• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

C. Deskripsi Hasil Penelitian dan Pembahasan

1. Keluarga pertama

Keluarga adalah pasangan yang memiliki sejarah untuk menghasilkan anak atau dua generasi yang memiliki garis keturunan secara langsung baik secara nyata maupun legal (Earl W Morris 1978:20). Keluarga dapat terdiri dari pasangan yang menikah, pasangan yang hidup bersama, keluarga dapat juga terdiri dari ibu dan anak, ayah dan anak, nenek dan cucu atau kakek dan cucunya. Keluarga didefinisikan sebagai institusi paling mendasar dalam semua kelompok masyarakat (Rodney Stark, 1988). Jadi dari definisi di atas keluarga dapat disimpulkan, terdiri dari pasangan pria (ayah) dan wanita (ibu) dan anak-anaknya. Menurut H. Heumeyer (1953:184) terdapat enam fungsi keluarga, yaitu:

a. Fungsi biologis dari reproduksi dan memiliki anak.

b. Fungsi pendidikan informal dan melatih anak-anak, termasuk transfer

kebudayaan.

c. Fungsi sosial kontrol dan perlindungan.

d. Fungsi ekonomi di dalam keluarga.

e. Fungsi Faktor psikologi sosial yang memberi peranan dalam

mengembangkan pribadi yang bersosialisasi, seperti persahabatan, pertemanan, aktivitas rekreasi, dan beragam faktor sosial psikologis lainnya.

f. Fungsi kepastian status dan pemberian status. 2. Keluarga Jalanan

sama-sama tidak memiliki alamat yang jelas, tidak memiliki KTP, sehingga tidak dapat mengakses berbagai fasilitas sosial (Suara Merdeka, Indonesia Belum Punya Peraturan Ketunawismaan: Rabu, 26 Januari 2005) para tunawisma selalu tidak diakui sebagai warga sebuah kota karena tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP). Padahal, untuk mengurus KTP, seseorang harus memiliki alamat yang jelas. Tunawisma dapat diartikan sebagai gelandangan, pengemis, pemulung. Tunawisma tidak memiliki tempat tinggal yang tetap. Tunawisma pun ada yang berbentuk pasangan (pria-wanita) bahkan ada yang berbentuk keluarga (bapak- ibu dan anak). Tunawisma yang berbentuk keluarga sering dikatakan sebagai keluarga jalanan.

Keluarga jalanan sendiri terdiri dari ayah, ibu dan anak, saat kehidupan mereka berlangsung di jalanan. Keluarga jalanan juga dapat dikategorikan sebagai keluarga tuna wisma. Tuna wisma merupakan orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal oleh karena itu mereka selalu berpindah-pindah tempat, saat mereka mencari tempat yang dapat memberikan pekerjaan yang halal (Emil Salim Lembaga Studi Pembangunan, 1985:11). Keluarga jalanan dapat disimpulkan merupakan keluarga yang tidak memiliki tempat tinggal dan selalu berpindah-pindah tempat agar mendapatkan penghasilan yang dapat mencukupi buat hidup.

Menurut Patrick Guiness (Nasib Gelandangan Bertahan Seadanya, 1985:16-17), keluarga jalanan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Keluarga jalanan merupakan penduduk kota yang paling miskin. Ini yang

Biasanya mereka tidur di emperan toko, pasar, di bawah jembatan, gerbong kereta api.

b. Keluarga jalanan bermukim di luar batas pembagian kekuasaan

administratif (RT/RW). Bermukim di luar batas kekuasaan batasan administratif menyebabkan mereka dianggap liar, merusak pemandangan. Ini yang menyebabkan kehidupan mereka yang tidak aman akan ancaman penggusuran, pemindahan, garukkan oleh penguasa kota.

c. Sterotipe negatif diberikan kepada keluarga jalanan dari masyarakat.

