• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III DESKRIPSI KITAB IHYA ULUMUDDIN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III DESKRIPSI KITAB IHYA ULUMUDDIN"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

DESKRIPSI KITAB IHYA’ ULUMUDDIN

A. Tinjauan Umum Kitab Ihya’ Ulumuddin.

Kitab Ihya’ Ulumuddin merupakan salah satu karya monumental yang menjadi intisari dari seluruh karya al-Ghazali. Secara bahasa Ihya’ Ulumuddin berarti menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama.1 Sebagaimana judulnya kitab ini berisi tentang ilmu-ilmu agama yang akan menuntun umat Islam, tidak berorientasi pada kehidupan dunia belaka, akan tetapi kehidupan akhirat yang lebih utama.

Kitab ini terdiri atas empat bagian besar,2 setiap bagian terdiri dari sepuluh bab yang dimulai dari pengenalan terhadap pengarang, kemudian khotbah kitab yang dilanjutkan bagian pertama dan bagian kedua, bagian ketiga dan bagian keempat.

Bagian pertama menjelaskan tentang ibadah, dalam bagian ini terdiri atas sepuluh bab. Bab ke satu dimulai dengan menjelaskan tentang ilmu, sebab ilmu sangat penting dimana setiap manusia berbakti kepada Allah dengan menuntutnya. Dalam bab ini juga akan dikupas bagaimana keutamaan ilmu, seperti ilmu terpuji dan tercela, adab atau kesopanan pelajar dan pengajar, bahaya ilmu, tanda-tanda ulama akherat serta tentang akal.

Bab kedua menjelaskan tentang aqidah, bab ketiga menjelaskan tentang rahasia bersuci, bab keempat tentang shalat, bab kelima tentang zakat, bab keenam tentang puasa, bab ketujuh tentang haji, bab kedelapan tentang adab membaca al-Qur'an. Bab kesembilan tentang dzikir dan doa serta bab kesepuluh menjelaskan tentang tata tertib wirid. Bagian kedua berisi tentang persoalan pergaulan antara sesama manusia yang padanya pula terdiri atas sepuluh bab, meliputi: adab makan, adab perkawinan, hukum bekerja, halal haram.

1 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Histories, Teoritis, dan Praktis,

(Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm.85.

(2)

Adab berteman dan bergaul dengan manusia. Adab beruzlah, adab bermusyafir, adab mendengar dan merasa, amar ma’ruf nahimunkar, serta adab kehidupan dan akhlak kenabian. Bagian ketiga tentang segala perbuatan yang membinasakan terdiri atas sepuluh bab. Dalam bab ini dijelaskan tentang semua budi pekerti yang tercela dan dalam al-Qur'an dengan menghilangkanya, membersihkan jiwa dan mensucikan hati dari padanya. Dalam bab ini diterangkan juga tentang tiap-tiap budi pekerti, batas-batasnya, hakikatnya, sebab yang membawa tertarik padanya yang dapat menimbulkan bahaya. Disana juga dijelaskan tanda-tanda untuk mengenalinya dan bagaimana cara mengobatinya supaya terlepas dari padanya. Semuanya itu disertai dengan dalil-dalil ayat al-Qur'an, hadis dan kata-kata sahabat nabi.

Bab ini meliputi: uraian tentang keajaiban hati, latihan diri bahaya hawa nafsu perut dan kemaluan, bahaya lidah dan bahaya marah, dendam dan dengki, tercelanya dunia. Tercelanya harta dan kikir, tercelanya kemegahan dan riya, tercelanya sifat takabur dan ujub, serta tercelanya sifat tertipu kemenangan duniawi.

Bagian terakhir berisi tentang perbuatan yang melepaskan dalam bagian ini dijelaskan tentang semua budi pekerti terpuji dan keadaan yang disukai seperti budi pekerti muqarrabin dan saddiqin3yang akan mendekatkan diri

pada Tuhan pencipta alam. Bab-bab itu antara lain: bab taubat, sabar, syukur, harap dan takut. Bab fakir, zuhud, tauhid, tawakal, cinta kasih, rindu, dan rela. Bab niat benar, ikhlas. Bab muraqabah dan menghitung amalan, bab tafakur dan serta bab dzikrul maut (ingat mati).

Dengan penjelasan semua bagian dari bab di atas diharapkan mampu mengembalikan fitrah asal mula manusia yaitu tidak lain hanya untuk beribadah kepada Allah SWT, Sebagaimana firman Allah;

نوﺪﺒﻌﻴﻟ ﻻا ﺲﻧﻻاو ﻦﺠﻟا ﺖﻘﻠﺧ ﺎﻣو

)

تﺎﻳراﺬﻟا

:

٥٦

(

3 Ibid.

(3)

Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanyalah untuk beribadah kepada ku. (Qs. Al-Dzariat : 56)4.

