i
PEMBENTUKAN SIKAP TA’DZIM SANTRI KEPADA KYAI MELALUI PENGAJIAN KITAB IHYA’ ULUMIDDIN (STUDI KASUS PONDOK PESANTREN SUNAN GIRI SALATIGA
TAHUN 2018)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam
Oleh
NURUL BADIAH 111 13 222
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
ii
PEMBENTUKAN SIKAP TA’DZIM SANTRI TERHADAP KYAI MELALUI PENGAJIAN KITAB IHYA’ ULUMUDDIN
( STUDI KASUS PONDOK PESANTREN SUNAN GIRI SALATIGA TAHUN 2018 )
SKRIPSI
Oleh :
NURUL BADIAH 111 13 222
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
vii MOTTO
ُهقَّ َح اَنِمِلاَعِل ْف ِرْعَيَو ،اَنَريِغَص ْمَحْرَيَو ،اَنَريِبَك هل ِج ي ْمَل ْنَم اهنِم َسْيل
“
Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak
memuliakan yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda
serta yang tidak mengerti (hak) orang yang berilmu (agar
diutamakan pandangannya).”
viii
PERSEMBAHAN
Dengan rasa syukur kepada Allah atas segala karunia-Nya, saya persembahkan
karya ini kepada:
1. Bapak Jiman dan ibu Siti Fatimah tercinta yang selalu memberi kasih sayang,
semangat, motivasi, dan nasihat untuk keberhasilan.
2. Abah dan umah ku yang selalu memberi motivasi dan selalu mendoakan ku
3. Adik-adiku Fahmi Fathurahman dan Arief lukman hakim yang saya sayangi
4. Simbah ku yang senantiasa selalu mendoakan ku
ix
KATA PENGANTAR
Alhamdulillaahirobbil’aalamiin, segala puji dan Syukur penulis panjatkan atas kehadiran Allah SWT yang telah memberikan Taufiq serta Hidayah-Nya yang tiada
terhimgga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “pembentukan sikap
ta’dzim santri kepada kyai melalui pengajian kitab Ihya Ulumiddin (studi kasus pondok
pesantren sunan giri salatiga)”.
Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan Uswah Khasanah Rasulullah
Muhammad S.A.W, kepada keluarga, sahabat-sahabatnya, serta para pengikutnya yang
setia yang mana beliaulah sebagai Rosul utusan Allah untuk membimbing umat manusia.
Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi syarat dan tugas untuk memperoleh
gelar Sarjana Pendidikan (SPd) di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Skripsi
ini berjudul “pembentukan sikap ta’dzim santri kepada kyai melalui pengajian kitab Ihya
Ulumiddin (studi kasus pondok pesantren Sunan Giri Salatiga)”.
Penulisan skripsi ini pun tidak akan dapat terselesaikan tanpa bantuan dari
berbagai pihak yang telah berkenan membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. Oleh
karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Bapak Suwardi M.Pd, selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan.
3. Ibu Siti Rukhayati, M. Ag, selaku Ketua Jurusan PAI IAIN Salatiga.
4. Bapak Dr. Nasafi, M.Pd.I. selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan
bantuan dan bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga skripsi ini dapat
x
5. Bapak dan Ibu Dosen IAIN Salatiga yang telah membekali berbagai ilmu
pengetahuan, sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini.
6. Karyawan-karyawati IAIN Salatiga yang telah memberikan layanan serta
bantuan.
7. Teman-teman Pendidikan Agama Islam Angkatan 2013, yayah, mbk dwi ,
dono, sukitrem, sanah, mbk reza, bastul, ika dan kawan kawanku yang tak kan
terlupakan
8. Rekan-rekanku semua di Pondok Pesantren Sunan Giri Salatiga, khuausnya
dek Ulfa, Mbk Yu, Mbk Dwi, Asiyah, Nafisah, dan kawan kawanku semuanya
yang telah membantuku.
9. Segenap keluarga pondok pesantren Sunan Gri yang selalu aku sayangi dan
banggakan
xi 11.Almamater IAIN Salatiga.
12.Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan ini, sehingga dapat
terselesaikan dengan baik semoga amal kebaikannya diterima disisi Allah
SWT.
Skripsi ini masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun dan semoga hasil penelitian ini dapat berguna
bagi penulis khususnnya serta para pembaca pada umumnya.
Salatiga, 20 Maret 2018
Penulis
xii ABSTRAK
Badiah, Nurul. 2018. Pembentukan sikap ta’dzim santri kepada kyai melalui pengajian kitab Ihya’ Ulumuddin (studi kasus pondok pesantren sunan giri Salatiga tahun 2018). Skripsi. Jurusan Terbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam. Institut Agama Islam Negeri Slatiga. Pembimbing: Dr. Nasafi, M.Pd.I.
Kata kunci : Pembentukan sikap Ta’dzim santri.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) bagaimana pengajian kitab Ihya’ Ulumuddin di Pondok Pesantren Sunan Giri Salatiga?, (2) mengetahui bagaimana sikap Ta’dzim santri kepada Kyai di Pondok pesantren Sunan Giri Salatiga?, (3)untuk mengetahui adakah pengaruh antara pengajian kitab Ihya’ Ulumuddin terhadap sikap ta’dzim Kyai di Pondok Pesantren Sunan Giri Salatiga?.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang menitik beratkan pada data kualitatif yaitu data hasil wawancara, observasi dokumentasi. Pengumpulan data dengan menggunakan instrumen penelitian berupa daftar pertanyaan yang terangkum dalam pedoman wawancara. Pedoman wawancara menggunakan triangulasi yang ditujukan kepada Pengasuh Pondok Pesantren Sunan Giri Salatiga, Ustadz dan Ustadzah, pengus dan juga santriwan santriwati Pondok Pesantren Sunan Giri Salatiga. Metode dokumentasi digunakan untuk mengambil data, Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan hasil wawancara yang menunjukkan bahwa:
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
PENGESAHAN KELULUSAN ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... iv
xiv
2. Guru dan panutan Imam Ghozali ... 15
3. Karya-karya Imam Ghozali ... 16
4. Kepribadian dan pengaruh Imam Ghozali ... 18
B. Latar belakang penulisan kitab Ihya’ Ulumuddin ... 23
C. Pengertian pembentukan sikap Ta’dzim ... 26
xv
BAB IV PAPARAN DAN ANALISIS DATA A. Gambaran umum lokasi pondok pesantren suana giri ... 47
1. Sejarah singkat ... 47
10. Pembelajaran dan pendidikan Madrasah ... 54
11. Dewan pengajar Madrasah Diniyah ... 56
12. Struktur organisasi pengurus ... 58
13. Keadaan santri pondok pesantren ... 60
xvi
1. Kajian kitab Ihya Ulumuddin ... 63
2. Sikap ta’dzim santri kepada kyai di pondok pesantren Sunan
Giri Salatiga ... 67
3. Pengaruh pengajian kitab Ihya Ulumuddin terhadap sikap ta’dzim santri kepada kyai di pondok pesantren sunan giri
salatiga ... 72
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 79
B. Saran ... 80
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Ijin Penelitian
Lampiran 2. Pedoman Wawancara
Lampiran 3. Transkip Hasil Wawancara
Lampiran 4. Daftar Nilai SKK
Lampiran 5. Lembar Konsultasi Skripsi
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Nilai nilai luhur bangsa indonesia terutama tentang sikap
menghargai orang lain, sopan santun dan semangat kebersamaan adalah
nilai yang telah terbentuk sejak lama , terlebih setelah datangnya agama
Islam di Indonesia dimana Indonesia membawa ajaran Rahmatan lil’alamin, saling mengasih dan sikap menghormati terhadap orang lain
(Salam, 1997:32). .Nilai-nilai luhur yang telah diajarkan para ulama
seyogyanya kita lestarikan sehingga Indonesia tetap menjadi negara yang
bermoral dan beradab.
Pemikiran–pemikiran yang luhur pada masa lalu haruslah kita
lestarikan sehingga tetap menjadi kaum yang berbudi pekerti yang baik
terutama pada orang tua dan guru. Siswa suatu saat akan menjadi pemuda
penerus dan pemegang kepemimpinan bangsa haruslah memiliki nilai-nilai
luhur yang telah diwariskan oleh para ulama, Diantaranya sikap ta’dzim. Dengan sikap ta’dzim atau sikap menghormati dan sopan, akan dapat
membawa seseorang pada kemulyaan dan akan dihormati oleh orang lain.
Tapi kenyataannya, sekarang ini banyak siswa yang berani kepada
gurunya, mungkin karena kurangnya pengajaran tentang akhlak di
sekolah-sekolah. Pondok pesantren menjadi alternatif yang setrategis bagi
2
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang religius
Islami dan merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia.