Sterotipe negatif itu adalah licik, tidak dapat dipercaya, mengganggu ketertiban, sampah masyarakat, tidak memiliki cita rasa susila. Cap-cap ini menyebabkan mereka cenderung memiliki pribadi defensif terhadap orang di luar mereka yang dianggap memiliki status sosial yang lebih tinggi. Soewondo (1985:69) mengemukakan ciri-ciri keluarga jalan. Ciri-ciri keluarga jalanan tersebut sebagai berikut:

a. Keluarga jalanan tidak memiliki identitas diri yang jelas atau KTP (Kartu Tanda Penduduk) yang jelas. Ini dikarenakan mereka tidak terdaftar dan terlibat dalam kekuasaan administratif.

b. Pekerjaan dari sektor informal merupakan lapangan pekerjaan yang biasa

dilakukan oleh keluarga jalanan. Keluarga jalanan biasanya bekerja sebagai pemulung, pengamen, tukang becak.

D. Keluarga-keluarga Jalanan di PSP YSS

Yayasan Sosial Sogiyapranata (YSS) Yogyakarta adalah suatu gerakan sosial yang membantu kehidupan keluarga jalanan. YSS berdiri pada tahun 1967, yang didirikan oleh seorang frater Jesuit. Frater Jesuit yang mendirikan PSP YSS sekarang sudah menjadi Romo, yaitu Benhard Kieser, SJ. YSS memiliki lahan sebagai tempat relokasi para keluarga jalanan, yaitu PSP YSS (Penampungan Sosial Pingit Yayasan Sosial Soegiyopranoto) di bantaran Kali Winongo, Kampung Pingit Yogyakarta.

Adapun visi PSP YSS adalah menjadi sahabat bagi keluarga-keluarga jalanan yang terpinggirkan dari masyarakat. Misi PSP YSS adalah mendampingi keluarga keluarga jalanan sehingga mereka dapat menata hidup sebagai keluarga dan mandiri secara ekonomi dan kembali menjadi bagian masyarakat (A. Dewanto, 2001: 2-3). PSP YSS menekankan pendampingan proses resosialisasi keluarga-keluarga jalanan melalui dua hal, yaitu:

a. Pendampingan interpersonal, pendampingan ini menekankan pada

peningkatan kualitas di dalam keluarga seperti pendidikan anak-anak, kesehatan keluarga, dan juga, pekerjaan yang menetap, serta kebiasaan menabung. Pendampingan ini lebih menekankan cara membuat perencanaan dan menjalankan perencanaan di dalam keluarga yang nantinya dapat mengakomodasi kebutuhan di dalam keluarga.

b. Pendampingan bermasyarakat, lebih menekankan keterlibatan di dalam

masyarakat sekitar dan beradaptasi dengan masyarakat. Pendampingan ini berfungsi untuk melatih keluarga-keluarga jalanan menyadari bahwa

mereka memiliki peran di masyarakat. Pendampingan ini seperti sarasehan bersama warga PSP YSS sebagai bentuk masyarakat kecil untuk melatih kebersamaan mereka, dan mereka dilibatkan juga di dalam masyarakat yang lebih besar seperti masyarakat RT. Keterlibatan di RT dibutuhkan agar mereka mengerti pentingnya piranti legal dan mengerti proses untuk mendapatkan seperti Kartu Tanda Penduduk, Surat Nikah, Kartu Keluarga, Akte kelahiran,

Di dalam PSP YSS Yogyakarta, keluarga jalanan diberikan rumah yang dioperasionalkan sebagai rumah mereka sementara selama dua tahun. Mereka diminta mengatur kehidupan rumah tangga mereka, seperti penataan rumah, pembagian kerja di dalam keluarga. Selain itu juga disadarkan memiliki tetangga, saat mereka perlu terlibat dalam kehidupan bermasyarakat. PSP YSS sendiri membantu keluarga jalanan untuk kembali bermasyarakat, dan melihat sisi positif dalam kehidupan bermasyarakat.

