• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelembagaan Penyelenggara Pemilu

Dalam dokumen EVALUASI PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF tahun (Halaman 101-105)

EVALUASI PEMILU LEGISLATIF 2014: PROVINSI DIY

2. Kelembagaan Penyelenggara Pemilu

Rekrutmen dari lembaga penyelenggara pemilu adalah salah satu kunci dari kesuksesan penyelenggaraan pileg 2014 di wilayah DIY. Proses rekrutmen untuk komisioner KPU DIY dan KPU kabupaten/kota di wilayah DIY telah berjalan dengan sangat baik sesuai dengan UU Penyelenggara Pemilu. Proses tersebut melibatkan unsur akademisi, profesional dan tokoh masyarakat yang memang memiliki integritas. Bahkan, dalam proses rekrutmen komisioner KPU DIY, untuk menentukan urutan 10 besar dari para kandidat komisioner KPU DIY, panitia seleksi melakukan tracking. Bekerjasama dengan Pukat (Pusat Kajian Anti Korupsi) UGM metode tersebut dilakukan dalam rangka mendapatkan informasi yang mendetail tentang latar belakang masing-masing kandidat. Metode ini merupakan sebuah terobosan karena sebenarnya tidak diwajibkan dalam UU Penyelenggara Pemilu.61 Sedangkan untuk KPU kabupaten/kota, panitia seleksi melakukan proses klarifikasi kepada masyarakat secara aktif. Terobosan ini tentu saja perlu mendapat apresiasi dalam rangka melahirkan penyelenggara pemilu yang memiiliki prinsip-prinsip sebagaimana diatur dalam UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu.

Proses rekrutmen yang hampir sama juga dilakukan oleh lembaga pengawas (Bawaslu dan Panwaslu). Proses tersebut melibatkan unsur akademisi, profesional dan tokoh masyarakat yang memang memiliki integritas. Namun demikian, dari pengamatan sekilas, proses rekrutmen yang diselenggarakan oleh lembaga pengawas tidak terlalu mendapat perhatian yang cukup luas di kalangan masyarakat jika dibandingkan dengan proses rekrutmen yang diselenggarakanoleh KPU. Sebagai tambahan informasi, rekrutmen untuk lembaga pengawas pemilu diselenggarakan lebih awal dari rekrutmen untuk KPUD. Di beberapa kabupaten dan kota di DIY, sebagian anggota terpilih dari lembaga pengawas pemilu kemudian mengikuti proses rekrutmen yang dilakukan oleh KPUD. Penulis (Mada Sukmajati) ketika menjadi anggota Timsel KPU Bantul di tahun 2013 menanyakan hal ini kepada salah seorang kandidat yang pada saat bersamaan masih menjadi anggota Panwaslu Kabupaten Bantul. Narasumber tersebut mengatakan bahwa meski telah menjadi anggota Panwaslu di Kabupaten bantul, dia tetap tertarik untuk menjadi anggota KPU Kabupaten Bantul karena dia percaya bahwa lembaga KPU lebih mapan dibandingkan dengan lembaga Panwaslu.62

Namun demikian, beberapa masalah masih tetap muncul dalam proses rekrutmen untuk panitia ad hoc. Hal ini seperti yang tertera dalam dokumen Laporan Evaluasi yang disusun oleh KPU DIY yang menjelaskan setidaknya delapan poin permasalahan dalam rekrutmen panitia ad hoc, yaitu:63

1. Pembentukan PPS bersama-sama PPK sehingga PPK tidak bisa memberikan masukan ke PPS.

2. PPS diusulkan oleh kepala desa dan BPD sehingga hasil tidak maksimal. Ketua KPU DIY menambahkan bahwa panitia ad hoc biasanya diisi oleh mereka yang di pemilu- pemilu sebelumnya telah menjadi anggota dari panitia ad hoc.64 Narasumber lain menyampaikan bahwa tidak sedikit anggota PPS yang merupakan rekomendasi dari

60

Wawancara dengan Bambang Prastowo (Wakil Ketua DPD PDIP DIY dan Ketua Timses Jokowi-JK di DIY), 5 Desember 2014.

