• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelompok tikus penelitian ini akan dibagi

A: kelompok tikus bunti B: kelompok tikus bunt kebuntingan 1-13 har Selanjutnya masi kebuntingan untuk diliha dibandingkan antar kelom

/ #

Data yang didapat diolah dengan menggunak

Tikus jantan dewasa kelamin + Tikus betina varietas 2

tikus betina bunting

pok A (kontrol)

tidak di cekok dan ditimbang selama 13 hari

Kelompok B (perlakuan)

dicekok purwoceng selama 13 hari dan ditimbang selama 13 har

. Penggantian sekam dan pencucian kandang plast

'

tikus bunting : 10 ekor tikus betina akan digun ibagi menjadi 2 kelompok yaitu:

bunting sebanyak 5 ekor yang tidak diberi perlakuan s bunting sebanyak 5 ekor yang dicekok purwoceng

13 hari.

masing-masing kelompok akan ditimbang selam dilihat perubahan pertambahan bobot badan untu

kelompok.

Gambar 3. Bagan Penelitian

idapat yakni bobot badan tikus pada setiap perlakuan k gunakan Analisis Sidik Ragam (Steel dan Torrie 1993

16

13 hari

plastik dilakukan

digunakan dalam

akuan.

oceng pada umur

selama 13 hari untuk kemudian

kuan kemudian e 1993).

Pengaruh pemberi pertambahan bobot bada dapat dilihat pada Tabe perbedaan yang nyata ( diberikan purwoceng c dibandingkan dengan tiku

Tabel 2. Rata-rata bobot b selama 13 hari

Gambar

mberian ekstrak etanol purwoceng (

badan tikus betina bunting pada umur kebuntinga abel 2. Meskipun data yang dihasilkan tidak yata (p > 0,05) namun jika dilihat dalam grafik, eng cenderung lebih cepat pertambahan bobo n tikus kontrol. Penambahan bobot badan diamati 2 h

obot badan tikus yang telah diberi ekstrak etanol akar

mbar 4. Grafik Pertambahan Bobot Badan Tikus

) terhadap ntingan 0-13 hari tidak menunjukan rafik, tikus yang bobot badannya ati 2 hari sekali.

18

Balitro (2011) menyebutkan melalui uji fitokimia pada purwoceng didapatkan zat-zat antara lain alkaloid, tanin, flavonoid, triterfenoid, steroid dan glikosida. Penelitian Taufiqqurrachman (1999) juga telah membuktikan bahwa pemberian ekstrak purwoceng pada tikus jantan tersebut meningkatkan kadar testosteron karena di dalam purwoceng terdapat salah satu bahan aktif yakni berupa steroid. Zat tersebut menjadi pemicu peningkatan hormon testosteron pada tikus. Flavonoid yang dikandung oleh purwoceng merupakan suatu senyawa yang bersifat estrogenik (Baraas dan Juffri 1997), yang mampu berfungsi seperti estrogen dalam tubuh yang akan meningkatkan efek estrogen. Dalam hal ini berarti purwoceng memiliki 2 bahan aktif yang berpengaruh seperti estrogen di dalam tubuh yakni flavonoid dan steroid. Flavonoid yang bersifat estrogenik dapat menduduki reseptor estrogen yang berada di dalam tubuh dan menimbulkan efek seperti estrogen. Sedangkan steroid merupakan prekursor hormon testosteron, yang kemudian diubah menjadi estrogen. Jika dibandingkan ke duanya, flavonoid lebih berpengaruh lebih besar dibandingkan steroid karena dalam hasil pengujiannya menunjukan positif kuat, sedangkan steroid positif lemah.

