• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masyarakat bukan benda mati yang statis. Masyarakat merupakan kumpulan orang yang dinamis. Pendidikan merupakan faktor penting yang mendorong perubahan pola pikir warga masyarakat, termasuk perubahan persepsi dan sikap terhadap pernikahan. Sebagian warga Desa Panduman,

18 Wawancara dengan Ustadz Sudirman, tokoh masyarakat Desa Panduman, tang-gal 21 Oktober 2011.

terutana yang ada di Dusun Sumber Tengah dan Krajan, sudah mulai menyadari pentingnya pendidikan. Jika pada dua dasawarsa sebelumnya, masyarakat memandang “yang penting bisa membaca dan menulis,” saat ini sudah banyak remaja yang sedang belajar pada jenjang SMA. Bahkan ada beberapa orang yang bergelar diploma dan sarjana.

Pada umumnya, remaja yang bersekolah atau kuliah tidak cepat menikah. Mereka memiliki kegiatan dan tugas belajar yang rutin dikerjakan dalam kesehariannya. Komunitas mereka semakin luas, tidak hanya terdiri dari teman satu kampung atau desa, tapi juga teman sekolah/ kuliah dari beberapa daerah. Lebih dari itu, wawasan mereka semakin luas, baik yang bersumber dari buku maupun dari guru atau dosen. Mereka menyadari bahwa hidup lebih dari sekedar makan dan tidur. Tidak berlebihan bila mereka kemudian memiliki impian tinggi dan rencana kehidupan yang lebih maju. Mereka ingin mencapai sesuatu yang jauh lebih baik dari apa yang telah dicapai orang tua mereka. Ini yang membuat mereka memutuskan tidak segera menikah.

Menurut Babun Suharto dalam bukunya Dari Pesantren

Untuk Umat: Reinventing Eksistensi Pesantren di Era Globalisasi, dinamika sosial, ekonomi dan budaya membuat

orang merasa perlu memiliki skill tertentu agar bisa eksis dan berbuat banyak di dalam kehidupan sosial ekonomi yang sangat kompetitif. Lembaga pendidikan, formal maupun nonformal, merupakan wadah paling tepat untuk menempa diri agar memiliki kompetensi dan kualifikasi sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Orang-orang yang tidak memiliki kompetensi tertentu dengan akan terpinggirkan.19

19 Babun Suharto, Dari Pesantren untuk Umat: Reinventing Eksistensi Pesantren di

Anang, Kepala Dusun Sumber Tengah, menjelaskan: “Saat ini sangat jarang dijumpai pernikahan dini di Dusun Sumber Tengah. Banyak remaja yang melanjutkan sekolah atau kuliah. Sementara itu, mereka yang tidak memiliki biaya memilih untuk bekerja terlebih dahulu.” Semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin rasional dia berpikir. Semakin luas pergaulan seseorang, semakin kaya wawasan dan pengalaman hidupnya. Hal ini, disadari atau tidak, merubah mindset masyarakat dan sekaligus menggeser sikap mereka terhadap adat dan budaya nenek moyang mereka. Satu contoh, kaum tua (generasi sebelum 70-an) dari masyarakat Madura di Desa Panduman memandang, “Lamaran pertama kali terhadap anak gadis harus diterima. Suka atau tidak suka. Penolakan dapat berdampak negatif pada si gadis. Dia bisa tidak cepat laku hingga menjadi perawan tua.”20

Kini, lambat laun, pandangan seperti itu mulai ditinggalkan. Pihak orang tua dan keluarga perempuan (yang dilamar pertama kali) tidak merasa harus menerima lamaran. Diterima atau ditolaknya lamaran didasarkan atau cocok/tidaknya atau mau/tidaknya anak perempuan yang dilamar terhadap laki-laki dan keluarga yang melamarnya. Seandainya tidak cocok atau anak perempuan yang dilamar tidak mau, maka lamaran itu ditolak tanpa ada perarasaan khawatir bahwa anak perempuan akan menjadi perawan tua. Dalam hal ini, Nur Hasan menjelaskan:

“Kalau dulu memang orang tua kami menganggap buruk (berdampak negatif) kalau menolak lamaran yang

pertama kali. Lamaran itu biasanya terpaksa diterima meskipun hubungan pertunangannya berakhir sebelum pernikahan. Jika lamaran itu diterima karena terpaksa, biasanya jalinan pertunangan antara perempuan dan laki-laki hanya sebentar. Mungkin dalam hitungan bulanan saja. Ya, namanya terpaksa dan sekedar mengikuti adat. Akan tetapi, hal seperti itu saat ini sudah jarang. Masyarakat sudah mulai mengerti mana yang masuk akal dan mana yang kurang masuk akal.”21

Perubahan mindset masyarakat juga mulai terlihat pada pandangan terhadap pekerjaan dan materi. Generasi tua tidak terlalu mempertimbangkan pekerjaan dan materi yang dimiliki oleh remaja laki-laki (calon suami), yang menjadi bekal dalam hidup berumah tangga. Jika pasangan suami-istri baru belum bisa mandiri, mereka akan tinggal satu rumah dengan orang tua. Biasanya orang tua dari pihak istri. Orang tua yang memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Selain itu, generasi tua meyakini bahwa orang akan bisa makan kalau dia mau bekerja. Apapun pekerjaannya. Yang penting halal. Rizki manusia sepenuhnya takdir Allah.

Saat ini, pekerjaan calon suami menjadi salah satu pertimbangan penting bagi orang tua dan keluarga. Kendati diterima atau ditolaknya lamaran lebih berporos kepada anak gadisnya, orang tua tetap memberi masukan agar anaknya melihat pekerjaan calon suami sebagai faktor yang sangat penting. Sebuah keluarga dibangun tidak hanya dengan cinta, tetapi juga dengan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan hidup lainya. Artinya, kondisi ekonomi turut menentukan

21 Wawancara dengan Drs. Nur Hasan, Warga Dusun Sumber Tengah dan Kepala SMPN 2 Sukowono, tanggal 2 Desember 2011.

kualitas kelurga yang akan dibina oleh pasangan suami-istri baru.

Pada saat yang sama, masyarakat mulai menyadari pentingnya kemandirian bagi pasangan suami-istri baru. Sebab, tidak selamanya orang tua bisa dan mampu menyukupi kebutuhan hidup anaknya. Suatu saat mereka harus hidup mandiri. Lebih cepat mandiri lebih baik. Hal ini mengurangi pernikahan di usia dini. Remaja tidak lagi terburu-buru untuk menikah lantaran mereka akan segera dituntut untuk hidup mendiri dengan pasangannya. Mereka baru akan menikah bila dirasa telah “benar-benar siap” (terutama) secara ekonomi untuk berumah tangga. Meski tidak semua remaja Desa Panduman berpikir demikian, paling tidak dalam pengamatan peneliti sudah ada trend ke arah sana: tidak menikah sebelum siap mendiri secara ekonomi.