BAB II PENDAMPINGAN KELUARGA KATOLIK MENURUT
A. Keluarga Katolik
hidup bahagia dan keutuhan keluarga.
Yogyakarta, 1 Juli 2013
Penulis,
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR SINGKATAN ... xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Identifikasi Masalah ... 2 C. Batasan Masalah... 5 D. Rumusan Masalah ... 5 E. Tujuan Penulisan ... 6 F. Manfaat ... 6 G. Metode Penulisan ... 7 H. Sistematika Penulisan... 8
BAB II PENDAMPINGAN KELUARGA KATOLIK MENURUT AJARAN GEREJA KATOLIK ... 9
A. Keluarga Katolik ... 9
1. Pengertian Keluarga ... 9
2. Keluarga Katolik ... 10
xiv
b. Keluarga Katolik sebagai Gereja Mini ... 12
c. Keluarga Katolik sebagai Lahan Pembinaan Awal Warga Gereja ... 13
3. Buah yang Diharapkan dari Keluarga Katolik Bahagia ... 13
4. Keutuhan Keluarga... 15
B. Program Pendampingan Keluarga... 16
1. Pengertian ... 16
2. Pendampingan Keluarga ... 17
C. Tahap-tahap Pendampingan Keluarga Katolik ... 18
1. Pendampingan Pra-pernikahan... 18
a. Pendampingan Anak-anak ... 18
b. Pendampingan Remaja dan Kaum Muda ... 18
c. Pendampingan Calon Pengantin ... 19
2. Pendampingan Menjelang Peneguhan Pernikahan ... 20
3. Pendampingan Pasca Pernikahan ... 20
D. Struktur Pendampingan Keluarga Katolik ... 23
E. Pelaksana Pendampingan Keluarga Katolik ... 24
BAB III PENDAMPINGAN KELUARGA KATOLIK DI PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN ... 26
A. Gambaran Umum Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran ... 26
1. Sejarah Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran ... 26
2. Letak Geografis Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran ... 31
3. Situasi Umat Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran ... 32
4. Pembagian Wilayah dan Lingkungan ... 32
5. Pendampingan keluarga muda Katolik di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran ... 34
B. Metodologi Penelitian ... 34
1. Tujuan Penelitian ... 34
2. Jenis Penelitian ... 35
3. Tempat dan Waktu Penelitian ... 35
4. Metode Penelitian... 35
xv 6. Instrumen Penelitian... 36 7. Variabel Penelitian ... 37 C. Hasil Penelitian ... 38 1. Kebahagiaan ... 38 2. Keutuhan Perkawinan ... 41 3. Program Pendampingan ... 43
D. Pembahasan Hasil Penelitian ... 47
1. Kebahagiaan ... 47
2. Keutuhan Perkawinan ... 48
3. Program Pendampingan ... 49
E. Rangkuman Penelitian ... 50
BAB IV USULAN PROGRAM PENDAMPINGAN KELUARGA KATOLIK PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN ... 51
A. Latar Belakang Penyusunan Program ... 51
B. Katekese ... 52
C. Usulan Program ... 55
D. Rumusan Tema dan Tujuan ... 56
E. Penjabaran Program ... 58
F. Contoh Pelaksanaan Program Pendampingan Keluarga Muda demi Kebahagiaan dan Keutuhan Perkawinan ... 64
BAB V PENUTUP ... 75
A. Kesimpulan ... 75
B. Saran ... 78
1. Bagi Para Pendamping Keluarga Pada Umumnya ... 78
2. Bagi Para Pendamping Keluarga di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran ... 79
3. Bagi Romo Paroki ... 80
4. Bagi Para Keluarga Muda Katolik ... 80
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Variabel yang diteliti ... 37
Tabel 2: Kebahagiaan (N=40) ... 38
Tabel 3: Keutuhan Perkawinan (N=40) ... 41
xvii
DAFTAR SINGKATAN
A. Singkatan Kitab Suci
Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Alkitab
Deuterokanonika. Lembaga Alkitab Indonesia, 2010.