61

Wawancara dengan AAGN Ari Dwipayana (Ketua Timsel KPU DIY), 4 Desember 2014. 62

Wawancara dengan AAGN Ari Dwipayana (Ketua Timsel KPU DIY), 4 Desember 2014. 63

Dokumen Evaluasi Pileg 2014 yang disusun oleh KPU DIY. 64

101

kepala desa, meskipun tidak cukup mampu melakukan tugas-tugas dengan baik. Sebagian dari mereka juga adalah orang dekatnya lurah, misalnya timses dari lurah tersebut.65 3. Jadwal pembentukan paniti ad hoc terlalu mepet sehingga proses rekuitmen dilakukan

secara agak terburu-buru.

4. Jumlah anggota PPS bagi yang membawahi TPS banyak.

5. Syarat KPPS terlalu berat, yaitu lulusan SLTA. Di beberapa daerah persyaratan ini terlalu berat untuk dapat dipenuhi, misalnya di beberapa daerah di Kabupaten Gunung Kidul. 6. Anggota KPPS diusulkan oleh kepala Dukuh tanpa melihat kemampuan dan usia. Proses

rekrutmen panitia ad hoc juga tidak jarang dimaknai sebagai proses yang “rutin” sehingga panitia ad hoc lebih banyak diisi dengan muka-muka lama.

7. Bimbingan teknis (bimtek) untuk KPPS hanya bisa untuk satu orang karena keterbatasan anggaran. Selain soal substansi yang rumit, problem bimtek juga terkait dengan metode yang cenderung membosankan.

8. KPPS kurang memahami tatacata pemungutan dan penghitungan suara. Karena kebanyakan diisi oleh muka-muka lama, panitia ad hoc cenderung tidak mau memahami aturan yang baru di pileg 2014 sehingga mengasumsikan bahwa aturan dari satu pemilu ke pemilu yang lain adalah sama. Selain itu, hampir semua anggota dari panitia ad hoc tidak memiliki ketrampilan dalam pengelolaan keuangan.

Dari hasil observasi ketika hari pemungutan suara, terlihat bahwa semakin rendahnya semangat kesukarelaan di kalangan panitia ad hoc. Padahal kesukarelaan adalah salah satu sikap dalam menumbuhkembangkan tradisi demokrasi. Tidak mengherankan seringkali anggota panitia ad hoc ini mengeluhkan soal honorarium mereka. Kesemua ini kemudian membawa akibat pada kurang maksimalnya proses penyelenggaraan pemilu di tingkatan akar rumput.

Satu hal lain yang perlu dicatat terkait dengan kelembagaan penyelenggara pemilu ini adalah sinergi antara KPU dan Bawaslu serta sinergi antara penyelenggara pemilu dan pemerintah daerah. Sampai sejauh ini, kita masih melihat bahwa sinergi antara KPU dan Bawaslu masih kurang optimal. Relasi kedua lembaga ini sepertinya masih kompetitif dan, tidak jarang, masih saling melempar tanggung jawab satu sama lain. Salah satu indikasinya adalah dalam proses pembuatan laporan evaluasi, dimana KPU dan Bawaslu membuat forum yang terpisah satu sama lain sehingga laporan evaluasi tentang pileg 2014 juga terpisah. Idealnya, kedua lembaga ini melakukan evaluasi secara bersama-sama sehingga dapat menghasilkan dokumen evaluasi yang komprehensif. Selain itu, sinergi antara lembaga penyelenggara pemilu dengan pemerintah daerah juga belum dapat berjalan dengan maksimal. Sebagai contoh, seperti yang sudah disinggung di atas, belum ada koordinasi yang efektif dalam pemasangan APK yang berakibat pada pemasangan APK yang tidak etis, tidak pro lingkungan dan bahkan mengganggu aktivitas keseharian masyarakat.

