertian ilmu dalam bahasa Arab, al-‘Ilmu
adalah pengetahuan (knowledge).3 Namun dalam bahasa Inggris istilah ilmu
diterjemahkan dengan ‘science’.4 Nampaknya dari sinilah muncul pemisah
antara pengetahuan dan ilmu. Ahmad Tafsir membedakan antara
‘pengetahuan’ dan ‘ilmu’ dengan empiris dan rasional. Pengetahuan hanya
bersifat empiris, sedangkan ilmu bersifat empiris dan rasional.5 Berbeda
dengan pendapat yang dikemukakan oleh Soetriono dan Rita Hanafie,
perbedaan antara pengetahuan dan ilmu terletak pada aksiologinya.
1 Sampurna K., Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Cipta Karya, 2003), 187. 2 Ibid, 329.
3 Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, (Bandung: Rosdakarya, 2004), 3.
2
Pengetahuan hanya sekedar diambil manfa’atnya, sedangkan ilmu merupakan
identifikasi objeknya.6
Adapun ungkapan ‘ilmu pengetahuan’ adalah pemborosan kata yang
memiliki arti ilmu (science).7 Namun jika harus diurai ‘ilmu-pengetahuan’
setara dengan ungkapan ‘ilmu-ilmu’. Istilah ‘ilmu’ yang pertama mewakili
ilmu secara umum (science-in-general) dan istilah ‘ilmu’ yang kedua
mewakili pengetahuan sistematis mengenai dunia fisis atau material
(sytematic knowledge of the phisical or material world).8
Istilah ‘science’ memiliki konotasi natural sciences. Natural sciences
inilah yang biasanya dimaksud dengan ungkapan ‘sains dan teknologi’.
Sebagai bukti, sebuah kamus istilah ilmiah merumuskan pengertian science
and technology sebagai berikut: “The study of the natural sciences and the
application of this knowledge for practical purposes”.9 Artinya: Penelaahan
dari ilmu-ilmu kealaman dan penerapan dari pengetahuan ini untuk
maksud-maksud praktis. Perlu dipahami juga ilmu kealaman lebih luas cakupannya
daripada ilmu alam. Ilmu alam (physics) sebatas memahami unsur-unsur
pembentuk materinya, sedangkan ilmu kealaman (natural science) sampai
pada penerapan praktisnya.
Dalam perkembangannya, terdapat perbedaan pandangan antara sains
Barat dan sains Islam. Sains Barat umumnya melepaskan diri dari unsur-unsur
metafisika. Sebaliknya sains Islam masih tetap mempertahankan unsur-unsur
6 Soetriono dan Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Andi, 2007)11.
7 The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Liberty, 2010), 85.
8 Ibid, 86. Lihat juga di The Maerican College Dictionary, C.L. Barnhart, Editor-in-Chief, 1958, p. 1086.
3
metafisika10. Sebagaimana ungkapan August Comte, agama adalah fase
pertama, metafisika adalah fase kedua, sain adalah fase terakhir yang telah
mencapai pada perkembangan yang bersifat positivistik (yang dapat diindera
lahir manusia). Karena sains adalah perkembangan terakhir, maka manusia
modern harus meninggalkan fase-fase sebelumnya (fase agama dam fase
metafisika) jika ingin dipandang manusia modern11.
Agaknya hal inilah (sains barat) yang menimbulkan paradigma baru di
kalangan manusia kekinian. Ilmu yang notabene produk akal manusia
belakangan ini telah membelenggu manusia. Meminjam ungkapan Lewis
Mumford manusia didefinisikan bukan lagi oleh dirinya atau kekuatan
supranatural seperti agama dan Tuhan tetapi oleh investigasi saintifik.12
Maksudnya, wacana-wacana sains barat telah mendominasi manusia, seperti;
wacana Darwinian dalam ilmu biologi, wacana Marxian dalam ilmu sosiologi
dan kemanusiaan, atau wacana Claude Bernard, J.S. Haldane dan Walter
Cannon dalam ilmu psikologi.
Pengetahuan, ilmu pengetahuan, dan sains. Semuanya tidak mungkin ada
tanpa keberadaan manusia. Kemunculannya karena dimunculkan manusia.
Manusia memiliki peran sentral dalam keberadaannya. Jadi, sangat naif
pembahasan tentang pengetahuan, ilmu pengetahuan dan sains tanpa
pembahasan unsur manusianya. Supaya dapat diperoleh pemahaman yang
komprehensif.
10 Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan, (Jakarta: Lentera Hati, 2006),132. 11 Ibid,132.
bahwa manusia adalah makhluk yang serba-misterius. Sangat sulit mengetahui
mengapa, bagaimana, dan untuk apa kelahiran manusia. Yang pasti diketahui
bahwa manusia dilahirkan oleh Tuhan melalui perantaraan manusia lain
(orang tua), sadar akan hidup dan kehidupannya dan sadar pula akan tujuan
hidupnya yaitu kembali kepada Tuhan.
Kehadirannya ke dunia seperti buku tanpa bab pendahuluan dan penutup.
Ia hanya menghadapi isinya saja. Ia harus menyusun sendiri bab pendahuluan
dan penutupnya itu berdasarkan fakta yang tersirat dalam lembaran-lembaran
isinya. Oleh karena itu setiap orang akan cenderung berbeda pandangannya
tentang ide pendahuluan buku yang menggambarkan asal-usul dan ide penutup
buku yang menggambarkan tujuan akhir hidupnya nanti. Hal ini disebabkan
oleh perbedaan kemampuan imajinasi terhadap lembaran-lembaran isi buku
yang menggambarkan fakta atau kenyataan hidup ini.
Perbedaan pandangan pada manusia adalah sumber kekayaan
pengetahuan, selain menunjukkan kelemahan manusia. Sumber kekayaan
manusia artinya, manusia memiliki otonomi untuk bebas berkreatifitas,
sehingga ia mampu mempertahankan dan mengembangkan hidup dan
13 M. Subhi Ibrahim, al-Farabi (Sang Perintis), (Jakarta: Dian Rakyat: 2012), 53.
14 Imam Abu Hamid al-Ghazali, al-Munqi>dh min al-Dhala>l, Terj. Masyhur Abadi, (Surabaya, Pustaka Progressif: 2001), 157.
5
kehidupannya. Inilah sumber dari munculnya pengetahuan, ilmu pengetahuan
dan sains.
Kelemahan manusia diartikan, sebebas apapun manusia memiliki otonomi
untuk mengembangkan kreativitas hidupnya, manusia tetaplah makhluk yang
bergantung kepada Penciptanya. Hal itu terbukti dengan perbedaan imajinasi
manusia, sekeras apapun usaha manusia menyamakan persepsi imajinasi
manusia satu dengan manusia lainnya, manusia tetap memiliki imajinasi yang
berbeda-beda. Hal ini membuktikan adanya zat mutlak yang lebih
berkehendak di atas kebebasan kehendak manusia. Zat tersebut adalah Sang
Pencipta.16
Dalam perkembangan selanjutnya manusia melewati batas. Dengan
otonomi, independensi dan kreativitas yang mereka miliki, mengantarkan
manusia pada taraf tertentu yang membuat manusia semakin jauh jaraknya
dengan sang Pencipta. Bahkan dewasa ini terkesan bahwa manusia dapat
berdiri sendiri di atas kemampuannya tanpa campur tangan Sang Pencipta.
