• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

B. Berkhotbah sebagai Salah Satu Tugas Prodiakon Paroki

1. Kemampuan

a. Pengertian Kemampuan

Kemampuan sering pula disebut dengan istilah kompetensi. Radno (2007: 130) menjelaskan bahwa kompetensi merupakan istilah turunan dari bahasa Inggris, yaitu competence yang berarti kecakapan, kemampuan dan wewenang. Dalam konteks pendidikan, kompetensi ini menunjuk pada pengetahuan, keterampilan dan sikap-perilaku yang tercermin dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Artinya, kompetensi menunjuk pada serangkaian kemampuan manusia dari segi pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai dasar yang dimilikinya, yang tercermin dalam kebiasaannya berpikir dan bertindak. Jika kemampuan berpikir dan bertindak ini dilakukan secara konsisten dan terus-menerus, maka akan memungkinkan seseorang menjadi kompeten dalam bidang tertentu sehingga kemampuan yang dimilikinya pun dapat langsung terlihat.

Selaras dengan penjelasan Radno di atas, Komisi Kateketik KWI (2007: 5) menjelaskan bahwa kompetensi merupakan serangkaian keterampilan atau kemampuan dasar serta sikap dan nilai yang dimiliki seorang individu setelah dididik dan dilatih melalui pengalaman belajar yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Dari pengertian ini kita dapat memahami bahwa kompetensi merupakan kemampuan dasar dalam diri seseorang, yang dihasilkan setelah ia dididik dan dilatih secara bertahap dan terus menerus.

Sedangkan menurut Robbins (2008: 57) kemampuan (ability) adalah kapasitas seorang individu untuk melakukan beragam tugas dalam suatu pekerjaan. Ia juga menjelaskan bahwa kemampuan merupakan sebuah penilaian

terkini atas apa yang dapat dilakukan seseorang. Dari pengertian tersebut kita dapat memahami bahwa kemampuan merupakan kapasitas atau daya juang yang dimiliki oleh seseorang untuk melakukan berbagai kegiatan dalam pekerjaannya. Hasil dari kegiatan yang dilakukan ini dapat dinilai langsung, karena mampu menunjukkan daya juang atau kapasitas yang telah dilakukan seseorang.

Utami (1990: 17) menjelaskan bahwa kemampuan adalah daya untuk melakukan suatu tindakan sebagai hasil dari pembawaan dan latihan. Kemampuan ini menunjukkan bahwa suatu tindakan (performance) dapat dilakukan sekarang. Dari pengertian tersebut ingin disampaikan bahwa kemampuan adalah sebuah kekuatan atau kebisaan seseorang untuk melakukan suatu perbuatan atau tindakan yang dihasilkan dari proses latihan atau pembawaannya sejak lahir.

Dari beberapa pengertian mengenai kemampuan di atas, maka kemampuan dapat dimengerti sebagai segenap kapasitas yang dimiliki seseorang dari segi pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai dasar untuk melakukan suatu tindakan yang dapat diperoleh dari pembawaan sejak lahir atau sebagai hasil dari proses belajar karena dipelajari secara terus menerus. Kemampuan ini akan terlihat jika mampu direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak, sehingga memungkinkan seseorang menjadi semakin berkompeten dalam bidang tertentu.

b. Aspek-aspek Kemampuan

Robbins (2008: 57-62) mengungkapkan bahwa kemampuan seseorang pada dasarnya memiliki dua aspek atau dimensi, yakni aspek intelektual dan aspek fisik. Berikut penguraian mengenai kedua aspek tersebut;