Menurut hasil wawancara pribadi dengan koordinator PSP YSS mengatakan bahwa yang pertama, keluarga-keluarga jalanan yang ada di PSP YSS adalah keluarga yang pergi dari tempat tinggalnya untuk hidup dan tidur di jalanan. Keluarga-keluarga ini pergi dari tempat tinggalnya karena mengalami problem seperti konflik keluarga, konflik dengan masyarakat, dan problem ekonomi. Kedua, keluarga jalanan dapat terbentuk dari dua orang jalanan yang saling bertemu, saling berbagi sebagai pasangan, dan berorientasi membentuk sebuah keluarga walaupun tanpa legalisasi sebagai keluarga.

Keluarga jalanan PSP YSS adalah keluarga jalanan yang berada di PSP YSS. Keluarga jalanan PSP YSS ini terlibat penuh dalam segala kegiatan yang diadakan oleh PSP YSS. Keluarga jalanan yang berada di PSP YSS tidak lagi bertempat tinggal di jalan, melainkan mereka mendiami rumah yang telah disediakan YSS. Keluarga yang berada di PSP YSS adalah keluarga yang sedang menjalani proses resosialisasi, dimana proses ini membantu mereka untuk kembali bermasyarakat.

E. Resosialisasi Keluarga Jalanan

Keluarga-keluarga jalanan yang tinggal di YSS adalah mereka yang menjalani proses resosialisasi secara sukarela. Hal ini ditunjukkan dengan cara keluarga-keluarga jalanan datang kepada pengurus YSS, terlibat dan berproses bersama. Resosialisasi sukarela yang terjadi di YSS didasarkan pada kesadaran keluarga-keluarga jalanan melihat pentingnya hidup di dalam masyarakat.

Bagi kehidupan keluarga jalanan proses resosialisasi adalah proses memasyarakatkan kembali mereka kedalam kehidupan yang memberikan rasa aman. Hal ini menunjukkan cara keluarga jalanan dengan kebiasaan kehidupan di jalan berusaha masuk dan berproses dalam kebiasaan masyarakat pada umumnya. Ini menunjukkan adanya proses belajar. Proses belajar adalah proses yang dilakukan seseorang dalam membentuk sebuah perilaku baru. Proses belajar merupakan proses hasil interaksi resiprokal yang terus-menerus dari faktor behavioral, kognitif dan lingkungan tempat dalam hasil akhir mereka dapat bertingkah laku seperti yang terjadi dalam lingkungannya (Koeswara 1986:138).

Proses belajar dalam resosialisasi yang dialami keluarga jalanan memiliki dinamika yang beragam. Muncul problem-problem di dalam proses resosialisasi yang dihadapi keluarga jalanan. Ini terjadi karena persinggungan budaya yang berbeda dan usaha penyesuaian diri dengan lingkungan sekitar. Realitas prilaku jalanan dan perilaku yang merupakan bagian dari masyarakat adalah bertolak belakang. Oleh sebab itu perlu mengetahui bentuk karakteristik kebiasaan dalam kehidupan di jalanan. Adapun perilaku hidup kehidupan keluarga jalanan yang menonjol sebagai berikut:

a. Bebas tanpa peraturan dan norma (Kompas, 2002). Hal ini bisa berdampak

pada hubungan dengan norma sosial yang ada sangat longgar bahkan

cenderung tidak ada. Hal ini dikuatkan oleh Indrawati (2004) bahwa

kehidupan di jalanan merupakan kebudayaan non-normatif.

b. Jika mereka membentuk suatu keluarga, mereka cenderung mengganggap

biasa masalah berganti-ganti pasangan begitu pula perilaku seks bebas (Indrawari, 2004).

