Anak yatim artinya mereka yang ditinggal (mati) ayahnya ketika usianya belum baligh.
Mereka termasuk dalam golongan karena masih membutuhkan kasih sayang, bimbingan, serta uluran tangan berupa materi untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari atau sekolahnya—terlebih anak yatim yang hidup dalam kemelaratan.
2. Janda
Seorang istri yang diceraikan/ditinggal mati suaminya, sedang dirinya hidup dalam kesusahan juga bisa disebut sebagai kaum dhuafa. Mereka termasuk dalam golongan orang-orang lemah yang sudah selayaknya dibantu.
3. Orang Miskin
Seseorang dikatakan miskin apabila dirinya bekerja, tapi penghasilan yang didapat tidak bisa dipakai untuk mencukupi seluruh kebutuhan pokoknya. Dalam bahasa yang lebih bebas, “buat makan saja masih kurang”. Mereka inilah golongan kaum dhuafa yang perlu dibantu. Rasulullah bersabda yang artinya:“Barang siapa yang menyisihkan harta untuk menghidupi para janda dan orang-orang miskin, maka pahalanya sama seperti berjuang di jalan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
4. Orang Fakir
Fakir berbeda dengan miskin. Jika orang miskin masih punya kemampuan untuk bekerja dan mendapat penghasilan (meski pas-pasan), fakir lebih buruk kondisinya dari itu. Mereka hidup dalam kesengsaraan yang teramat sangat. Tak punya uang untuk makan dan tak punya tenaga untuk bekerja.
5. Budak atau Hamba Sahaya
Meski barangkali hidup dalam rumah tuannya yang kaya raya, hamba sahaya (budak) termasuk kaum yang perlu diutamakan dalam hal pemberian sedekah. Ya, mereka mungkin mempunyai tenaga, tapi tidak punya kuasa untuk menentukan pilihan hidupnya sendiri. Beruntung di zaman sekarang sistem perbudakan sudah dihapuskan.
6. Mualaf
Mualaf atau orang yang baru memeluk agama Islam ternyata juga masuk dalam golongan kaum dhuafa. Secara fisik dan materi, mereka mungkin terbilang mampu.
6
Namun, iman mualaf masih lemah. Oleh karena itu kita harus membantu mereka—jika tidak dengan materi, maka bisa dengan bantuan moril.
7. Korban Bencana
Korban bencana yang kehilangan harta, rumah, serta sanak saudaranya juga termasuk golongan dhuafa yang perlu dibantu, baik berupa makanan, uang, pakaian, atau bantuan lain yang sifatnya nonfisik.
2.3 Kasus Perda Larangan Memberikan Sumbangan dijalan dan Pengemis Walang Di wilayah DKI Jakarta, larangan mengemis diatur di dalam Perda DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (Perda DKI 8/2007). Di dalam Pasal 40 Perda DKI 8/2007 diatur mengenai larangan untuk mengemis, tetapi juga melarang orang memberi uang atau barang kepada pengemis. Pada Pasal 40 Perda DKI Jakarta 8/2007 setiap orang atau badan dilarang :
1. Menyuruh orang lain untuk menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan,dan pengelap mobil.
2. Menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil.
3. Membeli kepada pedagang asongan atau memberikan sejumlah uang atau barang kepada pengemis, pengamen, dan pengelap mobil
Pelanggaran Pasal 40 huruf a Perda DKI Jakarta 8/2007 diancam dengan pidana kurungan paling singkat 20 hari dan paling lama 90 hari atau denda paling sedikit Rp. 500.000,00 dan paling banyak Rp. 30.000.000,00. Sedangkan, untuk pelanggaran Pasal 40 huruf b dan c Perda DKI 8/2007 diancam dengan pidana kurungan paling singkat 10 hari dan paling lama 60 hari atau denda paling sedikit Rp. 100.000,00 dan paling banyak Rp.
20.000.000,00.
Jadi, mengemis dan menggelandang selain tidak diperbolehkan dalam Islam, juga merupakan suatu tindak pidana pelanggaran. Sepertihalnya di wilayah DKI Jakarta, yaitu dengan Perda DKI 8/2007. Sanksi pidana secara umum untuk kegiatan menggelandang dan mengemis diatur dalam KUHP, namun Pemerintah Daerah dapat menetapkan peraturan soal larangan mengemis dan menggelandang. Untuk DKI Jakarta, sanksi pidana untuk mengemis diatur dalam Perda DKI 8/2007, bahkan orang yang memberikan uang kepada pengemis juga diancam dengan hukuman pidana.