B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja
AA : Apostolicam Actuositatem, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Kerasulan
Awam, 18 November 1965.
FC : Familiaris Consortio, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II tentang
Peranan Keluarga Kristen dalam Dunia Modern, 22 November 1981.
GS : Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa
ini, 7 Desember 1965.
KHK : Kitab Hukum Kanonik
PPK : Pedoman Pastoral Keluarga
C. Singkatan Lain
Alb : Albertus
CB : Carolus Boromeus
Dr : Doktor
FABC : Federation of Asian Bishops’ Conferences
Ir : Insinyur
xviii KU : Katekese Umat
KUKSI : Konggres Umat Katolik Seluruh Indonesia
ME : Marriage Encounter
Mgr : Monseigneur
Pr : Projo, Imam diosesan
RS : Rumah Sakit
SCP : Shared Christian Praxis
SJ : Society of Jesus
SMU : Sekolah Menengah Umum
St : Santo/Santa
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keluarga adalah komunitas atau unit paling kecil dari masyarakat. Dari
‘rahim’ keluarga kita dikandung dan dilahirkan. Begitu besar pengaruh keluarga pada
perkembangan seseorang, karena keluargalah yang merupakan lingkungan pertama
dan atmosfir utama yang membentuk seseorang.
Keluarga sebagai unit sosial terkecil dalam Gereja mempunyai peranan yang
sangat besar dalam perkembangan Gereja. Kedudukan dan fungsi keluarga dalam
kehidupan manusia bersifat fundamental karena dari keluarga terbentuk
masyarakat.
Era globalisasi membuat peristiwa dengan segala perilakunya, entah yang
baik maupun yang buruk, bisa tersebar ke seluruh penjuru dunia dengan sangat cepat.
Di satu sisi era ini mempermudah hidup manusia, namun di sisi lain juga bisa
menghancurkan manusia dan peradabannya.
Salah satu yang pantas dicermati adalah dampak globalisasi terhadap
keluarga, terutama keluarga muda dengan usia perkawinan dibawah lima tahun yang
keadaannya masih belum mantap. Di satu pihak, keluarga-keluarga memang
diuntungkan, namun di lain pihak keluarga-keluarga juga dibahayakan oleh era
tersebut.
Menghadapi ini semua, keluarga-keluarga muda perlu lebih
kerjasama dengan keluarga-keluarga lain, dan lebih menyerahkan keluarga kepada
penyelenggaraan Allah.
Pastoral keluarga muda merupakan sesuatu yang mendesak di jaman ini.
Beberapa kasus yang akhir-akhir ini muncul di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus
Ganjuran berujung pada anulasi dan beberapa keluarga muda Katolik yang berpisah
tanpa tersentuh pendampingan. Upaya penyelesaian masalah keluarga tidak hanya
menjadi tanggung jawab suami-isteri, melainkan juga menyangkut tanggung jawab
pastoral Gereja, karena keluarga merupakan sel terkecil Gereja yang perlu dipelihara
kelestariannya oleh Gereja juga.
B. Identifikasi Masalah
Selain pengaruh globalisasi ada beberapa permasalahan dalam keluarga
muda. Sejauh pengamatan penulis baik di lingkup paroki maupun wilayah, beberapa
hal yang menjadi permasalahan di antaranya adalah ”tinggal dengan mertua”.
