• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.5 Kelembagaan di subak

melembaga, subak memperoleh sisa hasil usaha (SHU) setiap tahun. Anggota subak yang juga menjadi anggota koperasi tani, memperoleh kemudahan dalam mendapat sarana produksi (Saprodi) dan alat-alat mesin pertanian (alsintan) dengan mekanisme yang berbeda-beda antar subak, serta memperoleh kemudahan dalam meminjam modal baik untuk kepentingan usahatani maupun non usahatani.

3. Dalam upaya mengintensifikasikan budidaya tanaman pangan, subak memperoleh informasi inovasi di bidang pertanian melalui Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) yang merupakan kepanjangan tangan dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan. Petugas Organisme Pengganggu Tumbuhan (POPT), mempunyai status dan menjalankan peranan yang sama dengan PPL, tapi khusus pada bidang hama dan penyakit tumbuhan terpadu, dengan tetap memperhatikan nilai-nilai tradisional seperti Nangluk Merana.

4. Kemudahan lain yang dimiliki oleh subak (sebagai contoh di Kota Denpasar), berupa subsidi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dari pemerintah dan Unit PelayananSarana Produksi Padi (UPS). Setiap daerah memiliki cara berbeda-beda dalam upaya melestarikan dan menjaga subak yang ada di Bali.

2.1.5Kelembagaan di subak

Kelembagaan pertanian adalah norma atau kebiasaan yang terstruktur dan terpola serta dipraktekkan terus menerus untuk memenuhi kebutuhan anggota masyarakat yang terkait erat dengan penghidupan dari bidang pertanian di pedesaan. Dalam kehidupan komunitas petani, posisi dan fungsi kelembagaan

26

petani merupakan bagian pranata sosial yang memfasilitasi interaksi sosial atau

social interplay dalam suatu komunitas (Nasrul, 2012).

Kelembagaan dan lembaga pada hakekatnya mempunyai perbedaan. Dilihat dari aspek kajian sosial, lembaga merupakan pola perilaku yang selalu berulang dan bersifat kokoh serta dihargai oleh masyarakat (Huntington,1968). Dinyatakan oleh Uphoff (1986) lembaga adalah sekumpulan norma dan perilaku yang telah berlangsung dalam waktu yang lama dan digunakan untuk mencapai tujuan bersama, sedangkan kelembagaan adalah suatu jaringan yang terdiri dari sejumlah orang atau lembaga untuk tujuan tertentu, memiliki aturan dan norma, serta memiliki struktur atau pola.

Subak merupakan sistem irigasi yang berbasis petani dan lembaga yang mandiri (Sutawan, 2008). Subak merupakan sistem kelembagaan adat lokal Bali yang mengatur pengelolaan usaha tani secara komprehensif, khususnya dalam mengatur sistem irigasi berupa pengelolaan air. Subak secara resmi telah dinobatkan sebagai landscape warisan budaya dunia oleh UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization). Penobatan itu menjadi alasan kuat bahwa sistem kelembagaan lokal subak dapat digolongkan sebagai salah satu bentuk demokrasi tertua di dunia. Mulai dari sistem pembagian air, pola kelembagaan, hingga struktur organisasinya menggunakan filosofi demokrasi yang tidak diadopsi dari luar, namun tumbuh dan berkembang dari tradisi masyarakat Bali. Banyak yang berharap nantinya subak dapat menjadi konsep pembangunan berkelanjutan di dunia.

27

Sebagai suatu lembaga, meskipun tradisional, subak memiliki unsur-unsur pokok organisasi. Struktur organisasi subak umumnya disesuaikan dengan keadaan dari subak sendiri. Semakin kompleks kondisi jaringan irigasi dan fasilitas fisik lainnya selain jaringan irigasi, maka struktur organisasi akan makin kompleks (Windia dkk, 2015). Dalam lingkup organisasi paling sederhana, struktur organisasi subak hanya terdiri atas ketua atau yang biasa disebut kelian subak atau pekaseh, wakil ketua atau yang biasa disebut petajuh atau pangliman

dan anggota subak atau krama subak. Namun, ada pula struktur organisasi subak yang sudah memiliki karakteristik organisasi modern yang terdiri atas

kelian/pekaseh (setara ketua dalam organsasi), petajuh (wakil ketua), penyarikan

(sekretaris), juru raksa (bendahara), serta krama subak (anggota subak). Sturktur organisasi suatu subak tergantung kebutuhan dan keadaan dari organisasi subak sendiri (Windia dkk, 2015).

Suatu bentuk kelembagaan yang timbul di suatu daerah tidak lepas dari kondisi sumber daya setempat, lingkungan, dan norma yang berlaku di mayarakat (Gunawan, 1989). Subak sebagai suatu lembaga memiliki aturan atau norma yang disebut awig-awig dan perarem. Aturan dan norma-norma yang ada mengatur kegiatan-kegiatan yang ada di dalam subak. Masing-masing subak memiliki awig-awig dan perarem yang berbeda-beda. Hal tersebut dikarenakan, awig-awig dan

perarem yang dibuat berdasarkan kebiasaan dan kebudayaan yang telah ada di dalam subak (Windia dkk, 2015).

