• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelengkapan Kota Pakuan Pajajaran

BAB II PRABU SILIWANGI DAN PAKUAN PAJAJARAN

II. 2.2.2.3 Laporan Abraham van Riebeeck

II.2.4 Kelengkapan Kota Pakuan Pajajaran

Sebagaimana mertuanya, Prabu Siliwangi memilih Pakuan sebagai pusat pemerintahannya. Secara keseluruhan, lokasi keratonnya tidak dilindungi oleh tembok benteng buatan sebagaimana keraton lain pada umumnya. Meski demikian, benteng Pakuan tidak kalah tangguh. Kota ini diapit oleh dua sungai besar, Ciliwung dan Cisadane, yang dibagian tengahnya mengalir sungai Cipakancilan.

Masayarakat dengan latar belakang kebudayaan sawah menganggap bahwa lahan yang ideal untuk pusat pemerintahan adalah lahan yang datar, luas, dialiri sungai dan terlindung pegunungan. Lahan seperti itu diberi istilah topografik. Demikian misalnya kota Garut,Bandung dan Tasikmalaya dibangun pada lokasi yang memenuhi syarat tersebut. Sedangkan kota-kota seperti Bogor, Sukabumi dan Cianjur dibangun berdasarkan konseppengembangan perkebunan.

Pakuan merupakan lokasi dataran tinggi yang satu sisinya terbuka menghadap ke arah Gunung Pangrango. Tebing Ciliwung, Cisadane dan Cipaku merupakan pelindung alami.

II.2.4.1 Keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati

Didalam naskah Sunda kuno, seperti Carita Parahyangan disebutkan adanya bangunan keraton kerajaan Sunda yang disebut Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Menururt tafsiran Poerbatjaraka (seperti dikutip Danasasmita, 2014), Pakuan Pajajaran adalah bangunan istana yang berjajar. Menurutnya kata Pakuan sangat mungkin pakuwan atau pakuwon, kata ini masih berasal dari kata pa + kuwu + an dalam bahasa Jawa sekarang, asal kata dari akuwu atau kuwu yang berarti pemimpin daerah tertentu (Poerbatjaraka, 1921). Dengan demikian nama keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati seharusnya berwujud 5 bangunan keraton yang berdiri berjajar.

Gambar II.2 Ilustrasi Keraton Sunda

sumber: http://img08.deviantart.net/9339/i/2012/041/2/3/pajajaran_by_dezygn-d4p97uy.jpg [4 Juni 2015]

II.2.4.2 Telaga Sang Hiyang Rena Mahawijaya

Menurut Pantun Bogor, asalnya bernama Rena Wijaya dan kemudian berubah menjadi Rancamaya. Akan tetapi, menurut naskah kuno, penamaannya malah dibalik, setelah menjadi telaga kemudian dinamai Rena Maha Wijaya (terungkap pada prasasti). "Talaga" mengandung arti kolam. Orang Sunda biasanya menyebut telaga untuk kolam bening di pegunungan atau tempat yang sunyi. Rancamaya terletak kira-kira 7 km di sebelah tenggara Kota Bogor, telaga ini memiliki mata air yang jernih.

Gambar II.3 Perkiraan lokasi Talaga Sang Hyang Rena Mahawijaya sumber: buitenzorghistorianlovers.blogspot.com [27 April 2015]

II.2.4.3 Bukit Bagidul

Bukit Bagidul merupakan tanda peringatan berupa gunung-gunungan di daerah Rancamaya, tempat upacara dan menyemayamkan abu jenazah raja-raja tertentu. Bukit Bagidul kemungkinan waktu itu dijadikan bukit punden (bukit pemujaan). Bukit Bagidul memperoleh namanya dari penduduk karena bukit itu tampak gersang dengan bentuk seperti wajan terbalik. Bukit-bukit disekitarnya tampak subur. Bagidul hanya ditumbuhi jenis rumput tertentu yang pendek dan lahan kering.

Kedekatan talaga dengan bukit punden bukanlah tradisi baru. Menurut Pustaka Pararatwan I Bhumi Jawadwipa parwa 1 sarga 1, pada masa Purnawarman, raja beserta para pembesar Tarumanegara selalu melakukan mandi suci di Gangganadi yang terletak dalam Kerajaan Indrapharasta (Cirebon). Setelah bermandi-suci raja melakukan ziarah ke punden-punden yang terletak dekat sungai tersebut. Mungkin di Pajajaran pun demikian. Raja bermandi-suci di telaga Rancamaya kemudian melakukan ziarah dan ngembang di Bukit Bagadul.

Gambar II.4 Peralihan fungsi situs Bukit Badigul menjadi lapangan golf sumber: www.rancamaya.com [25 Juni 2015]

II.2.4.4 Lubuk Sipatahunan

Kisah-kisah klasik sering menyebut adanya sebuah lubuk yang bernama Sipatahunan. Menurut pantun Bogor, lubuk tersebut terletak pada aliran Ciliwung. Suhamir-Salmun menemuka bahwa pada aliran Ciliwung dalam Kebun Raya

terdapat tanda-tanda undakan batu yang mungkin merupakan peninggalan masa Pajajaran. Bagian itulah yang disebut dengan Leuwi Sipatuhanan.