Keluarga tinggal terpisah, keluarga dengan ekonomi sangat terbatas, keluarga dengan
keberadaan orang ketiga, dan keluarga belum mendapatkan karunia anak. Tinggal
dengan mertua membuat potensi konflik menantu-mertua meningkat, terutama jika
terjadi perbedaan pendapat. Biasanya pihak mertua cenderung mendikte menantunya,
sehingga menantu merasa tidak nyaman. Suami-istri tinggal terpisah dengan
berbagai alasan seperti, keduanya bekerja tetapi tempat kerja masing-masing
bejauhan, yaitu suami di Jakarta, istri di Bantul. Pada keluarga dengan ekonomi
terbatas masalah terutama dialami oleh mereka yang belum memiliki pekerjaan tetap
ketiga, maksudnya bukan hanya adanya orang ketiga yang tinggal bersama dengan
keluarga itu, namun juga orang lain yang berelasi dengan keluarga atau salah satu
anggota keluarga tersebut, misalnya bekas pacar. Pada keluarga yang belum
mendapat anak, masalah muncul biasanya dari luar, antara lain karena tetangga selalu
menanyakan perihal anak, maklum anggapan sebagian besar orang, menikah harus
punya anak, orang tua ingin menimang cucu dan lain-lain.
Kenyataannya, pelaksanaan pastoral keluarga saat ini belum maksimal.
Kalaupun ada pendampingan, biasanya tidak kontinu dan programnya tidak
berkesinambungan. Pendampingan yang sudah berjalan baru sebatas pada Kursus
Persiapan Perkawinan yang keikutsertaan pesertanya pun sering dengan
keterpaksaan. Selain itu program pastoral yang ada dengan segala keterbatasannya
juga baru menjangkau sedikit keluarga.
Selain itu, tenaga terampil yang menangani pastoral pendampingan keluarga
juga masih amat kurang. Buku-buku pegangan, pedoman, dan referensi untuk
menangani pastoral pendampingan keluarga masih amat terbatas. Kalaupun ada,
buku- buku tersebut umumnya jarang dibaca dan dimanfaatkan. Pendampingan
keluarga muda yang berkelanjutan juga masih sangat kurang. Ada kesan,
pendampingan keluarga dalam wadah Marriage Encounter (ME) cenderung
membentuk kelompok eksklusif. Marriage Encounter (ME) merupakan gerakan
pastoral yang dikemas dalam bentuk weekend. Gerakan pastoral ini bersifat regional
yang mencakup teritori daerah tertentu (misal distrik Jakarta, distrik Bandung dan
sebagainya) dan tidak masuk dalam struktur hierarki (keuskupan ataupun paroki
keluarga-keluarga dengan umur pernikahan lebih dari lima tahun. Padahal yang
masih rentan dalam menghadapi masalah adalah keluarga yang usia perkawinannya
masih muda (Relasi, mengenal lebih mendalam “Mariage Encounter.htm : 2013).
Secara konkret kurangnya pastoral keluarga menyebabkan pemahaman
keluarga muda akan perkawinan kurang mendalam. Hal ini bisa diketahui dari hasil
perbincangan sederhana ketika keluarga muda ditanya soal tujuan, hakikat, maksud,
dan inti dasar perkawinan, yang umumnya tidak mereka ketahui.
Keluarga menurut ajaran Katolik adalah hasil kesepakatan seorang laki-laki
dan seorang perempuan yang saling mencintai dan secara bebas membentuk
persekutuan yang tak terceraikan, sampai salah satu meninggal (KHK kanon
1055-1056). Mereka berdua memiliki kekhasan masing-masing yang membuat mereka
berdua berbeda. Perbedaan ini disatukan dalam perkawinan, sehingga tidak ada satu
perkawinanpun yang tanpa masalah. Permasalahan yang sering dihadapi keluarga
muda adalah adanya pasangan yang egois, yang tidak mampu terbuka satu sama lain
dan tak bisa saling menghargai. Masalah yang ada sering meruncing karena
ketidakdewasaan pasangan suami-istri untuk memberikan respons dalam menghadapi
masalah yang sedang dialami. Masalah khas tersebut akhirnya mengerucut pada
persoalan yang terkait dengan relasi mereka berdua. Relasi suami-istri yang kurang
harmonis biasanya berpengaruh kepada relasi terhadap anak, dan relasi terhadap
masyarakat.