Lebih lanjut, Kitab Ihya’ Ulumuddin disusun ketika umat Islam teledor terhadap ilmu-ilmu Islam, yaitu setelah al-Ghazali kembali dari rasa keragu-raguan dengan tujuan utama untuk menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama. Mengapa demikian? Ketika itu, umat Islam acuh terhadap ilmu-ilmu Islam dan mereka lebih asyik dengan filsafat barat. Oleh karena itu, al-Ghazali tergugah hatinya untuk membersihkan hati umat dari kesesatan, sekaligus pembelaan terhadap serangan-serangan pihak luar baik Islam ataupun barat (oreintalist)5 dengan menghadirkan sebuah karya ilmiah ditengah-tengah umat Islam.

Dalam versi lain dikatakan bahwa penyusunan kitab Ihya’ ulumuddin oleh al-Ghazali didasari oleh rasa ketidakyakinannya dalam hal ibadah kepada Allah SWT. Dimasa itu terjadi pertentangan yang sangat besar antara kaum sufi (tasawuf) dan kaum syariah (fuqaha). Kaum fuqaha’ menghabiskan waktunya untuk memperbincangkan syah dan batal dengan mengabaikan tentang kehalusan perasaan, sedangkan kaum sufi terlalu memupuk perasaan (dzauq), kadang-kadang tidak memperdulikan amalan-amalan, ibadah dan syariat yang sesuai dengan sunnah rasul. Oleh karenaya al-Ghazali berkeinginan untuk menyatukan keduanya dengan menyusun sebuah kitab yang diberi judul Ihya’ Ulumuddin. Dalam kitab ini al-Ghazali menuliskan bahwa “syariat tanpa hakekat, bagaikan bangkai tak bernyawa, begitu juga hakekat tanpa syariat ibarat nyawa tak bertubuh”.

B. Biografi Al-Ghazali

Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali.6 Dalam versi lain menyebutkan bahwa nama lengkap

4 Soenarjo, al-Qur'an dan Terjemahnya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemahan

/ Penafsir al-Qur'an, 1994), hlm. 862.

5 Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-aliran Dalam Pendidikan, (Semarang: Dimas, 1993),

hlm. 5.

(4)

beliau dengan gelarnya adalah Syekh ajal imam zahida said al-muwafiq hujjatul Islam, beliau lebih dikenal dengan nama al-Ghazali abu Hamid al-Ghazali, para ulama ahli sejarah menyebutkan bahwa al-Ghazali lahir di kota Thus, pada tahun 450 H dan meninggal di kota yang sama.7 Dari sumber lain menyebutkan bahwa ia lahir di kota Ghazalah,8 sebuah kota kecil dekat Thus di Khurasan yang ketika itu menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia Islam.9

Al-Ghazali dibesarkan dalam keluarga sederhana yang taat beragama, Ayahnya bekerja sebagai seorang pemintal dan penjual kain wol yang hasilnya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan para Fuqaha’ serta orang-orang yang membutuhkan pertolongannya. Ayahnya termasuk orang yang mencintai ilmu dan ulama’. Di waktu senggangnya dia sering dan aktif menghadiri majlis-majlis ta’lim dan pengajian10 dan juga sering mengunjungi para Fuqoha, pemberi nasihat dan duduk bersamanya sehingga ketika ia mendengar nasehat para ulama tersebut, ia terkadang sempat menangis dan lebih rendah hati seraya memohon kepada Allah SWT agar dikaruniai anak seperti halnya para ulama tersebut. Kekuasaan Allah mengabulkannya, sehingga ia dikaruniai anak (al-Ghazali) yang kemudian menjadi ulama besar dan terkenal hingga sekarang. Sementara itu saudaranya, Ahmad juga menjadi penceramah dan penasihat yang masyhur pula, namun sayangnya orang tua al-Ghazali tidak dapat melihat keberhasilan anak-anaknya.

Sejak kecil al-Ghazali telah menjadi yatim.11 Sebelum ayahnya meninggal ia dan adiknya dititipkan kepada seorang sufi dengan harapan al-Ghazali kelak menjadi seorang Faqih dan pemberi nasihat, dengan menitipkan sedikit harta seraya berkata: “Aku menyesal sekali dikarenakan Aku tidak belajar menulis, Aku berharap mendapatkan apa yang tidak kudapatkan itu

7 Abudin Nata, Persepektif Islam Tetang Hubungan Guru Murid, (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2001), hlm. 55.

8 Muhammad Sholihin, dkk., Kamus Tasawuf, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002),

hlm. 45.

9 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1996), hlm. 159 10 Muhammad Sholihin, op. cit., hlm. 53.