Pada awal didirikannya, pesantren tidak semata-mata ditujukan untuk
memperkaya pikiran santri (murid) tetapi meningkatkan moral (akhlaq),
memotivasi, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan,
mengajarkan tingkah laku dan bermoral serta mempersiapkan para santri
untuk hidup sederhana dan bersih hati (Dhofier,1994:50). Tujuan utama
pengajaran ialah untuk mendidik calon-calon ulama. Pesantren sebagai
suatu lembaga pendidikan yang tumbuh berkembang di tengah-tengah
masyarakat sekaligus memadukan tiga hasil pendidikan yang amat penting
yaitu: ibadah untuk menanamkan iman, tabligh untuk penyebaran ilmu dan
amal untuk mewujudkan kegiatan dalam kehidupan sehari-hari (Shaleh,
1978:8).
Pengajaran pendidikan Islam klasik sebenarnya sudah menawarkan
konsep tentang pembentukan akhlak dan mental yang baik, yaitu dengan
pengajaran sebuah kitab yang menekankan pada pendidikan akhlak dan
penumbuhan sikap menghormati atau lebih dikenal dengan pembentukan
sikap ta’dzim yang salah satunya melalui Pengajaran kitab Ihya`
Ulumuddin buah karya Imam Ghazali. Kitab ini menerangkan sikap ta’dzim santri terhadap kyai yang mana untuk mendidik karakter santri
sebagai santri yang sopan dan santun akan akhlaknya. Sikap ta‟dzim
merupakan wujud dari sikap manusia terdidik.
3
اَنِمِلاَعِل ْف ِرْعَي َو ،اَنَريِغَص ْمَح ْرَي َو ،اَنَريِبَك َّل ِجُي ْمَل ْنَم اَّنِم َسْي
لArtinya : “Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak
memuliakan yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang
tidak mengerti (hak) orang yang berilmu (agar diutamakan
pandangannya).” (Riwayat Ahmad)
Pengajaran Kitab Ikhya Ulumidin dan pembentukan sikap ta’dzim
yang semakin menipis. Pondok Pesantren Sunan Giri adalah salah satu
madrasah yang mengkaji Kitab Ihya Ulumidin sehingga santri dipondok
pesantren tersebut memiliki sikap yang sopan, santun dan patuh terhadap
gurunya.
Berangkat dari sinilah penulis tertarik untuk meneliti sejauh mana kitab Ihya’ Ulumiddin mendiskripsikan apa dan bagaimana pembentukan
sikap santri terhadap kyai yang seharusnya mempunyai sikap yang sopan
dan santun dan apakah ada perbedaan antara santri yang mengaji kitab ihya’ ulumudin dan tidak mengaji kitab Ihya’ Ulumiddin. Adapun fokus
penelitian yang peneliti tulis berbeda dari skripsi-skripsi sebelumnya. Penulis memberi judul skripsi ini “ PEMBENTUKAN SIKAP TA’DZIM
SANTRI TERHADAP KYAI MELALUI PENGAJIAN KITAB IHYA
ULUMIDIN (STUDI KASUS SANTRI PONDOK PESANTREN
4 B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat
dirumuskan pokok masalah yang akan dikaji dan diteliti dalam
penyusunan skripsi ini, yaitu:
1. Bagaimanakah pengajian Kitab Ihya Ulumidin di pondok pesantren
Sunan Giri Salatiga ?
2. Bagaimana Sikap Ta’dzim santri kepada kyai di pondok pesantren
Sunan Giri Salatiga ?
3. Adakah Pengaruh dari pengajian kitab ihya ulumidin Terhadap
Sikap ta’dzim santri terhadap kyai di pondok pesantren Sunan Giri
Salatiga? C. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan penelitian
Tujuan peneliti ini pasti tidak terlepas dari permasalahan yang
peneliti munculkan. Adapun tujuanya adalah :
a. Untuk mengetahui bagaimana pengajian kitab Ihya Ulumudin
di pondok pesantren Sunan Giri Salatiga.
b. Untuk mengetahui bagaimana Sikap ta’dzim santri kepada
Kyai di pondok pesantren Sunan Giri Salatiga.
c. Untuk mengetahui adakah Pengaruh antara Pengajian kitab
Ihya Ulumidin Terhadap Sikap ta’dzim santri terhadap kyai di
5 D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan manfaat yang diatas, maka manfaat penelitian ini
antara lain :
1. Manfaat teoritis
a. Memberikan wawasan keilmuan yang berkaitan dengan
pembelajaran kitab Ihya’ Ulumidin dengan sikap ta’dzim
santri.
b. Untuk menambah khazanah pengetahuan kepustakaan
pengaruh pengajaran kitab Ihya Ulumidin terhadap pembentukan sikap ta’dzim santri terhadap Kyai.
2. Manfaat praktis
a. Bagi pihak pondok pesantren, hasil penelitian ini di harapkan
dapat di gunakan sebagai bahan pertimbangan dan evaluasi
dalam rangka pelaksanaan pembelajaran akhlak dengan pengajian kitab Ikhya’ Ulumidin.
b. Bagi santri, mempunyai prilaku sopan santun dan menghormati orang yang lebih tua sesuai dengan pengajian kitab Ihya’
Ulumidin.
c. Bagi peneliti, bisa di jadikan sumber rujukan dalam rangka
6 E. Penegasan istilah
Untuk memperoleh gambaran yang jelas dan kemungkinan
terjadinya salah penafsiran terhadap apa yang terkandung dalam skripsi ini,
maka perlu kiranya penulis perjelas dan membatasi pengertian sebagai
berikut:
1. Pembentukan sikap ta’dzim
Pembentukan memiliki arti menjadikan atau perbuatan (hal, cara,
dan sebagianya ) membentuk wujud atau rupa sesuai dengan yang
diinginkan. (Poerwadarminta, 1976:122). 2. Sikap
Menurut Ngalim Purwanto (1987:141). Sikap atau yang dalam
bahasa inggris attitude adalah suatu cara bereaksi terhadap suatu
perangsang.
3. Ta’dzim
Kata ta’dzim dalam bahasa Inggrisnya adalah “ respect” yang
mempunyai makna sopan santun, menghormati dan mengagungkan
orang yang lebih tua atau yang di tuakan. (Nicholson, 1978; 1-2) 4. Santri
Menurut pengertian yang dipakai dalam lingkungan
orang-orang pesantren, seorang-orang alim hanya bisa disebut kyai bilamana
memiliki pesantren dan santri yang tinggal dalam pesantren
tersebut untuk mempelajari kitab-kitab Islam klasik. Oleh karena
7
pesantren. Walaupun demikian, menurut tradisi pesantren, terdapat
2 kelompok santri, yang pertama santri mukim yaitu murid-murid
yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam kelompok
pesantren. Dan yang kedua adalah santri kalong yaitu murid-murid
yang berasal dari desa-desa di sekeliling pesantren, yang biasanya
tidak menetap dalam pesantren.
5. Kyai adalah gelar yang diberikan masyarakat kepada ahli agama
Islam yang memiliki atau menjadi pemimpin pesantren dan
mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya. Selain
gelar kyai, ia juga sering disebut orang alim (Zamakhsyari, 1983:
55).
6. Pondok pesantren adalah salah satu bentuk lembaga pendidikan
dan keagamaan yang ada di Indonesia. Secara lahiriyah, pesantren
pada umumnya merupakan suatu komplek bangunan yang terdiri
dari rumah kyai, masjid, pondok tempat tinggal para santri dan
ruang belajar. Pondok pesantren juga berarti suatu lembaga
pendidikan dan pengajaran agama islam yang pada umumnya
pendidikan dan pengajaran tersebut diberikan dengan cara non
klasikal, tetapi dengan sistem bandongan dan sorogan. Dimana
seorang kyai mengajar santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang
tertulis dalam bahasa arab oleh ulama-ulama besar abad
8 F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan dan penelaahan yang jelas dalam
membaca skripsi ini, maka disusunlah sistematika hasil penelitian
kualitatif, secara garis besar sebagai berikut:
1. Bagian Awal
Bagian awal ini, meliputi: sampul, lembar berlogo, judul (sama
dengan sampul), persetujuan pembimbing, pengesahan kelulusan,
pernyataan keaslian tulisan, motto, persembahan, kata pengantar, abstrak,
daftar isi, dan daftar lampiran.
2. Bagian Inti
Pada bagian inti dalam skripsi ini, memuat data:
BAB I : Pendahuluan
Meliputi Latar Belakang Masalah, Fokus Masalah, Tujuan
Penelitian, Kegunaan Penelitian, Penegasan Istilah, Metode
Penelitian, dan Sistematika Penulis Skripsi.