Kenyataan lain yang dapat diamati dari manusia adalah ia terdiri dari
kesatuan harmonis antara jiwa dan raga. Unsur jiwa dan raga bukanlah hal
yang berdiri sendiri-sendiri. Tetapi berada dalam satu struktur yang menyatu
menjadi diri-pribadi. Sehingga diri-pribadi manusia adalah jiwa yang meraga
dan raga yang menjiwa. Artinya, jiwa menyatu dengan raga menjadi satu
dengan jiwa. Kejiwaan seseorang akan terlihat dari tingkah laku badannya dan
badan seseorang akan mencerminkan jiwanya.
6
Jiwa adalah sesutu yang maujud (ada), tetapi ia tidak berbentuk dan
berbobot. Ia dapat dipahami dari kecenderungan-kecenderungan badan. Jika
jiwa seseorang dalam keadaan menderita maka badannya akan lemah,
mukanya muram dan gelap. Tetapi jika jiwa dalam keadaan bahagia maka
badannya akan ringan, energik dan mukanya akan berseri-seri.
Jiwa memiliki tri potensi kejiwaan, yaitu: cipta, rasa dan karsa. Cipta
adalah pemusatan pikiran, angan-angan, imajinasi untuk membuat sesuatu
karya.17 Rasa adalah keadaan hati atau batin terhadap sesuatu atau
pertimbangan pikiran atau hati mengenai baik-buruk, benar-salah, dan
sebagainya.18 Karsa adalah daya (kekuatan) jiwa yang mendorong manusia
untuk berkehendak atau berniat.19
Raga adalah sesuatu yang maujud (ada), berbentuk dan berbobot. Tingkah
laku badan tidak dapat dipahami sebagai gerakan material belaka, tetapi lebih
daripada itu tertuju kepada hal-hal kejiwaan. Diri-pribadi manusia yang
terbentuk atas jiwa yang meraga dan raga yang menjiwa sebenarnya dapat
terjadi karena dominasi jiwa atas raganya.
Setelah memahami unsur pembentuk manusia, hubungan manusia dengan
pengetahuan, serta dominasi jiwa atas raga. Kemudian fakta sains yang lebih
diunggulkan dan memberi kesan bahwa manusia independen dengan
sendirinya. Berarti manusia melupakan sisi dependen manusia kepada Sang
Pencipta. Sebagaimana independen manusia diketahui dengan pengetahuan,
maka, sisi dependen manusiapun diketahui dengan pengetahuan. Dan
pengetahuan manusia terletak di akal (otak). Meminjam istilah Bahaudin
17 Sampurna K., Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Cipta Karya, 2003), 117. 18 Ibid, 356.
7
Mudhary20, “dalam diri manusia terdapat otak lahir dan otak batin”. Otak
lahir disebut juga indera badan jasmani yang kasar yang berfungi mengolah
pengetahuan lahir, sedangkan otak batin disebut indera rohani yang berfungsi
mengolah pengetahuan batin (rohani), keduanya dikenal dengan sensus
interior dan eksterior.21
Allah swt. berfirman: “Hai jama´ah jin dan manusia, jika kamu
mempunyai kemampuan untuk menjelajahi ruang-ruang langit dan bumi,
maka hendaknya kamu jelajahi; tetapi kamu tidak dapat menjelajahinya
kecuali dengan “sulthan” (kekuasaan).” (QS. Ar-Rahma>n [55]:33)
Kata “sultha>n” dalam ayat tersebut, menurut tafsir Fakhrur Ra>zi berarti
“al-Quwwatul Ka>milah” (Kekuatan yang sempurna). Begitu juga menurut
tafsir al-Khazim, tafsir al-Baiglawi dan Imam an-Nasa>i, memberikan arti
kata sulthan dengan “kekuatan”. Kekuatan yang sempurna ialah pengetahuan
batin.
Pengetahuan batin dikenal juga dengan istilah pengetahuan intuitif.
Pengetahuan intuitif adalah pengetahuan terhadap sesuatu tanpa dipikirkan
atau dipelajari, pengetahuan tersebut berasal dari bisikan hati atau gerak
hati.22
Pengetahuan batin (gaib) banyak jenisnya. Salah satunya adalah ilmu
ladunni. Bagi kalangan sufi, ilmu laduni digadang-gadang sebagai ilmu
20 Kyai Haji Bahaudin Mudhary, lahir di Sumenep, 23 April 1921 dan meninggal pada 4 Desember 1979 di Surabaya. Beliau adalah ulama metafisika yang memiliki kasyf. Sehingga beliau diberi gelar “Tera Ta’ Adamar” (Madura), artinya “Benderang tanpa pelita”.
21 Bahaudin Mudhary, Setetes Rahasia Alam Tuhan (Melalui Peristiwa Metafisika al-Mi’raj), (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), 23.
8
tertinggi. Namun sebaliknya, bagi golongan positivistik yang mengagungkan
sains mengingkari ilmu ladunni.23
Dalam rangka menjembatani kontroversi antara kalangan sufi dan
kalangan positivistik, al-Ghazali menulis ar-Risa>lah al-Ladunniyah. Namun
demikian, gagasan-gagasan al-Ghazali dalam ar-Risa>lah al-Ladunniyah
masih terkesan dangkal, sehingga masih membutuhkan gagasan-gasan baru
yang lebih dalam untuk menyempurnakan gagasan-gagasan al-Ghazali
terdahulu.
B. Definisi Istilah
Untuk menghindari kesalahan dan kekeliruan pemahaman dalam
penelitian ini, maka penulis perlu menjelaskan istilah-istilah yang terdapat
dalam judul penelitian ini. Adapun istilah-istilah tersebut sebagai berikut:
1. Ilmu Laduni
a. Konseptual
Konsep ilmu laduni telah lebih dahulu diperkenalkan dalam
al-Qur’an, sebagaimana yang diceritakan dalam surat al-Kahfi tentang
kisah antar nabi Musa AS dan Nabi Khidhir AS.
Ilmu laduni adalah ilmu yang diperoleh dari wahyu atau ilham
yang didatangkan, dengan perantaraan wahyu atau ilham tersebut
dibukakan tabir-tabir penghalang yang tidak dapat diindera, dan
diberikan kepada siapa saja yang Allah SWT kehendaki. Ilmu laduni
tidak hanya dikhususkan kepada pada nabi dan rasul, tetapi juga
9
mungkin diberikan kepada manusia biasa. Dengan ketentuan manusia
tersebut memiliki syarat-syarat yang ditentukan.24
Konsep Ilmu Laduni dalam mu’jam al-ma’a>ni al-ja>mi’
memiliki definisi: ﻬ ﻹ ﻖ ﻁ ﻪ ﺣﺼ ﺼ ّ ّ ٌ (ilmu Tuhan yang
dianugerahkan kepada hambanya dengan cara ilham).25
b. Operasional
Dari dua definisi di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa:
1) Ilmu laduni adalah ilmu yang Allah SWT anugerahkan kepada
manusia yang dikehendaki.
2) Ilmu laduni adalah ilmu yang didatangkan (dianugerhkan) dengan
media wahyu (pada para nabi dan rasul) atau ilham (pada manusia
biasa).
3) Ilmu laduni adalah ilmu yang konsis terhadap sesuatu yang tidak
dapat diindera.
4) Ilmu laduni adalah ilmu yang diberikan hanya kepada manusia
yang memenuhi beberapa persyaratan khusus.