11 Muhammad Amin Abdullah, The Idea of Universality of Etical Norms in Ghazali and

(5)

melalui dua putraku ini”. Sufi itu melaksanakan wasiat tersebut dengan cara mendidik keduanya sampai suatu hari ketika harta itu habis dan tidak mampu lagi memberi makan keduanya, Sufi itu menyerahkan al-Ghazali dan adiknya kepada pengelola sebuah madrasah untuk belajar sekaligus menyambung hidup mereka disana.

Di madrasah tersebut al-Ghazali mempelajari ilmu Fiqih dan Bahasa Arab kepada Ahmad bin Muhammad al-Rizqani12 kemudian ke Jurjan menjadi santri Abu Nasr Al-ismaili dilanjutkan ke Naisabur. Di sinilah ia berguru kepada Al-juwaini yang terkenal dengan sebutan Imam Haramain, yaitu pada tahun 478 H / 1086 M hingga ia menguasai ilmu kalam, ilmu manthiq, fiqih, ushul fiqih, filsafat, tasawuf dan retorika perdebatan13. Selama di Naisabur, ia tidak hanya belajar kepada al-Juwaini, tetapi ia juga belajar teori-teori tasawuf kepada Yusuf Al-Nasajj, kemudian ia melakukan latihan dan praktik tasawuf, kendati hal itu belum mendatangkan pengaruh yang berarti dalam langkah hidupnya.

Kehausan al-Ghazali akan ilmu pengetahuan sudah tampak sejak intelektualnya mulai berkembang, hal itu tercermin ketika ia belajar suatu ilmu. Kecenderungan dalam mengetahui, memahami dan mendalami masalah-masalah yang hakiki, begitu juga dari al-Juwaini, ilmu-ilmu yang diberikan kepada al-Ghazali benar-benar dikuasai, termasuk perbedaan pendapat dari para ahli ilmu. Karena kemahiran al-Ghazali dalam segala hal, al-Juwaini memberi gelar Bahr Mughriq( lautan yang menghanyutkan ).14

Kecerdasan dan keluasan wawasan berfikir al-Ghazali membuatnya semakin dikenal oleh masyarakat luas. Setelah gurunya wafat, Penyebaran intelektualnya dilanjutkan ke daerah Mu’askar dan ia menetap disana kurang lebih 5 tahun. Kegiatan pokoknya sebelum al-Ghazali terjun menjadi guru besar Nizhamiyah, ia banyak mengikuti pertemuan-pertemuan ilmiah yang diadakan oleh perdana menteri Nizhamul Mulk. Keikutsertaan al-Ghazali dalam suatu diskusi bersama ulama dan intelektual terkenal dihadapan

12 Al-Ghazali, Munqid min al-dhalal, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), hlm.9. 13 Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, op. cit., hlm. 8.

(6)

Nizhamul Mulk membawa kemenangan baginya, yang demikian itu berkat ketinggian ilmu filsafatnya, kekayaan ilmu pengetahuannya, Kefasihan lidahnya dan kejituan argumentasinya.

Melihat kehebatan, kecerdikan dan kepandaian al-Ghazali maka Nizhamul Mulk sangat takjub dan kagum sehingga Nizhamul Mulk menobatkan dirinya untuk menjadi guru besar di Universitas Nizhamiah di Baghdad pada tahun 484 H / 1091 M.15

Meskipun usianya baru tiga puluh tahun, al-Ghazali juga dinobatkan untuk mengajar ilmu agama Islam yang diikuti oleh sebagian besar para ulama dan para pemimpin dibaghdad. Hal ini berawal dari kekaguman mereka kepada al-Ghazali dan kehauasan umat Islam terhadap ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, kurang dari empat tahun al-Ghazali telah memiliki murid kurang lebih empat ratus (ulama’ dan pemimpin) hal ini menunjukkan keberhasilan al-Ghazali dalam dunia pendidikan (mendidik dan mengajar)16.

Disamping itu, al-Ghazali juga aktif mengadakan perdebatan dengan golongan-golongan yang berkembang pada masa itu.

Di balik perdebatan dan penyelaman berbagai aliran, ternyata semua itu menimbulkan pergolakan dalam diri al-Ghazali karena tidak ada yang memberi kepuasan batinnya. Ia mengalami krisis rohani, merasa hampa jiwanya. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk meninggalkan jabatannya dan menuju ke Syam untuk mencari ketenangan bathin dengan cara berkhalwat (menyepi sambil merenung) ini dilakukan setelah ia bergelut dengan skeptisme yang tak kunjung usai dan konflik psikis antara kepentingan dunia dan akhirat.17

Selama dua tahun al-Ghazali menjadi hamba Allah SWT yang benar-benar mampu mengendalikan hawa nafsunya. Ia menghabiskan waktunya untuk berkhalwat, ibadah dan i’tikaf di masjid Damaskus.