Pada sistem hormon reproduksi tikus betina, testosteron diubah menjadi estrogen dalam rantai pembentukannya. Hampir semua testosteron dan progesteron akan diubah menjadi estrogen oleh sel - sel granulose pada ovarium. Selama fase luteal lebih banyak progesteron yang dibentuk, jumlah ini berperan pada sekresi progesteron yang banyak pada waktu tersebut. Testosteron yang disekresikan oleh ovarium adalah sekitar seperlimabelas dari testoteron yang disekresikan oleh testis (Guyton dan Hall 1997).

Sintesis hormon estrogen terjadi didalam sel-sel theka dan sel-sel granulose ovarium, dimana kolesterol merupakan zat pembakal dari hormon ini, yang pembentukannya melalui serangkaian reaksi enzimatik (Guyton dan Hall 1997). LH diketahui berperan dalam sel theka untuk meningkatkan aktivitas enzim pembelah rantai sisi kolesterol melalui pengaktifan ATP menjadi cAMP, dan dengan melalui beberapa proses reaksi enzimatik terbentuklah androstenedion, kemudian androstenedion yang dibentuk dalam sel theka masuk kedalam sel granulose,

selanjutnya melakukan aromatisasi membentuk estron dan estradiol 17 β (Cunningham dan Klein 2007).

Kolesterol adalah prekursor estrogen yang umum pada transport dan metabolisme estrogen. Aktivitas enzim 17β hidroksidehidrogenase akan mengkonversi androstenedion menjadi testoteron yang mana bukan merupakan produksi terbesar yang dihasilkan dari ovarium. Biosintesis pembentukan estrogen dari testosteron dapat terjadi ketika terjadi oksidasi pada C19 dan kemudian pada C19

terjadi pula pembuangan gugusan metil (CH3) - nya (demethylisasi) dan kemudian sebagai tahap akhir terjadi aromatisasi pada cincin A sehingga menghasilkan estradiol-17 (Djosoebagio 1990). Estradiol juga meningkat sampai mencapai jumlah yang cukup banyak dari androstenedion melalui estone. Androgen bebas dikonversi di perifer untuk menjadi bebas, misalnya di kulit dan sel adiposa (Jacob dan Baziad 1994).

Hardjoprajonto (1995) menyebutkan pada metabolisme tubuh, estrogen menambah sintesis dan sekresi hormon pertumbuhan sehingga dapat menstimulir pertumbuhan sel – sel dalam tubuh, mempercepat pertambahan bobot badan, merangsang korteks adrenal untuk lebih banyak meningkatkan metabolisme protein karena resistensi nitrogen meningkat. Guyton dan Hall (1997) menyebutkan bahwa penambahan bobot badan pada kehamilan terjadi karena pertambahan bobot organ uterus dan payudara serta bobot fetus yang dipengaruhi oleh sekresi hormon estrogen pada masa kebuntingan. Estrogen berperan pada proliferasi sel dan pertumbuhan jaringan organ-organ kelamin dan jaringan lain yang berkaitan dengan reproduksi. Menurut Manalu dan Sumaryadi (1995) estradiol dan progesteron berperan pada pertumbuhan dan perkembangan fetus terutama pada periode awal kebuntingan melalui perangsangan dan pemesatan pertumbuhan dan perkembangan kelenjar uterus untuk mempersiapkan sekresi susu uterus sebelum implantasi terjadi. Selama masa kebuntingan terdapat berbagai macam faktor yang sangat kompleks antara lain hereditas, besar dan umur induk, nutrisi, jumlah anak seperindukan, posisi fetus di dalam koruna uteri, plasenta dan perkembangan embrio dan endometrium sebelum implantasi (Toelihere 1985)

