• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelembagaan Penguasaan dan Pengelolaan Sumber Daya Hutan Sumber daya hutan di Nagari Simanau dikelola oleh nagari melalui Niniak

Mamak yang ada di nagari dengan tujuan untuk kesejahteraan masyarakatnya. Masyarakat nagari menyadari bahwa hutan sangat bermanfaat bagi mereka, baik secara ekonomi, sosial dan ekologi. Bagi masyarakat Nagari Simanau, hutan merupakan bagian penting yang tidak bisa dipisahkan dari keberlangsungan hidup dan hak ulayat mereka. Hak ulayat merupakan kepemilikan tertinggi masyarakat terhadap sumber daya alamnya baik itu tanah, hutan, dan air. Ulayat bersifat turun temurun, di wariskan dari genarasi ke generasi berikutnya menurut garis keturunan ibu (matrilineal). Jadi status penguasaan ulayat dan sumber daya alam di Nagari Simanau adalah penguasaan kelompok/komunal (communal property) yang dipimpin oleh para pemangku adat atau panghulu-panghulu suku. Walaupun hak penguasaan tersebut bersifat komunal tetapi terdapat beberapa hak penguasaan individu (private property) yang berdasarkan sistem kekerabatan dan kepemimpinan adat setempat. Pembagian status hak penguasaan ulayat di Nagari Simanau adalah sebagai berikut :

1. Ulayat Nagari, adalah seluruh wilayah yang dimiliki semua masyarakat nagari dan dikuasai oleh seluruh suku (penghulu-penghulu) yang ada di nagari. Ulayat ini biasanya berupa rimbo (hutan), maupun tanah yang sudah pernah

24

diolah tetapi kemudian ditinggalkan dalam jangka waktu yang sangat lama, ataupun tanah yang berasal dari hak kullah yaitu tanah yang berasal dari ulayat suku yang menurut garis keturunan matrilinealnya telah punah, yang disebut juga dengan istilah samparono habis.

2. Ulayat Suku, merupakan wilayah yang dikuasai oleh semua anggota suku yang dipimpin oleh panghulu andiko. Ulayat suku berasal dari ulayat nagari yang ditaruko oleh anggota suku. Ulayat suku ini juga diwariskan secara turun temurun.

3. Ulayat Kaum, adalah wilayah yang dimiliki dan dikuasai oleh suatu kaum, bersifat turun temurun dan dipimpin oleh seorang penghulu atau mamak suatu kaum. Ulayat kaum berasal dari ulayat nagari yang ditaruko oleh anggota kaum.

4. Ulayat Paruik, biasanya berupa sebidang tanah yang dikuasai oleh suatu paruik. Tanah ini berasal dari ulayat kaum, maupun dari pencaharian.

5. Ulayat Keluarga Inti, adalah wilayah yang biasanya berupa sebidang tanah yang dikuasai oleh keluarga inti (mamak, kemenakan, ibu atau saudara perempuan) yang diperoleh dari taruko, maupun dari harta pencaharian.

Status penguasaan komunal ini kemudian membentuk ikatan kekerabatan matrilineal dalam penguasaan ulayat, mulai dari paruik, kaum, suku, dan nagari. Sehingga aturan nagari tidak membolehkan perpindahan dan pelepasan hak kepemilikan bersama/komunal menjadi kepemilikan individu. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan hidup diberikan hak ganggam bauntuak bagi anggota kaum, suku atau nagari, tetapi hak ini hanya memperbolehkan mengolah dan memanfaatkan saja, kepemilikannya tetap milik bersama seluruh anggota kaum dan suku.

Sebagai hutan adat atau hutan nagari, pengelolaan sumber daya hutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pola penguasaan ulayat. Karena hutan nagari merupakan kesatuan ekosistem hutan yang berada di atas ulayat, maka timbulah istilah hutan ulayat nagari, hutan ulayat suku dan hutan ulayat kaum. Sedangkan pada ulayat paruik dan ulayat keluarga inti lebih banyak fungsinya sebagai lahan pekarangan, perumahan, persawahan ataupun lahan pertanian yang secara ekologi sudah tidak berupa hutan lagi.

Berdasarkan pola pengelolaan sumber daya hutan, masyarakat Nagari Simanau membagi hutan atas 3 (tiga) kategori, yaitu :

1. Hutan/rimbo larangan, adalah hutan yang tidak boleh atau dilarang untuk dikelola, baik untuk pemanfaatan kayu secara langsung, maupun untuk dibuka dan diolah menjadi parak dan ladang. Larangan ini merupakan salah satu bentuk perlindungan masyarakat terhadap daerah sekitarnya. Tujuannya adalah untuk melindungi dan menjaga sumber mata air yang sangat dibutuhkan sebagai sumber air bersih maupun untuk pengairan sawah dan pertanian.

