BAB IV KELEMAHAN PENGATURAN KONSEP DIVERSI DAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM UNDANG-UNDANG NO
UNDANG-UNDANG NO 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM
B. Kelemahan Pengaturan Diversi dan Restoratif Justice di dalam Undang-
Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Diversi seperti yang telah dinyatakan sebelumnya wajib dilakukan melalui pendekatan Keadilan Restoratif yang dimulai dari tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di Pengadilan Negeri. Pada tiap tingkatan tersebut terdapat beberapa kelemahan dalam pengaturannya, antara lain adalah :
1. Kewajiban diversi
Polisi. Jaksa dan hakim dalam tiap tingkatannya diwajibkan untuk mengupayakan diversi dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari. Kewajiban tersebut perlu untuk dipertegas dengan hadirnya sanksi pidana terhadap ketiga apart penegak hukum tersebut dinyatakan pada Pasal 96 berupa pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Diversi seperti menjadi 2 (dua) sisi koin yang satu untuk menghindari timbulnya stigmatisasi dan pemenjaraan bagi anak, namun di sisi lainnya merupakan kewajiban yang sengaja dilakukan untuk menghindari sanksi pidana yang akhirnya tidak berhasil mewujudkan kesadaran aparat penegak hukum terhadap kepentingan terbaik bagi si anak. Pasal 18 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa dalam menangani perkara anak maka apara penegak hukum wajib mengusahakan suasana kekeluargaan agar tetap
terpelihara. Hal ini tidak dapat dilakukan selama aparat penegak hukum melakukan kewajibannya hanya untuk menghindari sanksi pidana terhadap mereka.
2. Ketidakjelasan pengaturan tindak pidana di bawah 7 (tujuh) tahun
Diversi berdasarkan Pasal 7 ayat (2) huruf a, hanya dapat dilaksanakan terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun. Tindak pidana yang di bawah 7 (tujuh) tahun seharusnya dicantumkan oleh legislator sehingga terdapat kejelasan dalam pengaturannya. Penjelasan Pasal 9 disebutkan bahwa tindak pidana yang di ancam dengan pidana penjara di atas 7 (tujuh) tahun digolongkan menjadi tindak pidana berat seperti pembunuhan berencana, terorisme, pemerkosaan, dll. Tindak pidana yang dilakukan oleh anak sudah hampir sama dengan tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa sehingga perlu untuk membedakan secara tegas tindak pidana yang patut untuk di diversi.
Modus operandi yang semakin hari semakin meluas juga semakin bervariatif sehingga menjadi tantangan bagi penegakan hukum terlebih lagi apabila kejahatan tersebut dilakukan oleh anak. Menurut Suhariyono salah satu anggota RUU SPPA tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun jika tidak dicantumkan dengan jelas akan menjadi tantangan tersendiri oleh aparat penegak hukum untuk melakukan penyelesaiannya.101
3. Lemahnya Prinsip Kepentingan terbaik anak
101
Kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga korban serta kesediaan anak dan/atau keluarganya, sehingga dalam hal ini yang menjadi tolak ukurnya adalah adanya perdamaian antara korban dan anak bukan kepentingan terbaik untuk anak. ICJR memandang bahwa mestinya proses diversi mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak, bukan perdamaian antara korban dengan anak.102
Perdamaian antara korban dan anak sangat berbeda jika memandang terhadap asas kepentingan terbaik bagi anak. Artinya, kesepakatan diversi tersebut tidak akan pernah tercapai jika melihat persetujuan oleh korban dan/atau keluarganya, tanpa memandang kepentingan terbaik bagi anak. Menurut Hadi Supeno, apabila kesepakatan diversi tidak tercapai maka akan besar terbuka peluang untuk terjadi pemenjaraan bagi anak.
Pasal 3 ayat (1) Konvensi Hak Anak menyatakan bahwa, “dalam semua tindakan yang menyangkut anak yng dilakukan lembaga-lembaga kesejahteraan social pemerintah maupun swasta, lembaga peradilan, lembaga pemerintah atau badan legislative maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan yang utama.” Kepentingan terbaik anak merupakan salah satu asas dalam sistem peradilan pidana anak yang merupakan segala pengambilan keputusan harus selalu mempertimbangkan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak.
103
102
http://icjr.or.id/selamat-datang-tindak-pidana-diversi yang diakses pada tanggal 14 Maret 2014 pkl 19.00 WIB
103
4. Terbukanya Peluang menggunakan Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memberikan syarat terhadap penyidik, penuntut umum, dan hakim yang menyelesaikan perkara anak yang meliputi :
1) Telah berpengalaman sebagai penyidik/penuntut umum/hakim; 2) Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak; 3) Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak.