2. Al Ghazali (450 — 505 H/1058 — 19 Desember 1111 M)
Al-Ghazali: nama lengkapnya adalah Abu> Ha>mid Muhammad
ibn Muhammad al-Ghaza>li> al-Thusi al-Syafi’i. Al-Ghazali lahir di Thus,
Iran, pada tahun 1058 dan meninggal dunia tahun 1111. Ia adalah filsuf
dan teolog Islam Persia, yang di dunia Barat abad pertengahan dikenal
sebagai algazel. Karya monumentalnya adalah Ihya>’ ‘Ulu>m al-Di>n,
atau “menghidupkan agama Allah.”
11
3. Al-Risa>lah al-Laduniayah
Al-Risa>lah al-Laduniayah adalah kitab karangan al-Ghazali yang
membahas tentang ilmu laduni.26 Dicetak di Kairo 1328H/1910M.
C. Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini, peneliti akan memfokuskan pada beberapa hal,
antara lain:
1. Apa konsep Ilmu menurut al-Ghazali?
2. Apa konsep Ilmu Laduni menurut al-Ghazali?
3. Bagaimana Tahapan-tahapan Ilmu Laduni menurut al-Ghazali?
D. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan fokus penelitian di atas, maka tujuan yang ingin peneliti
capai antara lain:
1. Mendeskripsikan konsep Ilmu menurut al-Ghazali.
2. Mendeskripsikan konsep Ilmu Laduni menurut al-Ghazali.
3. Mengetahui Tahapan-tahapan Ilmu Laduni menurut al-Ghazali.
E. Kegunaan Penelitian
1. Secara Akademis
a. Penelitian ini diharapkan akan memperluas wawasan keilmuan dalam
bidang pemikiran, khususnya yang berkaitan dengan konsep Ilmu
Laduni menurut al-Ghazali dalam kitab “al-Risa>lah al-laduniyah”.
12
b. Penelitian ini diharapkan akan dapat menambah motivasi dan inspirasi
bagi peneliti khususnya dan masyarakat pada umumnya, untuk
meningkatkan religiusitas dalam menghadapi arus globalisasi.
c. Demikian juga diharapkan, agar kiranya penelitan ini bisa menjadi
salah satu referensi dalam disiplin ilmu pemikiran.
2. Secara Praktis
a. Diharapkan agar penelitian ini menjadi sumber pengetahuan bagi
masyarakat luas tentang makna dan hakikat Ilmu Laduni.
b. Diharapkan agar kiranya penelitian ini bisa memberikan penjelasan
dan pemahaman bagi masyarakat luas, agar mereka tidak salah
persepsi tentang makna Ilmu Laduni.
F. Penelitian Terdahulu
Ilmu Laduni merupakan disiplin ilmu yang menarik dikaji, karena dalam
perjalanan sejarahnya ilmu laduni memiliki peran yang sangat penting dalam
hal pengembangan ilmu dan pengetahuan di masa pendatang. Namun,
pembahasan dan kajian tentang masalah ilmu laduni tergolong jarang
diketengahkan dalam masyarakat kita.
Adapun beberapa penelitian tentang ilmu laduni dan Imam Ghazali antara
lain:
Pertama, penelitian yang berjudul: Ilmu laduni dalam perspektif
pendidikan Islam (Sebuah Tinjauan Belajar). Oleh A. Busyairi Haris, tesis
IAIN Walisongo Semarang, tahun 2005. Dalam penelitian ini disampaikan
kesimpulan sebagai berikut: (1) Ilmu laduni bukanlah ilmu yang irrasional,
13
disebut juga indera keenam yang diperoleh melalui perjalanan intuisi. (3)
Dalam proses pembelajaran modern ternyata didalamnya terdapat campur
tangan Tuhan.
Kedua, penelitian yang berjudul Filsafat Hukum Islam al-Ghazali, Oleh
Ahmad Munif Suratmaputra, Disertasi IAIN Jakarta, tahun 2002. Penelitian
ini memiliki kesimpulan sebagai berikut: (1) Ghazali menerima Maslahah
Mursalah. (2) Pembaharuan hukum-hukum Islam harus dilakukan dengan
tetap mengindahkan rambu-rambu. (3) Pandangan al-Ghazali tentang
Maslahah Mursalah sangatlah moderat.
Ketiga, penelitian yang berjudul Pemikiran Ekonomi al-Ghazali (Tela’ah
Kitab Ihya>’ Ulu>m al-Di>n). Oleh Abdurrahman Tsanie, tesis IAIN Sunan
Ampel Surabaya, tahun 2004. Tujuan yang hendak dibangun oleh al-Ghazali
dalam ekonomi Islam adalah bagaimana seseorang dapat mempertahankan
hidupnya dengan berdasarkan aturan syari’ah, karena dunia adalah ladang
menuju akhirat dan akhirat tidak akan sempurna tanpa keteraturan dunia, dan
keduanya akan bisa terealisasikan hanya dengan dua hal yaitu ilmu dan amal.
Dari beberapa hasil penelitian di atas, belum ada penelitian secara
akademis dan ilmiah yang dilakukan secara komprehensif dalam mengkaji dan
mengelaborasi pemikiran al-Ghazali tentang ilmu laduni dalam kitab
14
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan
analisis teks. Analisis teks bertujuan menggambarkan struktur dan konten
untuk memahami teks dari kitab yang diteliti.
Kitab al-Risa>lah al-Laduniayah adalah sebuah risalah yang
terhimpun didalamnya gagasan, ide dan pikiran asli al-Ghazali tentang
ilmu ladunni. Kiranya analisis teks merupakan pendekatan yang tepat
untuk memahami gagasan al-Ghazali tentang ilmu ladunni.
2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis inter-teks.
Analisis inter-teks dihadirkan dalam rangka menggambarkan ide-ide yang
memiliki hubungan antara satu teks dengan teks yang lain dalam kitab
yang sama.
Metode ini bekerja dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk retorika,
linguistik teks dan psikologi. Disiplin ini menyediakan cara untuk
menggambarkan dan menganalisis bagaimana struktur dan isi teks
mengkodekan ide-ide dan hubungan antara ide-ide.
Metode ini juga berfungsi untuk sampai pada deskripsi sistematis yang
meberikan dasar untuk membandingkan teks tertulis antara satu teks
dengan teks yang lain dalam kitab yang sama yaitu Kitab Risa>lah
15
3. Sumber Data
Ada dua hal yang menjadi sumber data penelitian ini, yaitu:
sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer peneliti adalah karya
tulis Al-Ghazali, kitab al-Risa>lah al-Laduniyah. Adapun sumber
sekunder dalam penelitian ini, dapat dikelompokan menjadi tiga bagian,
yaitu:
a. Buku atau tulisan Al-Ghazali yang lainnya semasa hidupnya,
diantaranya: Ihya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, al-Munqi>dh min al-Dhala>l,
Majmu>’ah al-Rasa>’il, dan kitab-kitab yang lain.
b. Buku, artikel atau penelitian tentang ilmu batin, antara lain: Setetes
Rahasia Alam Tuhan karya Bahaudin Mudhhary, Gerbang Kearifan
karya Mulyadi Kartanegara, dan buku-buku keilmuan lainnya.
c. Buku, artikel dan penelitian tentang Al-Ghazali, antara lain: Skeptisme
Al-Ghazali, Filsafat Ilmu Al-Ghazali, dan penelitian-penelitian yang
lain.