Oleh karena itu, keluarga muda membutuhkan pendampingan yang lebih luas
jangkauannya dan juga lebih berkualitas. Layanan pastoral yang sudah ada amat perlu
keluarga khususnya untuk keluarga muda perlu ditambah. Menanggapi hal ini penulis
memberi judul karya tulis ini: “USULAN PROGRAM PENDAMPINGAN KELUARGA MUDA KATOLIK DI PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN DEMI KEBAHAGIAAN DAN KEUTUHAN PERKAWINAN”
C. Batasan Masalah
Sebagai batasan masalah, sasaran dari program pendampingan adalah
keluarga muda Katolik dengan umur pernikahan kurang dari lima tahun. Tempat
pelaksanaan program di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. Dengan
tujuan demi kebahagiaan dan keutuhan perkawinan.
D. Rumusan Masalah
Dari beberapa keprihatinan yang diuraikan dalam latar belakang dan
identifikasi masalah, penulis merumuskan permasalahan skripsi ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan pendampingan keluarga Katolik muda di Paroki Hati
Kudus Tuhan Yesus Ganjuran?
2. Sejauh mana pendampingan keluarga Katolik muda di Paroki Hati Kudus
Tuhan Yesus Ganjuran mencapai tujuan?
3. Masalah apa saja yang dihadapi di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran
4. Pelayanan apa saja yang sudah disediakan di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus
Ganjuran untuk keluarga Katolik muda?
5. Bentuk layanan apa yang diinginkan para keluarga Katolik muda di Paroki
Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran?
E. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui pelaksanaan pendampingan keluarga Katolik muda di Paroki Hati
Kudus Tuhan Yesus Ganjuran
2. Membantu mengetahui sejauh mana pendampingan keluarga Katolik muda di
Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran mencapai tujuan.
3. Membantu mengetahui masalah yang dihadapi di Paroki Hati Kudus Tuhan
Yesus Ganjuran dalam pelaksanaan pendampingan keluarga Katolik muda.
4. Membantu mengetahui pelayanan yang sudah disediakan di Paroki Hati
Kudus Tuhan Yesus Ganjuran untuk keluarga Katolik muda
5. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Program Studi
Ilmu Pendidikan kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
F. Manfaat
1. Bagi penulis, penulis semakin mendapat wawasan tentang pelaksanaan
Yesus Ganjuran, dengan harapan mendapat bekal yang lebih baik dalam
menjalani hidup berkeluarga.
2. Membantu paroki dalam upaya mengetahui sejauh mana tujuan pendampingan
tercapai.
3. Bagi paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, dapat mengetahui
permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan pendampingan
keluarga, mendapat tambahan usulan program dengan harapan bisa
menjangkau umat yang lebih luas.
4. Bagi pembaca diharap bisa membantu dalam upaya mendapatkan layanan dari
paroki dan memahami pentingnya pendampingan dalam keluarga muda.
5. Bagi pembaca yang mempunyai tanggung jawab dalam membangun dan
melestarikan keluarga mendapatkan tambahan masukan sehingga semakin
mampu melaksanakan tugasnya sebagai keluarga dengan lebih baik.
G. Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode
deskriptis analitis yang dilengkapi dengan studi pustaka. Studi pustaka digunakan
untuk memperoleh kerangka pemikiran untuk menanggapi permasalahan yang
diangkat. Penulisan ini ditujukan untuk memperoleh gambaran pastoral keluarga
di paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran khususnya pendampingan keluarga
H. Sistematika Penulisan
BAB I : Berisi pendahuluan.
BAB II : Bicara tentang pendampingan keluarga Katolik seturut ajaran
Gereja
BAB III : Bicara tentang gambaran umum paroki Hati Kudus Tuhan
Yesus Ganjuran dan pelaksanaan pendampingan keluarga
Katolik di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran.