20

Estrogen menimbulkan terjadinya proliferasi sel dan pertumbuhan jaringan organ-organ kelamin dan jaringan lain yang berkaitan dengan reproduksi. Pertambahan bobot badan dapat disebabkan oleh bertambah besarnya ovarium, tuba fallopii, uterus, dan vagina yang semakin membesar. Genitalia eksterna juga membesar, dengan deposisi lemak pada mons pubis dan labia mayora dan disertai pembesaran labia minora. Estrogen mengubah epitel vagina dari tipe kuboid menjadi bertingkat. Estrogen juga menyebabkan proliferasi yang nyata terhadap stroma endometrium dan sangat meningkatkan perkembangan kelenjar endometrium yang nantinya akan dimanfaatkan untuk membantu memberi nutrisi pada ovum yang berimplantasi. Estrogen juga berpengaruh pada mukosa yang membatasi tuba fallopii yakni menyebabkan kelenjar berproliferasi serta menyebabkan jumlah sel-sel epitel bersilia yang membatasi tuba fallopii bertambah banyak (Guyton dan Hall 1997).

Aksi lain estrogen adalah menyebabkan terjadinya penggabungan awal dari epifisis dengan batang tulang dari tulang panjang. Kedua osteoklas dan osteoblas mengekspresikan reseptor estrogen dan merupakan target langsung untuk estrogen, tetapi keseluruhan, estrogen diklasifikasikan sebagai agen-agen antiresoptif. (Guyton dan Hall 1997). Dalam keadaan normal estrogen dalam sirkulasi mencapai sel osteoblas, dan beraktivitas melalui reseptor yang terdapat di dalam sitosol sel tersebut,mengakibatkan menurunnya sekresi sitokin seperti:Interleukin-1 (IL-1), Interleukin-6 (IL-6) dan Tumor Necrosis Factor-Alpha (TNF-a), merupakan sitokin yang berfungsi dalam penyerapan tulang. Di lain pihak estrogen meningkatkan sekresi Transforming Growth Factor b (TGF-b), yang merupakan satu-satunya faktor pertumbuhan (growth factor) yang merupakan mediator untuk menarik sel osteoblas ke tempat lubang tulang yang telah diserap oleh sel osteoklas. Osteoblas merupakan sel target utama dari estrogen, untuk melepaskan beberapa faktor pertumbuhan dan sitokin (Waters 1999).

Defisiensi estrogen meningkatkan produksi interleukin-6, interleukin-1, dan tumor nekrosis faktor pada osteoblas dan sel-sel stromal turunan tulang lainnya. Faktor faktor ini secara tidak langsung menstimulasi diferensiasi osteoklas. Pada ekstrak tulang dari wanita-wanita postmenopause dengan osteoporosis, konsentrasi

interleukin-6 dan interleukin-1 mRNA juga tinggi. Defisiensi estrogen dikenal untuk mengakselerasikan pengeroposan tulang dan meningkatkan suseptibilitas untuk fraktur. Terapi estrogen mengurangi pengeroposan tulang dan mereduksi risiko fraktur pada wanita-wanita dengan osteoporosis dan selanjutnya tanpa kondisi ini untuk lamanya terapi (Gruber 2002).

Estrogen selain penting dalam berbagai aspek pertumbuhan, perkembangan, dan membedakan morfologi alat kelamin jantan dan betina (karakter kelamin primer) juga penting untuk perkembangan dan tingkah laku seksual dan reproduksi (karakter kelamin sekunder), dan dapat merangsang pertumbuhan jaringan tubuh. Jika dibandingkan dengan hormon androgen yang lebih berperan menunjang pertumbuhan secara umum, khususnya dalam pembentukan protein, hormon estrogen lebih berpotensi pada kebanyakan hewan bertulang belakang (Guyton dan Hall 1997).

