• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. BAHAN DAN METODE

3.4 Analisis Data

4.1.2 Kelimpahan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Thalassiosira sp

Thalassiosira sp. memiliki pola pertumbuhan dengan dua buah puncak populasi yaitu hari ke-6 dengan nilai kelimpahan sebesar 0,90×106 sel/mL dan hari ke-9 dengan nilai kelimpahan sebesar 0,75×106 sel/mL. Thalassiosira sp. memiliki daya adaptasi yang lebih tinggi terhadap lingkungan dibandingkan Chaetoceros

gracilis. Keadaan ini dapat dilihat dari nilai µ pada hari ke-1 sebesar 1,754 dengan kelimpahan awal Thalassiosira sp sebesar 0,05×106 sel/mL yang meningkat menjadi 0,29×106 sel/mL. Laju pertumbuhan spesifik maksimum Thalassiosira sp. adalah sebesar 0,482.

Fase lag Thalassiosira sp. diduga terjadi dalam waktu kurang dari 24 jam.

Keadaan ini dapat dilihat dari bentuk grafik dan nilai µ yang menunjukan bahwa Thalassiosira sp. memiliki daya adaptasi yang tinggi sehingga waktu yang

dibutuhkan untuk beradapatasi terhadap lingkungan terlihat singkat yaitu kurang dari 24 jam. Fase eksponensial pada Thalassiosira sp. diduga terjadi pada waktu kurang dari 24 jam hingga hari ke-4 yang ditunjukan oleh adanya peningkatan drastis secara eksponensial. Fase stasioner diduga terjadi pada hari ke-4 hingga hari ke-6.

Keadaan ini dikarenakan laju pertumbuhan yang semakin menurun pada hari ke-4 hingga hari ke-6. Hal ini dapat dilihat dari nilai µ yang diperoleh pada hari ke-4 sebesar 0,134 yang menunjukan terjadinya penurunan laju pertumbuhan. Fase deklinasi dapat diduga terjadi pada hari ke-6 hingga hari ke-15. Namun pada hari ke-8 terdapat kenaikan laju pertumbuhan kembali hingga hari ke-9. Hal ini diduga karena Thalassiosira sp. memasuki periode kriptik di mana sel-sel yang masih hidup memanfaatkan tambahan nutrisi dari sel-sel mikroalga yang lisis untuk

pertumbuhannya sehingga dapat meningkatkan populasinya kembali (Suantika, 2009).

Setelah hari ke-9 kelimpahan Thalassiosira sp. semakin menurun hingga hari ke-15 dengan kelimpahan akhir sebesar 0,2×106 sel/mL. Penurunan nilai

kelimpahan ini juga dapat diduga karena berkurangnya mikronutrien sebagai faktor pembatas karena telah banyak dimanfaatkan selama fase eksponensial, adanya toksik yang dihasilkan oleh mikroalga itu sendiri sebagai hasil dari metabolisme yang meracuni mikroalga itu sendiri dan berkurangnya proses fotosintesis akibat bertambahnya jumlah sel sehingga hanya bagian permukaan kultur saja yang memperoleh cahaya (Riley dan Chester, 1971 dalam Nugraheny, 2001).

4.1.3 Kelimpahan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Chaetoceros gracilis Chaetoceros gracilis memiliki pola pertumbuhan dengan dua buah puncak populasi yang lebih besar nilai kelimpahannya dibandingkan dua spesies lainnya yaitu hari ke-5 dengan kelimpahan sebesar 7,3×106 sel/mL dan hari ke-9 sebesar 5,83×106 sel/mL. Chaetoceros gracilis juga memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungannya. Keadaan ini dapat dilihat dari nilai µ pada hari ke-1 sebesar 1,088. Hal ini dikarenakan lingkungan pada saat kultur memiliki kondisi yang sama pada lingkungan sebelumnya. Laju pertumbuhan spesifik maksimum Chaetoceros gracilis adalah sebesar 0,520.