BAB IV : Bicara tentang program pendampingan keluarga Katolik
BAB II
PENDAMPINGAN KELUARGA KATOLIK MENURUT AJARAN GEREJA KATOLIK
A. Keluarga Katolik 1. Pengertian Keluarga
Keluarga dibentuk melalui ikatan perkawinan. Perkawinan merupakan
sebuah perjanjian antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk
membentuk kebersamaan seluruh hidup. Kebersamaan dalam perkawinan
dilandaskan atas dasar persetujuan bebas tanpa paksaan, saling pasrah diri
jiwa-raga atas dasar cinta kasih yang tulus (Gilarso, 1996 : 9). Perkawinan mempunyai
tujuan untuk kesejahteraan suami-istri, prokreasi dan pendidikan anak (KHK 1983
Kanon 1055).
Sedangkan menurut Undang-Undang perkawinan tahun 1974, perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami-istri, dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa (UU perkawinan 1974 pasal 1).
Menurut Heuken keluarga dalam arti sempit adalah ibu, bapak dan
anak-anaknya; dalam arti luas seluruh sanak saudara/famili. Dasar pembentukan
keluarga adalah perkawinan ayah dan ibu. Keluarga merupakan unsur terkecil
pembentuk masyarakat (Heuken, 2005:122).
Keluarga Katolik berlandaskan ikatan sakramental suami-istri. Sakramen
kesulitan-kesulitan yang tak terhindarkan dan untuk membangun keluarga
bahagia. Kesulitan-kesulitan bisa timbul karena persatuan suami-isteri bersifat
dinamis, bisa berkembang tetapi juga bisa mengalami kemunduran atau bahkan
mengalami kehancuran (Gilarso, 1996 : 10). Oleh karena itu ikatan Sakramental
suami-istri menjadi alat bagi Tuhan sumber hidup untuk mengalirkan hidup lewat
keluarga.
Konsili Vatikan II, dalam Konstitusi Pastoral tentang Gereja di dunia
moderen Gaudium et Spes (GS) dikatakan: “Pria dan wanita yang karena
perjanjian nikah “bukan lagi dua tetapi satu daging” saling membantu dan
melayani dalam persatuan pribadi dan karya yang mesra. Mereka mengalami
makna kesatuannya dan seharusnya meraihnya makin hari makin dalam.
harapannya kesatuan suami-istri setiap hari berkembang semakin baik, sehingga
dengan bertambahnya usia pernikahan diharapkan kesatuan suami-istri juga
semakin erat (GS artikel 48).
2. Keluarga Katolik
Keluarga Katolik bukan hanya sekedar komunitas, melainkan juga
merupakan persekutuan anggota berdasarkan semangat persaudaraan dan iman.
Dalam keluarga Katolik yang pertama harus ada yaitu iman. Iman yang dimaksud
bukannya pengetahuan iman, namun sungguh sikap yang terwujud dalam tindakan
dan kata-kata dalam kehidupan sehari-hari. Keluarga Katolik adalah persekutuan
dasar iman dan tempat persemaian iman sejati (Gilarso, 1996: 13). Untuk
a. Keluarga Katolik Bahagia
Bahagia ditandakan dengan perasaan batin yang nyaman, damai, penuh
dengan sukacita dan penuh cinta yang mendalam. Keadaan ini bisa dicapai ketika
seseorang mampu menerima keadaan diri sendiri baik itu sesuatu yang dipandang
sebagai kekurangan maupun kelebihan. Sikap jujur pada diri sendiri, berpikiran
positif dan mensyukuri hidup akan mendukung terciptanya kebahagiaan (Carlson,
2002: 23, 103-105).
Kebahagiaan merupakan kepuasan atas sesuatu yang baik dan yang
dihayati bukan perasaan. Manusia bahagia, karena mengisi hatinya dengan
kepuasan yang melampaui apa yang duniawi (Heuken, 2005: 71).