c. Mereka cenderung berkerja sebagai pemulung, pengemis, pengamen, dan

tukang becak (Soewondo, 1985). Pekerjaan dalam sektor informal yang biasa dilakukan dijalanan. Pekerjaan yang dilakukan sebenarnya pada intinya bekerja apa saja agar dapat menyambung hidup sehari-hari (Indarwati 2004). Pekerjaan sektor informal dijalanan tidak menghasilkan penghasilan yang cukup maka dapat dikatakan bahwa mereka memiliki keadaan sosial-ekonominya sangat lemah (Soewondo, 1985)

d. Hukum rimba (Indrawati, 2004), pergaulam keluarga jalanan di jalanan memiliki nuansa bahwa orang yang paling kuat maka dia yang memegang ‘kekuasaan’ dan orang yang lemah adalah objek. Ini terjadi karena persaingan di antara mereka cukup ketat dan penuh potensi konflik.

e. Tidak adanya kepemilikan identitas yang jelas. Menurut Soewondo (1985)

bahwa posisi keluarga dinyatakan sebagai kehilangan kepercayaan di masyarakat, karena tidak memiliki identitas yang jelas. Jika terdapat program-program yang dicanangkan pemerintah kepada masyarakat, para keluarga jalanan ini tidak akan terkena, baik secara fisik dan mental.

f. Hidup berpindah-pindah tempat. Para keluarga jalanan cenderung hidup

berpindah-pindah tempat tinggalnya. Mereka tinggal di emperan toko, pasar-pasar, gerbong kereta yang tak terpakai, timbunan sampah, terminal, stasiun, taman-taman kota (Soewondo, 1985 dan Indrawari, 2004). Hal inilah yang menyebabkan bantuan dari pemerintah tidak pernah sampai ke mereka.

g. Hidup jorok, mereka berpenampilan kumuh dan berbau yang terkadang

dianggap hanya merusak keindahan (Indrawati 2004). Penampilan kumuh ini menunjukkan tingkat kebersihan diri yang rendah. Keadaan penampilan kotor yang rentan terhadap kesehatan diri. Selain itu juga, ditambah keadaan mereka yang tidak mudah mendapatkan akses pelayanan kesehatan karena tidak memiliki identitas yang jelas dan tingkat ekonomi yang rendah yang kurang memungkinkan untuk mendapatkan gizi makanan yang sehat.

F. Problem-Problem dalam Proses Resosialisasi Keluarga Jalanan di PSP YSS

PSP YSS sebagai penyelenggara resosialisasi keluarga jalanan, mendampingi keluarga-keluarga jalanan sehingga mereka dapat menata hidup sebagai keluarga dan mandiri secara ekonomi dan kembali menjadi bagian masyarakat.

Ada dua program pendampingan yang dimiliki PSP YSS bagi keluarga-keluarga jalanan yang mengalami proses resosialisasi. Pertama, pendampingan interpersonal menekankan pada peningkatan kualitas di dalam keluarga seperti pendidikan anak-anak, kesehatan keluarga, dan juga, pekerjaan yang menetap, kebiasaan menabung. Kedua, pendampingan bermasyarakat yang menekankan pada keterlibatan di dalam masyarakat sekitar dan beradaptasi dengan masyarakat. Pendampingan ini berfungsi untuk melatih keluarga-keluarga jalanan menyadari bahwa mereka memiliki peran di masyarakat, kewajiban dan hak sebagai bagian masyarakat.

Resosialisasi keluarga jalanan di PSP YSS sebagai suatu proses pembelajaran kembali dari kehidupan jalanan menuju kehidupan bermasyarakat. Realitas keberhasilan dalam resosialisasi PSP YSS bahwa 60,6% keluarga-keluarga jalanan yang terlibat dari tahun 2000-2007 adalah kembali ke jalan. Hal ini menunjukkan bahwa proses resosialisasi tidaklah suatu proses yang mudah. Ada banyak problem yang dialami keluarga jalanan di dalam menjalani proses

resosialisasi. Problem-problem yang dialami keluarga jalanan bentuknya berupa konflik-konflik yang dialami keluarga jalanan.