Fase lag Chaetoceros gracilis dapat diduga terjadi dalam waktu kurang dari 24 jam. Hal ini dapat dilihat dari nilai kelimpahan dan bentuk grafik yang terjadi pada hari ke-1 yang menunjukan pola pertumbuhan yang langsung memasuki fase eksponensial. Fase eksponensial terjadi pada waktu kurang dari 24 jam hingga hari ke-3. Fase stasioner dapat diduga terjadi pada hari ke-3 hingga hari ke-5. Hal ini dapat dilihat dari nilai kelimpahan Chaetoceros gracilis yang semakin menurun pada hari ke-3 hingga hari ke-5. Selanjutnya terjadi fase deklinasi pada hari ke-5 hingga

hari ke-15. Keadaan ini dapat dilihat dari jumlah kelimpahan yang menurun pada hari ke-6. Kondisi ini juga dapat dilihat dari nilai µ (µ = -0,166) yang bernilai negatif pada saat memasuki hari ke-6.

Hari ke-9 terjadi peningkatan kelimpahan kembali. Keadaan ini dapat diduga karena sel-sel Chaetoceros gracilis memasuki periode kriptik di mana sel-sel Chaetoceros gracilis yang masih hidup memanfaatkan tambahan nutrisi dari sel-sel Chaetoceros gracilis yang lisis untuk pertumbuhannya sehingga dapat meningkatkan populasinya kembali (Suantika, 2009). Fase deklinasi berlanjut kembali hingga hari ke-15 dengan jumlah kelimpahan akhir sebesar 0,67×106 sel/mL. Fase deklinasi dapat terjadi karena nutrisi kultur telah habis dan terjadi akumulasi senyawa NH4+

dalam konsentrasi tinggi dan adanya produk ekstraseluler dari mikroalga yang meracuni diri sendiri sehingga dapat meningkatkan mortalitas Chaetoceros gracilis (Fogg, 1965 dalam Panggabean, 2000 dan Suantika, 2009).

Hasil yang dapat disimpulkan dari µmaks dan kelimpahan maksimum ketiga spesies diatom pada sistem indoor adalah Chaetoceros gracilis memiliki laju

pertumbuhan yang tertinggi dengan µmaks sebesar 0,520 dan kelimpahan maksimum sebesar 7,25×106 sel/mL diikuti Skeletonema costatum dengan µmaks sebesar 0,515 dan kelimpahan maksimum sebesar 1,97×106 sel/mL. Thalassiosira sp. memiliki µmaks terendah sebesar 0,482, dan kelimpahan maksimum terendah sebesar 0,90×106 sel/mL. Chaetoceros gracilis memiliki µmaks dan kelimpahan tertinggi karena memiliki kemampuan untuk memanfaatkan nutrisi dari sel-selnya yang telah lisis untuk meningkatkan populasi (Suantika, 2009).

4.2 Kelimpahan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Diatom Pada Sistem Outdoor Kultur pada sistem outdoor yang dilakukan selama 15 hari memperlihatkan pola pertumbuhan yang berbeda pada ketiga spesies diatom. Jumlah kelimpahan awal spesies diatom yang dikultivasi juga memiliki jumlah yang berbeda.

Skeletonema costatum memiliki kelimpahan awal sebesar 0,13×106 sel/mL, Thalassiosira sp. memiliki kelimpahan awal sebesar 0,11×106 sel/mL, dan

Chaetoceros gracilis memiliki kelimpahan awal sebesar 0,43×106 sel/mL. Tabel 3 dan Gambar 8 menunjukan kelimpahan dan laju pertumbuhan spesifik Diatom yang dikultur pada sistem outdoor.

Tabel 3. Kelimpahan (×106 sel/ml) dan laju pertumbuhan spesifik (µ) diatom pada sistem outdoor

Hari

Skeletonema costatum Thalassiosira sp. Chaetoceros gracilis

×106 sel/mL µ ×106 sel/mL µ ×106 sel/mL µ

Gambar 8. Grafik kelimpahan diatom pada sistem outdoor

4.2.1 Kelimpahan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Skeletonema costatum Pola pertumbuhan Skeletonema costatum pada sistem outdoor hanya memiliki satu buah puncak populasi pada hari ke-5 dengan nilai kelimpahan sebesar 1,61×106 sel/mL. Skeletonema costatum memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap

lingkungannya. Hal ini dapat dilihat dari nilai µ pada hari ke-1 yaitu sebesar 1,084.

µmaks pada Skeletonema costatum adalah sebesar 0,506.

Fase lag pada Skeletonema costatum diduga terjadi kurang dari 24 jam.