1) Aspek Intelektual

Kemampuan Intelektual (intellectual ability) adalah daya juang yang dibutuhkan seseorang untuk melakukan berbagai kegiatan mental, seperti berpikir, menalar, berefleksi dan memecahkan masalah. Robbin mengungkapkan ada tujuh dimensi pokok yang sering membentuk kemampuan intelektual, yakni kecerdasan angka, pemahaman verbal, kecepatan persepsi, penalaran induktif, penalaran deduktif, visualisasi spacial, dan daya ingat. Pada kemampuan ini informasi yang masuk akan diproses. Termasuk di sini adalah kemampuan prodiakon dalam berkhotbah, di mana mereka dituntut untuk memikirkan pengolahan khotbah yang mau disampaikan, merefleksikannya, mencari jalan keluar untuk kemungkinan- kemungkinan masalah yang muncul dan pada akhirnya menilai hasil khotbahnya sendiri. Untuk melakukan itu semua, maka dibutuhkan dimensi-dimensi seperti yang disebutkan di atas agar dapat membentuk kemampuan intelektual mereka. 2) Aspek Fisik

Kemampuan fisik (physical abilities) adalah daya juang yang dibutuhkan seseorang yang menuntut stamina, ketangkasan/keluwesan fisik, keseimbangan dan ketangguhan kaki atau anggota badan lainnya, keterampilan, serta kreativitas untuk melakukan suatu pekerjaan atau kegiatan. Termasuk di sini juga kemampuan prodiakon untuk mengolah khotbah, di mana dibutuhkan keterampilan dan kreativitas untuk mempersiapkan dan membawakan khotbah, stamina yang sehat agar dapat membawakan khotbah dengan baik, serta keluwesan anggota badan untuk melakukan gerakan-gerakan yang sesuai dengan isi khotbah yang disampaikannya.

Sedangkan Thurstone (dalam Davidoff , 1991: 96) mengungkapkan secara terperinci bahwa ada tujuh kemampuan yang dapat dibedakan, yakni;

1) Kemampuan untuk menjumlah, mengurangi, mengalikan, dan membagi. 2) Kemampuan untuk menulis dan berbicara dengan mudah dan jelas.

3) Kemampuan untuk memahami dan mengerti makna dari kata-kata yang diucapkan.

4) Kemampuan untuk memperoleh kesan akan sesuatu.

5) Kemampuan untuk memecahkan persoalan dan mengambil pelajaran dari pengalaman masa lampau.

6) Kemampuan untuk melihat dan mengerti hubungan benda dalam ruang dengan tepat.

7) Kemampuan untuk menggali objek dengan tepat dan cepat.

Wina (2006: 70) juga menjelaskan bahwa ada enam aspek kompetensi dalam diri seseorang. Aspek-aspek ini dapat membentuk seseorang menjadi kompeten atau mempunyai kemampuan dalam bidangnya. Berikut aspeknya; 1) Pengetahuan (knowledge), yaitu kemampuan dalam bidang kognitif.

2) Pemahaman (understanding), yaitu kedalaman pengetahuan yang dimiliki oleh setiap individu.

3) Kemahiran/keterampilan (skill), yaitu kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk melakukan tugas yang dipercayakan kepadanya.

4) Nilai (value), yaitu norma-norma yang dianggap baik oleh setiap individu, di mana nilai inilah yang selanjutnya menuntun setiap individu untuk melakukan tugasnya.

5) Sikap (attitude), yaitu pandangan individu terhadap sesuatu. Sikap ini mempunyai kaitan yang erat dengan nilai-nilai yang dihidupinya. Nilai yang dihidupi dapat menentukan sikap hidup seseorang.

6) Minat (interest), yaitu kecenderungan untuk melakukan sesuatu perbuatan. Minat ini merupakan aspek yang sangat menentukan motivasi atau semangat seseorang untuk melakukan aktivitasnnya.

Dari berbagai aspek atau dimensi kemampuan di atas, kita dapat memahami bahwa setiap manusia memiliki berbagai kemampuan, baik dari segi pengetahuan, keterampilan maupun nilai-nilai dasar meski dalam tingkat yang berbeda-beda. Meski berbeda, kemampuan-kemampuan ini tetap memiliki hubungan yang erat dan saling terkait, sehingga dapat dipadupadankan untuk melakukan suatu kegiatan yang membutuhkan stamina lebih pada saat yang bersamaan.