Proses pembelajaran ini menuntut adanya perubahan dalam aspek sikap, nilai dan kebiasaan. Terjadi bentrokan dalam proses belajar keluarga-keluarga jalanan dalam menjalani proses resosialisasi, antara nilai, sikap dan kebiasaan yang telah di jalani di kehidupan jalanan dengan nilai, sikap dan kebiasaan yang ada di masyarakat dan sedang dipelajari kembali. Ini akibat dari perbedaan sikap, nilai dan kebiasaan antara kehidupan jalanan dengan kehidupan di masyarakat. Perubahan yang mencakup aspek sikap, nilai dan kebiasaan yang saling berbeda berdampak munculnya berbagai macam problem. Problem-problem yang dialami keluarga jalanan dalam proses resosialisasi adalah usaha menanggapi proses belajar mereka dalam mencapai sikap, nilai dan kebiasaan yang sesuai dengan masyarakat pada umumnya.

Problem-problem keluarga jalanan terlihat melalui konflik-konflik yang mereka hadapi selama proses resosialisasi di PSP YSS. Problem-problem para keluarga jalanan di PSP YSS sebagai upaya perubahan sikap, kebiasaan dan nilai dapat terlihat melalui dua program pendampingan yang dimiliki PSP YSS. Program dalam peningkatan kualitas keluarga, dinamika para keluarga jalanan selama hidup dijalan yang tanpa norma, berpindah-pindah tempat, hidup jorok, dan hidup yang tak teratur dihadapkan pada bentuk baru. Bentuk baru dimana mereka diharapkan untuk lebih menetap, mengatur kehidupan keluarganya dengan hidup yang lebih bersih, menabung, dan memperhatikan pendidikan anak-anak mereka. Realitas problem-problem ini memunculkan adanya konflik-konflik

dalam proses resosialisasi di PSP YSS. Problem dalam proses ini dapat terjadi di dalam relasi keluarga. Problem ini merupakan konflik intrapersonal yang berkaitan dengan peran dan fungsi sebagai bagian sebuah keluarga.

Di dalam kehidupan para keluarga jalanan di PSP YSS terkadang terjadi benturan. Ini merupakan usaha penyesuaian diri dengan masyarakat sekitar. Penyesuain diri ini mengalami benturan. Benturan ini bisa terjadi karena masalah iri akan kelurga yang lain ataupun tidak adanya kesepahaman ide atau pendapat dalam memajukan PSP YSS. Ketidaksepahaman antara keluarga jalanan biasa terjadi dalam acara sarasehan bersama para warga PSP YSS. Keirian antar warga PSP YSS muncul dari dinamika kehidupan bertetangga antara keluarga jalanan di PSP YSS karena adanya rasa ingin memiliki atau rasa untuk mencapai seperti yang tetangga keluarga jalanan raih. Konflik interpersonal muncul karena adanya problem benturan antara warga PSP YSS sebagai usaha saling memahami dalam kehidupan bertetangga. Walaupun demikian konflik konflik interpersonal tidak hanya terjadi antara antar warga PSP YSS. Konflik interpersonal dapat juga terjadi dengan warga sekitar, relawan PSP YSS ataupun dengan anggota keluarga jalanan sendiri. Konflik ini pada intinya terjadi karena adanya ketidaksepahaman dalam memandang sesuatu kepentingan. Kepentingan tersebut dianggap penting dan perlu dipenuhi.