15 Muhammad Amin Abdullah, op. cit., hlm. 10.

16 Abudin Nata, Persepektif Islam tentang pola hubungan Guru dan Murid, ( Jakarta:

Raja Grafiindo Persada, 2001), hlm. 61.

(7)

Untuk melanjutkan pendekatan diri kepada Allah SWT, al-Ghazali tergugah hatinya untuk memenuhi panggilan-nya, yaitu menjalankan ibadah haji. Dengan segera ia pergi ke Mekah, Madinah dan setelah itu ia ziarah ke makam Rasulallah SAW. serta makam Nabi Ibrahim AS. Setelah selesai mengerjakan ibadah haji, ia terus ke negeri Syam (Syiria), mengunjungi Baitul Maqdis, kemudian ke Damaskus dan terus menetap ibadah di Masjid al-Umawi di kota tersebut, yaitu pada suatu sudut yang terkenal hingga sekarang dengan nama al-Ghazaliyah. Pada masa itulah beliau mengarang kitab Ihya’ Ulumuddin 18 yang hingga sekarang banyak dikaji oleh para sarjana.

Setelah kembali dari ibadah haji dan berkhalwat, keadaan hidup al-Ghazali sederhana, dengan berpakaian kain kasar, menyedikitkan makan dan minum, mengunjungi masjid dan desa, melatih diri berbanyak ibadah dan menempuh jalan yang membawanya kepada kerelaan dan keikhlasan yaitu hanya karena Allah SWT semata.19

Kemudian al-Ghazali kembali ke Baghdad, mengadakan majlis pengajaran dan menerangkan isi dan maksud kitabnya “Ihya’ Ulumuddin”. tidak lama kemudian atas desakan Fahrul Mulk (Putra Nizhamul Mulk) al-Ghazali melanjutkan mengajar di Universtas Nizhamiah. Kali ini al-al-Ghazali tampil sebagai tokoh pendidikan20 yang benar-benar mewarisi dan mengarifi

ajaran Rasulullah SAW. Ia tampil bukan hanya sebagai guru agama semata, tapi juga sebagai sufi dan penunjuk jalan yang agamis yang sama sekali sudah melepas kepentingan dunia yang fana ini.

Tidak lama ia tinggal di Naisabur, setelah mengabdikan diri untuk ilmu pengetahuan selama berpuluh-puluh tahun dan memperoleh kebenaran yang hakiki pada akhir hayatnya, maka kemudian al-Ghazali kembali ke kota kelahirannya yaitu Thusia. Disana Ia mengasuh sebuah pondok untuk kaum sufi dan juga madrasah untuk para penuntut ilmu.21 Kegiatan pokok al-Ghazali

18 Muhammad Amin Abdullah, op. cit., hlm. 11. 19 Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, op. cit., hlm. 8. 20 Samsul Nizar, op. cit., hlm. 87.

21 Amin Syukur, dkk., Intelektual Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm.

(8)

diakhir hayatnya adalah membagi waktunya untuk membaca al-Qur'an, mengadakan pertemuan dengan kaum sufi, memberi pelajaran kepada para penuntut ilmu yang ingin menyauk lautan ilmunya, mendirikan shalat dan lain-lainnya.

Kegiatan ini berlangsung hingga al-Ghazali menghembuskan nafas yang terakhir dengan mendapat khusnul khotimah. Al-Ghazali meninggal pada tanggal 19 Desember 1111 M22 atau bertepatan pada hari senin tangal 14 Jumadi Akhir tahun 505 H di Thusia. Jenazahnya dikebumikan dipemakaman ath-Thabiran23 berdekatan dengan makam al-firdausi ahli syair ternama.

Al-Ghazali meninggalkan 3 orang anak perempuan, sedangkan putra laki-lakinya sudah meninggal sejak kecil sebelum al-Ghazali wafat. Namanya Hamid oleh karena itu beliau mendapat gelar julukan Abu Hamid.

C. Sosiokultural Kehidupan Al-Ghazali

Berbicara pemikiran seorang tokoh, maka satu hal yang tidak bisa diabaikan adalah keadaan sosial ketika sang tokoh tersebut berinteraksi langsung dengan setting sosial kala itu. Sebab apapun kondisi saat manusia hidup dan bergelut, sedikit banyak akan mempengaruhi pola pikir manusia itu sendiri tak terkecuali al-Ghazali. Dia hidup dimasa munculnya aliran-aliran pemikiran ditengah masyarakat Islam. Berbagai macam corak pemikiran yang timbul disebabkan karena persoalan-persoalan yang melingkupi umat Islam saat itu.

Sejak meninggalnya Nabi Muhammad SAW dilanjutkan dengan periode pemerintahan Khulafaur Rasyidin dan puncaknya adalah pada masa pemerintahan Saidina Ali dengan ditandai makin banyaknya permasalahan yang muncul hingga ke persoalan politik. Wujudnya adalah ketidaksetujuan para sahabat terhadap pengangkatan Sayyidina Ali ra. sebagai khalifah yang keempat hingga terjadi peperangan di antara sesama muslim, perang inilah yang menjadi penyebab perkembangan persoalan hingga Ali ra. terbunuh.