2. Khotbah

a. Pengertian Khotbah

Dalam Homelitika, yaitu ilmu tentang khotbah, terdapat bermacam ragam pengertian tentang khotbah dari orang seperti yang diungkapkan dalam Sumarno (2008: 66) bahwa pengertian ini tergantung dari sudut pandang mana orang melihat khotbah. Dari sudut pandang seorang ahli Kitab Suci, khotbah merupakan suatu cara untuk menjelaskan arti Kitab Suci agar pesan dari Kitab Suci yang dibacakan dapat dimengerti dan dipahami oleh umat beriman yang sedang berkumpul. Menurut seorang teolog, khotbah merupakan suatu tugas untuk menyampaikan kebenaran warta gembira tentang Allah sehingga dengan demikian

umat beriman tidak salah paham dalam mengertikan siapakah Allah dengan segala misteri-Nya. Bagi seorang ahli pastoral, khotbah mungkin merupakan cara untuk menyampaikan warta gembira untuk menghibur, meneguhkan, menguatkan dan mempersatukan umat yang sedang berkumpul. Lain halnya dengan seorang ahli liturgi, khotbah baginya mungkin merupakan suatu bagian penting dalam liturgi yang harus ada guna menguraikan arti Sabda Allah. Sedangkan menurut pandangan para katekis, khotbah mungkin merupakan suatu bentuk pewartaan sabda Allah untuk mengajarkan, mengkomunikasikan, mendewasakan, dan memperdalam iman umat yang sedang berkumpul.

Dori Wuwur dan Madya Utama dalam Komisi Liturgi KWI (2011: 9) mengartikan khotbah sebagai pewartaan Sabda Allah yang disampaikan kepada umat dalam perayaan liturgi atau ibadat, sehingga terjadi komunikasi antara Allah dan mereka. Hal serupa diungkapkan oleh Suhardo (1985: 10) bahwa khotbah adalah mewartakan kehadiran Kristus dalam hidup orang beriman, yang juga sebagai pewartaan keselamatan Allah dalam diri Yesus Kristus, di mana terjadi komunikasi iman antara pengkhotbah, Yesus yang diwartakan dan umat yang dilayani. Dari pengertian tersebut ingin disampaikan bahwa dalam khotbah selalu akan terjadi komunikasi terbuka antara Allah dan manusia melalui Sabda yang didengar dan direnungkan.

Khotbah menurut de Jong (1979: 11) adalah pemberitaan suatu kabar sukacita, yang ditujukan kepada jemaat dengan memperhatikan apa yang dialami dan diperlukan jemaat yang bersangkutan, kemudian diajak kepada hidup Kristen yang diperbaharui berdasarkan kabar sukacita yang disampaikan tersebut. Dari

sini kita dapat memahami bahwa khotbah merupakan penyampaian kabar gembira yang penyampaiannya harus selalu memperhatikan situasi yang terjadi dalam umat dan apa yang mereka butuhkan saat itu. Melalui khotbah, umat diajak untuk kembali membaharui hidup rohaninya.

Evans (1963: 7) mengartikan khotbah sebagai usaha untuk memberitakan kabar sukacita yang dilakukan oleh seorang manusia dan ditujukan kepada sesamanya. Isi pemberitaan atau khotbah yang disampaikan haruslah mengenai kebenaran Allah yang dinyatakan di dalam Alkitab dan secara istimewa dinyatakan di dalam diri Yesus Kristus. Dalam khotbah haruslah terdiri dari dua unsur, yaitu seseorang yang memberi khotbah dan isi khotbah yang mau disampaikan. Sejalan dengan pengertian dari Evans, khotbah bagi Pouw (1937: 9- 10) adalah Firman Tuhan yang diterima, dirasakan dan dilakukan oleh pengkhotbah sendiri, yang kemudian disampaikan secara tegas dan nyata kepada semua orang, sehingga menjadi kesaksian dan jalan keselamatan bagi setiap orang yang mendengarkannya. Dia juga menegaskan bahwa pengkhotbah dan isi khotbah yang disampaikan menjadi unsur yang penting untuk diperhatikan.