Namun demikian, uraian di atas tidak berarti bahwa tidak ada koordinasi dan dinergi diantara KPU dan Bawaslu di DIY. Dalam banyak hal, kedua lembaga penyelenggara pemilu ini telah berupaya untuk melakukan koordinasi. Sebagai contoh saat tahapan pelaksanaan kampanye terbuka, dimana lembaga penyelenggara pemilu menemukan adanya pelanggaran. Temuan ini kemudian disampaikan kepada KPU disertai dengan rekomendasi. KPU kemudian menindaklanjuti rekomendasi tersebut dengan memberikan peringatan bagi pihak pelanggar.66

Hal yang juga berlaku dalam konteks relasi antara penyelenggara pemilu dan peserta pemilu. Semua narasumber yang kami wawancarai mengatakan bahwa sikap dan perilaku

65

Wawancara dengan Titok Haryanto (anggota Koalisi Pemilih Kritis/KPK dan mantan anggota KPU KotaYogyakarta ), 5 Desember 2014.

66

Wawancara dengan Muhammad Najib (Ketua Bawaslu DIY), 9 Desember 2014; Wawancara dengan Hamdan Kurniawan (Ketua KPU DIY), 7 November 2014.

102

dari lembaga penyelenggara pemilu di pileg 2014 kali ini adalah lebih baik dibandingkan dengan di semua pileg di periode sebelumnya. Penilaian yang sama juga datang dari berbagai kalangan akademisi di luar negeri.67 Salah satu yang diapresiasi oleh peserta pemilu adalah sikap independensi dari lembaga penyelenggara pemilu. Menurut salah seorang narasumber, salah satu contoh dari meningkatnya kualitas penyelenggara pemilu kali ini adalah dalam hal pengaturan kampanye. Pihak penyelenggara melakukan komunikasi yang intensif dan sejak jauh-jauh hari dengan peserta pemilu dalam proses pembuatan jadwal kampanye dalam rangka meminimalisir ekses negatif dari pelaksanaan kampanye terbuka. Hal-hal seperti ini yang juga menjadi faktor tidak adanya perkara yang diajukan oleh peserta pemilu terkait dengan PHPU.68 Contoh lain, penyelenggara pemilu juga dapat menjaga otonominya dari intervensi peserta pemilu. Hal ini terjadi ketika penyelenggara pemilu membuat keputusan terkait dengan pembatan seorang caleg karena tidak memenuhi persyaratan yang ada. Meskipun mendapat tekanan, tidak saja dari caleg, tapi juga dari pengurus partai politik asal caleg tersebut, penyelenggara pemilu tetap pada keputusannya tersebut.69

3. Sosialisasi

Yang seringkali menjadi masalah dalam setiap perhelatan pemilu adalah sosialisasi tentang kepemiluan. Meskipun sudah beberapa kali kita menggelar hajatan politik ini, namun masyarakat masih seringkali merasakan bahwa sosialisasi kepemiluan dirasakan masih kurang. Salah seorang narasumber menjelaskan bahwa tidak sedikit masyarakat yang masih belum memiliki pemahaman terkait dengan apakah pemilih harus mencoblos gambar partai politik atau kandidat. Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari faktor pemilih sendiri yang semakin lama semakin apatis, apolitis, atau pragmatis sehingga tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga politik seperti pemilu, partai politik dan parlemen semakin lama semakin rendah.70

Namun demikian, bekerjasama dengan KPU RI, KPU DIY sebenarnya telah berusaha untuk melakukan sosialisasi kepemiluan. Sebagai contoh, KPU telah membuat acara KPU Goes to Campus yang salah satunya diselenggarakan di UGM. Acara ini dikemas sedemikian rupa sehingga tidak membosankan bagi peserta yang sebagian diantara mereka adalah pemilih pemula. Contoh lain, KPU juga telah membuat program Relawan Demokrasi. Upaya- upaya seperti ini juga perlu mendapat apresiasi, meskipun perlu ada berbagai perbaikan di masa mendatang.