BAB II : Kajian Pustaka
Berisi kajian kitab Ihya Ulumudin dalam pemebentukan sikap ta’dzim santri terhadap kyai.
BAB III : Paparan Data Penelitian
Meliputi Gambaran Umum Pondok Pesantren Sunan Giri
Salatiga dan pembentukan sikap santri terhadap kyai dalam kajian kitab Ihya’ Ulumudin Pondok Pesantren Sunan Giri
9 BAB IV : Analisis Data Penelitian
Meliputi pembentukan sikap ta’dzim santri terhadap kyai dalam
kajian kitab ihya ulumudin Pondok, faktor pendukung dan
kajian kitab Ihya Ulumudin pondok Pesantren Sunan Giri
Salatiga, serta pengaruh sikap ta’dzim santri terhadap Kyai dalam kajian kitab Ihya’ Ulumidin Pondok Pesantren Sunan Giri
Salatiga.
BAB V : Kesimpulan, Saran dan Penutup
Yang meliputi Kesimpulan, Saran-saran, dan Penutup.
3. Bagian Akhir
Bagian akhir dari skripsi ini, memuat: Daftar Pustaka, Lampiran-lampiran,
10 BAB II
LANDASAN TEORI A. Biografi Imam Al Ghozali
Imam Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad
Ibnu Muhammad al-Ghazali, yang terkenal dengan Hujjatul Islam
(Argumentator Islam) karena jasanya yang besar di dalam menjaga Islam dari pengaruh ajaran bid’ah dan aliran rasionalisme Yunani. Beliau lahir
pada tahun 450 H, bertepatan dengan 1059 M di Ghazalah, suatu kota
kecil yang terlelak di Thus wilayah Khurasah, yang mana saat itu
merupakan salah satu tempat pusat ilmu pengetahuan di dunia Islam (Tim
Penyusun Ensiklopedi Islam, 1997:25).
Beliau dilahirkan dari keluarga yang sangat sederhana, ayahnya
adalah seorang pengrajin wool sekaligus sebagai pedagang hasil
tenunannya, taat beragama dan mempunyai semangat keagamaan yang
tinggi. Karena simpatiknya kepada ulama, ayahnya pun kemudian
mengharapkan anaknya menjadi ulama yang selalu memberi nasehat
kepada umat. Itulah sebabnya, ayahnya sebelum wafat menitipkannya
(Imam Ghazali) dan saudarnya (Ahmad) pada teman ayahnya (seorang ahli
tasawuf) untuk mendapatkan bimbingan dan didikan (Ghazali, 2004:4).
Meskipun dibesarkan dalam keadaan keluarga yang sederhana,
tidak menjadikan Imam Ghazali merasa rendah atau malas, justru beliau
semangat dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, sehingga beliau
11
hidup dalam kesederhanaan sebagai seorang sufi sampai usia 15 tahun
(450-456) (Ghazali, 2004:4).
1. Riwayat pendidikan
Perjalanan mencari ilmu Imam Ghazali dimulai dari tanah
kelahirannya, beliau belajar al-Qur’an dan dasar-dasar ilmu
keagamaan yang lain pada ayahnya, di lanjutkan di Thus dengan
mempelajari dasar-dasar pengetahuan. Setelah beliau belajar pada
teman ayahnya (seorang ahli tasawuf), kemudian beliau masuk ke
sekolah untuk memperoleh selain ilmu pengetahuan. Beliau
mempelajari dasar Islam (al-Qur’an dan al-Hadist).
Diantara kitab-kitab hadist yang beliau pelajari, antara lain :
a. Shahih al-Bukhori, beliau belajar dari Abu Sahl Muhammad bin
d. Shahih al-Bukhari dan Shahih al-Muslim, beliau belajar dari Abu
al-Fatyan ‘Umar ar-Ru’asai (Ghazali, 2004:267).
Begitu pula diantaranya bidang-bidang ilmu yang dikuasai Imam
Ghazali adalah ushuluddin, ushululfiqh, mantiq, filsafat, dan tasawuf
12
Kesantunan hidup sebagaimana waktu beliau belajar fiqh pada
Imam Kharamain, beliau belajar bersungguh-sungguh sampai mahir
dalam madzhab, khilaf (perbedaan pendapat), perdebatan, mantiq,
membaca hikmah, dan falsafah, Imam Kharamain menyikapinya
sebagai lautan yang luas (Himawijaya, 2004:15).
Setelah Imam Haramain wafat kemudian beliau pergi ke Baghdad
dan mengajar di Nidzhamiyah. Beliau mengarang tentang madzhab
kitab al-Basith, al- wasith, al-Wajiz, dan al-Khulashoh. Dalam ushul
fiqih beliau mengarang kitab al-Mustasyfa, kitab al-Mankhul,
Bidayatul-hidayah, al-Ma’lud fil-Khilafiyah, Syifaal-ali fi Bayani
Masalikit Ta`wil dan kitab-kitab lain dalam berbagai bidang (Bik,
1980:570).
Antara tahun 465-470 H, Imam Ghazali belajar fiqih dan
ilmu-ilmu dasar yang lain dari Ahmad Radzaski di Thus dan dari Abu
Nasral Ismailli di Jurjan. Setelah Imam Ghazali kembali ke Thus, dan
selama 3 tahun di tempat kelahirannya, beliau mengaji ulang
pelajaran di Jurjan sambil belajar tasawuf kekpada Yusuf an-Nassaj
(w-487 H), pada tahun itu Imam Ghazali berkenalan dengan
al-Juwaini dan memperoleh ilmu kalam dan mantiq. Menurut Abdul
Ghofur, Ismail Farisi dan Imam Ghozali menjadi pembahas paling
pintar di zamanya. Imam Haramain merasa bangga dengan prestasi
muridnya, karena walaupun kemasyhuran telah diraih Imam Ghazali,
13
tahun 478 H. Sebelum al-Juwaini wafat, beliau memperkenalkan
Imam Ghazali kepada Nidzham al-Mulk, perdana mentri sultan
Saljuk Malik Syah. Nidzham adalah pendiri madrasah
al-Nidzhamiyah. Di Naisabur ini Imam Ghazali sempat belajar tasawuf
kepada Abu Ali al-Faldl Ibn Muhammad Ibn Ali al-Farmadi (w.477
H/1084 M) (Himawijaya, 2004:15).
Setelah gurunya wafat, Imam Ghazali meninggalkan Naisabur
menuju negri Askar untuk berjumpa dengan Nidzham al-Mulk. Di
daerah ini beliau mendapat kehormatan untuk berdebat dengan ulama.
Dari perdebatan yang dimenangkan ini, namanya semakin populer
dan disegani karena keluasan ilmunya. Pada tahun 484 H/1091 M,
Imam Ghazali diangkat menjadi guru besar di madrasah
Nidzhamiyah, ini dijelaskan dalam bukunya al-Munqiz Minadl-dlalal.
Selama megajar di madrasah, dengan tekunnya Imam Ghozali
mendalami filsafat secara otodidak, terutama pemikiran al-Farabi, Ibn
Sina Ibn Miskawih dan Ikhwan as-Shafa. Penguasaanya terhadap
filsafat terbukti dalam karyanya seperti al-Maqasidul Falasifah,
Tahafutul Falasifah (Himawijaya, 2004:17).
Pada tahun 488 H/1095 M, Imam Ghazali dilanda keraguan
(skeptis) terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya (hukum, teologi, dan
filsafat), sehingga beliau menderita penyakit selama dua bulan dan
sulit diobati. Karena itu, Imam Ghazali tidak dapat menjalankan
14
akhirnya beliau meninggalkan Baghdad menuju kota Damaskus. Di
kota ini, selama kira-kira dua tahun, Imam Ghazali melakukan uzlah,
riyadah, dan mujahadah. Kemudian beliau pihdah ke Bait al-Maqdis
Palestina untuk melakukan ibadah serupa. Setelah itu tergeraklah
hatinya untuk menunaikan ibadah haji dan menziarohi maqom
Rosulullah SAW (Himawijaya, 2004:19).
Sepulang dari tanah suci, Imam Ghazali mengunjungi kota
kelahirannya di Thus, disinilah beliau tetap berkhalwat dalam
keadaan skeptis sampai berlangsung selama 10 tahun. Pada periode
itulah beliau menulis karyanya yang terkenal ” Ihya’ Ulumuddin ” the
revival of the religious (menghidupkan kembali ilmu agama)
(Himawijaya, 2004:19).