2. Hutan simpanan merupakan hutan yang dipersiapkan sebagai cadangan bagi generasi yang akan datang. Bisa dimanfaatkan apabila hutan olahan telah habis. tetapi harus mendapatkan izin dari panghulu suku yang kebetulan tanah ulayat tersebut berada pada hutan simpanan tersebut

3. Hutan ulahan/olahan, adalah wilayah hutan yang dapat dikelola untuk tujuan pemenuhan kebutuhan warga masyarakat. Hasil hutan yang bisa diolah adalah hasil hutan kayu maupun hasil hutan non-kayu. Hutan olahan ini juga bisa

dimanfaatkan menjadi parak atau ladang. Biasanya letak hutan olahan ini tidak jauh dari pemukiman masyarakat.

Jika dikaitkan dengan hak kepemilikan (property right), maka hutan larangan dan hutan simpanan dikategorikan termasuk dalam hak milik komunal. Karena merupakan milik komunal, maka kedua pengelolaan hutan tersebut diatur oleh nagari, sehingga warga tidak bisa bebas memanfaatkannya. Pemanfaatannya harus sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditentukan nagari dan telah disepakati bersama. Dengan adanya pengaturan pengelolaan oleh nagari tersebut maka pemanfaatan sumber daya hutan secara berlebihan bisa dihindari. Pada hutan olahan pengelolaannya secara perorangan atau paruik, karena dimiliki oleh individu/keluarga yang mengolah lahan tersebut serta ada batas yang diketahui dan diakui oleh warga.

Pengelolaan sumber daya hutan Nagari Simanau memiliki norma/aturan- aturan tertentu yang harus ditaati warga masyarakat. Norma/aturan-aturan tersebut telah ada sejak dahulu dan diwariskan secara turun temurun. Beberapa norma/aturan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan adalah :

1. Hutan Ulahan/Olahan :

Gambar 5.1 Hutan olahan

 Apabila hutan yang akan dibuka merupakan hutan yang masih asli, belum pernah diolah, maka ketentuan pembagian hasil antara pengelola dengan suku/kaum pemilik ulayat adalah ¾ bagian dari lahan hutan yang dibuka menjadi hak milik pengolah, sementara sisanya yang ¼ lagi tetap menjadi milik kaum atau suku pemilik ulayat. Namun, apabila yang dibuka atau yang akan diolah merupakan hutan lunak atau hutan yang sudah pernah diolah sebelumnya, maka dari lahan yang dibuka menjadi hak pengolah dan lagi tetap menjadi hak pemilik ulayat.

 Tanah yang dikelola statusnya hanya sementara, maksudnya menjadi hak yang mengolah tanah tersebut selama pengolah memiliki ahli waris. Apabila pengolah tidak memiliki ahli waris lagi maka tanah tersebut dikembalikan kepada yang memiliki ulayat tanah tersebut.  Warga yang mengolah lahan wajib menanam perladangan yang

terletak di lereng-lereng bukit dengan tanaman berkayu untuk mencegah terjadinya longsor, misalnya kulit manis, kopi.

26

2. Hutan Simpanan :

Gambar 5.2 Hutan simpanan

 Hutan simpanan boleh dibuka dan diolah apabila telah mendapat izin dari penghulu andiko dari suku yang memiliki tanah/ulayat

 Pemanfaatan hutan ini diperbolehkan apabila tidak ada lagi sumber penghasilan lain, situasi mendesak seperti gagal panen di nagari.  Diutamakan untuk pemanfaatan hasil hutan non-kayu, sedangkan hasil

hutan kayu bisa dimanfaatkan, tapi harus mendapatkan izin dari nagari misalnya untuk kebutuhan bahan dasar pembuatan perahu, jika pada hutan olahan sudah sulit atau tidak lagi ditemukan kayu yang berukuran cukup besar untuk dijadikan sebagai bahan utama

3. Rimbo/Hutan Larangan :

Gambar 5.3 Hutan larangan

 Larangan membuka hutan dan mengolah hutan larangan untuk tujuan apapun, karena hutan berfungsi sebagai penahan air hujan, sebagai pencegahan banjir dan longsor

 Hutan larangan boleh diamanfaatkan untuk mengambil hasil hutan bukan kayu, seperti madu dan buah-buahan tanpa merusak atau menebang kayu

Pengaturan pola pengelolaan sumber daya hutan akan menentukan bentuk hak akses dan hak pemanfaatan sumber daya hutan nagari. bentuk hak akses dan hak pemanfaatan tersebut disajikan pada Tabel 5.1

