• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kelimpahan Sel dan Laju Pertumbuhan Porphyridium cruentum

4.1.1 Kelimpahan Sel Porphyridium cruentum Hari ke-0 sampai

pada Tabel 2 dan grafik kelimpahan sel Porphyridium cruentum interval 10 hari pertama (hari ke-0 sampai hari ke-11) disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11 Grafik kelimpahan sel Porphyridium cruentum interval 10 hari pertama.

Grafik kultivasi untuk interval 10 hari pertama (hari ke-0 sampai hari ke-11) memperlihatkan kelimpahan sel tertinggi terdapat pada perlakuan injeksi CO2 dengan nilai rata-rata kelimpahan sel sebesar 4.13x106 sel/ml (Lampiran 4), kemudian

sel/ml) dan aerasi (nilai rata-rata kelimpahan sel sebesar 2.69x106 sel/ml). Gambar 11 menunjukkan pada akhir kultivasi interval 10 hari pertama kelimpahan tertinggi terdapat pada perlakuan injeksi CO2 kemudian dilanjutkan dengan aerasi dan kontrol.

Hasil penelitian ini juga diperkuat oleh analysis of variance (ANOVA) RAL yang menunjukkan bahwa value 0.0001 lebih kecil dari nilai α = 0.05. Hasil

P-value tersebut menyatakan tolak H0 (hipotesis nol) sehingga cukup bukti bahwa kultivasi injeksi CO2 yang diberikan dua hari sekali berpengaruh terhadap

kelimpahan sel Porphyridium cruentum pada taraf nyata 5% dengan nilai koefisien keragaman sebesar 12.33%. Nilai koefisien keragaman tersebut lebih kecil daripada nilai koefisien kewajaran 25% sehingga dapat dinyatakan bahwa ragam pada perlakuan injeksi CO2 adalah homogen (tingkat keakuratan data yang diperoleh tinggi) (Mattjik dan Sumertajaya 2006).

Hasil uji Duncan (Lampiran 4) memperkuat hipotesis pengaruh perlakuan injeksi CO2 (Duncan grouping A) dibandingkan perlakuan kontrol (Duncan grouping B) dan aerasi (Duncan grouping B) memberikan respon yang berbeda nyata terhadap jumlah kelimpahan sel Porphyridium cruentum, namun perlakuan kontrol dan aerasi memberikan respon yang sama pada taraf nyata 5%. Menurut Triswanto (2011), fluktuatifnya grafik kelimpahan sel diduga akibat sel Porphyridium cruentum mengalami periode kriptik karena sel Porphyridium cruentum yang masih hidup memanfaatkan tambahan nutrisi untuk pertumbuhannya dari sel Porphyridium

cruentum yang telah lisis sehingga Porphyridium cruentum kembali dapat menaikkan

Kelimpahan sel tertinggi perlakuan kontrol pada interval kultivasi 10 hari pertama teramati pada hari ke-6 sebesar 4.03x106 sel/ml dengan nilai laju

pertumbuhan spesifik 0.20, memiliki nilai pH 8.43, salinitas 52 ‰ dan suhu 22.33 ºC. Gambar 11 menunjukkan bahwa fase lag pada perlakuan kontrol berlangsung selama tiga hari (hari ke-0 sampai hari ke-3) dengan nilai kelimpahan sel hari ke-0 sebesar 3.17x106 sel/ml dan kelimpahan sel hari ke-3 mencapai 2.48x106 sel/ml. Adaptasi yang cukup lama pada lingkungan kultur baru diduga karena bibit Porphyridium

cruentum yang digunakan pada perlakuan kontrol sebelumnya sedang berada pada

fase kematian. Prihantini et al. (2005) menyatakan bahwa salah satu faktor yang menentukan lamanya fase adaptasi adalah umur kultur yang digunakan sebagai bibit

Porphyridium cruentum (inokulum). Fase adaptasi akan menjadi lebih singkat apabila

sel-sel yang diinokulasikan berasal dari kultur yang berada dalam fase eksponensial. Menurut Sylvester et al. (2002), kondisi optimum untuk kehidupan mikroalga laut adalah salinitas 25-35 ‰, suhu 25-32 °C, dan pH 7-8.

Fase eksponensial berawal dari hari ke-3 (mencapai 2.48x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.07) sampai hari ke-6 (mencapai 4.03x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.20). Menurut Fogg (1975), pada fase eksponensial terjadi percepatan pertumbuhan dan perbandingan konsentrasi komponen biokimia menjadi konstan. Fase selanjutnya adalah deklinasi yang terjadi pada hari ke-6 (mencapai 4.03x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.20) sampai hari ke-8 (mencapai 2.45x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.13). Fase stasioner mikroalga pada hari ke-8 (mencapai 2.45x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.13)

sampai hari ke-10 (mencapai 3.24x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.23), setelah mengalami fase pertumbuhan, selanjutnya mikroalga akan mengalami fase kematian. Menurut Kawaroe et al. (2010), fase ini terjadi akibat penurunan metabolisme mikroalga dan penurunan kandungan nutrien dalam media kultur. Selain itu, terjadi pula penurunan jumlah kelimpahan sel secara cepat dan sampai pada tahap kematian sel mikroalga, akan tetapi ada sebagian sel yang mengalami dormansi (beristirahat sejenak lalu kembali mengalami pertumbuhan). Fase kematian berlangsung pada hari ke-10 (mencapai 3.24x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.23) sampai hari ke-11 (mencapai 2.25x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.37).