Dari pengertian Evans dan Pouw di atas ingin ditegaskan bahwa sebagai penyampaian Firman Tuhan, khotbah harus dilakukan oleh seseorang yang dianggap mampu menyampaikan khotbah dengan mendasarkan khotbahnya dari pesan Kitab Suci untuk disampaikan secara tegas dan nyata kepada sesamanya agar semakin beriman kepada Allah. Isi khotbah yang disampaikan ini akan menjadi berpengaruh dan bermakna dalam hidup umat yang menerimanya apabila didukung dan diperkuat oleh tingkah laku dan kesaksian nyata dari

pengkhotbahnya sendiri. Khotbah yang sesuai dengan kepribadian pengkhotbahnya akan menjadi sangat berkesan, sehingga mudah dimengerti dan akan terus diingat oleh para pendengarnya.

Martasudjita (2004: 58) menjelaskan bahwa khotbah dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah prek. Istilah prek berasal dari bahasa Belanda preek yang diambil dari kata kerja preken yang berarti “mewartakan”. Istilah preken ini sama artinya dengan bahasa Jerman predigen atau bahasa Inggris to preach. Semua kata tersebut berasal dari bahasa Latin predicare yang juga berarti “mewartakan”, “menunjukkan”, atau “memberitakan”. Secara liturgis, khotbah berarti suatu pewartaan atau pemberitaan mengenai iman. Temanya tidak selalu harus menerangkan inti kutipan Kitab Suci, melainkan dapat menguraikan satu tema tertentu umpamanya menyangkut tentang ajaran moral, ajaran Gereja, dan sebagainya. Khotbah dapat disampaikan diberbagai tempat, di mana pun ada kesempatan dan kemungkinan dan tidak hanya terjadi dalam konteks liturgi atau ibadat saja. Dari pengertian tersebut ingin dijelaskan bahwa khotbah memang merupakan bentuk pewartaan iman yang temanya dapat bertolak dari berbagai macam sumber dan dapat berlangsung di berbagai kesempatan yang memungkinkan untuk berkhotbah.

Dari berbagai pengertian mengenai khotbah di atas, dapat disimpulkan bahwa khotbah merupakan suatu usaha dari Gereja untuk mewartakan Sabda Tuhan kepada seluruh umat beriman Kristiani yang sedang berkumpul dalam suatu perkumpulan doa dan perayaan liturgi yang sedang dirayakan. Melalui khotbah diharapkan iman umat semakin diteguhkan setelah mendengar dan

merenungkan Sabda Tuhan yang disampaikan, kemudian menghidupinya dalam kenyataan hidup sehari-hari, sehingga mampu hidup sesuai kehendak Allah dan menjadi saksi Kristus dalam hidupnya.

b. Tujuan Khotbah

Ambrosia (1987: 4) menjelaskan bahwa khotbah yang merupakan bentuk karya pastoral Gereja bertujuan untuk menyampaikan Injil Yesus Kristus demi peningkatan dan pendalaman iman umat, agar hidup mereka sesuai dengan kehendak Allah. Khotbah merupakan berita yang menggembirakan, karena selalu ada harapan dan sukacita bagi setiap orang yang selalu terbuka untuk menerima dan melaksanakan Sabda Allah dalam hidupnya. Sabda Allah yang diterima ini tidak akan berguna jika hanya dijadikan miliknya sendiri. Oleh karena itu Sabda Allah yang sudah diterima harus direalisasikan dalam hidupnya sehari-hari. Misalnya, iman akan Allah ini dihayati melalui kepercayaan dalam hidup bersama, serta cinta akan Allah dapat diungkapkan dan diwujudnyatakan dalam cinta kasih kepada sesama. Dengan demikian, setiap pribadi yang mendengarkan dan melaksanakan Sabda Allah dalam hidupnya akan semakin mendalami imannya dan semakin diteguhkan, sehingga dapat hidup sesuai dengan apa yang Allah kehendaki dari mereka.