Menurut Guyton dan Hall (1997) estrogen mempengaruhi perkembangan fetus dan akan mengontrol pertumbuhan fetus serta pembelahan sel untuk kemudian mengalami differensiasi jaringan (Fowden 1995). Estrogen meningkatkan laju kecepatan metabolisme dan peningkatan jumlah deposit lemak dalam jaringan subkutan. Efek estrogen pada kelenjar mamae adalah menyebabkan perkembangan jaringan stroma kelenjar mamae, pertumbuhan sistem duktus yang luas dan deposit lemak pada kelenjar mamae. Estrogen mempengaruhi perkembangan lobules dan alveoli. Bentuk kelenjar mamae juga dipengaruhi oleh adanya hormon ini. Pada tulang rangka estrogen menyebabkan meningkatnya aktivitas osteoblastik. Estrogen bersirkulasi di dalam darah hanya beberapa menit sebelum estrogen dibawa ke sel target. Pada saat masul kedalam sel, estrogen berkombinasi dengan protein reseptor dalam waktu 10 sampai 15 detik di dalam sitoplasma dan kemudian dalam bentuk kombinasi dengan protein ini, estrogen mengaktifkan gugus dari DNA kromosom. Pengaktifan ini segera memulai proses transkripsi oleh karena itu RNA mulai diproduksi dalam waktu beberapa menit. Selain itu, setelah beberapa jam DNA yang baru mungkin juga akan diproduksi, akhirnya menyebabkan terjadinya pembelahan sel. RNA berdifusi ke dalam sitoplasma, di sini RNA sangat meningkatkan pembentukan protein dan mengubah fungsi selular. Target organ yang dituju oleh

22

estrogen hampir seluruhnya merupakan organ khusus seperti uterus, kelenjar mamae, tulang rangka dan daerah-daerah tubuh yang berlemak (Guyton dan Hall 1997).

Purwoceng dalam penelitian ini diberikan dalam 13 hari yaitu saat masa praplasentasi, menurut Widyastuti (2006) pada masa tersebut adalah masa pembentukan organ yaitu pada hari ke 7 sampai dengan hari ke 17, sehingga ekstrak etanol purwoceng yang diberikan membantu organogenesis terkait dengan fungsi estrogen dalam meningkatkan proliferasi sel. Bobot badan induk akan dipengaruhi oleh bobot anak (fetus) dan lingkungan uterusnya. Pada awal kebuntingan estrogen berperan dalam penebalan dinding endometrium atau fase proliferasi uterus. Penambahan purwoceng yang diduga mempunyai efek estrogenik yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan uterus secara langsung dan secara tidak langsung akan mempengaruhi bobot induk. Pengaruh estrogenik dapat timbul karena adanya reseptor estrogen yang dapat berpasangan dengan flavonoid. Flavonoid termasuk dalam golongan fitoestrogen, yang merupakan suatu substrat dari tanaman yang memiliki aktivitas biologi yang sama dengan estrogen endogen (Glover dan Assinder 2006). Menurut Jefferson . (2002), fitoestrogen memiliki banyak kesamaan pada dua gugus –OH dan mempunyai gugus fenol serta jarak antara gugus hidroksil yang sama dengan inti estrogen endogen sehingga dapat berikatan dengan reseptor estrogen di tulang (Dewell . 2002). Menurut Dewell

(2002) fitoestrogen dapat mengurangi gejala menopause, memperbaiki kadar lipid atau lemak dalam plasma, menghambat perkembangan ateriosklerosis, serta menghambat pertumbuhan sel-sel tumor atau kanker pada payudara dan endometrium. Dalam hal ini berarti flavonoid memiliki efek yang sama dengan estrogen. Flavonoid dapat berikatan dengan reseptor estrogen sebagai bagian dari aktivitas hormonal. Fitoestrogen menstimulasi aktivitas osteoblas melalui aktivitas reseptor-reseptor estrogen dan mampu meningkatkan produksi hormon pertumbuhan insulin-like growth factors-1 (IGF-1) yang memiliki hubungan positif terhadap pembentukan massa tulang. Pada saat kadar estrogen menurun, akan terdapat banyak kelebihan reseptor estrogen yang tidak terikat, walaupun afinitasnya rendah, fitoestrogen dapat berikatan dengan reseptor tersebut. Jika tubuh mendapatkan

asupan fitoestrogen maka akan terjadi pengaruh pengikatan fitoestrogen dengan reseptor estrogen, sehingga dapat mengurangi simptom menopause (Rachman dan Baziad 1996).