Syarat-syarat tersebut apabila tidak terpenuhi maka akan dilaksanakan oleh penyidik, penuntut umum, hakim yang melakukan tugas masing-masing penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Syarat-syarat tersebut bukanlah syarat yang mudah untuk mendapatkan aparat penegak hukum yang benar-benar memahami realitas anak, terlebih lagi tidak meratanya sumber daya manusia serta kemampuan tiap daerah untuk melakukan pola pelatihan teknis tersebut.
Selain diversi yang wajib menggunakan pendekatan keadilan restoratif, tahap peradilan pidana lainnya juga menerapkan pendekatan ini yaitu dalam hal pembinaan, pengawasan, pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan seteleha menjalani tindak pidana. Ada pun beberapa kelemahan pengaturan restorative justice yang dapat mempengaruhi proses peradilan pidana anak, antara lain :
Penahanan terhadap anak dihalalkan di dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, terhadap anak yang telah berumur 14 (empat belas) atau lebih dan di duga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih. Penahanan yang dilakukan memang harus mendapatkan ijin persetujuan dari orang tua, wali atau lembaga yang mengasuh anak tersebut, dan tidak menghilangkan barang bukti serta tidak akan mengulangi tindak pidana. Jangka waktu penahanan terhadap anak dapat dilihat sebagai berikut :
1) Tahap penyidikan : 7 hari 2) Perpanjangan oleh PU : 8 hari 3) Tahap penuntutan : 5 hari 4) Perpanjangan oleh Hakim : 5 hari 5) Tahap pengadilan : 10 hari 6) Perpanjangan oleh Ketua PN : 15 hari 7) Tahap Banding : 10 hari 8) Perpanjangan oleh Ketua PT : 15 hari 9) Tahap Kasasi : 15 hari 10) Perpanjangan oleh Ketua MA : 20 hari
Jumlah : 110 hari
Lamanya waktu untuk dilakukannya penahanan terhadap anak tidak dapat menciptakan suatu pemulihan terhadap anak, tetapi kembali memberikan stigmatisasi terhadap anak. Penahanan terhadap anak memang dilakukan di dalam Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) atau di dalam Lembaga
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS), namun tempat tersebut tidak seutuhnya dapat memberikan kenyamanan dan keamanan terhadap diri anak.
2. Tidak ada Perbedaan secara jelas mengenai LPKA dan Lembaga Pemasyarakatan Anak
Pemenjaraan terhadap anak menjadi upaya terakhir dalam menangani perkara anak. Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak memberikan istilah baru yaitu Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang berbeda dengan Undang- Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang memberikan istilah Lembaga Pemasyarakatan Anak. Apabila di dalam suatu daerah belum terdapat LPKA maka anak tersebut dapat ditempatkan di Lembaga Pemaysarakatan yang penempatannya terpisah dari orang dewasa. Pengaturan LPKA di dalam Undang- undang ini masih belum terlalu tegas dan jelas dan dapat dibedakan dengan Lemabga Pemasyarakatan Anak. Hal ini juga ikut mempengaruhi terciptanya pemulihan bagi anak, karena tempatnya untuk menjalani pidana haruslah dapat membina dirinya dengan baik.
3. Masa Transisi Pembaharuan Lembaga-Lembaga Anak
Undang-Undang SPPA ini mensyaratkan adanya masa transisi selama 5 tahun dimana pemerintah dan Pengadilan diminta untuk menyesuaikan diri dengan Undang-Undang terbaru ini dalam waktu 5 tahun. Masalahnya seperti yang biasa disaksikan adalah bagaimana jika masa transisi ini terlewati. Contohnya, Jumlah Bapas untuk seluruh Indonesia hingga Desember 2011 adalah sejumlah 62 Bapas, sejak disahkannya UU No 3 Tahun 1997 maka kenaikan
jumlah Bapas sangat tidak signifikan, apalagi Undang-Undang ini membebankan bahwa di tiap kota/kabupaten harus dibangun Bapas dalam jangka waktu 5 tahun yang artinya pada 2017 ratusan jumlah Bapas harus dibangun oleh pemerintah.104
4. Petugas Kemasyarakatan
Lembaga-lembaga tersebut merupakan tugas utama oleh pemerintah karena lembaga tersebut sangat berpengaruh dalam memberikan perlindungan terhadap anak dengan menciptakan suatu pemulihan yang signifikan.
Petugas Kemasyarakatan terdiri dari, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial dan Tenaga Kesejahteraan Sosial yang juga ikut berperan dalam menciptakan pemulihan terhadap anak. Keberadaannya sering sekali terbatas dikarenakan ketidakmerataan setiap daerah dalam sumber daya manusianya serta jauhnya sumber infomasi untuk ketiga petugas tersebut melakukan pekerjaannya. Pengaturan mengenai petugas kemasyarakatan ini juga harus diseimbangkan dengan anggaran yang mampu membantu mereka dalam mengerjakan tugas dan wewenang untuk membantu proses peradilan anak, dan hal tersebut harus ikut di atur di dalam undang-undang ini.