Rothlisberger (1975: 27) merumuskan tujuan khotbah untuk membawa pendengarnya kepada kepercayaan dan ketaatan agar memperoleh keselamatan dalam Yesus Kristus. Ia membagi pendengar khotbah menjadi dua kelompok, yaitu orang yang belum pernah mendengar kabar tentang Yesus Kristus (yang

belum dibaptis) dan orang yang sudah lama menjadi menjadi Kristen (sudah dibaptis). Tujuan khotbah bagi orang yang belum dibaptis adalah supaya mereka menjadi percaya, taat dan beroleh keselamatan dalam Yesus Kristus. Tentunya dengan syarat bahwa orang tersebut harus dibaptis terlebih dahulu dengan kemauan dan permintaannya sendiri (Rothlisberger, 1975: 30). Sedangkan tujuan khotbah untuk orang-orang yang sudah dibaptis adalah untuk menimbulkan iman, meneguhkan dan membangun iman, serta mempertahankan iman dari segala ancamannya. Oleh karena itu, khotbah harus disiapkan dan disampaikan sedemikian rupa agar tujuan khotbah yang satu itu dapat dicapai menurut golongan masing-masing.

Dijelaskan juga bahwa orang Kristen yang mengikuti kebaktian pada hari Minggu kebanyakan telah dibaptis dan mempunyai nama Kristen, namun ada di antara mereka yang imannya belum hidup. Mereka adalah orang yang sudah dipanggil kepada keselamatan melalui pembaptisannya, namun belum mengikuti Kristus. Terhadap golongan umat seperti ini, khotbah bertujuan untuk menimbulkan iman, karena bukan baptisan dan nama Kristen yang menyelamatkan mereka melainkan hanya iman kepada Yesus Kristus. Sedangkan khotbah kepada umat yang sudah dibaptis dan sudah menjalankan kewajiban agamanya namun masih memiliki iman yang lemah, maka khotbah bertujuan untuk meneguhkan dan membangun iman mereka agar semakin dewasa dan mendalam. Selain itu, khotbah bertujuan juga untuk mempertahankan iman umat yang terancam oleh berbagai godaan, misalnya seperti kelemahan hati untuk meninggalkan agamanya dan ajaran sesat lainnya (Rothlisberger, 1975: 33-

35).Dari tujuan khotbah ini dapat dipahami bahwa bagaimana pun keadaan umat yang dilayani, tujuan khotbah tetaplah sama, yaitu membawa setiap orang untuk semakin beriman pada Yesus Kristus agar beroleh keselamatan dalam nama-Nya.

Menurut Sumarno (2008: 67), khotbah dalam Gereja bertujuan untuk memperdalam iman umat yang dilakukan dengan cara menjelaskan, menguraikan, memperdalam, ataupun menerapkan pesan Kitab Suci kepada umat. Melalui khotbah diharapkan umat beriman semakin mampu mengoreksi dan merefleksikan kehidupannya yang konkrit dalam terang cahaya hidup, kata dan tindakan Allah yang diungkapkan dalam diri Yesus Kristus. Oleh karena itu, khotbah perlu selalu diusahakan agar dapat membantu menyebarkan iman, menyebabkan umat semakin beriman, serta mengusahakan agar ajaran Allah semakin diterima oleh umat melalui kesaksian iman dalam kenyataan hidup sehari-hari, sehingga dengan demikian iman umat semakin diperdalam dan didewasakan.