22 Muhammad Sholihin, op. cit., hlm. 54.

(9)

Persoalan yang timbul dalam peperangan dan lapangan politik di atas akhirnya berdampak pada timbulnya persoalan-persoalan teologi.24 Maka muncullah pengkafiran / siapa yang kafir dalam arti siapa yang keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam.

Lambang dari perpecahan politik adalah adanya genjatan senjata melalui tahkim (arbhifrase). Dengan adanya tahkim, akhirnya muncul aliran-aliran dalam beraqidah, diantaranya: aliran-aliran Khawarij, Syiah dan Murji’ah. Aliran-aliran ini semakin lama semakin tidak ada titik temunya, hingga masa al-Ghazali, bahkan hingga sekarang ini.

Apabila dirunut dari rentang perjalanan sejarah, maka kendatipun masa hidup al-Ghazali masih berada dalam periode klasik (650-1250 M), namun sudah masuk ke dalam masa kemunduran atau jelasnya masa disintregasi (1000-1250 M).25 Secara politis kekuatan pemerintahan Islam yang masa itu dibawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah sudah sangat lemah dan mundur karena terjadinya konflik internal yang berkepanjangan dan tak kunjung terselesaikan. Hal ini merupakan sebab utama munculnya berbagai masalah.

Dalam bidang kebudayaan dan peradaban, meski pernah mengalami masa keemasan sebelumnya, pada masa al-Ghazali mengalami kemunduran, bahkan nyaris kehilangan kepribadiannya. begitu juga dalam ilmu-ilmu agama Islam dirasakan telah mati dalam jiwa umat Islam.26 Dalam bidang pendididkan dan kejiwaan, umat Islam mengalami kemiskinan intelektual, spiritual dan moral.

Disorientasi kehidupan telah melanda umat. Tarikan segi-segi keduniaan dalam berbagai aspek kehidupan banyak mengalahkan segi-segi keakhiratan. Oleh Karena itu, pada bidang agama yang menuntut pengamalan-pengamalan, dan penghayatan secara intens justru dimanfaatkan untuk mencari popularitas, jabatan,pangkat di sekitar pusat kekuasaan.

Begitu juga dalam bidang pemikiran, tidak luput dari berbagai permasalahan. Sehubungan dengan terjadi polarisasi dan pluralisasi paham

24 Muhaimin, Ilmu Kalam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 12. 25 Amin Syukur, dkk., op. cit., hlm. 119.

(10)

dari berbagai kelompok yang masing-masing mengklaim paling benar27. Dalam pandangan al-Ghazali ada empat golongan yang menimbulkan krisis dalam bidang pemikiran dan intelektual, yaitu kaum mutakalimin, filosuf, ahli kebatinan (ta’limiyah) dan kaum sufi. Hal ini disebabkan oleh adanya pengalaman al-Ghazali sendiri.

Ia mengalami keadaan yang syak (tidak ada keyakinan) atau masa skeptis, dikarenakan oleh adanya pertentangan diantara disiplin ilmu, yang akhirnya ia memutuskan untuk berkhalwat dan mencari keyakinan yang hakiki, Melepaskan keduniaan dan melakukan pengembaraan serta menjalankan ibadah haji.28 Sepulangnya al-Ghazali dari tanah suci dan mendapatkan keyakinan yang hakiki, maka ia berusaha untuk mempersatupadukan dan mencari titik temu. Contoh pertentangan kaum Syariah dan kaum hakikat (sufi). Al-Ghazali berkata: “hakikat tanpa syariah bagaikan ruh tak bertubuh dan syariah tanpa hakikat bagaikan tubuh tak bernyawa.”

Demikianlah beberapa kondisi obyektif yang mengitari masa hidup al- Ghazali. Sebagai seorang yang dikaruniakan padanya kecerdasan dan ketajaman nurani, ia senantiasa berdialog dan bersikap aspiratif dengan zamannya yang penuh ketegangan yang disebabkan oleh banyaknya madzhab, garis kesukuan, kebahasaan, kedaerahan bahkan idiologi negara. Menghadapi dunia Islam saat itu yang dipenuhi oleh pragmentasi sosial politik dan alam pikiran yang tidak terkontrol, serta dibarengi oleh adanya penyempitan paham, dan kurangnya sikap tasamuh diantara sesama muslim, al-Ghazali dengan sikap kritis dan keberaniannya mengambil keputusan secara realistis dan mantap, beliau memilih tasawuf sebagai pondasi dasar teologisnya.29

Sikap al-Ghazali itu terefleksikan dalam karya monumentalnya Ihya’ Ulumuddin, yang merupakan reaksi terhadap keadaan riil yang mengglayuti kehidupan dirinya dan kehidupan umat Islam saat itu, kitab itu berisikan

27 Fathiyah Hasan Sulaiman, op. cit., hlm. 12.

28 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, op. cit., hlm. 63. 29 Amin Syukur, dkk., op. cit., hlm. 125.