Karena mendapat desakan dari madrasah Nidzhamiyah di
Naisabur, berselang selama dua tahun, akhirnya kemudian beliau
memberi pelajaran bagi para fuqoha dan jawiyah atau khanaqoh
untuk para mustafifah. Di kota inilah (Thus) beliau wafat pada tahun
505 H / 1 Desember 1111 M (Ghazali, Tt:7).
Abul Fajar al-Jauzi dalam kitabnya al-Asabat ‘inda Amanat
mengatakan, Ahmad saudaranya Imam Ghazali berkata: pada waktu
shubuh, Abu Hamid berwudhu dan melakukan sholat, kemudian
beliau berkata: ambillah kain kafan untukku, kemudian ia mengambil
15
menjulurkan kakinya dan menghadap kiblat. Imam Ghazali yag
bergelar Hujjatul Islam itu meninggal dunia menjelang matahari terbit
di kota kelahirannya (Thus) pada hari senin 14 Jumadil Akhir 505 H
(1111 M). Imam Ghazali dimakamkan di Zhahir at-Tabiran, ibu kota
Thus (Ghazali, 2004:266).
2. Guru dan panutan Imam Ghazali
Imam Ghazali dalam perjalanan menuntut ilmunya mempunyai
banyak guru, diantaranya guru-guru Imam Ghazali adalah sebagai
berikut:
a. Abu Sahl Muhammad Ibn Abdullah al-Hafsi, beliau mengajar
Imam Ghazali dengan kitab Shohih Bukhori.
b. Abul Fath al-Hakimi at-Thusiy, beliau mengajar Imam Ghazali
dengan kitab Sunan Abi Dawud.
c. Abdullah Muhammad Bin Ahmad al-Khawari, beliau mengajar
Imam Ghazali dengan kitab Maulid an-Nabi.
d. Abu al-Fatyan Umar ar-Ru’asi, guru kitab Shohih Bukhori dan
Shohih Muslim (Hasan, 2006:267).
Dengan demikian guru-guru Imam Ghazali tidak hanya mengajar
dalam bidang tasawuf saja, akan tetapi beliau juga mempunyai
guru-guru dalam bidang lainnya, bahkan mayoritas guru-guru-guru-guru beliau itu
16 3. Karya-karya Imam Ghazali
Imam Ghazali termasuk penulis yang tidak terbandingkan lagi,
karya beliau diperkirakan mencapai 300 kitab, diantaranya adalah :
a. Maqhasid Falasifah
b. Tahafutul Falasifah
c. Mi’yar al-‘Ilmi
d. Ihya’ Ulumuddin
e. Al-Munqiz min adl-Dlalal
f. Al-Ma’arif al-Aqliyah
g. Misykat al-Anwar
h. Minhajul Abidin
i. Al-Iqtishad fil I’tiqod
j. Ayyuhal Walad.
k. Al-Musytasyfa
l. Ilham al-Awwam an ‘Ilmal Kalam.
m. Mizan al-Amal.
n. Akhlaq al-Abror wan Najah minal Asyar
o. Assrarul Ilmi ad-Din
p. Al washit
q. Al-Wajiz
r. Az-Zariyah ilaa Makarim asy-Syari’ah
s. Al-Hibr al-Masbuq fin Nashihah al-Muluk
17
u. Syifa`ul Qolil fi Bayanis Syaban wal Mukhil wa Masalikit ta’wil
v. Tarbiyatul Aulad fil Islam
w. Tahzibul Ushul
x. Al-Ikhtishos fil Itishod
y. Yaaqutut Ta’wil (Nasution, Tt:155).
4. Kepribadian dan pengaruh Imam Ghazali
Terkait dengan pengaruh Imam Ghazali terhadap perkembangan
dunia Islam, Samuel M. Zwemer mengatakan, ada empat orang yang
paling besar jasanya terhadap Islam, yaitu Nabi Muhammad, Imam
Bukhari sebagai pengumpul hadist yang paling masyhur, Imam Asy’ari sebagai teolog terbesar dan menantang rasionalisme dan
Imam Ghazali sebagai “reformer” dan sufi.
Imam Ghazali merupakan penyelamat tasawuf dari kehancuran
yakni dengan mengintegrasikannya dengan fiqh dan kalam sehingga
menjadi ajaran Islam yang utuh. Imam Ghazali telah meninggalkan
pengaruh begitu luas atas sejarah Islam. Bahkan karya-karya beliau
telah diterima secara luas di kalangan komunitas muslim yang
berbahasa Arab, baik di Timur maupun di Barat. Sekalipun sudah
hampir seribu tahun Imam Ghazali meninggalkan kita, namun
ilmunya, tetesan kalam buah penanya tetap mengekal abadi.
Pemikiranya telah memberi pengaruh besar, karena diperlukan dan
ditelaah oleh umat manusia dari berbagai bangsa dan agama (Smith,
18
Tokoh Imam Ghazali yang menjadi fokus pembahasan
menempati kedudukan yang unik dalam sejarah agama dan pemikiran
Islam karena kedalaman ilmunya, keorisinilan pemikirannya, dan
kebenaran pengaruhnya di kalangan Islam. Di samping ahli agama,
pendidikan dan hukum Islam, ia juga memiliki ilmu yang luas tentang
filsafat, tasawuf, akhlak, dan masalah kejiwaan serta spiritualitas
Islam. Di belahan timur dunia Islam ia amat berpengaruh bagi
masyarakat Islam Sunni dan memperoleh sukses dalam memimpin
mereka, sedangkan di belahan barat dunia Islam pengaruhnya tidak
kecil. Sampai sekarang pengaruh Imam Ghazali masih terus ada di
seluruh dunia Islam (Jaya, 1994:12).
Di Timur, Imam Ghazali mendapat sukses di bidang
pembaharuan mental dan spiritual umat, sehingga
pendapat-pendapatnya merupakan aliran yang penting dalam Islam.
Bukunya Ihya` Ulumuddin adalah bukti dari adanya usaha tersebut.
Pada waktu itu juga, ia berjasa dalam membela agama Islam dan
umatnya dari pengaruh negatif pemikiran filsafat Yunani, ilmu
Kalam, dan aliran kebatinan. Dengan pembelaannya itu, ia berhasil
memperbaiki keadaan masyarakat Islam, dari pemujaan akal atas
agama, menjadi ketaatan kepada Allah SWT, yaitu dalam arti hukum
syari`at menguasai akal dan akhlak manusia, sehingga kebahagiaan
dapat dicapai. Berdasarkan keterangan di atas, maka tidak salah
Hujjatul-19
Islām (pembela agama Islam), Zainud-Dîn (permata agama Islam)
dan Mujaddid (pembaharu). Imam Ghazali telah melakukan
pembaharuan dalam tasawuf. Pembaharuan yang dilakukan adalah
mengintegrasikan kesadaran tasawuf dengan syari`at yang telah
dimulai pada pertengahan kedua abad ketiga hijriah dengan
tokoh-tokoh seperti al-Kharraz dan al-Junaid, dan gerakan ini mencapai
puncaknya dibawa komando Imam Ghazali yang selanjutnya sangat
menentukan perkembangan pemikiran Islam (Rahman, 2010:202).
Upaya Imam Ghazali mendamaikan antara tasawuf dan fiqh yang
bercorak sunni mendapat sambutan yang sangat baik dari masyarakat
Islam, terbukti dengan menyebarnya tasawuf keberbagai daerah Islam
dan menjamurnya tarekat diberbagai daerah Islam (Siddiqi,
1996:55). Dengan langkah perdamaian Imam Ghazali ini, ketegangan
antara fuqaha dan sufi dapat diredamkan dan sejak saat itu, seorang
tokoh teolog besar adalah seorang sufi besar pula.
Imam Ghazali dikenal sebagai seorang yang cerdas, luas
cakrawalanya, kuat hafalannya, jauh dari keraguan, sekaligus
mendalam dalam memahami makna-makna secara jeli (Subki,
1978:103). Ia juga seorang yang kritis, gemar menyelidiki sesuatu
karena sikap skeptisnya untuk melepaskan diri dari belenggu taqlid
(Ghazali, 1960:47). Unsur-unsur kepribadian Imam Ghazali ini cukup
untuk membekalinya dalam pencariannya terhadap hakekat
20
Di belahan barat dunia Islam, tulisan Imam Ghazali tidak saja
mempengaruhi pemikir Islam seperti Ibn Rusyd, tetapi juga
mempengaruhi para pemikir Kristen dan Yahudi seperti Thomas
Aquinas dan Blaise Puscal, (Ghazali, 1960:14) dan filsuf-filsuf Barat
lainnya, sebagaimana diakui oleh Asim Palaeros, banyak
persamaannya dengan Imam Ghazali dalam pendiriannya, bahwa
pengetahuan-pengetahuan agama tidak diperoleh dari akal pikiran
tetapi harus hati dan rasa (Poerwantama, dkk, 1994:168). Imam
Ghazali juga sering disebut sebagai pembuktian Islam, hiasan
keimanan, atau pembaharu agama. Dalam buku berjudul Historiografi
Islam Kontemporer disebutkan, seorang penulis bernama As-subkhi
dalam bukunya yang berjudul Thabaqat as Shafiyya al Kubra pernah
menyatakan, “Seandainya ada lagi Nabi setelah Nabi Muhammad,
maka manusianya adalah Imam Ghazali.” Hal ini menunjukkan
tingginya ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan yang dimiliki Imam
Ghazali. (Natsir, 1988:175).