Tabel 5.1 Bentuk hak pengelolaan sumber daya hutan Nagari Simanau Pola Pengelolaan Pemegang hak

utama dan mengatur

Yang

memanfaatkan Kewenangan 1.Hutan Olahan

Hak akses dan hak

pemanfaatan

2.Hutan Simpanan Hak akses dan hak

pemanfaatan

3.Hutan Larangan Hak akses dan hak pemanfaatan Panghulu /Ketua KAN Panghulu Suku, Kaum, Kepala keluarga, Anggota keluarga (individu) Panghulu/Ketua KAN Panghulu/Ketua KAN Semua anggota keluarga, orang lain dari luar nagari, kerabat Individu Semua orang, warga nagari maupun luar nagari Semua orang, warga nagari maupun luar nagari Mengambil hasil hutan kayu dan non kayu, menanam dengan tanaman perkebunan, bernilai ekonomi Menikmati manfaat hutan (air dan udara bersih), mengambil hasil hutan non kayu, boleh untuk penelitian

Menikmati manfaat hutan (air dan udara bersih), mengambil hasil hutan non kayu, boleh untuk penelitian,

Berdasarkan Tabel 5.1 menunjukkan bahwa pemegang hak utama dalam pengelolaan sumber daya hutan adalah panghulu (suku dan kaum) serta kepala keluarga. Panghulu nagari berhak mengatur pengelolaan dan pemanfaatan hutan simpanan dan hutan larangan karena terletak pada lahan-lahan komunal milik nagari, sedangkan kepala keluarga berhak untuk mengatur pengelolaan dan pemanfaatan hutan olahan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya, karena hutan olahan sudah menjadi lahan yang dikelola secara pribadi (private). Meskipun demikian, panghulu nagari tetap berperan, karena adanya aturan nagari yang ikut menentukan bahwa jenis yang ditanam selain punya nilai ekonomi sekaligus mampu menjaga kondisi ekologi. Nagari juga punya hak menentukan wilayah-wilayah yang dijadikan hutan olahan, simpanan, dan larangan. Orang lain diperbolehkan memanfaatkan apabila telah mendapatkan persetujuan dari panghulu pemegang hak atas tanah atau hutan olahan tersebut.

Selain itu, pengelolaan sumber daya hutan atau lahan oleh masyarakat Nagari Simanau tetap mempertimbangkan nilai-nilai keberlangsungan dan keseimbangan alam, seperti pepatah adat Nan bancah ditanami banieh, nan kareh dibuek ladang (yang rawa dijadikan sawah, yang keras dijadikan ladang). Sehingga pengelolaan sumber daya hutan yang berdasarkan keseimbangan alam tersebut menjadi landasan untuk menentukan pemanfaatan lahan, baik untuk persawahan, perladangan maupun dalam pemanfaatan hutan.

28

Pemanfaatan hutan dan hasil hutan merupakan mata pencaharian sebagai tambahan bagi masyarakat. Mata pencaharian utama masyarakat Simanau adalah dari bertani dan berladang. Pengelolaan dan pemanfaatan pertanian, perladangan dan hasil hutan yang berada di atas pusako tinggi (ulayat suku/kaum) dan diatas ulayat nagari apabila untuk kebutuhan sendiri dan untuk masyarakat (misalnya untuk pembangunan rumah, mushalla, balai-balai adat dan keperluan publik lainnya) tidak dikenakan bungo. Namun sebaliknya, apabila pemanfaatan tersebut untuk tujuan komersial, mencari keuntungan, misalnya untuk diperdagangkan di luar komunitas atau nagari maka akan dikenakan bungo.

Bungo adalah semacam pajak yang diberlakukan atas pemanfaatan sumber daya alam nagari yang bertujuan untuk mencari keuntungan dan untuk kepentingan komersil. Bagi masyarakat nagari, bungo merupakan salah satu bentuk pengendalian pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Besarnya bungo bagi pemanfaatan sumberdaya alam adalah 10% dari total pendapatan pemanfaatan sumber daya alam. Selain itu, bungo menjadi salah satu bentuk kompensasi bagi masyarakat nagari atas pemanfaatan sumber daya alam yang diperdagangkan. Adapun bentuk-bentuk bungo yaitu; pertama; Bungo Ampiang terhadap ladang atau parak dan sawah, kedua; Bungo Rimbo/Kayu terhadap pemungutan hasil hutan kayu, dan ketiga; Bungo Ameh terhadap hasil tambang.

5.2 Efektifitas Aturan Nagari dalam Mengatur Penguasaan dan