(11)

penghidupan kembali ilmu-ilmu keagamaan dan juga seruan kembali kepada hal-hal yang telah digariskan oleh Allah SWT.

D. Karya-Karya al-Ghazali

Al-Ghazali adalah seorang pemikir Islam dan juga seorang pengarang yang produktif.30 Di masa hidupnya baik sebagai penasihat kerajaan maupun sebagai guru besar di Baghdad, baik sewaktu mulai dalam skeptis di Naisabur maupun setelah berada dalam keyakinan yang mantap. Beliau tetap aktif mengarang sehingga puluhan kitab bahkan ratusan telah berhasil dipersembahkan kepada umat Islam.

Al-Ghazali aktif mengarang sejak usia 25 tahun hingga akhir hayatnya yaitu berusia 55 tahun. Diperkirakan, setiap tahun tidak kurang dari sepuluh buku yang dihasilkannya, baik kecil ataupun besar yang meliputi berbagai disiplin ilmu pengetahuan, antara lain: filsafat, ilmu kalam, fiqih, ushul fiqh, tafsir, tasawuf31 dan ilmu akhlaq. Akan tetapi dalam hal ini, karena keterbatasan kemampuan manusia, maka tidak semua karyanya terdeteksi keberadaannya dan juga tersebar di seluruh perpustakaan penjuru dunia.

Harus diakui bahwa al-Ghazali merupakan salah satu tokoh pemikir yang berjasa dalam peradaban Islam, ia juga merupakan orang yang berpengaruh kedua di kalangan umat Islam setelah Rasulallah SAW, uniknya, pengaruh al-Ghazali tidak hanya di kalangan agama Islam tetapi juga agama lain seperti Kristen dan Yahudi yaitu melalui beberapa filsafatnya.

Menurut Dr. Badawi Thabanah32 yang ditulis dalam Muqoddimah Kitab

Ihya’ Ulumuddin. Karya al-Ghazali dikelompokkan menurut disiplin ilmu pengetahuan, sebagai berikut:

1. Kelompok Ilmu Akhlaq dan Tasawuf

a. Ihya’ Ulumuddin (Penghidupan kembali ilmu-ilmu agama) b. Ayyuhal Walad (Hai anak-anakku)

c. Mizan al-Amal (Timbangan amal)

30 Muhammad Sholihin, op. cit., hlm. 141. 31 Amin Syukur, op. cit., hlm. 141. 32 Muhammad Sholihin, op. cit., hlm. 55.

(12)

d. Misykat al-Anwar (Relung-relung cahaya) e. Minhaj al-Abidin (Pedoman beribadah)

f. Al-Durar al-Fakhirah fi Kasyfi Ulum al Akhirah (Mutiara penyingkap ilmu akhirat)

g. Al-Qurabah ila Allah ‘Azza wa jalla (Mendekatkan diri kepada Allah) h. Akhlaq al-Abrar wa al-Najat min al-Asrar (Akhlaq yang luhur dan

menyelamatkan dari keburukan)

i. Bidayatul Hidayah (Langkah-langkah mencapai hidayah) j. Al-Mabadi wa al-Ghayah (Permulaan dan tujuan akhir) k. Risalah al-Qudsiyah (Risalah suci)

l. Al-Ulum al-Laduniyah (Ilmu-ilmu laduni) 2. Kelompok Filsafat dan Ilmu Kalam.

a. Maqasid Falasifah (Tujuan filsafat)

b. Tahafut Al-Falasifah (Kekacauan para filosuf) c. Al-Iqtishad fi al-I’tiqad (Moderasi dalam aqidah)

d. Al-Qishah al-Mustaqim (Jalan untuk mengatasi kegelisahan) e. Hujjatul Haq (Argumen-argumen yang benar)

f. Mahkum al-Nadhar (Metodologika) g. Asrar Addin (Misteri ilmu agama) h. Ishbatu al-Nadhar (Penetapan logika)

i. Mufahil al-Khilaf fi Ushul al-Din (memisahkan perselisihan dalam ushuluddin)

3. Kelompok Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh a. Al-Basith (Pembahasan yang mendalam) b. Al-Wasith (Perantara)

c. Al-Wajiz (Surat-surat wasiat) d. Al-Mankhul (Adat kebiasaan)

e. Syifa’ al-‘Alil fi al-Qiyas wa al-Ta’wil (Terapi yang tepat pada qiyas dan ta’wil)

f. Adz-Dzariah ila Makarimi al-Syariah (Jalan menuju kemuliaan syariah)

(13)

4. Kelompok Tafsir

a. Yaqut al-Ta’wil fi Tafsir al-Tanzil (Metode ta’wil dalam menafsirkan al-Qur'an)

b. Jawahirul Qur’an (Rahasia-rahasia al-Qur'an)

E. Pandangan al-Ghazali Tentang Etika Guru Dan Murid Dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin

Pendidikan merupakan bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohai anak menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Dalam hal ini pendidikan mengandung tiga unsur pokok yang satu sama lain saling berkaitan, yaitu: unsur pendidik (guru), anak didik (murid), dan tujuan.