Kebahagiaan adalah keadaan di mana keinginan/kebutuhan seseorang
terpenuhi, terdapat relasi saling mencinta dan dicintai, diterima kelebihan dan
kekurangannya, dilengkapi dalam kelemahannya, saling mendukung/
mengembangkan, mengalami saling diampuni dan mengampuni (Suhardiyanto,
komunikasi pribadi, tanggal 2 April 2012).
Gereja menyatakan bahwa relasi saling mencintai antara suami-istri turut
dalam pengorbanan salib Kristus. Relasi saling mencintai dilaksanakan dalam
pengorbanan cinta suami-istri demi kebahagiaan bersama. (Bala Pito Duan, 2003:
26-27). Yohanes Paulus II dalam Anjuran Apostolik Familiaris Consortio (FC)
mengatakan bahwa pernikahan sakramental dimeteraikan dalam darah Kristus.
Rasa saling mencintai antara suami-istri hendaknya sama seperti cinta Kristus
dan menjadikan suami-istri mampu saling mencintai dalam kasih Kristus. (FC
artikel 13)
Menurut Linda Adams (Adams dan Lenz, 1995: 202, 230) dalam menjalin
relasi demi mewujudkan kebahagiaan diperlukan sikap timbal balik dengan saling
memperhatikan, saling mempedulikan dan saling menghormati. Hal ini bila
dilakukan keluarga tentu keluarga juga akan mendapat manfaatnya demi
terwujudnya keluarga bahagia. Sikap saling menerima berarti bersedia
memandang segala kekurangan maupun kelebihan pasangan secara objektif dan
positif. Sikap saling menerima ini diwujudkan dengan saling mendengarkan
dengan sikap terbuka dan penuh pengertian.
Rasa saling mendukung/mengembangkan diperlukan sebab seturut Kitab
Hukum Kanonik (KHK) 1983 kanon 1135, sejak pernikahan baik suami maupun
istri memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk membangun kebersamaan
hidup (Rubiyatmoko, 2011: 148). Rasa saling mendukung/mengembangkan
menciptakan suasana nyaman dan menjadi wujud dari sikap timbal balik saling
menerima satu sama lain.
Sebagai wujud nyata sakramen memberi rahmat dan kewajiban bagi
pasangan suami-istri (pasutri) melaksanakan tuntutan cintakasih untuk hidup dan
saling mengampuni (FC artikel 13).
b. Keluarga Katolik sebagai Gereja Mini
Keluarga merupakan tanda yang menghadirkan cinta Kristus. Keluarga
(Bala Pito Duan, 2003: 42). Keluarga menjadi perwujudan khusus dari persatuan
gerejawi (FC artikel 21). Salah satu tugas keluarga adalah tugas menggereja,
dimana keluarga ambil bagian dalam perutusan Gereja untuk membangun
Kerajaan Allah. Relasi keluarga dan Gereja membentuk keluarga sebagai Gereja
mini (FC artikel 49).
c. Keluarga Katolik sebagai Lahan Pembinaan Awal Warga Gereja
Seturut dengan salah satu tujuan perkawinan yaitu pendidikan anak,
pasutri memiliki kewajiban terhadap pendidikan anak-anak yang dipercayakan
Tuhan kepada mereka. Pendidikan tidak hanya pendidikan susila, fisik,
kemasyarakatan tapi juga pendidikan keagamaan (Rubiyatmoko, 2011: 148).