104
http://anggara.org/2012/07/23/beberapa-catatan-tentang-uu-sistem-peradilan-pidana- anak/ yang diakses pada tanggal 19 Maret 2014 pkl 20.30 WIB.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Sejarah perkembangan kedua konsep ini dipraktekan secara berbeda yaitu diversi dimulai dengan didirikannya suatu peradilan anak sebelum abad 19 serta adanya formalisasi polisi dengan memberikan peringatan secara tertulis dan lisan terhadap anak sehingga tidak mengikuti proses pengadilan secara formal. Restorative Justice dimulai sebagai sebuah pendekatan dalam menyelesaikan masalah-masalah tadisional dengan cara bermusyawarah antara setiap pihak yang berkepentingan sehingga dapat ditentukan cara penyelesaian yang terbaik dan juga menghindarkan dari pengadilan formal. Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam perkembangannya merupakan penyelesaian perkara anak yang sudah dipraktekan oleh berbagai Negara. Di Indonesia sendiri telah dimulai dengan musyawarah dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang terlah dipraktekan secara lama dalam hukum adat masyarakat.
2. Penerpan konsep Restorative Justice dan Diversi dalam Undang-Undang oleh legislator bukanlah merupakan sebuah bentuk penyelesaian perkara anak yang bersifat alternatif semata. Restorative Justice dan Diversi dikembangkan sebagai suatu penyelesaian perkara anak yang memberikan perlindungan
hukum terhadap anak tersebut yang tidak didasarkan pada suatu pembalasan lagi namun untuk memulihkan anak pada keadaan semula. Restorative Justice dan Diversi merupakan suatu kewajiban yang dilaksanakan dalam setiap lini peradilan pidana anak yang dimulai dari tahap penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan hingga pembimbingan di dalam lembaga pembinaan anak serta hingga bereintegrasi di masyarakat. Penerapan kedua konsep ini sangat membutuhkan dukungan serta partisipasi yang dimulai dari anak itu sendiri dan keluarganya, korban serta keluarganya, aparat penegak hukum, masyarakat, petugas kemasyarakatan serta pihak-pihak lain yang terkait sehingga dapat memulihkan segala akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut.
3. Kelemahan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak masih memiliki kelemahan dalam mengatur konsep diversi dan restorative justice sehingga dikuatirkan tidak dapat diterapkan secara efektif oleh pelaksananya. Secara substansi undang-undang ini harus dilengkapi dengan peraturan pelaksana serta adanya sarana dan prasarana yang mumpuni terhadap pelaksanaan peraturan ini.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :
1. Diharapkan adanya peraturan pelaksana terhadap undang-undang ini seperti Peraturan Pemerintah terkait diversi sebelum undang-undang ini pada akhirnya berlaku. Peraturan ini juga harus dikaitkan dengan adat istiadat dan
kebiasaan di dalam wilayah tertentu sebagai penghargaan terhadap cara penyelesaian perkara anak di wilayah tersebut.
2. Pemerintah harus segera melakukan pelatihan teknis terhadap Penyidik, penuntut umum, hakim, petugas kemasyarakatan dan para tenaga social lainnya sehingga dapat menyelesaikan perkara anak dengan baik. Pelatihan teknis tersebut dapat menjadi patokan terhadap orang-orang yang telah layak untuk menyelesaikan perkara anak terutama untuk di daerah-daerah.
3. Pemerintah juga harus meninjau kembali sanksi pidana yang ditetapkan kepada Penyidik, penuntut umum dan hakim yang apabila tidak melakukan kewajibannya untuk melakukan diversi. Hal ini masih dipandang tidak efisien karena memandang pemulihan sebagai tujuan utama penyelesaian perkara anak.
4. Konsep restorative justice sebenarnya dapat diterapkan oleh masyarakat itu sebelum atau sesudah tindak pidana terjadi tanpa mengikutsertakan aparat penegak hukum. Contohnya adalah mengadakan rapat atau musyawarah desa. Hal ini juga dapat mengabadikan kultur dan kebiasaan di masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi rasa kekeluargaan.
5. Kemiskinan ekonomi dan keterbatasan akses untuk memperoleh keadilan merupakan faktor utama anak berkonflik dengan hukum. Sehingga Negara harus sepenuhnya menyelesaikan permasalahan tersebut secara komprehensif dan sistematis melalui sistem jaminan sosial anak untuk mewujudkan kesejahteraan anak.