3

# #

-+ # &

Ekstral etanol akar purwoceng dengan dosis 83.25mg/kg bobot badan mampu menaikan bobot badan tikus betina bunting.

+ #

Perlu dilakukan peningkatan dosis purwoceng untuk mengetahui dosis maksimal yang aman untuk digunakan, serta perlu adanya penambahan jumlah sampel tikus untuk mendapatkan data statistik yang lebih akurat.

Anwar NS. 2001. Manfaat obat tradisional sebagai afrodisiak serta dampak positifnya untuk menjaga stamina. Makalah pada Seminar Setengah Hari ”Menguak Manfaat Herbal bagi Vitalitas Seksual ”Jakarta,13 Oktober 2001. 8p.

Arkaraviehien WK, Kendle E.1990. ! "

63 – 90.

Baker DEJ, Lindsey JR, Weisborth SH. 1980. # $ : % & '. London: Academic Press Inc.

[Balittro] Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. 2011. Hasil uji fitokimia dari akar purwoceng. Bogor: Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik.

Ballenger L. 2000. Rattus novegicus [terhubung berkala]. Error! Hyperlink reference not valid. April 2011]

Baraas F, Juffri M. 1997. % ( % ) *. Jakarta:#

$ & ++ .

Cunningham JG, Klein BG. 2007. # * ) " & . Ed ke-4. London: WB Saunders Company. Dewell A, Hollenbeck CB, Bruce B. 2002. Darwati I, Roostika I. 2006. Status Penelitian Purwoceng ( Molk.)

di Indonesia. , - " 12(1):9-15.

Dewell A, Hollenbeck CB, Bruce B. 2002. The effects of soy-derived phytoestrogens on serum lipids and lipoproteins in moderately hypercholesterolemic postmenopausal women. . / 0 87: 118-121.

Djojosoebagio, Soewondo. 1990 1 ( / ) & ++. Bogor : Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat Insitut Pertanian Bogor.

Ellizar.1983.Estrogen dan Preparat-Preparat Aplikatifnya.Skripsi.FKH-IPB.Bogor Fowden AL. 1995. Endocrine regulation of fetal growth [terhubung berkala].

http://embryology.med.unsw.edu.au/Refer/endocrine/adrenal_rev.htm. [11 Juli 2011]

26

Glover A, Assinder SJ. 2006. Acute exposure of adult male rats to dietary phytoestrogen reduces fecundity and alters epididymal steroid hormon receptor expression. . / 189: 565-573

Gruber CJ, Tschugguei W, Schneebeger C, Huber JC. 2002. Production and action of estrogens. N Engl J Med 346: 340-50

Gunawan D. 2002. # ) ( + . Ed ke-3.

Jakarta: Penebar Swadaya.

Guyton AC, John EH. 1997. , ) % 1 ( ) . Edisi 9. Jakarta: EGC Hardjopranjoto S. 1995 + ( # ). Surabaya: Airlangga

University Press. Hlm 42-49.

Harkness JE, Wagner JE. 1989 # , 0 " .

Ed ke-3. Philadelphia: Lea & Febriger.

Hernani, Rostiana O. 2004. Analisis kimia akar purwoceng ( ). Di

dalam: + , /* " .

1 1 ( , " ) . 2 ) 34 35

. '664 Yogyakarta: Ditjen Hortikultura, Departemen Pertanian. Hernani dan Yuliani S. 1991. 7 " )

" # 7 8

# + . Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Hlm. 130-134.

Heyne K. 1987. # , + . Jilid III. Jakarta: YayasanSarana Wana Jaya. Hlm 1550.

Hunter RHF. 1995. 1 # ) ) 8 , ).

Bandung: ITB.

Jacob TZ, Baziad A. 1994. / ) ) . Edisi ke-1. Jakarta: KSERI, Hlm: 43-51.