4. Teknik Pengumpulan Data dan Analisa Data
Teknik pengumupulan data yang dilakukan peneliti meliputi
beberapa tahap. Tahap pertama, peneliti melakukan kajian (tela’ah)
terhadap kitab al-Risa>lah al-Laduniyah untuk menemukan gagasan atau
ide al-Ghazali tentang ilmu ladunni. Tahap kedua, tentunya dari
pembacaan tersebut peneliti menemukan gagasan-gagasan tentang ilmu
ladunni dalam al-Risa>lah al-Laduniyah, selanjutnya gagasan-gagasan
16
Setelah data terkumpul barulah peneliti melakukan analisa
terhadap temuan atau paparan data. Teknik analisa yang peneliti lakukan
sesuai dengan pendekatan, metode dan teori yang telah peneliti sampaikan
di awal. Teknik analisa tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, gagasan-gagasan yang telah dipaparkan dalam hasil
temuan data peneliti deskripsikan untuk memahami gagasan al-Ghazali.
Kedua, setelah memahami gagasan al-Ghazali dari masing-masing teks
kemudian mengaitkan antara satu teks dengan teks yang lain yang saling
menguatkan. Ketiga, menampilkan pula kontradiksi atau perbedaan antara
gagasan satu teks dengan teks yang lain jika ada. Keempat, mengkritisi
kelemahan gagasan al-Ghazali dalam kitab al-Risa>lah al-Laduniyah.
Kelima, menyempurnakan ide-ide al-Ghazali tentang ilmu ladunni dengan
pendapat terbaru dari tokoh-tokoh sesudahnya.
H. Sistematika Pembahasan
Penelitian ini disusun dalam beberapa bab dan sub bab. Adapun
sistematika pembahasan penelitian ini sebagai berikut:
Bab pertama, bab ini berisi beberapa sub bagian meliputi: latar belakang
permasalahan, definisi istilah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, kerangka teori, penelitian terdahulu, metode penelitian dan
sistematika pembahasan.
Bab kedua, berisi tentang biografi al-Ghazali. Bab ini diawali dengan
17
Bab ketiga, membahas tinjauan umum tentang ilmu laduni, meliputi:
pengertian ilmu laduni, pandangan beberapa tokoh tentang ilmu laduni dan
pembagian ilmu laduni.
Bab keempat, mengungkapkan tentang konsep ilmu laduni menurut
al-Ghazali dalam kitab al-Risa>lah al-Laduniyah.
Bab kelima, berisi tentang bagian akhir penelitian ini yang berisi
kesimpulan, saran-saran dan kata penutup dari pembahasan-pembahasan
BAB II
BIOGRAFI TOKOH
A. Zaman al-Ghazali
Abad ke-5 hijriyah atau periode Abbasiyah ketiga merupakan periode
yang bercorak kemewahan, berlebihan dalam kajian bebas. Ciri khas dari
periode ini adalah berlebihan dalam pemikiran dan gerak imajinasi, bahkan
aspek-aspek berlebihan itu menjadi kebingungan ulasan dan mengherankan
terhadap kepercayaan dan aliran agama.1
Era yang sejarahnya dipenuhi oleh beratus-ratus aliran keagamaan, filsafat
dan teologi Islam. Hingga setiap kelompok mempunyai pendapat tersendiri
dan setiap pena memenuhi umat dengan pemikiran yang diikutinya.
Gelombang aliran, kepercayaan dan sekte tersebut terus menekan dan
merevolusi. Masing-masing saling membunuh dan menggilas. Masing-masing
harus memenuhi dunia dengan gema dan goncangan. Oleh karena itu
masyarakat menyaksikan pertempuran pemikiran yang paling keras sepanjang
sejarah.
Di tengah-tengah suasana revolusioner dan kehangatan ilmiah inilah
al-Ghazali lahir berkembang. Al-al-Ghazali tumbuh dan berkembang di tepian
kawah yang mendidih. Pengetahuan-pengetahuan al-Ghazali bergelora panas,
karena memang pengetahuan-pengetahuan ini dilahirkan di tengah nyala api
yang membara.2
1 Thaha Abd. Al-Baqi Surur, Al-Ghazali: Hujjatul Islam, terj. LPMI, (Solo: CV. Pustaka Mantiq, tt), 15.
18
B. Biografi Singkat al-Ghazali
Nama lengkap al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Secara singkat dipanggil al-Ghazali
atau Abu Hamid al-Ghazali.3 Lahir di Thus, Khurasan, suatu tempat
kira-kira sepuluh mil dari Naizabur, Persia. Ia lahir pada tahun pada tahun 450
Hijriyah (1058 Masehi), dan wafat di negeri kelahirannya juga pada tahun
505 Hijriyah (1111 Masehi).4
Al-Ghazali memiliki beberapa gelar, diantaranya Zainuddi>n (Hiasan
Agama), Bahru al-Mughri>q (Samudra yang Menghanyutkan), dan
lain-lain.5 Beberapa gelar tersebut layak beliau sandang mengingat banyaknya
pemikiran yang telah beliau sumbangkan. Bahkan pemikiran beliau tidak
hanya menyentuh sisi ukhrowi, tetapi juga duniawi.
Dari beberapa gelar yang disematkan pada al-Ghazali yang paling
masyhur adalah Hujjatul Isla>m (Pembela Islam).6 Kekuatan yang
mengabadikan al-Ghazali sebagai hujjatul Islam terletak pada kemampuannya
mengerem badai gelombang yang memancar dari anek dialog filosofis, kajian
dialektis, maupun perbedaan pendapat di seputar masalah fiqih.
Disamping itu, gelar hujjatul Islam menempatkan al-Ghazali layaknya
seorang pemimpin negara yang sedang tercabik-cabik, terasing dan berjiwa
3 M. Sholihin, Epistimologi Ilmu Dalam Sudut Pandang al-Ghazali, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), Cet. 1., hlm. 20.
4 A. Mudjab Mahali, Pembinaan Moral Di Mata Al-Ghazali, BPFE : Yogyakarta, 1984, hal 1 5 Al-Ghazali, Menuju Labuhan Akhirat, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), v.
19
lemah. Kemudian al-Ghazali menyatukan barisan, mempengaruhi semangat
dan menghidupkan keimanan bangsa yang malang tersebut.7
Namanya kadang diucapkan Ghazzali (dua z), artinya tukang pintal
benang, karena pekerjaan ayah beliau adalah tukang pintal benang wol.
Sedang yang lazim ialahGhazali (satu z), diambil dari kataGhazalah nama
kampung kelahirannya.8
Ayah al-Ghazali adalah orang yang fakir harta tetapi kaya spiritual. Ia
bekerja keras memproduksi tenun dan selalu berkhidmat kepada tokoh-tokoh
agama dan ahli fiqih di berbagai majlis dan khalwat mereka. Waschtanfield
(orientalis asal Jerman) berusaha mengukuhkan bahwa keluarga al-Ghazali
termasuk keluarga ilmu pengetahuan dan berprestasi. Namun, Thaha Abd.
Baqi Surur menegaskan bahwa tidak ada catatan sejarah yang membuktikan
hal tersebut.9
Kefakiran ayah al-Ghazali dapat dilihat dari warisan yang ditinggalkan
saat menjelang wafat. Ia berwasiat kepada temannya seorang sufi agar
mendidik al-Ghazali dan adiknya Ahmad dengan sedikit warisan yang
dimilikinya.10 Tidak berselang lama, biaya tersebut telah habis, sang sufipun
menyarankan mereka berdua untuk melanjutkan belajar ke Madrasah yang
tidak memungut biaya bagi mereka (gratis).11
7 Thaha Abd. Al-Baqi Surur, Al-Ghazali: Hujjatul Islam, terj. LPMI, (Solo: CV. Pustaka Mantiq, tt), 19.
8 Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), Cet. 1., hlm. 9.
