• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam suatu majelis, Nabi pernah bertanya kepada sejumlah sahabat, “Bagaimana keadaanmu nanti ketika ber-bagai bangsa mengeroyokmu seber-bagaimana beberapa orang yang mengerumuni hidangannya?” Lalu ada sahabat yang bertanya, “Ya Rasulullah, apakah karena kami tergolong

minoritas saat itu?” Rasul menjawab, “Tidak. Bahkan kalian ketika itu termasuk mayoritas. Namun kalian bagaikan buih di tengah samudera” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Jika menghendaki munculnya generasi mendatang yang hebat dan mulia, umat Muslim harus mengoreksi kembali pembinaan keluarganya. Pasalnya, dari keluraga itulah corak dan masa depan umat Muslim digantungkan. Pembinaan kelurga tidak berkaitan banyak-sedikitnya umat, tetapi lebih pada berkualitas-tidaknya mereka. Kuantitas umat yang sangat banyak bisa jadi tidak berarti apa pun jika kualitas mereka rendah.16 Profil keluarga yang diidamkan oleh semua orang adalah keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.

Sakinah berasal dari kata sakana yang berarti diam

atau tenangnya sesuatu setelah bergejolak. Itulah sebabnya mengapa pisau dalam bahasa Arab disebut sikkin karena ia adalah alat yang menjadikan binatang yang disembelih tenang, tidak bergerak, setalah tadinya ia meronta-ronta.

Sakinah yang muncul karena pernikahan merupakan

ketenangan yang dinamis dan aktif, tidak seperti kematian binatang.17 Allah berfirman:

“Pergaulilah isteri-isterimu dengan baik dan apabila kamu tidak menyukai (mencintai) mereka (jangan putuskan tali pernikahan), karena boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, tetapi Allah menjadikan padanya (di balik itu) kebaikan yang banyak.”18

Mawaddah tersusun daru huruf-huruf m-w-d-d- yang

maknanya berkisar pada “kelapangan” atau “kekosongan”.

16 Mahalli, Menikahlah Engkau ..., h. 36

17 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2000, h. 192

Mawaddah adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari

kehendak buruk. Mawaddah adalah cinta plus. Bukankah yang mencintai sesekali hatinya kesal sehingga cintanya pudar atau bahkan punah. Tetapi yang bersemai dalam hati mawaddah tidak lagi akan memutuskan hubungan seperti yang biasa terjadi pada orang yang saling menyintai. Ini disebabkan karena hatinya begitu lapang dan kosong dari keburukan sehingga pintu-pintunya pun sudah tertutup untuk dimasuki keburukan lahir dan batin. Begitulah komentar pakar Al-Qur’an Ibrahim Al-Biqa’ (w. 1480 M) ketika menafsirkan ayat yang berbicara tentang mawaddah.19

Sebelum mencapai puncaknya, cinta mengalami be-berapa fase.20 Fase pertama adalah kedua pihak – yang akan mencintai dan dicintai – merasakan ada atau tidak-nya kedekatan mereka berdua. Biasatidak-nya kesamaan latar belakang sosial budaya membantu lahirnya kedekatan tersebut, dan ketika itu akan timbul dorongan untuk saling memperkenalkan diri secara terbuka. Kesamaan latar belakang ini sangat penting karena tidak mudah timbul kedekatan itu tanpa persamaan latar belakang. Dari sini kita mengerti mengapa agama menganjurkan persamaan latar belakang, tingkat pendidikan, dan kedudukan sosial calon suami istri. Inilah yang diistilahkan oleh pakar-pakar hukum Islam dengan kafa’ah.

Kalau fase pertama ini dapat dilalui, maka kedekatan tersebut meningkat pada apa yang dinamai “pengungkapan diri” (self revelation), di mana masing-masing merasakan

19 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2000, h. 208-9

20 M. Quraish Shihab, Pengantin Al-Qur’an: Kalung Permata Buat Anak-anakku. Jakarta: Lentera Hati, 2007, h. 27-28

ketenangan dan rasa aman untuk berbicara tentang dirinya lebih dalam lami, yakni tentang harapan, keinginan, dan cita-citanya, bahkan kekhawatirannya. Sekali lagi, persamaan latar belakang pendidikan, agama dan sosial budaya akan dapat mendorong dan mempercepat proses ini hingga mereka dapat beralih ke fase berikutnya.