Pada dasarnya proses pendidikan merupakan interaksi antara pendidik dan peserta didik untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam konteks umum tujuan pendidikan tersebut antara lain mentransmisikan pengalaman-pengalaman dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Menurut Imam al-Ghazali “Tujuan dari pendidikan ialah mendekatkan diri kepada Allah SWT bukan pangkat dan bermegah-megahan.”33

Untuk merealisasikan tujuan pendidikan itu, maka dibutuhkan interaksi antara guru dan murid, dalam arti hubungan seperti apakah yang akan terwujud?. Untuk menjawab masalah ini tidaklah sederhana, karena dalam interaksi tersebut, guru sebagai pelaku utama kegiatan pendidikan memerlukan persiapan baik dari segi penguasaan ilmu yang diajarkan, kemampuan menyampaikan ilmu secara efesien dan efektif kepada anak didik (murid) yang bervariasi watak ataupun kepribadian sehingga membutuhkan konsep / teori khusus dalam mengaplikasikannya. Dalam hal ini Imam al- Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin memberikan beberapa konsep Etika guru terhadap murid dan juga etika murid terhadap guru.

33 Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Prinsip-prinsip Dasar Pendidikan Islam, (Bandung:

(14)

Adapun Etika Guru menurut al-Ghazali sebagaimana dalam kitab Ihya Ulumuddin sebagai berikut :

1. Bersikap lembut dan kasih sayang kepada Murid dan memeperlakukan sebagaimana anaknya sendiri. Dalam hal ini, orang tua adalah penyebab adanya si anak lahir di dunia yang sementara ini, sedangkan guru menjadi penyebab bagi kehidupan yang kekal di akherat.

2. Mengikuti jejak Rasulullah SAW., yaitu tidak meminta upah atas tugasnya, tetapi mengajar hanya karena Allah SWT, tidaklah ia melihat apa yang telah dikerjakan kepada murid, akan tetapi kewajiban bagi murid untuk selalu mengingat budi baik guru kepadanya.

3. Tidak meninggalkan nasehat. contoh melarang murid mempelajari sesuatu ilmu sebelum pada tingkatanya dan juga mempelajari yang tersembunyi sebelum selesai yang terang.

4. Termasuk yang halus-halus dari mengajar, bahwa guru menghardik murid dari berperangai jahat dengan cara sindiran selama mungkin dan tidak dengan cara terus terang dan dengan cara kasih sayang tidak dengan cara mengejek. Sebab dengan cara terus terang, merusakkan takut murid kepada guru dan mengakibatkan dia berani menentang dan suka meneruskan sifat yang jahat itu.

5. Seorang guru yang bertanggung jawab pada salah satu mata pelajaran, tidak boleh melecehkan mata pelajaran lain dihadapan murid, misalnya Guru bahasa melecehkan ilmu fikih.

6. Guru harus menyingkatkan pelajaran menurut pemahaman murid. Jangan mengajarkan pelajaran yang belum sampai otaknya.

7. Kepada seorang pelajar yang singkat paham, hendaklah diberikan pelajaran yang jelas yang layak baginya.

8. Seorang guru harus mengamalkan ilmunya. Janganlah perkataannya membohongi perbuatannya 34

(15)

Dan juga, Etika Murid menurut Imam al-Ghazali sebagai berikut :

1. Mendahulukan kebersihan bathin dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela. Sebab ilmu pengetahuan merupakan kebaktian hati, shalat bathin dan pendekatan jiwa kepada Allah SWT.

2. Seorang Murid hendaklah mengurangkan hubungnnya urusan duniawi, menjauhkan diri dari keluarga dan kampung halaman. Sebab segala hubungan itu mempengaruhi dan memalingkan hati kepada yang lain. 3. Seorang murid jangan menyombongkan diri dengan ilmunya dan jangan

pula menentang atau memerintah guru, tetapi menyerahkan seluruhnya kepada guru dengan menaruh keyakinan penuh terhadap segala hal yang dinasehatkan sebagaimana orang sakit yang bodoh yakin kepada dokter yang ahli dan berpengalaman.