Di Eropa Barat, Imam Ghazali mendapat perhatian besar, tak
sedikit orang Barat yang memberikan penghargaan kepadanya.
Filosof asal Prancis Renan, pujangga-pujangga Cassanova, Carra de
Vaux, adalah orang-orang yang kagum terhadap Imam Ghazali (Ali,
1991:70).
Masuknya pengaruh filsafat Imam Ghazali di benua Eropa tidak
21
dulu masuk Eropa. Pada abad pertengahan, Eropa dikuasai gereja.
Gereja yang mengatasnamakan “wakil Tuhan” bertindak tidak
manusiawi dan mengekang rasio. Keadaan semacam ini membuat
para ilmuwan Eropa menolak dominasi gereja. Alat yang dipakai para
ilmuwan saat itu adalah filsafat Ibn Rusyd. Begitu hebatnya pengaruh
Ibn Rusyd sampai-sampai di Eropa ada kelompok Averoesme. Ketika
gejolak perkembangan Averoesme sedang menjalar di Eropa pada
abad pertengahan, gereja menggunakan Tahafut al-Falasifah sebagai
pembendungnya. Alexander Hales, seorang pendeta ternama, adalah
orang yang paling masyhur dalam membelokkan Averoesme kepada
filsafat Imam Ghazali. Bahkan Santo Thomas Aquines sebagai
pemuda Ibn Rusyd dalam beberapa kritikannya terhadap orang yang
dipujanya tersebut tidak sedikit ia mendapatkan ilham dari Imam
Ghazali.
Ketidak gentarannya dalam mencari kebenaran melalui
kegandrungannya pada ajaran-ajaran tasawuf banyak pula
mendatangkan kritikan dan pertentangan di kalangan Mutakallimin,
baik ketika Imam Ghazali masih hidup maupun setelah
meninggalnya. Di Andalusia, seorang Qadhi dari Cordoba, Abu
Abdullah Muhammad bin Hamdin, menyalahkan
karangan-karangan Imam Ghazali. Para Qadhi di Spanyol pada umumnya
menerima pengutukan itu, hasilnya seluruh karya-karya Imam
22
Ghazali dengan ancaman sangsi hukuman mati. Termasuk di
dalamnya kitab Ihya` (Smith, 2000:226). B. Latar belakang penulisan kitab Ihya` Ulumuddin
Kitab Ihya’ Ulumuddin merupakan salah satu karya monumental
yang menjadi intisari dari seluruh karya Imam Ghazali. Secara bahasa, Ihya’ Ulumuddin berarti menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama.
Sebagaimana judulnya kitab ini berisi tentang ilmu-ilmu agama yang akan
menuntun umat Islam tidak berorientasi pada kehidupan dunia belaka,
akan tetapi kehidupan akhirat yang lebih utama.
Imam Ghazali, menjadi rektor di Universitas Nidzamiyah selama
empat tahun, tentu kedudukannya sebagai pejabat tinggi dalam
pemerintah, namanya termasyhur telah memengaruhi jiwanya untuk cinta
kepada kebendaan. Tetapi pengaruh yang demikian itu tidak lama
menyelinap pada dirinya, karena kemudian timbul pergolakan-pergolakan pada batinnya, pergolakan dan pertentangan antara “ilmu dan amal”.
Semua suara batin yang mengajak kepada kebendaan itu dapat dikalahkan.
Tetapi, pergolakan perjalanan dalam batinnya itu menyebabkan dia jatuh
sakit. Seorang dokter yang hendak menolongnya mengatakan bahwa
penyakitnya sukar disembuhkan, karena penyakit itu bukan berasal dari
luar, melainkan dari dalam. Oleh karena itu pengobatan dari luar tidak
akan dapat membawa manfaat baginya, dan selama waktu itu ia tertimpa
keragu-raguan tentang kegunaan pekerjaannya, sehingga akhirnya ia
23
(Psikoterapi). Oleh karena itu, dia berusaha mengobati penyakitnya itu
dengan kekuatan jiwanya sendiri. Penyakit itu beliau obati dengan
berlindung diri kepada Allah, mohon bantuan dan pertolongan agar
penyakit itu lepas dari dalam dirinya. Akhirnya berkat anugrah Allah,
sakitnya menjadi sembuh, bahkan ia mendapat ilham dan petunjuk
dari-Nya. Hatinya menjadi terang, sikapnya menjadi tabah serta memperoleh
kepastian tentang ilmu.
Secara diam-diam Imam Ghazali meninggalkan Baghdad menuju
Syam, agar tidak ada yang menghalangi kepergiannya baik dari penguasa
(khalifah) maupun sahabat Universitas. Pekerjaan mengajar ditinggalkan
dan mulailah Imam Ghazali hidup jauh dari lingkungan manusia, zuhud
yang dia tempuh. Hampir dua tahun, Imam Ghazali menjadi hamba Allah
yang betul-betul mampu mengendalikan gejolak hawa nafsunya. Dia menghabiskan waktunya untuk berkhalwat, ibadah dan i’tikaf di sebuah
masjid di Damaskus. Berdzikir sepanjang hari di menara untuk
melanjutkan taqarrubnya kepada Allah, lalu kemudian Imam Ghazali
pindah ke Baitu al-Maqdis, di sinilah Imam Ghazali selalu merenung, membaca dan menulis karya puncaknya “Ihya’ Ulumuddin”. Dia
melanjutkan berjihad melawan hawa nafsu, mengubah akhlak,
memperbaiki watak yang menimpa hidupnya.
Kitab Ihya` Ulumuddin disusun pada waktu ketika umat Islam
teledor terhadap ilmu-ilmu Islam, yaitu setelah Imam Ghazali kembali dari
24
ilmu-ilmu agama. Mengapa demikian? Ketika itu, umat islam acuh
terhadap ilmu-ilmu Islam dan mereka lebih asik dengan filsafat barat. Oleh
karena itu, Imam Ghazali tergugah hatinya untuk membersihkan hati umat
dari kesesatan, sekaligus pembelaan terhadap serangan-serangan pihak
luar baik Islam ataupun barat (orentalist) dengan menghadirkan sebuah
karya ilmiah ditengah-tengah umat Islam.
Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin ini seseorang akan dapat melihat
bagaimana ia memadukan antara wawasan spiritual dengan soal-soal
praktis dan menghasilkan pendekatan yang khas terhadap topik yang ia
bicarakan dimana ia tak pernah lupa menghubungkan apapun yang ia
bicarakan dengan kondisi spiritual manusia. Oleh karenanya Abul Hasan
an-Nadwi mengomentari kitab ini dengan mengatakan, “kitab Ihya’
Ulumuddin dengan semuanya itu telah menjadi kitab ishlah dan tarbiyyah,
seakan-akan pengarangnya ingin agar kitab ini berfungsi sebagai mursyid
dan murabbi yang tidak membutuhkan yang lainnya, yang mewakili
semua perpustakaan Islam. Untuk itu, ia menjadikannya berisi tentang
aqidah, fiqih, tazkiyyatun nafs (penyucian jiwa), tahdzibul akhlaq (pendidikan akhlaq)”.
Imam Ghazali dalam menulis kitab tersebut merujuk kepada
sumber-sumber tasawuf lama. Ia menulisnya dengan kelembutan hati
yang jujur dan ungkapan yang kuat, sehingga kitab tersebut memberikan
kesan yang mendalam dalam jiwa dan mendorong terjadinya perubahan
25
Sebagian orang menerima dan takjub terhadap isinya, sementara itu
sebagian yang lainnya mencampakkannya, sehingga di negeri Maghrib
khususnya, banyak terjadi fitnah dan ta’ashub karena kitab ini, sehingga
nyaris mereka membakarnya dan ada kemungkinan sebagian kecil dari
kitab itu telah terbakar (repo.iain-tulungagung.ac.id/3192/5/BAB_III,
diakses tanggal 22 Maret 2017 pukul 22.11).
C. Pengertian pembentukan sikap ta’dzim
Pembentukan memiliki arti menjadikan atau perbuatan (hal, cara,
dan sebagianya ) membentuk wujud atau rupa sesuai dengan yang
diinginkan. (poerwadarminta, 1976:122). 1. Pengertian sikap ta’dzim
Sikap Menurut Ngalim Purwanto (1987:141). Sikap atau yang
dalam bahasa inggris attitude adalah suatu cara bereaksi terhadap suatu
perangsang.