Kelimpahan sel tertinggi perlakuan aerasi pada interval kultivasi 10 hari pertama teramati pada hari ke-10 sebesar 3.61x106 sel/ml dengan nilai laju

pertumbuhan spesifik 0.48, memiliki nilai pH 8.50, salinitas 51 ‰ dan suhu 21.33 ºC. Fase lag pada perlakuan aerasi berlangsung selama satu hari (hari ke-0 sampai hari ke-1) dengan nilai kelimpahan sel hari ke-0 sebesar 2.63x106 sel/ml dan kelimpahan sel hari ke-1 mencapai 2.18x106 sel/ml. Adaptasi yang cepat pada lingkungan kultur baru tersebut terjadi karena bibit Porphyridium cruentum (inokulum) yang digunakan pada perlakuan aerasi sebelumnya sedang berada pada fase eksponensial. Hal tersebut juga diperkuat dari penelitian Hasanah (2011) bahwa inokulum yang berasal dari fase eksponensial (logaritmik) pada kultivasi sebelumnya akan mengalami fase adaptasi yang cepat. Fase eksponensial berawal dari hari ke-1 (mencapai 2.18x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.18) sampai hari ke-4 (mencapai 2.80x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.01). Fase selanjutnya adalah deklinasi yang

terjadi pada hari ke-4 (mencapai 2.80x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.01) sampai hari ke-7 (mencapai 2.20x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.32). Menurut Fogg (1975), deklinasi disebabkan populasi sel terus bertambah namun tidak ada penambahan nutrien dalam media sedangkan pemanfaatan nutrien oleh mikroalga terus berlanjut, sehingga terjadi persaingan antar sel untuk

mendapatkan nutrien yang semakin berkurang dan mengakibatkan penurunan tingkat pertumbuhan jumlah sel.

Fase stasioner mikroalga pada hari ke-7 (mencapai 2.20x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.32) sampai hari ke-8 (mencapai 2.71x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.21). Fase stasioner terjadi sangat singkat. Hal tersebut diduga karena nutrien pada kultur sudah tidak mencukupi sehingga pada fase stasioner mengalami waktu yang singkat dan mempercepat proses kematian mikroalga. Fase kematian berlangsung pada hari ke-8 (mencapai 2.71x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.21) sampai hari ke-9 (mencapai 2.24x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.19).

Kelimpahan sel tertinggi perlakuan injeksi CO2 pada interval kultivasi 10 hari pertama teramati pada hari ke-5 sebesar 5.08x106 sel/ml dengan nilai laju

pertumbuhan spesifik 0.04, memiliki nilai pH 5.37, salinitas 54 ‰ dan suhu 22.33 ºC. Fase lag pada perlakuan injeksi CO2 berlangsung sangat cepat yaitu selama satu hari (hari ke-0 sampai hari ke-1) dengan nilai kelimpahan sel hari ke-0 sebesar 2.90x106 sel/ml dan kelimpahan sel hari ke-1 mencapai 2.85x106 sel/ml. Hal tersebut diduga karena bibit Porphyridium cruentum (inokulum) yang digunakan pada perlakuan injeksi CO2 sebelumnya sedang berada pada fase eksponensial, sehingga fase lag di

lingkungan kultur baru berlangsung sangat cepat. Fase eksponensial berawal dari hari ke-1 (mencapai 2.85x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.02) sampai hari ke-4 (mencapai 4.88x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.21). Fase

deklinasi terjadi pada hari ke-4 (mencapai 4.88x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.21) sampai hari ke-6 (mencapai 3.68x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.32).

Fase stasioner mikroalga pada hari ke-6 (mencapai 3.68x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.32) sampai hari ke-8 (mencapai 3.83x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.19). Prihantini et al. (2007) menyatakan bahwa fase stasioner pada kultivasi mikroalga berkaitan dengan berkurangnya sejumlah besar nutrien dalam media dan akumulasi senyawa-senyawa beracun sisa metabolisme. Penurunan juga terjadi akibat berkurangnya intensitas cahaya yang diterima oleh sel. Hal tersebut juga diperkuat oleh Kawaroe et al. (2010) bahwa fase stasioner ditandai dengan pertumbuhan mikroalga secara konstan akibat terjadinya keseimbangan anabolisme dan katabolisme dalam sel mikroalga. Fase ini juga terjadi keseimbangan antara ketersediaan nutrien dalam kultur dengan banyaknya jumlah sel mikroalga yang membutuhkan nutrien dalam media kultivasi.

Fase kematian berlangsung pada hari ke-8 (mencapai 3.83x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.19) sampai hari ke-11 (mencapai 3.45x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.25). Terjadinya penurunan jumlah sel pada fase kematian diduga akibat pemanfaatan nutrien yang berlebihan pada hari sebelumnya, sehingga menyebabkan ketersediaan nutrien berkurang untuk asupan hari selanjutnya (Fachrullah 2011). Menurut Kawaroe et al. (2010), fase ini ditandai dengan

perubahan warna air pada media kultur, terbentuknya buih di permukaan media kultur dan terdapatnya gumpalan mikroalga yang mengendap di dasar wadah kultur.

4.1.2 Kelimpahan Sel Porphyridium cruentum Hari ke-11 sampai Hari ke-21

Dokumen terkait