Dalam kaitan ini berita dari pantun Bogor mengisahkan bahwa waktu pasukan Banten datang menyerbu, tanggul Leuwi Sipatuhaan di Lebak Pilar dibobolkan sehingga banyak prajurit Banten yang hanyut dan banyak potongan kayu jati bekas tanggul terdampar di tempat yang kemudian disebut Bantar Jati. Hal ini mengindikasikan bahwa adanya pandangan juru pantun terhadap kegunaan Leuwi Sipatuhaan sebagai sarana pertahanan.

Disamping itu, Sipatahunan berfungsi pula untuk keperluan kerajaan atau penduduk yang lain, diantaranya untuk munday (menangkap ikan). Kegiatan munday biasa dilakukan oleh anggota kerajaan sembari bercengkrama di Parakan Baranang Siang. Menurut tradisi, upacara penutupan tahun didahului oleh kegiatan berburu dan menangkap ikan yang hasilnya dijadikan bahan hidangan waktu upacara dilaksanakan.

Gambar II.5 Hilir Sipatahunan

sumber: http://patalagan.blogspot.com/2014/09/tapak-tapak-pajajaran.html [30 Juni 2015]

II.2.4.5 Prasasti Batutulis

Karya besar Sri Baduga Maharaja diabadikan dalam prasasti, baik yang dibuat atas perintahnya langsung, atau dibuat kemudian setelah ia meninggal dunia. Prasasti yang dibuat atas perintahnya adalah prasasti tembaga yang ditemukan di Kebantenan, Bekasi, sebanyak 5 lembar. Dari prasasti tersebut dapat diketahui, bahwa Sri Baduga Maharaja mengukuhkan status lemah dewasasana atau lurah

kawikuan di Sunda Sembawa, Gunung Samaya, dan Jayagiri. Pengukuhan batas-batas tanah tersebut, merupakan perlindungan terhadap tempat-tempat suci keagamaan. Selain itu, daerah-daerah tersebut dibebaskan dari 4 macam pajak: 1. Dasa, adalah pajak tenaga perorangan, yaitu kewajiban bekerja beberapa hari

dalam setahun untuk kerajaan.

2. Calagara, adalah pajak tenaga kolektif yang diambil dari suatu daerah, untuk kepentingan raja dan negara.

3. Kapas-timbang, upeti kapas sebanyak 10 pikul pertahun

4. Pare-dongdang, menyerahkan padi turiang, yaitu padi yang tumbuh di huma setelah dipanen dan ditinggalkan penggarapnya (peladang adalah petani yang berpindah-pindah tempat garapannya).

Karya Sri Baduga Maharaja, tercatat dalam prasasti Batutulis Bogor yang berangka tahun 1455 Saka. Angka tersebut menunjukan tahun 1533 Masehi. Sri Baduga Maharaja memerintah selama 39 tahun, dari tahun 1482 sampai 1521. Berarti prasasti tersebut dibuat setelah 12 tahun Sri Baduga Maharaja wafat, untuk kepentingan ngahiyangkeun atau ngiyangkeun (upacara penyempurnaan sukma yang diadakan 12 tahun setelah seorang raja wafat).

Terletak di Kelurahan Batutulis, Kecamatan Bogor Selatan, Kotamadya Bogor. Prasasti ini dibuat tahun 1533 oleh penerus Kerajaan Pajajaran, Prabu Surawisesa, sebagai penghormatan pada ayahnya, Sri Baduga Maharaja atau yang dikenal dengan nama Prabu Siliwangi.

Prasasti ini dibuat oleh Prabu Surawisesa juga sebagai bentuk penyesalannya karena tidak mampu mempertahankan keutuhan wilayah Pakuan Pajajaran akibat kalah perang dengan Kerajaan Cirebon.

Prasasti yang terpahat di batu tersebut tersusun dalam 9 baris kalimat dengan huruf Sunda Kawi. Kalimat-kalimat tersebut diartikan:

“Semoga selamat, ini tanda peringatan (untuk) Prabu Ratu almarhum. Dinobatkan

Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah

yang membuat parit (pertahanan) Pakuan.”

“Dia putera Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu

Rahiyang Niskala Wastu Kencana yang dipusarakan ke Nusa Larang. Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, membuat undakan untuk

hutan Samida, membuat Sahiyang Telaga Rena Mahawijaya dalam Saka 1455.”

Gambar II.6 Prasasti Batutulis, Bogor, Jawa Barat.

sumber: http://bogorphoto.blogspot.com/2014/02/prasasti-bogor [13 April 2015]

Di sebelah prasasti itu terdapat sebuah batu panjang yang sama tingginya dengan batu prasasti. Batu panjang tersebut mewakili sosok Surawisesa. Di depan batu prasasti ada dua buah batu. Pada batu bertama terdapat astatala (ukiran jejak tangan) dan pada batu kedua terdapat padatala (ukiran jejak kaki). Diyakini, pemasangan batu tulis itu bertepatan dengan upacara “penyempurnaan sukma”

yang dilakukan untuk memperingati 12 tahun wafatnya raja. Posisi batu-batu tersebut melambangkan rasa hormat Surawisesa terahdap ayahnya.

Dokumen terkait