Kata ta’dzim dalam bahasa inggrisnya adalah “ respeck” yang
mempunyai makna sopan santun, menghormati dan mengagungkan
orang yang lebih tua atau yang di tuakan. (Nicholson, 1978; 1-2). W.J.S Poerwardaminta mengatakan bahwa sikap ta’dzim
adalah perbuatan dan prilaku yang mencerminkan kesopanan dan
menghormati kepada orang lain terlebih kepada yang lebih tua darinya
atau kepada seorang kyai, guru dan orang yang di anggap di muliakan.
(Poerwardaminta, 1976; 995).
26
lagi yaitu bukan hanya bersikap sopan santun dan menghormati saja
akan tetapi lebih dari itu, yaitu :
a. Konsentrasi dan memperhatikan
b. Mendengarkan nasehat-nasehatnya
c. Meyakini dan merendahkan diri kepadanya
(Asrori1996;11-12).
Sikap-sikap tersebt di atas lebih lanjut di jelaskan oleh Ma’ruf merupakan wujud dari sikap mengagungkan seorang guru.
Berdasarkan pendapat di atas dapat di simpulakn bahwa sikap ta’dzim adalah suatu totalitas dari kegiatan rohani (jiwa) yang di
reaslisasikan dengan prilaku dengan wujud yang sopan santun,
menghormati orang lain dan mengagungkan guru.
Sikap ta’dzim ini wajib di lakukan seorang siswa kepada
gurunya, sebagaimana syair Syeh Salamah Abi Abdul Hamid yang di terjemahkan oleh Mas’ud bin Abdur Rohman sebagai berikut :
(
wajib ta’dzim (mengagungkan ) kepada gurunya.” (Mas’ud bin
27 2. Ciri ciri sikap Ta’dzim
Menurut A. Ma’ruf ciri-ciri sikap ta’dzim ada 5 yaitu :
a. Apabila duduk di depan gurunya selau sopan
b. Selalu mendengarkan perkataan guru
c. Selalu melaksanakan perintahnya
d. Berfikir sebelum berbicara kepada guru
e. Selalu merendahkan diri kepadanya. (Ma’ruf, 1996:11)
Sedangkan menurut Sidik Tono et.Al, ciri ciri sikap ta’dzim
adalah sebagai berikut:
a. Selalu bersikap hormat kepada guru
b. Selalu datang tepat waktu
c. Senantiasa berpaikaian rapi
d. Mendengarkan saat guru menrangkan
e. Menjawab saat guru bertanya
f. Berbicara ketika sudah di beri izin
g. Selalu melaksanakan tugas yang di berikan guru. (Tono,
et.Al,2002:107)
Menurut Syeh Salman dalam kitab Jawahirul adab ciri-ciri sikap ta’dzim adalah sebagai berikut :
a. Selalu mengucapkan salam ketika bertemu dengan guru
b. Mengerjakan pekerjaan yang membuat guru senang
c. Senantiasa menundukan kepala ketika duduk di dekat
28
d. Ketika bertemu guru di jalan senantiasa berhenti di
pinggir jalan seraya menaruh hormat kepadanya
e. Senantiasa mendengarkan ketika guru menrangkan
seraya mencatat
f. Selalu hormat kepada siapapun
g. Menjaga nama baik guru dimanapun
Jadi secara umum ciri-ciri sikap ta’dzim adalah bila di hadapn
guru selalu menundukan kepala dengan niat hormat, selalu
mendengarkan perkataan-perkataan guru, selalu menjalankan
perintahnya, menjawab ketika di tanya, selalu merendah diri
kepadanya, menjaga nama baik guru, dan lain lainya.
3. Fungsi sikap Ta’dzim a. Fungsi sikap Ta’dzim
1. Untuk menunjukan sebagai orang yang terdidik
2. Sebagai salah satu jalan mendapatkan ilmu yang bermanfaat
3. Untuk mengharapkan rasa pertemanan
4. Memberikan penghormatan kepada sesama dan kepada orang
yang lebih tua.
b. Manfaat sikap Ta’dzim
1. Mendapat ilmu yang bermanfaat
2. Di hormati orang lain
3. Di cintai orang lain
29 5. Di senangi teman-temanya
6. Di senangi guru
Fungsi dan manfaat sikap Ta’dzim di atas sudah bersifat spesifik,
adapun fungsi dan manfaat dari sikap Ta’dzim secara umum yaitu
dimana sikap Ta’dzim meruopakan wahana untuk mencapai tujuan
dari berbagai fariasi tujuan dalam kehidupan manusia. Sebagai
manfaatnya adalah akan mendapatkan sesuatu tujuan yang di harapkan
dengan tanpa menimbulkan masalah.
4. proses pembentukan sikap Ta’dzim
sikap ta’dzim itu bukan tumbuh dan berkembang dengan
sendirinya, akan tetapi harus di bentuk dan di pengaruhi oleh
pendidikan dan lingkungan ke arah tujuan yang sesuai dan di inginkan.
Ada 4 unsur yang dapat membentuk sikap ta’dzim yaitu :
a. ملعتملا (pelajar)
b. داتسلاا(guru/pengajar)
c. بلاا (orang tua)
d. كيرشا(sekutu, rekan, teman/Masyarakat)
(Al-Zamaji,t.th:21)
Berdasarkan di atas, proses pembentukan sikap Ta’dzim di
pengaruhi oleh dua faktor, yaitu :
a. Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor dari siswa itu sendiri dimana
30 sendiri-sendiri.
b. Faktor Eksternal
Faktor Eksternal merupakan faktor yang berada di luar diri
siswa yaitu:
1. faktor guru dan tempat pendidikan
2. faktor orang tua dan rumah tangga
3. faktor lingkungan teman dan Masyarakat.
Adapun dalam pembentukan sikap ta’dzim siswa tersebut melalui
tiga proses, yaitu:
1. pengajaran dan pembiasaan
setelah ilmu-ilmu pengetahuan dan ilmu akhlak di
sampaikan oleh seorang guru perlu di lakukan suatu pembiasaan
membentuk aspek kerjasama dan kerohanian dari sikap atau
kecakapan harus di lakukan secara kontiyu (terus-menerus),
dimana pembiasaan adalah salah satu alat pendidikan untuk
membentuk sikap yang ingin dicapai. Al-Zamaji juga
menggunakan teori pembiasaan pengulangan dalam belajar sebgai
berikut:
Artinya: Adapun pelajaran pertama yang di ajarkan
31
pengulangan sepuluh kali, maka ia sampai akhirnya
demikian, karena hal ini menjadi kebiasaan yang
sulit di hilangkan kecuali dengan susah payah dan
di katakan; pelajaran satu huruf pengulanganya
seriu kali. (As’ad:75).
2. Pembentukan kognitif
Pembentukan kognitif adalah proses yang berlaku pada
seseorang dengan memberikan interprestasi pada milleu.
Sehubungan dengan ini samoel mengatakan sebagai berikut:
“memperkenalkan sesuatu kepada anak yang beraneka ragam
pengertianya melalui proses kognitif. Perkembangan sikap pada anak di pengaruhi oleh pengertian pengerian yang di kuasai anak”.
(soetione,1982:54).
Menurut Samuel, pada proses ini perlu adanya perluasan
pemikiran dan pengertian yang di miliki oleh anak, karena anak
akan bersikap sesuai dengan apa yang di ketahuinya.
Pembentukan sikap perlu di perhatikan bahwa manusia
yang di bentuk adalah manusia secara keseluruhan melalui
tenaga-tenaga aspek kepribadian, dengan mempergunakan fikiran dapat di tanamkan pengertian sikap Ta’dzim sehingga akan menjadi
kebiasaan.
3. Pembentukan rohani
32
dalam proses ini di tanaman suatu keyakinan untuk melakukan
hal-hal yang baik dan akan membawa kemanfaat hidup di dunia dan di
akhirat.
Rohani (jiwa) merupakan inti atau atau suatu hal yang halus
dan akan membentuk hakekat manusia. Dari sinilah akan muncul
suatu kehendak untuk melakukan sesuatu, karena rohani (jiwa)
merupakan pimpinan bagi anggota- anggota tubuh lainya.
(Fanidin,2001:105).
Maka dari itu sikap Ta’dzim perlu tersentuh terlebih dahulu
aspek rohani dari manusia (siswa) melalui pengkajian kitab Ihya’
Ulumuddin. Dengan mempengaruhi seluruh anggota tubuh dan
dapat membawa siswa kepada sifat kebaikan dan adab sopana
santun, untuk membentuk akhlaq yang baik, terutama sikap ta’dzim kepada gurunya.