Jasin M. 1984. ) 8 % & . Surabaya: Sinar

Wijaya.

Jefferson WN, Padilla-Banks, E, Clark G, Newbold RR. 2002. Assessing estrogenic activity of phytochemicals using transcriptional activation and immature mouse uterotrophic responses. . , 777:179- 189.

Johnson MH, Everitt BJ. 1984. / . Ed ke-2. London and Beccles: William Clowes Limited.

Knight, C. H and M. Peaker. 1982. Development of the mammary gland. . 1 65:521-536.

Kohn, D.F dan S.W. Barthold. 1984. , " $ % 0 New York: Academic Press. Inc.

Manalu W, Sumaryadi MY. 1995. Hubungan antara konsentrasi progesteron dan estradiol dalam serum induk selama kebuntingan dengan total masa fetus pada

akhir kebuntingan. Di dalam: - # )

) ( ) 8 Bogor,

25-26 Januari 1995 Bogor: Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hlm 57-62

Malole MBM, Pramono CSU. 1989. 8 8

$ Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan Kebudayaan, Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.

Manalu W. 1996. Hubungan antara Peningkatan Konsentrasi Estradiol dan Progesteron dalam Serum Induk dengan Perkembangan Fetus dan Kelenjar Susu selama Kebuntingan pada Tikus. , " 5: 26-36.

Manalu, W., M.Y. Sumaryadi dan N. Kusumorini. 1995. The efects of fetal number on maternal serum progesterone and estradiol of ewe during pregnancy. Bull. Anim. Sci. Special Edition: 237-241.

Meiyanto, Handayani S, Jenie RI. 2008. Ekstrak Etanolik Kacang Panjang (& (L) Savi ex Hassk) meningkatkan proliferasi sel epitel payudara.

0 1 + 9 191-197.

Rachman, Baziad A. 1996. Pengobatan estrogen progesteron pada osteoporosis pasca menopause. + . 7 : 21:121-128.

Rahardjo M, Darwati I. 2006. Produksi dan mutu simplisia purwoceng berdasarkan lingkungan tumbuh dan umur tanaman. Di dalam9 7(.%-% #7+ ;;&+++ 0 ) . Bogor, 15 – 16 September 2005. Bogor: Litbang, Departemen Pertanian.

Rahardjo M. 2010. Tanaman Obat Afrodisiak. Di dalam: Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Volume 16 Nomor 2. Bogor: Pengembangan Tanaman Perkebunan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

28

Re G, Badino P, Novelli A, Di Renzo GF, Severino L, Ferone MR. 1995. Distribution of cytosolic oestrogen and progesteron receptors in the genital tract of the mare. & 59:214-218.

Rostiana O, Rahardjo M, Rizal M. 2006. Pengembangan teknologi budidaya purwoceng dan mimba mendukung penyiapan bahan obat alami secara berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional dan Pameran Tumbuhan Obat Indonesia, XXVIII.Bogor. p.7-17.

Satyaningtijas AS. 2001. Efektivitas Pemberian Estradiol dan Progesteron pada Kinerja Reproduksi Tikus Bunting. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Sellman, S. 1996. Hormone Heresy. Extracted from Nexus Magazine. Vol. III 5th/ . August-september.

Steel RD, Torrie JH. 1993. ). Sumantri B, penerjemah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari:

" .

Sugiastuti, S. dan H. Rahmawati. 2006. Isolasi dan identifikasi senyawa organik fraksi semipolar herba purwoceng < Molk=. Prosiding Seminar Nasional dan Pameran Tumbuhan Obat Indonesia XXVIII. Bogor. pp.255-261.

Sukra Y, Rahardja L, Juwita I. 1989. / + Bogor: Depdikbud – Dirjen Pendidikan Tinggi PAU Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor.

Suzery M, Cahyono B, Ngadiwiyana, Nurhanawati H. 2004. Senyawa stigmasterol dari Molk. (Purwoceng). 39(1): 39-41.