Keadaan ini dapat dilihat dari kelimpahan dan nilai µ pada hari ke-1 yang semula 0,13×106 sel/mL meningkat secara drastis menjadi 0,33×106 sel/mL dalam waktu 24 jam yang berarti bahwa Skeletonema costatum memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan barunya sehingga mampu tumbuh dengan laju yang cepat pada hari ke-1. Fase eksponensial diduga terjadi dalam waktu kurang dari 24 jam hingga hari ke-3. Fase stasioner yaitu laju pertumbuhan mengalami penurunan diduga terjadi pada hari ke-3 hingga hari ke-5. Keadaan ini ditunjukan dengan adanya nilai

µ yang semakin berkurang mendekati nilai 0 sebesar 0,042 pada saat memasuki hari ke-5. Fase deklinasi diduga terjadi pada hari ke-5 hingga hari ke-13. Kelimpahan akhir yang didapat pada hari ke-13 adalah sebesar 0,12×106 sel/mL. Keadaan ini ditunjukan dengan nilai µ yang bernilai negatif yaitu sebesar -0,211 yang artinya terjadi penurunan jumlah kelimpahan pada saat memasuki hari ke-6.

Pengamatan kelimpahan pada hari ke-14 menunjukan populasi Skeletonema costatum yang berjumlah 0. Turunnya laju pertumbuhan Skeletonema costatum dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu berkurangnya mikronutrien sebagai faktor pembatas karena telah banyak dimanfaatkan selama fase eksponensial dan adanya toksik yang dihasilkan oleh mikroalga itu sendiri sebagai hasil dari metabolisme yang meracuni mikroalga itu sendiri (Riley dan Chester, 1971 dalam Nugraheny, 2001).

4.2.2 Kelimpahan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Thalassiosira sp.

Pola pertumbuhan Thalassiosira sp. pada sistem outdoor hanya memiliki 1 buah puncak kelimpahan pada hari ke-7 dengan nilai kelimpahan sebesar 0,47×106 sel/mL. Thalassiosira sp. memiliki daya adaptasi yang lebih rendah terhadap lingkungan dibandingkan 2 spesies lainnya. Keadaan ini dapat dilihat dari nilai µ pada hari ke-1 sebesar 0,470 dengan kelimpahan awal (hari ke-0) sebesar 0,11×106 sel/mL meningkat menjadi 0,18×106 sel/mL. Hal ini mengindikasikan bahwa Thalassiosira sp. memiliki daya adaptasi lingkungan yang rendah karena adanya pemindahan strain dari rungan terkontrol ke ruangan yang terbuka. Laju

pertumbuhan spesifik maksimum Thalassiosira sp. adalah sebesar 0,205. Nilai µmaks

pada spesies Thalassiosira sp. lebih rendah dibandingkan µmaks dua spesies lainnya.

Fase lag Thalassiosira sp. diduga terjadi hingga hari ke-1. Keadaan ini dapat dilihat dari jumlah kelimpahan awal (hari ke-0) yang meningkat pada hari ke-1 namun jumlah kelimpahan pada hari ke-1 tidak mencapai dua kali lipat kelimpahan awalnya. Fase eksponensial pada Thalassiosira sp. diduga terjadi pada hari ke-1 hingga hari ke-5 yang menunjukan kelimpahan meningkat drastis secara

eksponensial. Fase stasioner diduga terjadi pada hari ke-6 hingga hari ke-8.

Keadaan ini dikarenakan laju pertumbuhan yang semakin menurun pada hari ke-6 hingga hari ke-8. Hal ini dapat dilihat dari nilai µ yang diperoleh pada hari ke-6 yaitu sebesar 0,056 yang menunjukan terjadinya penurunan laju pertumbuhan. Fase deklinasi dapat diduga terjadi pada hari ke-8 hingga hari ke-15. Hari ke-15,

Thalassiosira sp. memiliki kelimpahan akhir sebanyak 0,04×106 sel/mL. Fase deklinasi ini ditentukan berdasarkan nilai µ yang bernilai negatif pada saat memasuki hari ke-8 yaitu sebesar -0,074.

Penurunan nilai kelimpahan dapat diduga karena berkurangnya mikronutrien sebagai faktor pembatas karena telah banyak dimanfaatkan selama fase eksponensial, adanya toksik yang dihasilkan oleh mikroalga itu sendiri sebagai hasil dari

metabolisme yang meracuni mikroalga itu sendiri dan berkurangnya proses fotosintesis akibat bertambahnya jumlah sel sehingga hanya bagian permukaan kultur saja yang memperoleh cahaya (Riley dan Chester, 1971 dalam Nugraheny, 2001).

Dokumen terkait