Serangkaian masalah masih mewarnai pelaksanaan sosialisasi tentang kepemiluan di pileg 2014. Seperti yang dijelaskan di dokumen Evaluasi Pemilu yang disusun oleh KPU DIY, setidaknya ada empat masalah yang perlu mendapat perhatian. Pertama adalah tidak adanya kegiatan sosialisasi untuk tingkatan kecamatan, desa dan dusun. Hal ini sangat terkait dengan keterbatasan anggaran yang dimiliki oleh KPU. Kedua adalah hubungan antara panitia ad hoc dan Relawan Demokrasi yang masih kurang sinergis. Sepertinya kedua pihak ini terpisah satu sama lain. Ketiga adalah masih rendahnya koordinasi antara KPU dan pemerintah daerah yang menyebabkan adanya duplikasi dalam pencetakan materi sosialisasi. Keempat adalah terlambatnya pencetakan materi sosialisasi untuk pemilu DPRD kabupaten/kota yang sempat mengganggu kegiatan sosialisasi.71

67

Sebagai contoh, lihat Yuki Fukuoka dan Chanintira na Thalang. “The legislative and presidential elections in Indonesia in 2014.” Electoral Studies, Vol. 36, 2014, hal. 210-239.

68

Wawancara dengan Bambang Prastowo (Wakil Ketua DPD PDIP DIY dan Ketua Timses Jokowi-JK di DIY), 5 Desember 2014.

69

Wawancara dengan Gunawan Hartono (caleg DPR Kota Yogyakarta DPR Kota Yogyakarta tidak jadi dari PDIP), 4 Desember 2014.

70

Wawancara via email dengan Ambar Tjahyono (caleg DPR RI jadi dari Partai Demokrat), 26 Desember 2014.

71

103

Salah seorang narasumber menjelaskan bahwa target sosialisasi penyelenggara pemilu sangat terbatas pada pemilih. Padahal, partai politik juga seyogyanya menjadi target dari sosialisasi tentang kepemiluan dari lembaga penyelenggara pemilu. Masih menurutnya, peran partai politik sama pentingnya dengan peran pemilih dalam menyukseskan penyelenggaraan pemilu.72 Dari sisi penyelenggara, menurut narasumber yang lain, sosialisasi kepemiluan sebenarnya tidak dapat hanya dilakukan oleh lembaga penyelenggara pemilu. Pihak lain, terutama peserta pemilu juga memiliki kewajiban untuk melakukan sosialisasi kepemiluan dalam konteks pendidikan politik. Namun demikian, terutama dengan sistem pemilu proporsional daftar terbuka, sosialisasi kepemiluan tidak mudah dilakukan oleh partai politik atau kandidat. Alih-alih melakukan sosialisasi kepemiluan atau bahkan sosialisasi visi dan misi serta program partai politik, para caleg melakukan sosialisasi profil mereka sendiri kepada pemilih dalam rangka mendapatkan dukungan politik.73

Narasumber lain menjelaskan bahwa sosialisasi kepemiluan dari lembaga penyelenggara pemilu untuk kelompok-kelompok difabel masih sangat kurang. Tidak mengherankan jika banyak pemilih dari kelompok difabel yang masih bingung dalam menggunakan hak politiknya.74 Untuk meningkatkan partisipasi pemilih dari kelompok difabel, KPU sebenarnya telah melakukan setidaknya dua upaya. Pertama adalah fasilitas khusus yang terdapat di kertas suara bagi pemilih tunanetra. Kedua adalah pelibatan dari perwakilan kelompok difabel ke dalam aktivitas kepemiluan melalui kegiatan Relawan Demokrasi yang dibuat oleh KPU dan kegiatan pemantauan partisipatif yang dibuat oleh Bawaslu/Panwaslu. Harapannya, perwakilan ini akan dapat mendorong partisipasi pemilih dari kelompok difabel yang lain. Kedua upaya ini juga perlu mendapat apresiasi, meskipun upaya peningkatan masih perlu dilakukan di masa mendatang.