Fase ketiga melahirkan “saling ketergantungan (mutual

dependences). Pada fase ini, masing-masing mengandalkan

bantuan yang dicintainya untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pribadinya, karena masing-masing merasa dari lubuk hati yang terdalam bahwa ia memerlukan pasangannya dalam kegembiraan dan kesedihannya.

Bila sepasang kekasih telah sampai pada tahap ini, maka tibalah mereka pada fase keempat, yaitu pemenuhan kebutuhan pribadi kekasihnya, dan ini akan mencapai puncaknya ketika seorang mengorbankan segala yang dimilikinya demi kebutuhan kekasihnya. Pengorbanan tersebut dilakukan dengan senang hati. Sungguh tepat dan jitu pandangan yang menyatakan, “Manusia mengalami cinta pada saat ia mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan emosional orang yang dicintainya dan pemenuhan tersebut juga merupakan kebutuhan emosional baginya.” Artinya, memenuhi kebutuhan kekasih bila tidak dibarengi dengan rasa cinta yang mendalam kepadanya serta dorongan dari lubuk jiwa, maka ketika itu seseorang belum mencapai puncak cinta sejati. Fase-fase sebelumnya boleh jadi telah dinamai “cinta”, namun fase terakhir inilah yang oleh Al-Qur’an dinamai mawaddah atau cinta plus”.

Rahmah adalah kondisi psikologi yang muncul di

dalam hati akibat menyaksikan ketidakberdayaan sehingga mendorong yang bersangkutan untuk memberdayakannya.

Oleh karena itu, dalam kehidupan keluarga, masing-masing suami isteri yang sungguh-sungguh bahkan bersusah payah untuk mendatangkan kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala yang mengganggu dan mengeruhkannya.

Al-Qur’an menggarisbawahi hal ini dalam rangka jalinan pernikahan karena betapapun hebatnya seseorang dia pasti memiliki kelemahan, dan betatapun lemahnya seseorang dia pasti mengandung unsur kekuatan dan kelebihan. Oleh karena itu, suami isteri harus berusaha untuk saling melengkapi. Allah berfirman:

“Isteri-isteri kamu (para suami) adalah pakaian untuk kamu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka (para isteri).”21

Ayat ini tidak hanya mengindikasikan bahwa suami isteri saling membutuhkan sebagaimana kebutuhan manusia pada pakaian, namun juga berarti bahwa suami isteri -- yang masing-masing menurut kodratnya memiliki kekurangan -- harus berfungsi “menutup kekurangan pasangannya” seperti pakaian menutup aurat (kekurangan) pemakainya. Guna tujuan tersebut, Al-Qur’an antara lain menekankan kemampuan fisik, mental dan ekonomi bagi yang ingin menikah. Meski demmikian, wali nikah diminta untuk tidak menjadikan kelemahan di bidang ekonomi sebagai alasan menolak peminangan.22

Pada saat yang sama Al-Qur’an menganjukan kepada yang masih belum siap secara ekonomi untuk menikah agar menahan diri dan memelihara kesuciannya.

21 QS. Al-Baqarah [2] 187

“Hendaklah mereka yang belum mampu (menikah) menahan diri hingga Allah menganugerahkan mereka kemampuan.”23

“Maka nikahilah siapa yang kamu senangi dari perempuan-perempuan...”24

“Biasanya perempuan dinikahi karena hartanya, atau keturunannya, atau kecantikannya, atau karena agamanya. Jatuhkanlah pilihanmu atas yang beragama, (karena kalau tidak) engkau akan sengsara.” (HR. Buhari-Muslim)

23 QS. An-Nur [24]: 33