4. Bagi Murid pada tingkat permulaan, hendaklah menjaga diri dari mendengar pertentangan orang tentang ilmu pengetahuan. Baik ilmu keduniaan ataupun ilmu keakhiratan.

5. Seorang Murid jangan berpindah dari suatu ilmu yang terpuji kepada cabang-cabangnya kecuali setelah ia memahami pelajaran-pelajaran sebelumnya.

6. Seorang Murid jangan menenggelamkan diri pada suatu bidang ilmu pengetahuan secara serentak, tetapi memelihara tertib dan memulainya dari yang lebih penting.

7. Seorang Murid jangan melibatkan diri pada pokok bahasan atau suatu bidang ilmu pengetahuan sebelum menyempurnakan bidang yang sebelumnya, karena ilmu pengetahuan itu tersusun secara tertib

8. Seorang murid agar mengetahui sebab untuk mendapatkan ilmu yang termulia, yaitu kemulian hasil dan kepercayaan serta kekuatan dalilnya. 9. Seorang Murid agar dalam mencari ilmu, didasarkan pada upaya menghias

bathin dan mempercantik dengan berbagai keutamaan.

10. Seorang Murid harus mengetahui hubungan ilmu pengetahuan itu kepada tujuannya, supaya pengetahuan yang tinggi dan dekat dengan jiwanya itu,

(16)

membawa pengaruh kepada tujuannya yang mash jauh dan yang penting membawa pengaruh pada yang tidak penting .35

Dari uraian tersebut terlihat bahwa guru dan murid merupakan dua unsur yang tidak bisa dipisahkan. Dalam arti formal terjadi relasi edukatif yaitu suatu proses yang menggambarkan adanya hubungan aktif antara guru dan murid dengan sejumlah pengetahuan sebagai mediumnya untuk mencapai tujuan pendidikan,36 sehingga terbentuklah mileu belajar-mengajar yang kondusif, yaitu guru memberikan ilmu-ilmunya (transfer of knowledge) dan murid menerima apa yang diajarkannya yang didasarkan atas nilai religiusitas. Dalam hal ini penentu utama keberhasilan pendidikan adalah guru dan murid. Guru harus mempersiapkan segala sesuatu yang akan diberikan kepada murid, begitu juga murid ia harus bersih hatinya dalam menerima pancaran ilmu.Oleh karena itu, hubungan Guru dan murid tidak hanya sebatas belajar-mengajar, dalam hal ini guru harus membimbing, menasehati dan menjadi teladan / uswatun hasanah bagi muridnya. Dengan kata lain Guru merupakan penyebab kehidupan abadi (kehidupan kekal di akhirat) dan orang tua penyebab murid lahir di dunia.

Dari konsep diatas terlihat adanya hubungan yang khas antara guru dan murid. Hubungan itu tidak sebatas untung-rugi yang dinilai dengan materi ataupun layaknya pemberi dan penerima, begitu juga hubungan yang dibatasi oleh tempat dan waktu (dianggap guru maupun murid manakala berada dalam kelas), akan tetapi pada hakikatnya merupakan hubungan keagamaan, yaitu suatu hubungan yang memiliki nilai-nilai transenden / kelangitan.37

35 Ibid., hlm. 69-72

36 Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan anak didik dalam interaksi edukatif, ( Jakarta:

Rineka Cipta, 2000 ), hlm. 11.

37 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Persepektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda

Referensi

Dokumen terkait

Imam Al- Ghazali secara tersirat dalam kitab Ihya Ulumuddin telah menggagas konsep tentang hubungan kausalitas ilmu teoritis dengan daya jiwa (dzauq) dalam

Dalam mengimplementasikan konsep pendidikan karakter dalam kitab Ihya>’ ‘ulu>m al-Di>n Imam al-Ghazali, sangat dibutuhkan seorang pendidik yang memiliki keikhlasan

Diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk umat Islam. Al-Quran merupakan pembenaran, pelengkap, dan penyempurna kitab-kitab terdahulu. Isi pokok kitab suci Al- Quran,

Melalui proses kajian di atas, dapat ditarik beberapa konsep penting terkait karakteristik kepribadian guru yang ditawarkan oleh al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulum

Temuan dari penelitian ini adalah (1)pengajian kitab Ihya Ulumuddin di Pondok Pesantren Sunan Giri Salatiga menggunakan metode bandongan yang di lakukan mulai

Latar belakang as-Sa’di menulis kitab ini adalah kebutuhan umat akan tafsir al-Qur’an yang di dalam pembahasannya tidak panjang lebar dan kadang sebagian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Konsep Guru Yang Ikhlas menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin.. Penelitian ini merupakan studi kepustakaan

Banyak karya-karya Imam Ghazali yang dijadikan rujukan oleh para ulama, salah satu kitab yang paling terkenal hingga saat ini yaitu kitab Ihya Ulumuddin yang