9 Thaha Abd. Al-Baqi Surur, Al-Ghazali: Hujjatul Islam, terj. LPMI, (Solo: CV. Pustaka Mantiq, tt), 21.
20
C. Pendidikan dan Gairah al-Ghazali terhadap Ilmu Pengetahuan
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa ayah al-Ghazali bukanlah
seorang kaya raya, bukan pula seorang yang berilmu pengetahuan. Namun
karena rasa bakti dan cintanya kepada ahli ilmu dan ahli ibadah, sehingga pada
suatu ketika saat mendengar seorang penceramah ayah al-Ghazali memohon
kepada Allah supaya dianugerahi seorang anak yang ahli memberi nasehat
atau ilmuan dan ahli ibadah.
Nampaknya dari doa yang terbersit dalam hati ayahnya inilah skenario
kehidupan al-Ghazali diawali. Al-Ghazali semenjak kecil memiliki
kecenderungan menguasai semua ilmu pengetahuan tanpa membedakan ilmu
yang baik ataupun yang jelek. Berbeda dengan adiknya yang lebih berhati-hati
ketika mempelajari ilmu dan lebih cenderung suka mempelajari ilmu tasawuf.
Guru pertama al-Ghazali adalah seorang sufi teman ayahnya Syeh Ahmad
bin Muhammad ar-Razikani,12 kemudian ia belajar ilmu fiqih kepada Ahmad
bin Muhammad al-Thusi. Kemudian keinginan al-Ghozali untuk menambah
ilmu pengetahuan, hingga ia pindah ke Jurjan untuk belajar kepada al-Imam
al-‘Allamah Abu Nashr al-Isma’ili. Kemudian guru selanjutnya adalah
perampok. Dari perampok ini al-Ghazali mempelajari metode belajar yaitu
dengan menghafal apa saja yang dipelajari.
Karena pengetahuan di Thus dirasa masih kurang untuk menghilangkan
dahaga ilmu yang dirasakan al-Ghazali, akhirnya ia memutuskan untuk pergi
ke Naisabur, salah satu kota ilmu pengetahuan dan cahaya di zamannya. Di
21
sini, al-Ghazali belajar ilmu yang populer di zamannya, antara lain: tauhid,
ushul dan logika, kepada seorang ahli ilmu terkemuka Imam al-Haromain Abi
al-Ma’ali al-Juwaini.
Di Naisabur, garis-garis jiwa yang agung itu mulai terkomposisi dan naik
ke permukaan. Cakrawala pemikiran al-Ghazali mulai terbuka dan semakin
luas. Setidaknya ada tiga hal yang diamati oleh al-Ghazali di Naisabur.
Pertama, Naisabur penuh dengan para ilmuan. Kedua, karena banyaknya
ilmuan sehingga masing-masing memiliki pandangan, pendapat dan keyakinan
berbeda-beda, sehingga muncul permusuhan. Ketiga, dari semua ilmuan
berikut pendapat dan keyakinan yang berbeda-beda, namun memiliki sisi
persamaan yaitu sama-sama kosong dari keimanan.
Al-Ghazali yang mendapati fenomena demikian, akhirnya meragukan ilmu
pengetahuan tradisional (fiqih, kalam dan kebatinan). Kemudian berharap
mendapatkan hal berbeda dari filsafat. Ternyata filsafat hanya mampu
memberi kepuasan akal bebas, tanpa memberi kepuasan kalbu. Akhirnya
al-Ghazali memutuskan hubungan dengan semua ilmu pengetahuan (tradisional
atau filsafat), dengan maksud melepaskan diri dari belenggu keyakinan
terhadap salah satu ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, al-Ghazali menghadapi
semua ilmu pengetahuan secara ragu-ragu dan analisa-analisa yang kabur.
D. Metode Kajian (Analisa) al-Ghazali
Metode kajian atau analisa yang dilakukan al-Ghazali dapat direkam
dari pernyataan al-Ghazali dalam kitab al-Munqidh min al-D{ola>l
22
“Sejak muda hingga sekarang menjelang usia 50 tahun, saya selalu
mengarungi samudera yang dalam ini, menyelam bukan sebagai seorang
peengecut. Namun, saya menelusuri setiap sudut yang amat gelap,
menghadapi dan menyelami setiap problem, meneliti rahasia-rahasia
madzhab dari setiap sekte.
Penelitian itu saya lakukan terhadap semua pihak, tanpa membedakan
antara pandangan yang benar maupun salah, antara kelompok sunni
maupun bid’i. Baik aliran kebatinan, dhohiriyah, filsafat, tologi Islam,
Tasawuf, ahli ibadah, maupun orang zindik, semuanya saya teliti secara
tuntas.
Saya cari sebab mengapa terjadi demikian dalam pandangan mereka
dengan tidak melupakan dimana kelebihan dan kekurangan masing-masing
pihak. Rasa haus ingin mengetahui kebenaran sudah menjadi kegemaran
dan tabiat saya sejak muda. Ini merupakan bakat dan fitrah yang Allah
berikan kepada saya, bukan hasil kerja saya.”
Al-Ghazali memberlakukan kepada diri sendiri metode bebas merdeka,
karena yang didambakan adalah kebenaran dan hikmah. Sehinnga
timbullah semboyan, “Janganlah anda mengenal kebenaran melalui para
tokoh, tetapi kenalilah dari kebenaran itu, niscaya anda akan mengetahui
ahlinya.”
Al-Ghazali tidak terikat dan tidak mengikatkan diri pada kelompok
atau madzhab tertentu. Al-Ghazali menganalisa pemikiran mereka. Oleh
23
Sebaliknya, menyalahkan pemikiran yang nyatanya salah. Sebagaimana
ungkapannya dalam Mi>za>n al-‘Amal:
“Buanglah jauh-jauh madzhab-madzhab itu, karena tak seorangpun di
antara mereka yang mempunyai mukjizat yang bisa menyebabkannya
unggul, tetapi carilah kebenaran dari analisa, agar anda menjadi orang
yang punya pandangan sendiri. Carilah kebenaran melalui analisa, jangan
melalui sikap mengekor (taqlid). Sebab kebijaksanaan (hikmah) adalah
barang hilang milik orang-orang yang beriman. Oleh karena itu, dia berhak
mengambilnya di mana saja dia temukan.”13
Al-Ghazali menjadikan keraguan sebagai pijakan awal untuk
memperoleh sebuah kebenaran. Hal tersebut dapat kita temukan dalam
ungkapannya dalam Mi>za>n al-‘Amal juga:
“Jika di dalam kata-kata hanya ada pengertian yang meragukan
keyakinan anda, yang anda terima secara turun temurun sehingga
mendorong anda untuk memecahkannya, maka manfaatkanlah keraguan
itu. Sebab, keraguan merupakan metode untuk mencapai kebenaran.
Sebab, barang siapa tidak ragu berarti tidak menganalisa. Barang siapa
tidak menganalisa, niscaya tidak akan tahu. Sebagai konsekwensinya,
barang siapa tidak pernah tahu, niscaya dia tetap dalam kebutaan dan
kesesatan.”14
Dengan ungkapan demikian, maka semakin memperkuat pemahaman
bahwa metode analisa (kajian) yang digunakan al-Ghazali adalah
13 Ibid, 108.
24
keraguan. Ditambahkan pula oleh Thaha Abd. Baqi Surur bahwa
skeptisisme Eropa yang dipandeglangi oleh Descartes dan David Hume
hakikatnya mengekor skeptisisme al-Ghazali.15
E. Interaksi al-Ghazali dengan Ilmu Pengetahuan
Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan menjadi dua: Pertama, sufisme
yang mengutamakan ilmu akhirat dan menyepelekan ilmu lain. Kedua,
ilmu-ilmu pengetahuan secara total, menganjurkan agar dicapai.