Yang juga perlu dicatat, para pegiat pemilu di Yogyakarta telah mendirikan posko Koalisi Pemilih Kritis (KPS) pada pileg 2014 lalu. Koalisi ini terdiri dari duapuluh lembaga pro demokrasi dan pro pemberantasan korupsi. Ada dua tujuan utama dari pendirian posko ini, yaitu menampung aspirasi dan temuan masyarakat terkait dengan pelanggaran atau informasi umum tentang proses penyelenggaraan pemilu. Masyarakat dapat menyaluran aspirasi dan temuannya, baik dengan langsung datang ke posko ini, atau melalui layanan telepon dan SMS. Selain itu, posko ini juga memberikan dukungan kepada masyarakat untuk memilih wakil rakyat yang baik melalui tracking kelengkapan dokumen administratif dan isu-isu substantif, misalnya rekam jejak kandidat terkait isu korupsi dan demokrasi. Salah seorang penggiat kegiatan ini menyatakan bahwa meskipun realisasi target dari kegiatan ini masih sangat rendah, tapi program ini juga telah memberi kontribusi bagi proses penyelenggaraan pileg 2014 di DIY. Salah satu kelemahan dari program ini adalah dari sisi waktu, dimana program ini baru diimplementasikan menjelang hari pemungutan suara.75

Selain program ini, para pegiat pemilu juga memiliki program yang lain. Sebagai contoh, Walhi yang fokus pada isu lingkungan melakukan tracking pada caleg yang melakukan pelanggaran terhadap lingkungan, misalnya caleg yang melakukan pemasangan atribut di pohon sehingga melahirkan sampah visual. Aktivis dari kelompok perempuan juga membentuk koalisi khusus perempuan di parlemen untuk memberikan perspektif gender pada caleg perempuan yang baru maupun incumbent. Sedangkan dari kelompok difabel juga memiliki program untuk mendorong kelompok difabel mendapat fasilitas dalam proses pemungutan suara.

72

Wawancara dengan Muhammad Jazir (tokoh masyarakat), 9 Desember 2014. 73

Wawancara dengan Gunawan Hartono (caleg DPR Kota Yogyakarta DPR Kota Yogyakarta tidak jadi dari PDIP), 4 Desember 2014.

74

Wawancara dengan Kuma (Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat/JPPR), 5 Desember 2014. 75

Wawancara dengan Titok Haryanto (anggota Koalisi Pemilih Kritis/KPK dan mantan anggota KPU KotaYogyakarta ), 5 Desember 2014.

104

Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah adanya persepsi yang sudah berkembang di kalangan masyarakat bahwa pemilu adalah hanya sebatas memberikan pilihan (mencoblos). Padahal, tahapan pemilu tidak hanya soal pemungutan suara. Semua tahapan pemilu sebenarnya sangat memerlukan partisipasi masyarakat, misalnya tahapan pendaftaran pemilih dan tahapan pengenalan calon ketika Daftar Calon Sementara (DCS) diumumkan dan ketika DCT ditetapkan oleh KPU. Masyarakat perlu ikut berpartisipasi dalam tahapan pemilu sejak awal untuk memastikan mereka tidak sekedar membeli kucing dalam karung.

Proses Pemilu

Setidaknya, terdapat beberapa isu utama yang harus didiskusikan dalam proses pemilu, yaitu data pemilih, pendaftaran peserta pemilu, pencalonan atau kandidasi, logistik, dan pemungutan serta penghitungan suara. Yang perlu menjadi perhatian, seperti yang disampaikan oleh salah seorang narasumber, adalah bahwa Yogyakarta adalah barometer dari situasi politik nasional. Konteks inilah yang menjadi perhatian dari semua elit politik di daerah ini. Mereka berusaha untuk terus berkomunikasi dalam rangka menciptakan suasana kondusif selama proses penyelenggaraan pemilu. Di tingkatan elit, kesadaran seperti ini sebenarnya sudah menjadi pemahaman bersama. Ada banyak faktor yang melahirkan situasi seperti ini, misalnya tingkat pendidikan yang tinggi, budaya politik yang semakin matang, dan wilayah administratif DIY yang tidak luas. Namun demikian, di tingkatan akar rumput, hal ini belum sepenuhnya menjadi kesadaran bersama. Apalagi dengan adanya indikasi bahwa ada pihak-pihak tertentu yang juga berusaha untuk melakukan provokasi karena mereka tidak ingin pemilu berlangsung damai di Yogyakarta.76

Dalam dokumen EVALUASI PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF tahun (Halaman 101-105)