Taufiqurrachman. 1999. Pengaruh Ekstrak Molk. (purwoceng) Dan Akar / " Jack. (pasak bumi) Terhadap Peningkatan Kadar Testosteron, LH dan FSH Serta Perbedaan Peningkatannya Pada Tikus Jantan Sprague Dawley. Semarang : Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Taufiqurrachman and S. Wibowo. 2006. Effect of purwoceng (Pimpinella alpina)

extract in stimulating testosterone, Luteinizing hormone (LH) and Follicle Stimulating Hormone (FSH) in Sprague Dawley male rats. Prosiding Seminar Nasional dan Pameran Tumbuhan Obat Indonesia, XXVIII.Bogor. pp 45-54. Taya K, Greenwald GG. 1981. In vivo and in vitro Ovarian Steroidogenesis in

pregnant rats. , 25:683-691.

Waters KM, Rickard DJ, Gebhart JB . Po-tential roles of estrogen reseptor-a and -b in the regulation of human oteoblast functions and gene expression. The menopause at the millenium. The Proceding of the 9 th International Menopause Society World Congress on Menopause. 1999 October 17-21; Yokohama, Japan.

Widowati D, Faridah. 2006. Isolasi dan identifikasi senyawa kimia dalam fraksi non-polar dari tanaman purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk). Prosiding Seminar Nasional dan Pameran Tumbuhan Obat Indonesia XXVIII. Bogor. pp.255-261.

Widyastuti N. 2006. Efek Teratogenik Ekstrak Buah Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) pada Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) Galur Wistar. Skripsi. FMIPA-UNS. Surakarta.

Veterinary Library. 1996. The Laboratory Rat [terhubung berkala]. http://www.animalz.cohz/library/s,allpet/rat.html [11 Juli 2011].

Yuhono JT 2004. Usaha Tani Purwoceng ( 0olkenb), potensi, peluang dan masalah pengembangannya. , #

-1 4' * 13 5 - 6 Source DF SS MS F P Perlakuan 1 23,8 23,8 0,80 0,389 Error 12 358,2 29,8 Total 13 382,0 S = 5,464 R-Sq = 6,23% R-Sq(adj) = 0,00%

Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev

Level N Mean StDev ---+---+---+---+--- Kontrol 7 195,54 5,61 (---*---)

Purwoceng 7 198,15 5,31 (---*---) ---+---+---+---+--- 192,0 195,0 198,0 201,0

Pooled StDev = 5,46

Tukey 95% Simultaneous Confidence Intervals All Pairwise Comparisons among Levels of Perlakuan

Individual confidence level = 95,00%

Perlakuan = Kontrol subtracted from:

Perlakuan Lower Center Upper ---+---+---+---+--- Purwoceng -3,755 2,608 8,971 (---*---) ---+---+---+---+--- -4,0 0,0 4,0 8,0

Masa kebuntingan merupakan masa yang penting bagi induk hewan untuk memiliki kondisi yang prima agar menghasilkan anak yang sehat. Kondisi fisiologis tubuh induk harus dijaga sedemikian rupa agar tidak mengalami penyimpangan dan mempengaruhi anak yang berada dalam uterus. Kondisi fisiologis betina yang bunting dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti hormon, lingkungan, makanan yang dikonsumsi serta genetik. Pada masa kehamilan, plasenta membentuk hormon yaitu

dan

yang penting untuk berlangsungnya kehamilan normal (Guyton dan Hall 1997).