5. Pondok pesantren
1. Definisi Pondok Pesantren
Pondok pesantren adalah gabungan dari pondok dan
pesantren. Istilah pondok, mungkin berasal dari kata funduk, dari
bahasa Arab yang berarti penginapan atau hotel. Akan tetapi di
dalam pesantren Indonesia, khususnya pilau Jawa, lebih mirip
dengan pemondokan dalam lingkungan padepokan, yaitu
perumahan sederhana yang dipetak-petak dalam bentuk
33
pesantren secara etimologis asalnya pe-santri-an yang berarti
tempat santri. Santri atau murid mempelajari agama dari seorang
kyai atau syaikh di pondok pesantren. Pondok pesantren adalah
lembaga keagamaan yang memberikan pendidikan dan pengajaran
serta mengembangkan dan menyebarkan ilmu agama dan islam
(Nasir, 2005:80).
Menurut Zamakhsyari Dhofier sebagaimana dikutip Nasir,
bahwa pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan pe di
depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri. Lebih
lanjut beliau mengutip dari pendapat Profesor Johns dalam ”Islam in South Asia”, bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil,
yang berarti guru ngaji. Sedang menurut C.C Berg, bahwa istilah
santri berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa india berarti
orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu. Kata shastri berasal
dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama
atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.
1. Ciri-ciri Umun Pesantren
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan mempunyai
cirri-ciri umum, yaitu:
a. Kyai (abuya, encik, ajengan, tuan guru) sebagai sentral
figure, yang biasanya juga disebut pemilik.
b. Asrama (kampus atau pondok) sebagai tempat tinggal
34
c. Adanya pendidikan dan pengajaran agama melalui
sistem pengajian (weton dan bandongan), yang sekarang
sebagian sudah berkembang dengan sistem klasikal atau
madrasah. Pada umumnya kegiatan tersebut sepenuhnya
dibawah kedaulatan dan leadership seorang atau
beberapa orang kyai.
Sedangkan ciri khususnya ditandai dengan sifat
karismatik dan suasana kehidupan keagamaan yang
mendalam (Dhofier, 1986:18-43). 2. Unsur-unsur Pesantren
Menurut Damakhsyari Dhofier bahwa tradisi pesantren
terdiri dari lima elemen dasar, yaitu pondok, masjid,
pengajaran kitab-kitab klasik, santri dan kyai. Jika suatu
lembaga telah memiliki unsur-unsur tersebut, maka sudah dapat
disebut sebagai pesantren. Berikut definisi (Dhofier,
1980:44-55) dari masing-masing unsur:
a. Pondok
Sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah
asrama pendidikan islam tradisional di mana para
siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah
bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih dikenal dengan sebutan “kyai”. Asrama untuk para siswa tersebut
35
bertempat tinggal yang juga menyediakan sebuah masjid
untuk beribadah, ruang untuk belajar, dan kegiatan
keagamaan-keagamaan yang lain. Komplek pesantren ini
biasanya dikelilingi dengan tembok untuk dapat
mengawasi keluar masuknya para santri sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
Pondok, asrama bagi para santri, merupakan cirri
khas tradisi pesantren, yang membedakannya denagn
sistem pendidikan tradisional di masjid-masjid yang
berkembang di kebanyakan wilayah islam di
Negara-negara lain. Bahkan sistem asrama ini pula yang
membedakan pesantren dengan sistem pendidikan surau
di daerah minangkabau.
b. Masjid
Masjid merupakan elemen yang tidak dapat
dipisahkan denagn pesantren dan dianggap sebagai
tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri,
terutama dalam praktek sembahyang lima waktu, khutbah, dan sembahyang jum’ah, dan pengajaran kitab
-kitab islam klasik.
Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan
dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi
36
Denagn kata lain kesinambungan sistem pendidiakn islam
yang berpusat pada masjid sejak masjid al-Qubba
didirikan dekat Madinah pada masa Nabi Muhammad
saw tetap terpancar dalam sistem pesantren. Sejak zaman
Nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan islam. Di
mana kaum muslimin berada, mereka selalu
menggunakan masjid sebagai tempat pertemuan, pusat
pendidiakan, aktivitas administrasi, dan cultural.
d. Pengajaran Kitab-kitab Klasik
Pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab islam klasik,
terutama karangan-karangan ulama yang menganut faham Syafi’iyah, merupakan satu-satunya pengajaran
formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren.
Tujuan utama pengajaran ini ialah untuk mendidik
calon-calon ulama. Para santriyang tinggal di pesantren
untuk jangka waktu pendek (misalnya kurang dari satu
tahun) dan tidak bercita-cita menjadi ulama, mempunyai
tujuan untuk mencari pengalaman dalam hal
pendalaman perasaan keagamaan.
Para santri yang bercita-cita ingin menjadi
ulama, mengembangkan keahliannya dalam bahasa
37
mereka pergi ke pesantren untuk mengikuti sistem
bandongan. Meskipun sekarang banyak pesantren yang
telah memasukkan pengajaran pengetahuan umum
sebagai suatu bagian penting dalam pendidikan
pesantren, namun pengajaran kitab-kitab islam klasik
tetap diberikan sebagai upaya untuk meneruskan tujuan
utama pesantren mendidik calon-calon ulama, yang setia
kepada faham islam tradisional.
Keseluruhan kitab-kitab klasik yang diajarkan di
pesantren dapat digolongkan kedalam 8 kelompok yaitu
nahwu (syntax) dan saraf (morfologi, fiqh, usul fiqh,
hadis, tafsir, tauhid, tasawuf dan etika, serta
cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah. Kitab-kitab
tersebut meliputi teks yang sangat pendek sampai teks
yang terdiri dari berjilid-jilid tebal mengenai hadis,
tafsir, fiqh, usul fiqh, dan tasawuf. Kesemuanya ini
dapat pula digolongkan kedalam tiga kelompok yaitu,
kitab-kitab dasar, kitab-kitab tingkat menengah, dan
kitab-kitab besar.
e. Santri
Menurut pengertian yang dipakai dalam
lingkungan orang-orang pesantren, seorang alim hanya
38
santri yang tinggal dalam pesantren tersebut untuk
mempelajari kitab-kitab islam klasik. Oleh karena itu,
santri merupakan elemen penting dalam suatu lembaga
pesantren. Walaupun demikian, menurut tradisi
pesantren, terdapat 2 kelompok santri, yang pertama
santri mukim yaitu murid-murid yang berasal dari
daerah yang jauh dan menetap dalam kelompok
pesantren. Dan yang kedua adalah santri kalong yaitu
murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekeliling
pesantren, yang biasanya tidak menetap dalam
pesantren.
f. Kyai
Kyai merupakan elemen yang paling esensial dari
suatu pesantren. Ia sering kali bahkan merupakan
pendirinya. Sudah sewajarnya bahwa pertumbuhan suatu
pesantren semata-mata bergantung pada kemampuan
pribadi kyainya.
Menurut asal-usulnya, perkataan kyai pada bahasa
jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang saling berbeda
yaitu: sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang
dianggap keramat, gelar kehormatan untuk orang-orang tua
pada umumnya, dan gelar yang diberikan pleh masyarakat
39
menjadi pemimpin pesantren dan mengajar kitab-kitab
40 BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam
mengumpulkan data penelitiannya. Seperti sudah dijelaskan, variasi metode
dimaksud adalah: angket, wawancara, pengamatan atau observasi, tes,
dokumentasi (Arikunto, 2010:203). Untuk mendapatkan hasil penelitian yang
baik, cermat dan akurat, maka pada penelitian ini akan digunakan
tahap-tahapan sebagai berikut:
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian lapangan (field
research) dalam pelaksanaannya menggunakan pendekatan kualitatif
deskriptif analisis yang umumnya menggunakan strategi multi metode
yaitu wawancara, pengamatan, serta penelaahan dokumen studi
dokumenter yang antara satu dengan yang lain saling melengkapi,
memperkuat dan menyempurnakan (Sukmadinata, 2005:108). Dalam
laporan penelitian ini data memungkinkan berasal dari naskah wawancara,
catatan lapangan, foto, dokumen pribadi, dan dokumen lainnya.
Moleong (2008:2) menyatakan, bahwa penelitian lapangan (field
research) dapat juga dianggap sebagai pendekatan luas dalam penelitian
kualitatif atau sebagai metode untuk mengumpulkan data kualitatif. Ide
pentingnya adalah peneliti berangkat ke lapangan mengadakan
pengamatan tentang sesuatu fenomena dalam suatu keadaan alamiah atau
41 B. Kehadiran Penelitian
Kehadiran peneliti pada penelitian kualitatif sangatlah penting.
Karena peneliti harus melakukan pengamatan sekaligus terjun langsung di
lapangan untuk mendapatkan hasil yang diperlukan untuk menunjang
penelitiannya. Peneliti melakukan penelitian langsung di Pondok
Pesantren Sunan Giri Salatiga , dan melakukan wawancara dan observasi
dengan subjek penelitian di Pondok Sunan Giri Salatiga.
C. Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Pondok Pesantren Sunan Giri
Salatiga. Adapun alasan pemilihan tempat penelitian di Pondok Pesantren
Sunan Giri Salatiga berkaitan dengan pengkajian akhlakul karimah santri
terhadap kyai yang diajarkan di Pondok Pesantren Sunan Giri Salatiga sangatlah penting. Oleh karena itu, pembentukan sikap ta’dzim santri
Pondok Pesantren Sunan Giri Salatiga perlu terus dikembangkan,
sehingga akan meningkat pula akhlakul karimah santri dalam
mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya insani yang ada
padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil).
D. Sumber Data
Yang dimaksud sumber data dalam penelitian adalah subjek
darimana data dapat diperoleh. Apabila peneliti menggunakan kuesioner
atau wawancara dalam pengumpulan datanya, maka sumber data disebut
pertanyaan-42
pertanyaan peneliti, baik pertanyaan tertulis maupun lisan (Arikunto,
2010:172).
Sumber data dibedakan menjadi dua (2) antara lain:
a. Data Primer
Sumber dan jenis data primer penelitian ini adalah kata-kata
dan tindakan subjek serta gambaran ekspresi, sikap dan pemahaman
dari subjek yang diteliti sebagai dasar utama melakukan interpretasi
data. Data atau informasi tersebut diperoleh secara langsung dari
orang-orang yang dipandang mengetahui masalah yang akan dikaji
dan bersedia memberi data atau informasi tersebut diperlukan. Sumber
data primer merupakan data yang dikumpulkan, diolah dan disajikan
oleh peneliti dari sumber utama. Dalam penelitian ini yang menjadi
sumber data utama yaitu santri, ustadz, dan pengasuh pondok.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data informasi yang diperoleh dari
sumber-sumber lain selain data primer. Diantaranya buku-buku
literature, dokumen pribadi, dan dokumen resmi lembaga-lembaga
yang terkait dengan penelitian ini. Data tersebut diantaranya
buku-buku referensi seperti: Risalah Akhlak ,Panduan Perilaku Muslim
Modern karya Wahid Ahmadi, Tasawuf dan Tarekat karya Cecep
Alba, Kapita Selekta Pendidikan karya M Arifin, Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktik karya Suharsimi Arikunto, Analisis Data
43
Kualitatif karya Lexy J Moleong Pemikiran Al Ghazali Tentang
Pendidikan karya Abidin Ibnu Rusn. E. Metode Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data yang diperlukan, digunakan
metode-metode berikut:
a. Metode Wawancara
Menurut Moleong (2011:186) metode wawancara adalah
percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh
dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan
pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan
jawaban atas pertanyaan itu. Dalam penelitian ini, wawancara
ditujukan kepada pengasuh Pondok Pesantren Sunan Giri Salatiga,
dewan asatidz, pengurus, santri serta wali santri pondok pesantren
Sunan Giri guna memperoleh informasi terkait tentang sikap ta’dzim santri terhadap kyai, pelaksanaan pembentukan sikap ta’dzim santri
serta faktor-faktor yang mempengaruhi dan mendukung pelaksanaan
kajian kitab ihya ulumudin Pondok Pesantren Sunan Giri Salatiga.
b. Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah metode pengumpulan data dengan
cara membaca dan mengutip dokumen-dokumen yang ada dan
dipandang relevan. Dalam melaksanakan metode dokumentasi,
peneliti menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku, peraturan
44
ini digunakan untuk memperoleh data sejarah Pondok Pesantren
Sunan Giri Salatiga. Letak geografis, Struktur organisasi, serta
keadaan ustadz dan santri Pondok Pesantren Sunan Giri Salatiga.
c. Metode Observasi
Metode observasi adalah pengumpulan data dengan
pengamatan langsung kepada objek penelitian (Surakhmad,
1994:164). Metode ini digunakan untuk mengetahui situasi dan
kondisi lingkungan Pondok Pesantren Pesantren Sunan Giri Salatiga
baik keadaan santri-santri maupun ustadznya.
Melalui metode observasi ini, peneliti bisa mengetahui secara
langsung fenomena yang diteliti, mengenai kajian kitab ihya ulumudin,dalam pembentukan sikap ta’dzim santri terhadap kyai serta
faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan kajian kitab ihya’
ulumudin di pondok pesantren Sunan Giri Slatiga. F. Analisis data
Menurut Bungin (2010:83) dalam penelitian kualitatif dikenal ada
dua analisis data yang sering digunakan bersama-sama atau secara terpisah
yaitu model strategi analisis deskriptif kualitatif dan atau model strategi
analisis verivikatif kualitatif. Kedua model analisis itu member gambaran
bagaimana alur logika analisis data pada penelitian kualitatif sekaligus
memberi masukan terhadap bagaimana teknik analisis data kualitatif
45
Proses berjalannya analisis data kualitatif menurut Seiddel
sebagaimana dikutip Moleong (2011:248) adalah sebagai berikut:
a. Mencatat yang menghasilkan catatan lapangan, dengan hal itu diberi
kode agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri,
b. Mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan, mensintesiskan,
membuat ikhtisar, dan membuat indeksnya,
c. Berpikir, dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai
makna, mencari dan menemukan pola dan hubungan-hubungan, dan
membuat temuan-temuan umum. G. Pengecekan Keabsahan Data
Dalam penelitian ini peneliti berusaha memperoleh keabsahan data
temuannya. Teknik yang dipakai untuk menguji keabsahan temuan
tersebut yaitu teknik triangulasi. Teknik triangulasi adalah teknik
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain.
Danzin (dalam Moleong, 2011:330-331) membedakan empat macam
triangulasi sebagai teknik peemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan
sumber, metode, penyidik, dan teori.
Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek
balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu
dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif. Triangulasi dengan
metode terdapat dua strategi, yaitu: (1) pengecekan derajat kepercayaan
46
pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan metode
yang ssama.
Teknik triangulasi jenis ketiga adalah dengan jalan
memanfaatkan peneliti dengan pengamat lainnya untuk keperluan
pengecekan kembali derajat kepercayaan data. Sedangkan triangulasi
dengan teori, beranggapan bahwa fakta tidak dapat diperiksa derajat
kepercayaannya dengan satu atau lebih teori. H. Tahap-tahap Penelitian
a. Kegiatan administratif yang meliputi, pengajuan ijin operasional untuk
penelitian dari pengasuh pondok pesantren Sunan Giri Salatiga selaku
penanggung jawab, kemudian menyusun pedoman wawancara dalam
melakukan administrasi lainnya.
b. Kegiatan lapangan yaitu meliputi:
1) Menemui pengasuh pondok untuk memberikan surat ijin
penelitian.
2) Menemui para santri yang akan dijadikan subjek penelitian.
3) Melakukan wawancara kepada para responden atau informan
sebagai langkah pengumpulan data.
4) Menyajikan data dengan susunan dan urutan yang memungkinkan
untuk memudahkan dalam melakukan pemaknaan.
5) Melakukan verifikasi untuk membuat kesimpulan sebagai
deskriptif temuan penelitian.
47 BAB IV
PAPARAN DATA DAN ANALISIS A. PAPARAN DATA
1. Sejarah Singkat
Pondok pesantren Sunan Giri sudah berdiri sejak tahun 1992 M, dibawah naungan KH. Maslikhuddin Yazid, KH. Muslimin Asy’ari, Kyai
Sa’dullah dan KH. Zumroni, yang letak perkembangannya tepat disebuah
perkampungan di dusun Krasak, desa Ledok, Kecamatan Argomulyo, kota
Salatiga.
Semula pondok pesantren Sunan Giri adalah sekolah yang
mengajarkan kitab-kitab kuning (madrasah diniyah) yang diasuh KH. Muslimin Asy’ari. Kemudian setelah KH. Maslikhudin Yazid pulang dari
menuntut ilmu agama di pondok pesanten Tulung Agung dan dengan
perkembangan santri yang selalu bertambah maka didirikan pondok
pesantren.Nama yang digunakan adalah mengikuti nama salah satu tokoh
wali songo, karena di Pondok Tulung Agung nama-nama pondok untuk
tiap komplek juga mengambil dari nama-nama wali songo. Dan pada
tahun 2014, salah satu pengasuh yaitu KH. Zumroni telah wafat. Maka,
setelah itu sampai sekarangjumlah pengasuh pondok pesantren Sunan Giri
tiga orang.
Sistem pembelajaran di pesantren dibagi menjadi 3 tahap, yaitu: tingkat TPA dan Ibtida’iyah, tingkat Tsanawiyah dan Aliyah.Mulai dari