Pendampingan seperti sarasehan bersama warga PSP YSS sebagai bentuk masyarakat kecil, dan dilibatkan juga di dalam masyarakat yang lebih besar seperti masyarakat RT dalam acara arisan warga RT. Kehidupan jalanan yang bersifat hukum rimba, tidak memiliki identitas diri, perilaku seks bebas

(berganti-ganti pasangan), merupakan kehidupan yang dianggap sampah oleh masyarakat pada umumnya. Kehidupan jalanan adalah kehidupan yang jauh dari pengakuan bahwa mereka merupakan bagian dari masyarakat. Kehidupan bersama masyarakat, memiliki peran, kewajiban dan hak sebagai bagian dari masyarakat, memiliki identitas diri merupakan hidup yang jauh dari kehidupan jalanan yang dialami keluarga-keluarga jalanan. Kehidupan keluarga-keluarga jalanan yang belajar menjadi bagian dari masyarakat mengalami problem-problem. Konflik antar organisasi muncul sebagai bagian dari usaha menidentifikasikan diri mereka yang merupakan bagian dari masyarakat. Keluarga sebagai salah satu bentuk organisasi terkecil. Problem keluarga jalanan dengan pihak warga RT merupakan bagian dari sebuah konflik organisasi yang terjadi. Konflik organisasi dapat saja terjadi antara keluarga jalanan dengan pihak RT setempat, pengurus PSP YSS, dan lingkungan masyarakat lebih luas dari RT maupun pengurus PSP YSS.

Problem-problem dalam proses resosialisasi terjadi karena proses memahami akibat perbedaan pandangan terhadap suatu kepentingan antara kehidupan jalanan dan hidup bermasyarakat. Kepentingan yang diharapkan dilihat sebagai kebutuhan akan rasa aman, identitas, social approval, kebahagian, kejelasan tentang dunianya, dan beberapa harkat kemanusian yang bersifat fisik yang ada di masyarakat. Konflik terberat muncul dalam kaitannya keluarga jalanan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan dan beradaptasi dalam proses resosialisasi.

Suatu permasalahan tentunya akan ditanggapi atau direaksi oleh individu yang mengalaminya. Demikian pula dengan problem-problem yang terjadi dalam

proses resosialisasi akan direspon atau direaksi oleh keluarga-keluarga jalanan. Sikap sebagai suatu kecenderungan dalam mananggapi atau mereaksi terhadap objek, pribadi lain ataupun persoalan tertentu (J.P Chaplin, 2002:43). Bermacam-macam sikap yang muncul dalam kaitannya menanggapi problem yang terjadi. Sikap-sikap yang muncul dalam mereaksi probelm-problem yang dialami keluarga-keluarga jalanan merupakan komponen-komponen konflik yang mereka rasakan.

Reaksi muncul terhadap problem sebagai usaha menanggapi konflik yang mereka alami. Reaksi dapat terjadi dalam segi kognitif, psikologis dan juga perilaku. Reaksi kognitif, psikologis dan perilaku yang muncul dalam problem merupakan komponen-komponen dalam konflik.

Dari sekian banyak problem yang dialami para keluarga jalanan terdapat konflik yang dianggap terberat oleh keluarga jalanan. Konflik terberat adalah problem yang dianggap oleh keluarga jalanan sebagai yang paling menyita keadaan kognitif, emosional dan perilaku keluarga jalanan. Konflik terberat secara komponen kognitif tidak akan menimbulkan pengolahan konflik secara lebih matang dengan pemikiran-pemikiran yang jernih, sehingga tidak menjadikan pengalaman yang menyenangkan dan hanya pengalaman yang menyita pikiran. Konflik terberat secara komponen kognitif hanya dapat menimbulkan frustasi dan stres. Konflik terberat secara komponen emosional akan selalu menimbulkan perasaan yang berkaitan dengan reaksi emosi yang tertekan, seperti rasa marah, rasa cemas, rasa bingung dan rasa bimbang. Konflik terberat secara komponen perilaku dapat terjadi melalui tindakan langsung dengan sikap yang dekstrutif dan

memperkeruh keadaan konflik yang terjadi ataupun tindakan yang tidak menciptakan penyelesaian suatu problem. Konflik terberat secara komponen perilaku dapat terlihat melalui perilaku agresif dan perilaku dekstruktif