Pada tahap selanjutnya, pemahaman al-Ghazali ini difahami sebagai
meninggalkan dunia (yang berarti meninggalkan ilmu pengetahuan) dan
memburu akhirat. Pemahaman demikian tentunya tidak dapat disalahkan
karena kenyataannya al-Ghazali pada akhir-akhir hidupnya lebih banyak
berinteraksi dengan tasawuf dibandingkan dengan ilmu pengetahuan
(dunia).
Namun jika dikaji lebih lanjut kesimpulan yang demikian tidak dapat
pula dibenarkan, karena al-Ghazali selain asyik-masyuk dengan tasawuf ia
berpesan satu hal, yaitu tasawuf jika digandrungi oleh seluruh manusia
maka dunia akan runtuh.16 Ungkapan demikian itu kiranya memperjelas
bahwa al-Ghazali di satu sisi menganjurkan manusia mengutamakan
tasawuf, tetapi di sisi lain juga harus ada yang tetap memperdalam ilmu
pengetahuan. Dengan istilah lain, harus saling melengkapi.
15 Ibid, 58
25
F. Interaksi al-Ghazali dengan Filsafat
Rekaman tentang hubungan antara al-Ghazali dan filsafat dapat
ditelusuri melalui dua karyanya yaitu Maq>as}id al-Fala>sifah dan
Taha>fut al-Fala>sifah. Pemaknaan dari dua kitab tersebut berhubungan
dengan metode keraguan yang menjadi pijakan awal al-Ghazali dalan
melihat semua aliran (termasuk filsafat). Al-Ghazali tidak pernah
menghujat atau memuji suatu aliran sebelum benar-benar memahami
materi (ilmu) aliran tersebut. Maq>as}id al-Fala>sifah dikasudkan untuk
memberikan pemahaman yang menyeluruh tentang ajaran filsafat. Dan
Taha>fut al-Fala>sifah dimaksudkan beberapa kekurangan (kesalahan)
yang ditemukan al-Ghazali dalam pembacaannya terhadap filsafat. Namun
demikian, pandangan al-Ghazali tentang filsafat masih dipatahkan lagi
oleh Ibnu Rusyd dengan kitabnya Taha>fut al-Taha>fut. Kitab ini berisi
tentang kesalahan pandangan al-Ghazali dalam memandang kesalahan
filsafat.
Adapun inti pemikiran Al-Ghazali tentang filsafat yaitu tidak
mengingkari aspek rasional dan matematis pada filsafat. Bahkan
al-Ghazali mengakui kedua aspek ini dan menyerahkannya pada
ukuran-ukuran rasional. Hal yang dihancurkan dari filsafat yaitu pada aspek
metafisika dan sekaligus menghancurkan para filosof yang divonis murtad
dan zindik.17
26
G. Interaksi al-Ghazali dengan Tasawuf
Kritik pada tasawuf secara fundamental dapat disaksikan dari tiga
golongan, yaitu: filosof, sosiolog dan ahli fiqih.
Para filosof mempermasalahkan metode tasawuf yang lebih
mengutamakan jiwa daripada indera. Alih-alih filsafat menentang
sebenarnya filosof mendukung, sebagaimana filosof meninggikan akal
daripada indera.18
Para sosiolog (termasuk di dalamnya para etikus), mengkritisi tentang
aksiologi dari sistem tasawuf, bagaimana mungkin sistem tasawuf dapat
mengatur manusia dengan sistem zuhudnya. Alih-alih mengkritisi, para
sosiolog malah mendukung tasawuf karena para sosiolog sudah jengah
dengan tingkah manusia yang tambah tidak karuan. Oleh karena itu
dibutuhkan penyucian diri agar manusia kembali pada fithrahnya.19
Para ahli fiqih (termasuk ahli kalam), berpendapat bahwa tasawuf
adalah murtad karena menyalahi syari’ah dari as-sunnah. Pernyataan
demikian tidak seluruhnya benar tetapi tidak sepenuhnya salah juga.
Kebenarannya dapat dilihat dari praktek tasawuf yang berlaku ekstrim,
seperti halnya penganut paham al-h}ulu>l, yaitu orang-orang yang
mengatakan bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan (Pantheisme).
sekelompok sufi lain mengacuhkan syara’ dan asyik dalam keterlenaan
hingga melalaikan kewajiban.
18 Ibid, 85.
27
Kesalahan pemurtadan yang dilakukan oleh ahli fiqih dan
mutakallimun, mereka tidak memperhatikan tasawuf yang masih tetap
mempertahankan kewajiban syara’. Dengan istilah lain, ahli fiqih dan
mutakallimun mendukung tasawuf yang masih menjaga kewajibannya
dalam menjalankan syari’at.
Konsep al-Ghazali tentang tasawuf ada dua: Pertama, tasawuf tidak
mungkin dijalankan dengan meninggalkan atau menyalahi syari’at.
Sebagaimana ungkapan al-Ghazali dalam Mi>zan al-Amal: “Andaikata
Anda melihat seorang manusia berjalan di atas air tetapi dia melakukan
perbuatan yang menyalahi syara’, maka ketahuilah bahwa dia adalah setan,
ini adalah pendapat yang benar.”20 Kedua, orang-orang sufi merupakan
kelompok khusus dan tidak mungkin dunia penuh dengan orang-orang
seperti mereka. Sebab, jika tidak, maka alam akan roboh, semua
rambu-rambu dan sistem akan hancur.21
H. Karya-karya Tokoh
Al-Ghazali meninggalkan banyak tulisan. Karya-karya tulis yang
ditinggalkan beliau menunjukkan keistimewaannya sebagai seorang
pengarang yang produktif. Pada seluruh masa hidupnya, baik sebagai
penasehat kerajaan maupun sebagai guru besar di Baghdad dan sewaktu
mulai dalam masa skeptis22 di Naisabur maupun setelah berada dalam
keyakinan yang mantap, beliau tetap aktif mengarang.23
20 Ibid, 87.
21 Ibid, 88.
28
Al-Ghazali mulai mengarang saat berusia 20 tahun, ketika itu beliau
masih berguru kepada Imam al-Haramain al-Juwaini di Naisabur. Jika
beliau meninggal dalam usia 55 tahun sesuai dengan kalender hijriyah,
berarti beliau mengarang buku-bukunya selama 35 tahun. Jumlah bukunya
mencapai 380 buah, baik yang kecil sampai yang besar seperti Ihya>'
Ulu>muddi>n.
Beliau melakukan perjalanan selama 10 hingga 11 tahun dan
menghabiskan waktunya untuk membaca, menulis dan mengajar. Selain
itu, beliau harus menjawab sekitar 2000 pucuk surat yang berasal dari
dekat dan jauh untuk meminta fatwa dan putusannya.24
Hamid Dabasyi (1999) menyebut al-Ghazali sebagai manusia yang
pertama kali menguasai dan melampaui seluruh diskursus dominant yang
otoritatif di zamannya; dari teologi sampai yurisprudensi, filsafat,
mistisisme bahkan sampai teori politik, al-Ghazali menguasai hal terbaik
dalam sejarah intelektual, melampaui semua yang lain, dan mencapai
prestasi yang paling tinggi dalam sejarah intelektual Islam. Teks-teks akhir
al-Ghazali dihasilkan setelah melakukan perjalanan soliter menuju ranah
kesadaran diri yang sempurna, diantaranya al-Munqi>dz min ad-Dzala>l,
Ihya>’ 'Ulu>muddi>n, ataupun Kimiya as-Sa'a>dah.25
dari keraguan menuju keyakinan sebagaimana dilakukan banyak ilmuwan dari timur maupun barat. Lihat Abdul Ghani Abud, "Wahai Ananda" Wasiat al-Ghazali atas Pengaduan SeorangMuridnya, (Terj). Gazi Saloom, dari kitab asli Al-Fikr Al-Tarbawi 'Inda Al-Ghazali Kama
Yabdu Min Risalatihi Ayyuhal Walad, (Jakarta : Iiman, 2003), Cet. I., hlm. 23 M. Sholihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung, Pustaka Setia: 2008), hlm. 22.