Pada manusia penambahan bobot badan rata-rata selama kehamilan adalah sekitar 24 pon, sebagian besar penambahan bobot badan ini terjadi selama kedua trimester akhir. Dari kenaikan bobot badan tersebut, sekitar 7 pon adalah fetus, dan kira-kira 4 pon adalah cairan amnion, plasenta dan selaput amnion. Uterus membesar sekitar 2 pon, payudara 2 pon, serta masih meninggalkan peningkatan bobot badan rata-rata pada wanita sekitar 9 pon. Sekitar 6 pon dari cairan ini adalah cairan tambahan yang berada ekstraselular, sisanya 3 pon pada umumnya merupakan kumpulan lemak (Guyton dan Hall 1997). Meiyanto (2008) menyebutkan bobot uterus tikus betina yang tidak bunting adalah 0,0977 gram. Pada penelitian Satyaningtijas (2001) dilaporkan bahwa bobot basah dan bobot kering uterus tikus betina bunting yang diberi estrogen dan progesteron selama 5 hari dan 12 hari mengalami peningkatan. Total bobot anak yang lahir pada tikus dapat mencapai kurang lebih 72 gram (Veterinary Library 1996). Pada tikus bobot uterus dan bobot anak akan ikut mempengaruhi dalam penambahan atau peningkatan bobot badan induk.

Penambahan bobot badan selama kebuntingan erat kaitannya dengan sekresi hormon reproduksi. Estrogen merupakan salah satu faktor yang menyebabkan meningkatnya pertambahan bobot badan. Saat ini banyak dilakukan penelitian mengenai obat herbal yang dapat mempengaruhi kinerja hormon reproduksi, salah satunya adalah purwoceng. Taufiqurrachman (2006) membuktikan bahwa purwoceng dapat meningkatkan kadar testosteron pada tikus jantan. Pada jantan testosteron diubah menjadi estradiol dalam jumlah sedikit. Testosteron pada jantan berfungsi untuk perkembangan kelamin sekunder jantan. Berbeda dengan jantan testosteron pada betina akan diubah sebagian besar menjadi estrogen oleh enzim aromatase. Estrogen berperan dalam perkembangan kelamin sekunder betina dan kebuntingan (Guyton dan Hall 1997). Purwoceng diduga memiliki efek seperti estrogen sehingga besar kemungkinan dapat menaikan bobot badan induk dan bobot anak.

Purwoceng ( ) merupakan tanaman yang sekarang lazim digunakan dalam pembuatan jamu-jamuan dan telah banyak beredar di pasaran. Konon akar purwoceng ini berkhasiat untuk menaikan libido jantan dan dikenal sebagai “Viagra Jawa”. Purwoceng ( ) merupakan salah satu tanaman obat asli Indonesia berkhasiat afrodisiak seperti pada tanaman ginseng dari Korea (Balittro 2011; Anwar 2001). Jaringan akar purwoceng dilaporkan paling berkhasiat sebagai anti diuretik dan tonikum seduhan terutama digunakan sebagai afrodisiak dengan kandungan senyawa turunan sterol, saponin dan alkaloida (Rostiana 2006). Lebih lanjut, Rostiana 2006 melaporkan bahwa akar purwoceng juga mengandung turunan senyawa kumarin yaitu senyawa bergapten, iso-bergapten dan saponin, yang banyak digunakan dalam industri obat moderen sebagai obat analgesik, antipiretik, sedatif, anthelmintik, antifungi, antibakteri dan antikanker. Dilaporkan pula bahwa di dalam tanaman purwoceng juga ditemukan senyawa stigmasterol (Suzery 2004), xanthotoksin, marmesin dan umbeliferon (Hernani dan Rostiana 2004). Lebih lanjut dari hasil isolasi dan identifikasi senyawa kimia dalam fraksi semipolar dan nonpolar pada tanaman purwoceng juga ditemukan senyawa metil palmitat, phytol (Sugiastuti dan Rahmawati 2006), dan γ sitosterol (Widowati dan Faridah 2006). Dari hasil uji praklinis dilaporkan bahwa pemberian

3

ekstrak purwoceng mampu meningkatkan kadar hormone testosteron dan (LH) tikus jantan secara nyata (Taufiqurrachman dan Wibowo 2006).

Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh purwoceng yang bersifat

Dokumen terkait