Subak juga memiliki sanksi untuk anggota sebagai bentuk apresiasi dari tindakan anggota subak. Sanksi merupakan bentuk imbalan atau balasan yang

28

diberikan kepada seseorang atas perilakunya. Sanksi dapat berupa sanksi positif, contohnya pemberian hadiah (reward) dan dapat pula berupa sanksi negaif, contohnya pemberian hukuman (punishment). Sanksi yang diterapkan setiap subak berbeda-beda, tergantung pada kesepakatan dan kebiasaan yang ada dalam subak yang telah diwariskan dan telah diatur dalam awig-awig atau perarem

subak (Windia dkk, 2015).

Dikemukakan oleh Windia, dkk, (2015) kekuatan subak pada dasarnya muncul dari kesepakatan yang dilaksanakan umumnya berdasarkan konsensus. Sangat jarang subak melaksanakan kesepakatan berdasarkan voting. Hal ini ditunjukkan ketika suatu subak melakukan rapat (paruman), setiap pengambilan keputusan dalam rapat atau paruman subak biasanya menggunakan kesepakatan bersama anggota subak. Hal ini dikarenakan subak berfungsi sosial. Komunikasi dan interaksi sosial menjadi peran penting dalam subak. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan subak selalu berdasarkan kesepakatan bersama dalam suatu rapat.

Kebersamaan di subak ditunjukkan dengan adanya gotong-royong baik untuk memelihara atau memperbaiki jaringan irigasi. Gotong-royong dalam subak juga biasa dilakukan dalam persiapan upacara keagamaan dalam Pura subak. Gotong-royong petani dalam subak menjadi bentuk hubungan sosial yang sangat kental dalam subak. Gotong-royong menjadi bentuk interaksi yang bersifat positif guna mencapai tujuan bersama. Gotong-royong merupakan implementasi dari Tri Hita Karana karena menunjukkan hubungan antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan. Kegitan gotong-royong

29

di dalam subak dapat pula dikatakan sudah melembaga dan menjadi kegiatan yang menjadi ciri khas dalam subak (Windia, dkk, 2015).

Bentuk kelembagaan dalam subak dapat dilihat dari hubungan kerja pertanian yang terjadi di dalam subak. Dikemukakan oleh Rachmat dan Muslim (2011) kelembagaan hubungan kerja pertanian merupakan institusi yang sudah mengakar di masyarakat petani, terutama pada usahatani padi. Subak sebagai suatu kelembagaan juga tidak lepas dari hubungan kerja pertanian. Terdapat beberapa hubungan kerja pertanian yang sering dijumpai di subak, meliputi sistem tolong-menolong, sistem bawon, sistem upah, sistem sewa, dan sistem sakap.

Sistem tolong-menolong di subak merupakan kegiatan antara petani dengan petani lainnya dalam melakukan suatu kegiatan di subak. Sistem tolong-menolong lebih cenderung pada sistem kekeluargaan. Timbal balik dari hubungan tolong-menolong ini tidak bersifat kekeluargaan atau tidak menentu. Tolong-tolong-menolong antar petani biasanya dilakukan dalam kegiatan mencabut dan menanam bibit, membersihkan gulma, dan membantu memanen.

Sistem bawon merupakan kegiatan bagi hasil dari proses panen antara tenaga panen dengan petani. Bawon berasal dari bahasa Jawa Nomina (kata benda) yang berarti pembagian upah memanen padi berdasarkan banyak sedikitnya padi yang dipotong (KBBI, 2012). Tenaga panen sistem bawon tidak dibayar dengan uang, namun dibayar menggunakan hasil panen itu sendiri.

Sistem upah merupakan hubungan antara petani dengan pekerja upahan yang dipekerjakan dalam membantu tugas petani. Tenaga upahan ini bekerja sesuai perintah dari petani yang mempekerjakannya. Upah yang didapat oleh

30

tenaga upahan tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak. Biasanya tenaga upahan ini diminta melakukan kegiatan-kegiatan seperti memanen, mencabut gulma, memperbaiki fasilitas irigasi, dan lain sebagainya.

Sistem sewa merupakan kegiatan petani yang melakukan kegiatan penyewaan dalam kegiatan usahatani. Penyewaan ini dapat berupa petani yang menyewa lahan lain yang akan dia garap sendiri. Penyewaan lahan ini biasanya dilakukan oleh petani yang ingin memperluas lahan garapannya. Selain menyewa lahan, petani juga biasanya melakukan penyewaan untuk alsinta seperti traktor. Hubungan penyewa dan pelaku yang menyewakan merupakan hubungan timbal balik yang saling menguntungkan.

Sistem sakap merupakan hubungan antara pemilik lahan dengan petani penyakap dengan pembagian hasil tertentu, sesuai kesepakatan. Sistem ini mampu menjembatani kebutuhan pemilik lahan terhadap tenaga kerja untuk mengelola lahannya dan kebutuhan terhadap lahan garapan dari kelompok petani yang tidak memiliki lahan (landless). Hubungan kerja pertanian di subak menjadi hubungan timbal balik yang saling menguntungkan.

Melaksanakan kegiata ritual di subak merupakan aktivitas yang telah melembaga di subak. Ritual keagamaan merupakan aktivitas yang sulit dipisahkan pada setiap kegiatan-kegiatan di subak. Ritual keagamaan merupakan penerapan konsep Tri Hita Karana, yang diharapkan menciptakan hubungan harmonis antara Tuhan sebagai pencipta dan manusia sebagi ciptaan-Nya.

31

Dokumen terkait