De Jong (1979: 60-63) mengungkapkan empat tujuan khotbah, yakni tujuan Pewartaan Injil, tujuan pembangunan rohani, tujuan Dogmatik (ajaran), dan tujuan etika. Tujuan pewartaan Injil menjadi tujuan utama dalam berkhotbah, karena merupakan kesaksian tentang tindakan penyelamatan yang dilakukan oleh Yesus Kristus dalam hidup manusia. Dengan demikian, melalui pewartaan Injil ini diharapkan orang menjadi percaya, taat dan diselamatkan dalam Tuhan (Rothlisberger, 1975: 27). Tujuan khotbah demi pembangunan rohani berguna untuk membangun hidup rohani umat yang mendengarkan khotbah. Di sini umat didorong agar dapat membawa diri sesuai dengan Sabda Tuhan dalam kenyataan hidup mereka sehari-hari. Tujuan khotbah demi dogmatik (pengajaran) bermaksud

untuk menyampaikan ajaran Gereja yang perlu diketahui dan dilakukan oleh umat. Tentunya ajaran ini harus berkaitan dengan Sabda Tuhan yang dikhotbahkan dan sesuai dengan situasi umat. Sedangkan tujuan khotbah demi etika menyangkut masalah moralistis, yaitu ingin menunjukkan kepada orang Kristiani bagaimana ia harus hidup berdasarkan Sabda Tuhan, apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan sebagai orang Kristiani (De Jong, 1979: 61).

Dari beberapa tujuan khotbah di atas, dapat dipahami bersama bahwa secara garis besar khotbah bertujuan untuk menyampaikan Sabda Tuhan kepada seluruh umat beriman agar mereka semakin percaya dan beriman pada Yesus Kristus sehingga beroleh keselamatan dalam nama-Nya.

c. Ciri-ciri Khotbah yang Baik

Suatu khotbah dapat dikatakan baik jika ia dapat memberi makna kepada para pendengarnya dengan mengingat, menghayati, dan melakukan pesan khotbah yang diterimanya ke dalam kehidupannya sehari-hari. Oleh karena itu, khotbah juga harus dipersiapkan dan disampaikan dengan berpedoman pada tujuan yang hendak dicapai. Suatu khotbah yang baik adalah khotbah yang;

1) Bersumber pada Kitab Suci/Tradisi Gereja

Ketika berkhotbah, yang disampaikan adalah Firman Tuhan yang didasarkan pada Kitab Suci. Allah menyatakan Firman-Nya agar Ia dikenal dan kehendak-Nya dapat dimengerti, diterima dan dihidupi oleh manusia yang mendengarkan Firman-Nya (Gintings, 1998: 3). Berdasarkan pernyataan tersebut, maka khotbah yang baik hendaknya selalu bertitik tolak dari Kitab Suci atau

Tradisi Gereja, karena dalam berkhotbah yang disampaikan adalah Kabar Gembira (Sabda Tuhan). Melalui khotbah ini, pendengarnya diundang untuk menerima Sabda-Nya dan melaksanakannya dalam hidup sehari-hari. Pernyataan ini ditegaskan dalam Sacrosanctum Concilium art. 35, bahwa;

“Dalam rubrik-rubrik hendaknya dicatat juga, sejauh tata upacara mengizinkan, saat yang lebih tepat untuk khotbah, sebagai bagian perayaan Liturgi. Dan pelayanan pewartaan hendaknya dilaksanakan dengan amat tekun dan seksama. Bahannya terutama hendaknya bersumber pada Kitab Suci dan Liturgi, sebab khotbah merupakan pewartaan keajaiban-keajaiban Allah dalam sejarah keselamatan atau misteri Kristus, yang selalu hadir dan berkarya di tengah kita, teristimewa dalam perayaan-perayaan Liturgi.” Dari pernyataan tersebut, dapat kita pahami bersama bahwa sangat diharapkan khotbah yang disampaikan harus bersumber pada Kitab Suci dan Liturgi, karena khotbah sendiri menjadi bagian penting dalam mewartakan karya keselamatan Allah dalam diri Yesus Kristus kepada umat manusia. Untuk itu, khotbah yang baik harus selalu bersumber dari Kitab Suci atau Tradisi Gereja.