Dengan adanya larangan mengemis, maka diharapkan dapat meminimalisir bertambahnya pengemis dimuka umum. Pertama, usaha preventif adalah usaha secara terorganisir yang meliputi penyuluhan, bimbingan, latihan, dan pendidikan, pemberian bantuan, pengawasan serta pembinaan lanjut kepada berbagai pihak yang ada hubungannya dengan pergelandangan dan pengemisan, sehingga akan tercegah terjadinya :
1. Pergelandangan dan pengemisan oleh individu atau keluarga-keluarga terutama yang sedang berada dalam keadaan sulit penghidupannya;
2. Meluasnya pengaruh dan akibat adanya pergelandangan dan pengemisan didalam masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban dan kesejahteraan pada umumnya;
3. Pergelandangan dan pengemisan kembali oleh para gelandangan dan pengemis yang telah direhabilitir dan telah ditransmigrasikan ke daerah pemukiman baru ataupun telah dikembalikan ke tengah masyarakat.
7
Kedua, usaha represif adalah usaha-usaha yang terorganisir, melalui lembaga maupun bukan dengan maksud menghilangkan pergelandangan dan pengemisan, serta mencegah meluasnya di dalam masyarakat. Dan ketiga, usaha rehabilitatif adalah usaha-usaha yang terorganisir meliputi usaha-usaha penyantunan, pemberian latihan dan pendidikan, pemulihan kemampuan dan penyaluran kembali, baik ke daerah-daerah pemukiman baru melalui transmigrasi maupun ke tengah-tengah masyarakat, pengawasan serta pembinaan lanjut, sehingga dengan demikian para gelandangan dan pengemis, kembali memiliki kemampuan untuk hidup secara layak sesuai dengan martabat manusia sebagai warga negara Republik Indonesia.
2.4 Profil Keluarga Dhuafa
“BANTU BU NGATINI MELEWATI KESULITAN HIDUPNYA SERTA BANTU KESEMBUHAN ANAKNYA”.
1. Nama seluruh anggota keluarga:
Bu Ngatini (74 thn) Janda lansia dhuafa
Umi Syaidah (47 thn). Anaknya
2. Alamat : Kp. Rejosari, RT/RW 001/014, Desa Jogotirto, Kec. Berbah, Kab.Sleman-DIY.
3. Pekerjaaan dan pendapatan: Buruh tani
4. Pendidikan anggota keluarga: Anaknya Lulusan SMA.
5. Kondisi tempat tinggal: Kurang layak seperti lantai rumah yang kotor.
6. Catatan penting dan menarik
Bu Ngatini bekerja sebagai seorang buruh tani, meskipun penghasilan yang tak seberapa yang ia dapat, namun Bu Ngatini tetap mensyukurinya. Semua itu ia lakukan demi bisa memenuhi kebutuhan hidupnya bersama anaknya yang sakit, Syaidah mengidap penyakit autoimun yang menyerang tulangnya, berupa reumatik atritis yang sudah sangat kronis. Penyakit ini Syaidah derita sejak 15 tahun yang lalu, saat ia baru saja lulus SMA. Ironisnya, penyakit yang ia derita ini menyebabkan ia tak bisa kemana-kemana, hanya bisa berbaring di tempat tidur.
7. Profil anak Bu Ngatini yang terkena penyakit autoimun :
8
9 BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan
a. Dhuafa adalah orang yang lemah, lemah dalam arti lemah fisik dan psikisnya, misalnya sudah tua rentah.
b. Indikator fakir miskin di bagi ke dalam, indikator ketidakmampuan materi, ketidakmampuan mencari nafkah atau melakukan usaha.
c. Menurut MPI ada 3 Indikator kemiskinan yaitu : Kesehatan, Pendidikan, dan Standar Hidup.
d. Dhuafa terbagi menjadi beberapa golongan yaitu : Anak yatim, janda, orang miskin, orang fakir, budak atau hamba sahaya, mualaf, dan korban bencana.
e. Pasal tentang larangan mengemis diatur di dalam Perda DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (Perda DKI 8/2007). Di dalam Pasal 40 Perda DKI 8/2007 diatur mengenai larangan untuk mengemis, tetapi juga melarang orang memberi uang atau barang kepada pengemis. Pada Pasal 40 Perda DKI Jakarta 8/2007 setiap orang atau badan dilarang.
3.2 Saran
Semoga para pembaca sadar akan kewajiban seorang muslim untuk tolong- menolong dalam hal kebaikan. Karena bagimana pun harta yang dititipkan kepada kita hanyalah titipan dari Allah SWT, dan kita sebagai umatnya harus menggunakan dan menyalurkannya dengan baik.
10
DAFTAR PUSTAKA
Indonesia, B. (2016). Pengolahan zakat yang efektif: Konsep dan praktik di beberapa negara.
In f. E. Indonesia, Seri ekonomi keuangan syariah (pp. 10-23). Jakarta: Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah Bank Indonesia.
Widiyanti, A. (2019). Eprints.walisongo.ac.id. Retrieved 24 October 2021, from https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/10748/1/1502036120.pdf.
Kita bisa.com. 2021. Penggalangan Dana. Diakses pada 25 Oktober 2021, dari https://kitabisa.com/campaign/bantubungatini.