Pengalaman-pengalaman yang dialami keluarga-keluarga jalanan selama mengalami proses resosialisasi, dapat memberikan gambaran-gambaran problem dalam bentuk konflik yang dialami selama proses resosialisasi. Problem-problem yang terberat yang dialami dapat menjelaskan cara mereka bersikap terhadap konflik dengan lebih jelas, baik sikap positif ataupun sikap negatif. Sikap-sikap yang muncul dalam menanggapi konflik merupakan sikap keluarga jalanan yang digunakan dalam menanggapi problem-problem keluarga-keluarga jalanan dalam proses resosialisasi.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Menurut Cresswell (1998) penelitian kualitatif digunakan untuk melihat suatu fenomena dalam konteks alamiah dan berusaha menggambarkan suatu fenomena atau peristiwa yang terjadi terjadi sekarang ini. Prosedur penelitian ini menghasilkan data deskripsi yang dihasilkan dari ucapan, tulisan atau perilaku yang dapat diamati dari subjek itu sendiri (Bogdan dan Taylor 1975 dalam Moleong, 2000:3). Jenis data yang dapat dikumpulkan mempunyai sifat deskriptif seperti transkripsi wawancara, catatan lapangan, gambar, rekaman (Poerwandari, 1998:29). Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan tentang berbagai jenis problem yang dialami dan keluarga jalanan di dalam proses resosialisasi di PSP YSS. Sebagaimana dijelaskan Suryabrata (2002), penelitian deskriptif bertujuan untuk membuat pencandraan secara sistematis, faktual, akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu.

Data-data deskriptif bertujuan menggambarkan sifat atau keadaan subjek penelitian pada saat penelitian sedang berlangsung. Data-data deskriptif yang ada dapat menggambarkan macam-macam konflik yang dialami subjek dalam proses resosialisasi di PSP YSS.

B. Fokus Penelitian

1. Problem-problem apa sajakah yang dialami keluarga-keluarga jalanan dalam

proses resosialisasi PSP YSS. Problem-problem tersebut meliputi:

a. Konflik intrapersonal :

Ini lebih dikenal sebagai konfllik peran. Konflik yang berkaitan dengan tanggungjawab anggota keluarga di dalam keluarga. Konflik ini terjadi di internal keluarga jalanan. Konflik timbul karena ketidakmampuan tiap anggota keluarga jalanan dalam menjalani peran di keluarga.

b. Konflik interpersonal :

Konflik ini terjadi antara individu yang satu dengan yang lain. Konflik ini disebabkan kesalahpahaman dalam menanggapi sesuatu. Konflik ini bisa terjadi antara anggota keluarga jalanan dengan anggota keluarga jalanan yang lain yang tidak sekeluarga, anggota keluarga jalanan dengan anggota masyarakat sekitar, anggota keluarga jalanan dengan relawan PSP YSS, anggota keluarga jalanan dengan anggota keluarga jalanan yang sekeluarga.

c. Konflik organisasi :

Konflik yang terjadi dengan keluarga jalanan dengan kelompok lain. Konflik ini terjadi karena adanya kesalahpahaman, sikap menentang, ketidakpercayan, ketidaksenangan terhadap kegiatan di dalam organisasi. Kelompok lain yang

dimaksud adalah pihak pengurus PSP YSS, pihak RT sekitar PSP YSS sebagai otoristas administratif setempat, dan masyarakat umum.

2. Konflik-konflik yang menjadi problem terberat yang dialami

keluarga-keluarga jalanan dalam proses resosialisasi di PSP YSS. Problem terberat adalah konflik yang dianggap oleh keluarga jalanan sebagai yang paling menyita keadaan kognitif, emosional dan perilaku keluarga jalanan.

a. Komponen kognitif :

pengolahan konflik secara lebih matang dengan pemikiran-pemikiran yang jernih, sehingga tidak menjadikan pengalaman yang menyenangkan dan hanya pengalaman yang menyita pikiran.

b. Komponen emosional :

reaksi emosi yang muncul dalam menghadapi konflik. Reaksi emosi tertekan

Dokumen terkait