24 Imam al-Ghazali, Ihya 'Ulumuddin, (Terj). Purwanto, dari Judul Asli Imam Ghazzali's Ihya Ulum-id-din, (Bandung : Marja', 2003), Cet. I., hlm. 14 - 15.
29
Adapun kitab-kitab beliau meliputi Filsafat dan Ilmu Kalam, Fiqih,
Ushul Fiqh, Tafsir, Tasawuf dan Akhlak.
Adapun kelompok Filsafat dan Ilmu Kalam meliputi: Maqa>shid
al-Fala>sifah, Taha>fut al-al-Fala>sifah, al-Iqtisha>d fi al-I'tiqa>d, al-Munqi>dz
min adz-Dzala>l, Maqa>shid Asnafi Ma'ani Asma al-Husna>, Faishal
at-Tafri>qat, Qistha>sh al-Mustaqi>m, al-Mustazhiri, Hujjat al-Haqq, Munfashil
al-Khila>f fi Ushu>l Ad-Di>n, al-Muntahal fi 'Ilm al-Jada>l, al-Madhnu>n bin
al-Ghair Ahlihi, Mahkun Nadhar, Ara 'Ilm Di>n, 'Arba'in fi Ushu>l
Ad-Di>n, Ilja>m al-'Awa>m 'An 'Ilm Al-Kala>m, Mi'yar al-'Ilm, al-Intisha>r,
Isba>t an-Nadha>r.
Kelompok Fiqh dan Ushul Fiqh, meliputi: Basi>th, Wasi>th,
al-Waji>z, al-Khula>shah al-Mukhtashar, al-Mustasyid, al-Mankhu>l, Syifa>kh
Al-'Ali>l fi Qiya>s wa Ta'li>l, adz-Dzari>'ahIla Makdri>m Asy-Syari>'ah.
Kelompok Tafsir, meliputi: Yaqu>t at-Ta'wi>l fi Tafsi>r at-Tanzi>l,
Jawa>hir al-Qur'a>n.
Kelompok Ilmu Tasawuf dan Akhlak, meliputi: Ihya> 'Ulu>m ad-Di>n,
Mi>zan 'Amal, Kimiya Sa'a>dah, Misyka>t Anwa>r, Muka>syafah
Qulu>b, Minha>j 'A<bidi>n, Da>r Fa>khirat fi Kasyfi 'Ulu>m
A<khirat, 'Ainis fi Wahda>t, Qurbat Ila Allah 'Azza Wajalla, Akhlaq
Abra>r wa Naja>t min Asra>r, Bida>yat Hida>yah, Maba>di wa
al-Gha>yah, Nashi>hat Mulk, Tabli>s Ibli>s, Risa>lah Qudsiyah,
al-Ma'khadz, al-Amali, al-Ma'a>rij al-Quds, Risa>lah al-Laduniyyah.26
BAB V
PENUTUP
Untuk memberikan keterangan singkat dari seluruh permasalahan yang
telah peneliti uraikan pada bab-bab sebelumnya, maka peneliti akan menarik
kesimpulan dari seluruh bahasan tersebut. Tentunya kesimpulan tersebut
disesuaikan dengan rumusan masalah yang peneliti cantumkan pada bab pertama.
Selain menarik kesimpulan dari pembahasan bab-bab sebelumnya, dalam
bab kelima ini peneliti juga akan memberikan saran bagi para pembaca. Hal itu
dimaksudkan supaya tercipta hubungan emosional antara pembaca dengan
peneliti.
A. Kesimpulan
Setelah menelaah konsep ilmu ladunni dari kitab ar-Risa>lah
al-Ladunniyah karya al-Ghazali kemudian dibandingkan dengan beberapa
konsep yang relevan dengan pembahasan ini, akhirnya peneliti mengambil
beberapa kesimpulan:
Pertama, Konsep ilmu menurut al-Ghazali adalah persepsi (penyaksian)
yang sama-sama aktif antara subjek dan objek. Hal itu serupa dengan konsep
penyaksian yang ditawarkan oleh Suhrawardi. Suhrawardi menambahkan
ungkapan “sadar”, sedangkan al-Ghazali mengistilahkan dengan “tenang”.
Kedua, konsep ilmu ladunni menurut al-Ghazali adalah pengajaran Tuhan
bagi jiwa yang bersih, sedangkan jiwa bersih adalah fitrah manusia. Dalam
95
harus diperhatikan, yaitu: Al-Muka>syafah (penyaksian), An-Nu>r (cahaya),
dan Al-Ta’li>m (pengajaran).
Ketiga, tahapan-tahapan dalam memperoleh ilmu ladunni ada tiga, yaitu:
Tahapan pertama, yaitu perolehan seluruh ilmu dan pengambilan bagian
paling sempurna dari yang ada. Tahapan kedua, yaitu hendaknya selalu
memperbanyak latihan yang benar dan introspeksi yang benar pula. Dan
Tahapan ketiga, yaitu melalui tafakkur yang benar.
B. Saran
Dalam kegiatan penelitian ini, satu kata yang harus selalu kita camkan
dalam benak kita “Tidak ada kata berhenti untuk mengkaji”, dari kata ini
pulalah, sepatutnya para pembaca untuk selalu kritis dan aktif dalam mengkaji
karya tulis apapun dan karya siapapun.
Tentunya kebenaran haqiqi hanyalah milik Allah, Tuhan penguasa
manusia, pencipta akal dan pencipta kebenaran. Tiadalah kebenaran yang
patut dibanggakan kecuali dikembalikan lagi kepada-Nya, dan tiada pula
kesalahan yang harus dihinakan, melainkan memberikan perbaikan demi
menyongsong hari depan yang lebih baik.
Pertama, saran bagi peneliti sesudahnya. Peneliti menyarankan supaya
kajian tentang ilmu ladunni lebih banyak digalakkan. Memang tidak mudah
meneliti tentang disiplin ilmu yang demikian. Alasan pertama karena buku
yang membahas tentang masalah ini dapat dibilang terbatas. Alasan kedua,
jikapun ada umumnya pembahasannya masih banyak mengedepankan
96
Kedua, saran bagi praktisi ilmu ladunni. Kehati-hatian dalam pengamalan
juga dalam pengajarannya hendaknya diperhatikan. Bagaimanapun ilmu
ladunni bukan untuk kemanfaatan golongan apalagi kemanfaatan pribadi. Ilmu
ladunni hendaknya sesuai dengan esensi ilmu ladunni tersebut yaitu untuk
kemanfaatan universal.
Ketiga, saran bagi masyarakat umum. Jangan mudah takjub dengan segala
kejadian ajaib, kemudian dengan serta-merta menyatakan bahwa hal tersebut
adalah ilmu ladunni. Sebaliknya, khawatir dan berhati-hatilah kejadian ajaib
tersebut kebanyakan dimunculkan oleh jin dan syetan. Ilmu ladunni yang
sesungguhnya tidak harus berupa kejadian ajaib, tetapi yang terutama untuk
kemanfaatn universal.