2) Saklik dan Terbuka

Dori Wuwur (1987: 124) mengungkapkan bahwa khotbah yang disampaikan harus saklik, artinya khotbah tersebut sedapat mungkin memiliki objektivitas dan kebenaran (EN, art. 5). Khotbah yang saklik selalu menyajikan kebenaran yang mau diwartakan secara menyeluruh dan lengkap, tidak dilebih- lebihkan, serta selalu mempunyai hubungan yang serasi antara isi dan formulasinya sehingga enak didengar. Khotbah yang saklik tidak perlu menggunakan gaya bahasa yang berlebihan supaya tidak mengaburkan makna asli dari kebenaran tersebut.

Berdasarkan penjelasan di atas, kita dapat mengetahui bahwa khotbah yang disampaikan harus berdasarkan kebenaran. Kebenaran itu tentunya bersumber dari Kitab Suci yang didukung oleh sumber-sumber lain yang dapat dipertanggungjawabkan, yang kemudian direnungkan oleh pengkhotbah sendiri. Sedapat mungkin kebenaran yang disampaikan harus terbuka, di mana setiap aspek dari kebenaran tersebut dapat dibeberkan dan mengemukakan argumen- argumen pro dan kontra mengenai kebenaran tersebut (Sumarno, 2008: 76). Dengan demikian, pendengarnya dibantu untuk mempertimbangkan pesan inti dari khotbah tersebut, lalu secara bebas mengambil keputusan sendiri untuk dihidupi.

3) Sederhana dan Menarik

Khotbah yang sederhana adalah khotbah yang singkat, padat, jelas dan menarik. Suatu khotbah yang baik harus mudah ditangkap dan dimengerti oleh para pendengarnya. Oleh karena itu, kata-kata dan susunan kalimatnya tidak boleh terlalu panjang dan berbelit-belit (Sumarno, 2008: 77). Diusahakan agar kalimatnya singkat, namun tetap padat akan maknanya.

Para pendengar hendaknya langsung bisa menangkap dan mengerti maksud pengkhotbah secara tepat ketika mendengarkannya. Oleh karena itu, khotbahnya harus memiliki skema dan kalimat yang jelas dan uraian yang logis (Dori Wuwur, 1987: 125). Artinya, khotbah yang disampaikan harus mudah dipahami oleh umat ketika itu juga. Untuk itu, sedapat mungkin pengkhotbah menggunakan gaya

bahasa yang sederhana dan susunan khotbah yang jelas dan menarik supaya apa yang mau disampaikan dapat langsung ditangkap dan dipahami oleh umat.

Khotbah yang menarik adalah khotbah yang yang dapat menimbulkan kesan pada pendengarnya, sehingga mudah diingat. Supaya khotbah menjadi menarik, maka pengkhotbah atau prodiakon yang berkhotbah dapat menguraikan tema khotbah yang relevan dengan situasi umat pada saat itu dan menyampaikannya dengan cara-cara yang mengesankan namun tetap sewajarnya. Dalam hal ini, Sumarno (2008: 78) mengungkapkan bahwa isi khotbah yang dibawakan dengan gaya bahasa yang hidup biasanya akan menarik perhatian pendengarnya sehingga tidak mudah membosankan.

4) Mengarah ke Masa Depan dan Mendorong untuk Bertindak

Gintings(1998: 4) mengungkapkan bahwa khotbah harus mengena dengan tanda-tanda zaman, dan juga mesti mengarahkan pendengarnya ke masa depan Kerajaan Allah. Artinya, khotbah dalam Gereja tidak hanya menguraikan dan menanggapi peristiwa yang sudah dan sedang terjadi saat ini, melainkan harus mampu menunjuk bagaimana peristiwa atau hal yang sama dapat terjadi di masa depan. Oleh karena itu, khotbah hendaknya juga mampu mengarahkan para pendengarnya untuk memandang ke masa depan dengan menunjukkan bahwa apa yang sedang terjadi saat ini dapat terjadi di masa yang akan datang. Dengan demikian, khotbah dapat membantu para pendengarnya untuk mengambil tindakan secara nyata dan melangkah maju ke depan dengan yakin dan penuh harapan dalam terang iman bersama Tuhan.

Dokumen terkait