3. Buah yang Diharapkan dari Keluarga Katolik Bahagia
Buah yang diharapkan dari keluarga Katolik bahagia tidak hanya
kebahagiaan keluarga saja, namun juga keluarga diharapkan mampu menjalankan
tugas perutusannya, yakni apa yang dapat dan harus dilakukannya. Tugas
perutusan keluarga meliputi empat hal. Pertama, keluarga membangun
persekutuan pribadi-pribadi; kedua, keluarga melayani kehidupan; ketiga,
keluarga berperan serta dalam pengembangan masyarakat; keempat, keluarga
mengambil bagian dalam hidup dan perutusan Gereja (FC artikel 17)
Keluarga membangun persekutuan pribadi-pribadi. Dimulai dari
persekutuan suami dan istri, orang tua dan anak-anak, dan persekutuan sanak-
suami-istri dan perluasannya, cinta kasih antar anggota keluarga, antar sanak
saudara (FC artikel 18). Persatuan suami-istri disempurnakan melalui Sakramen
Perkawinan. Roh Kudus yang dicurahkan dalam Sakramen Perkawinan
memberikan karunia persatuan cinta kasih seperti cinta yang menghubungkan
Yesus Kristus dan Gereja. Karunia ini menjadi daya dorong agar keluarga
semakin maju dalam membangun persatuan sehingga menampakkan cinta kasih
yang menghubungkan Yesus Kristus dan Gereja (FC artikel 19).
Dalam Kitab Kejadian disebutkan, “Allah memberkati mereka, lalu
berfirman kepada mereka, beranakcuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi
dan taklukkanlah itu” (Kej 1: 28). Allah memanggil manusia untuk mengambil
bagian dalam karya-Nya dengan bekerja sama secara bebas dan bertanggung
jawab meneruskan anugerah hidup manusiawi. Oleh karena itu keluarga memiliki
tugas untuk melayani hidup, tugas meneruskan citra ilahi dari generasi ke generasi
berikutnya. Tugas ini tidak semata-mata terbatas pada menurunkan anak namun
lebih luas lagi dalam arti membuahkan kekayaan hidup moral dan spiritual (FC
artikel 28).
Keluarga menerima perutusan dari Allah untuk menjadi sel masyarakat.
Perutusan ini karena Allah telah menjadikan persekutuan nikah sebagai dasar
masyarakat manusia. Dalam Dekrit Kerasulan Awam Apostolicam Actuositatem
(AA), perutusan ini dilaksanakan melalui berbagai usaha memajukan keadilan dan
melayani orang lain yang menderita kekurangan (AA artikel 11). Dengan
demikian keluarga tidak tertutup untuk diri sendiri, tetapi juga terbuka pada
(FC artikel 42). Pengalaman hidup bersatu dan berbagi rasa dalam keluarga
merupakan sumbangan bagi masyarakat demi pengembangan persekutuan yang
matang antar pribadi yang tercermin dalam hidup keluarga sehari-hari.
Persekutuan ini merangsang terbentuknya persekutuan yang lebih luas dalam
lingkup masyarakat (FC artikel 43). Dalam masyarakat, peranan sosial keluarga
diusahakan baik itu dengan usaha keluarga sendiri maupun bersama dengan
keluarga-keluarga lain.
Karena keluarga Katolik merupakan Gereja mini, keluarga dipanggil untuk
ambil bagian secara aktif dan bertanggung jawab dalam tugas perutusan Gereja.
Partisipasi keluarga dalam tugas perutusan sebagai nabi, imam dan raja
dilaksanakan sesuai dengan kekhasan keluarga yaitu persekutuan suami-istri
sebagai pasangan hidup, orang tua dan anak-anak sebagai keluarga. Tugas
perutusan ini ditampilkan melalui persekutuan yang didasari iman dan
mewartakan Injil, persekutuan yang berdialog dengan Allah dan persekutuan yang
melayani manusia (FC artikel 50).
4. Keutuhan Keluarga
Allah mengasihi umat-Nya dimaklumkan dalam cinta kasih suami-istri.
Ikatan cinta kasih pasutri menjadi gambaran dan lambang persatuan antara Allah
dengan umat-Nya. Oleh karena itu suami-istri harus memelihara kesetiaan seperti
kasih Tuhan yang senantiasa setia (FC artikel 12). Persatuan antara Allah dengan
umat-Nya mencapai kepenuhannya dalam Yesus Kristus. Yesus mewahyukan