Tentunya penelitian ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu
Daftar Pustaka
Afifi, Abu al-A’la, Filsafat Ilmu Mistik Ibn Arabi, (terj) Syahrir Nawawi dan
Nandi Rahman, Jakarta: Media Pranata, 1989.
Arifin, Samsul, dkk. 1996. Spiritualitas Islam dan Peradaban Masa Depan.
(Yogyakarta: Sippress: 1996)
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, cet. Ke-3, (Jakarta, Gramedia:2002).
Biesanz, John & Mavis Biesanz, Modern Society: an Introdection to Sosial
Science, 1959
Black, Max, Critical Thinking, 1954
C.L. Barnhart, The American College Dictionary, (Editor-in-chief, 1958)
Daradjat, Zakiah, Kesehatan Mental, Peranannya dalam Pendidikan dan
Pengajaran, Jakarta, IAIN:1978
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, Jakarta: PT Intermasa,
1993.
Dimyathi (al), Abu Bakar, 'Ina>yat at-Tha>libi>n, cet. Ke-1 (Beirut, Dar al-Fikr:
tt)
Drajat, Amroeni, Suhrawardi: Kritik Falsafah Paripatetik, (Yogjakarta: LkiS,
2005)
Echols, John M. & Hasan Sadily. Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia,
1994.
Echols, John M., an English-Indonesian Dictionary, Jakarta, Gramedia:1996.
Enha, Ilung S., Laduni Quotion Model Kecerdasan Masa Depan, Yogyakarta:
Ghazali (al), Imam Abu Hamid, al-Munqi>dh min al-Dhala>l, Terj. Masyhur
Abadi, Surabaya: Pustaka Progressif, 2001.
__________________________, al-Risa>lah al-Laduniyah, Terj. Masyhur Abadi
dan Husain Aziz, Surabaya: Pustaka Progressif, 2002.
__________________________, Majmu>’ah al-Rasa>’il, Vol. III, Beirut,
Libanon: Da>r al-Fikr, 1994.
__________________________, Ihya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, Semarang: Kerabat
Putera tt.
Ghozali, Muhammad Luthfi, Sejarah ilmu ladunni, (Semarang, Abshor:2008)
Gie, The Liang, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty, 2010.
Hag, Tamami, Psikologi Tasawuf, Bandung, Pustaka Setia: 2011.
Hijazi, Muhammad Mahmud, Tafsi>r al-Wa>dlih, Beirut, Libanon: Da>r al-Jayl,
1993.
Hillix, Melvin H. Marx & William A., The Nature of Science, dalam Oscar H.
Fidell, ed., Ideas in Science, 1966
http://kbbi.web.id.karsa diunduh pada hari Jum'at, 06 Mei 2016.
Https://Ar.Wikipedia.Org/Wiki/ﻢ ﻌ ﻥﺁﺮﻘ ﻲﻓ ﻰﻧﺪ diunduh pada hari Senin, 22
Maret 2016.
Https://Ar.Wikipedia.Org/Wiki/ﺔ ﺳﺮ ﺔﻴﻧﺪ diunduh pada hari Senin, 22 Maret
2016.
Ibrahim, M. Subhi, Al-Farabi (Sang Perintis), Jakarta: Dian Rakyat 2012.
James, William, The Varietes of Religious Experiences, New York, Collier
Jauhari, Muhammad idris, Anak Muda Menjadi Sufi, Kenapa Tidak?, (Prenduan,
Al-Amien Press:2003)
Johnstone, Henry W., Jr., ed., What is Philosophy?, 1968
Junaidi, Luqman, Ilmu Hudhuri: Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Filsafat
Iluminasi Suhrawardi, (Depok, Tesis:2009)
Kartanegara, Mulyadi, Gerbang Kearifan, Jakarta: Lentera Hati, 2006.
Ledriere, Jean, The Challenge Presented to Cultures by Science and Technology,
1975
Maghniyah, Muhammad Jawad, Tafsi>r al-Kasyi>f, Juz 6, Beirut Libanon, Da>r
al-‘ilmi lilmala>yin, 1969.
Maerican College Dictionary (The), C.L. Barnhart, Editor-in-Chief, 1958.
Mahali, A. Mudjab, Pembinaan Moral Di Mata Al-Ghazali, BPFE : Yogyakarta,
1984
Mawardi dan Nur Hidayati, IAD, ISD, IBD, Bandung: Pustaka Setia, 2007.
McGraw-Hill Dictionary of Scientific and Technical Terms, Daniel N. Lapedes,
Editor-in-Chief, 1974.
Mudhary, Bahaudin, Setetes Rahasia Alam Tuhan (Melalui Peristiwa Metafisika
al-Mi’raj), Surabaya: Pustaka Progressif, 2002.
Mujamma’ al-Lughat al-‘Arabiyyah, Al-Mu’jam al-Wasi>t}, cet ke-4, Kairo:
Maktabat as-Syuru>q al-Dauliyah, 2004.
Muha>sibiy (al), Ha>ris, Risa>lat al-Mustarsyidi>n, cet ke-5, Kairo, Da>ru
as-Sala>m:1983.
M. Sholihin, Epistimologi Ilmu Dalam Sudut Pandang al-Ghazali, (Bandung:
Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1985.
Rifa'i (al), Ahmad bin Ali bin Tsabit, Burha>n al-Mu'ayyad, cet. Ke-1, (Beirut,
Dar al-Kitab al-Nafis: 1408)
Rijal, Syamsul, Bersama Al-Ghazali Memahami Filosof Alam (Upaya
Meneguhkan Keimanan), Arruzz : Yogyakarta, 2003.
Riyadi, Abdul Kadir, Antropologi Tasawuf, Jakarta: Pustaka LP3ES, 2015.
Roziq, Musthofa Abd., Tamhi>d li Tari>kh al-Falsafah al-Isla>miyah, Kairo:
1994.
Rusn, Abidin Ibnu, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 1998), Cet. 1.
Sadra, Mulla, Manifestasi-Manifestasi Illahi, Terj, Irwan Kurniawan, (Jakarta:
Sadra Press, 2011),
Sampurna K., Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Cipta Karya, 2003.
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta, Rajawali
Press:2002),
Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung, Pustaka Setia: 2008)
Soetriono dan Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Yogyakarta:
Andi, 2007.
Suhrawardi, Majmu>'at al-Mus}annafah Syaykh al-Isyra>q I, cet. Ke-I, (Teheran,
Institut d'Etudes et des Recherehes Culture, 1993)
Surur, Thaha Abdul Baqi, Imam al-Ghazali Hujjatul Islam, Terj. LPMI, Solo:
Thaba’i, Said Muhammad Husein al-Thaba’, al-Mi>zan fi Tafsi>r al-Qur’a>n,
juz 6, Beirut Libanon: Mu’assasah al-‘A<lami lil Mathbu>’ah, Jilid 13,
1991.
Tafsir, Ahmad, Filsafat Ilmu, Bandung: Rosdakarya, 2004.
Zainuddin, dkk., Seluk Beluk Pendidikan Dari al-Ghazali, (Jakarta : Bumi Aksara,
1991)
Zahwan, Abdul Hamid, Memburu Ilmu Laduni, Solo: CV. Aneka. 2001.
Ziai, Hossein, Suhrawardi dan Filsafat Iluminasi, terj. Afif Muhammad, cet. Ke-I